Nayena ... Nayenaa ... jangan menangis, Sayang. Mama datang. Nayena ... Nayenaa ... jangan pergi ...! Jangan tinggalkan Mama ... Nayenaaa ....
Oekk .... Oeee ... Ma ma ma .... Oeee ....
"Nuca, Nuca menangis ...."
Zaleya bangkit. Ia segera menuju ranjang Nuca. Diraihnya dengan lembut tubuh berisi Nuca. Ia yang begitu mengantuk membawa Nuca ke ranjangnya dan mulai memberi asi yang dibutuhkan Nuca. Tangisan itu terhenti. Zaleya spontan mencium Nuca, ia merasa bersalah membuat Nuca sampai menangis sesenggukan menunggu kedatangannya.
Zaleya tertegun, tangisan Nayena dalam mimpinya seolah nyata. Namun ia sadar bukan Nayena yang benar-benar ada melainkan Nuca. Zaleya menetralkan emosinya, ia harus ikhlas dengan kepergian sang putri.
Kini, Zaleya kembali menatap Nuca. Ia usap dengan lembut kening Nuca yang berkeringat.
"Dunia itu begitu aneh. Kau tahu Nuca, usia putriku yang telah tiada tak jauh darimu. Ia pergi dan takdir mempertemukan ku denganmu. Kau ... Kudengar kedua orang tuamu telah tiada. Kau sungguh malang Nuca. Kau bahkan kini mengandalkan ku yang sejatinya bukan siapa-siapa mu, tak memiliki hubungan kekerabatan denganmu. Kau tahu Nuca, kehadiranmu adalah anugerah untukku. Setiap bersamamu kesedihanku seolah sirna, aku merasa begitu berharga. Kau pula yang membuat aku memiliki keluarga. Ya, kini semua orang di rumah ini adalah keluargaku. Oh ya Nuca, kau tahu nenek memintaku menikah dengan pamanmu. Entah seperti apa pamanmu, tapi menurut bibi Alic ia lelaki baik."
Zaleya menghentikan kalimatnya dan tersenyum. Ia melihat sepasang mata bulat Nuca terus menatapnya seolah memahami setiap ceritanya.
"Ahh Sayang kau ini. Sudah berhenti menatapku! Kau pasti mengantuk, bukan? Maaf aku mengganggumu. Ayo tidur, Sayang!"
Nuca melepas penyegar dahaganya sesaat. "Ma ma ma," celotehnya membuat Zaleya tak tahan ingin menciumnya lagi dan lagi.
"Sudah minum lagi dan tidur, oke! Jangan sebut lagi panggilan itu padaku, aku bukan mamamu, Nak ...."
Nuca adalah bayi delapan bulan yang belum memahami apapun. Setelahnya ia kembali meminum asi Zaleya hingga keduanya yang mengantuk kompak tertidur bersamaan.
***
"Sayang kau sudah datang?"
"Penyambutan macam apa ini? Kau tak mengabari jika kondisimu sedang tak baik, Mi-ma?"
Lelaki tegap yang yang tak lain adalah Rayyan si cucu kesayangan telah kembali. Ia langsung mencari sosok sang nenek di kamarnya, namun ia terkejut saat dilihatnya si nenek sedang terbaring di ranjang. Ia pun berasumsi bahwa nenek tercintanya itu sedang sakit.
"Kata siapa aku tak baik, aku hanya sedang bersantai di kamar," ucap Mima berusaha meraih sesuatu di atas meja.
"Oh Tuhan, mengapa wajahku terlihat pucat. Pantas saja cucuku mengira aku sedang sakit," gumam Mima.
Rayyan tersenyum getir. "Bahkan dalam keadaan pucat pun kau terlihat sangat cantik, Mimaku." Rayyan memeluk Mima, Mima seketika melepaskan cermin dalam genggamannya. Ia membalas pelukan Rayyan.
"Honey ... katakan, jika aku tiba-tiba dipanggil Sang pencipta apa kau akan melupakanku?" Rayyan melepaskan pelukannya dan menatap Mima.
"Apa yang kau bicarakan ini? Aku tak menyukainya, Mimaku." Rayyan menoleh. Ia tatap tirai yang bergoyang tertiup hembusan angin. Seketika ingatannya terbawa pada peristiwa lima belas tahun silam yang menjadi awal pertemuannya dengan Mima.
Udara pagi itu begitu cerah, tapi tidak dengan suasana hati penghuni rumah dalam kawasan padat penduduk di sebuah kota di barat laut Turki bernama Bursa. Bursa adalah salah satu pusat industri negara Turki. Produksi otomotif juga sebagian besar dilakukan di kota ini, sehingga kota ini menjadi kota terpadat keempat di Turki.
Dua insan duduk termenung, merasa dilema, bingung dan bimbang atas nasib keluarganya kelak. Penyesalan itu letaknya memang di akhir, artinya semua hanya menjadi kesedihan tiada tara jika kita sampai terjerumus hal yang dilarang dan tak memiliki arah lagi setelahnya.
Ditatapnya bangunan rumah bernuansa abu yang sebelumnya dipenuhi barang-barang lux, kini tampak kosong sebab semua yang ada telah ditarik oleh Bank. Tawa canda pun bagai angin di siang bolong. Hinggap sekejap dan hilang entah kemana.
Sebongkah tas berada dalam genggaman. Setidaknya itu yang tersisa. Penutup tubuh para penghuni rumah tersebut. Tangisan bocah kecil menjadi satu-satunya suara saat itu. Saat lelaki dewasa yang dipanggilnya ayah tiba-tiba melontarkan akan membawa dirinya dan sang kakak ke tempat sang nenek.
Pilihan nyatanya hanya dimiliki orang yang merdeka dan bebas. Sedang merdeka itu sendiri adalah wujud atas usaha manusia. Kini dia sang ayah hanya bisa pasrah, saat solusi yang diharap tak sesuai rencana. Anak yang seharusnya menjadi harta paling berharga, nyatanya hanya bernilai sebagai bahan pertukaran sebongkah materi.
“Tidak Ayah, jangan tinggalkan kami di sini!” kata Rayyan kecil, namun langkah ayah dan ibunya semakin menjauh. Mereka seolah tuli setelah tas berwarna biru yang diberi sang nenek sampai ke tangan mereka. Rayyan kecil menangis di pelukan sang kakak, sampai seorang wanita tua datang dan membawa mereka ke istana nan megah.
“Rayyan, ada apa? Ka-u menangis?” Sebuah suara mengaburkan cerita masa lalu yang terputar. Ia menatap sepasang mata yang juga sedang menatapnya. Pancaran teduh itu menggambarkan kasih sayang dan rasa khawatir. Rayyan seketika tersenyum.
“Menangis? Kau salah lihat Mima, aku tersenyum. Lihat ini!” Deretan gigi putih berbaris rapi, menambah kesempurnaan di pemilik wajah.
“Ya, kau tersenyum. Cucuku begitu tampan saat tersenyum.”
“Dan kau harus selalu sehat agar bisa melihat senyumku! Mima, berjanjilah tak akan meninggalkanku! Jangan pernah mengucapkan kalimat yang akan menghancurkan ku! Kau selamanya harus ada di sisiku!” Mima kini yang tersenyum.
“Anak nakal! Kematian itu keniscayaan! Tak bisa kau tawar!”
“Jika itu harus terjadi, biarkan aku yang pergi lebih dulu hingga aku tak akan merasakan sakitnya kehilanganmu!” Rayyan mengakhiri kalimatnya dengan mengecup jemari Mima.
Mima memang laksana peri. Hadir membawa sejuta kebahagiaan dan kasih sayang usai badai itu datang. Goresan takdir yang tak ia sukai perlahan menjadi mimpi yang begitu sempurna. Mima memberi apa yang Rayyan dan Alena kakaknya butuhkan. Mima memang bukan orang sembarangan.
"Oke kita sudahi pembicaraan ini. Mima, sekarang tunjukkan kejutan yang telah kau siapkan!” Mima kembali tersenyum.
"Rupanya kau sudah tak sabar hmm?" Rayyan mengangguk.
“Tolong ambilkan amplop putih dalam laci itu!” Rayyan menurut, tak lama amplop putih yang dimaksud sudah berada di tangan Mima.
“Kejutanku ada di sini. Kuharap kau menerimanya dengan suka cita!”
“Boleh aku buka sekarang?” Rayyan menatap amplop yang diletakkan Mima ke tangannya.
“Tentu saja.”
Rayyan membuka amplop dengan sangat hati-hati. Setiap pemberian Mima selalu meninggalkan kesan untuknya. Ia pun tak ingin kehilangan momen spesial itu, tak ingin merusak isi amplop tersebut apapun bentuknya.
“Apakah ini sebuah foto?” tanya Rayyan usai amplop terbuka. Mima mengangguk.
“Foto siapa?”
“Lihat lah!”
Beberapa saat setelahnya.
“I-ni?”
...________...
...Happy reading semua, Sayang kalian banyak-banyak. Jangan lupa like dan komennya yaa ❤...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
꧁☬𝕸𝖔𝖔𝖓𝖑𝖎𝖌𝖍𝖙☬꧂
Rayyan jan galak2 sama Leya, nanti keponakanmu rewel kalo pengasuhnya kamu marahin
2023-11-13
0
🔵🍭ͪ ͩ𝐒𝓊𝓈𝓌𝒶𝓉𝒾 ՇɧeeՐՏ🍻
sekarang mukanya datar .
Nanti jika perasaan cinta datang....maka hanya ada binar bahagia ketika melihat zaleya.
😁😁😍😍😍
2023-11-11
3
Mira Naswati
walahh aku suka yg kek gini 😁
2023-11-10
2