"Jadi, Anda sakit apa?" tanya Meiska sesaat ia mendapati 'suaminya' terkapar di atas ranjangnya dengan posisi tubuh yang rapat tertutup selimut.
Gadis itu benar-benar datang tanpa ada pertanyaan apapun dari pesan yang dikirimkan padanya beberapa menit lalu. Dia membawa beberapa buah-buahan dan bahan makanan untuk dimasak.
"Sakit apa? Kenapa bisa sakit?" gadis itu mendekat setelah diperbolehkan untuk mengecek kondisi tubuh pria itu.
"Tapi, tidak demam." ujarnya saat menyentuh dahi Dion.
"Uhuk, uhuk, flu," ujar Dion yang kedapatan tidak ditemukan tanda-tanda demam alias dia kini hanya mengada-ada.
Gadis itu menaruh curiga, "Tapi, tidak pilek," sanggahnya.
"Sakit perut," adu Dion yang kini memegangi perutnya.
Melihat sikapnya yang memberikan tanda-tanda mencurigakan bagi Meiska, lantas gadis itu pun berkata, "Jadi, sebenarnya Anda itu sakit apa? Demam, flu, sakit perut, atau mungkin komplikasi?"
Mendengar itu, jantung pria itu seakan berhenti sejenak, Dion pun mendesis, "Mengerikan sekali mendoakan orang terkena komplikasi."
"Jadi, sakit apa? Kenapa tidak ke dokter? Kenapa malah memintaku datang? Jelas, aku tidak dapat membantu karena aku tidak bisa mendiagnosis penyakitmu," kata Meiska sejujurnya.
Namun, reaksi pria itu hanya mengendikan bahunya, "Jika kamu menjadi dokter, kira-kira dari kacamatamu, aku ini sakit apa? Apa yang terlihat?" Dion bertanya meminta pendapat Meiska.
Bukan seperti dokter atau ahli medis lainnya, Meiska malah memicingkan matanya seperti seorang detektif yang mencoba memecahkan sebuah kasus rumit, "Dari sudut pandangku, Anda itu sakit bukan karena virus, kuman, atau parasit lainnya. Hem, sepertinya ini bukan penyakit biasa," ujarnya sangat serius seraya menggaruk-garuk dagunya.
"Maksudmu?"
"Aduh, bagaimana, ya, menjelaskannya? Aku orang awam yang tidak tahu tentang medis, tapi ini sungguj terlihat jelas bahwa sepertinya Anda itu mengidap gangguan kesehatan kejiwaan, ish ish ish," kata Meiska menggeleng-geleng tampak serius.
"Apa? Mana mungkin?" ujar Dion tidak percaya.
"Cirinya sangat jelas," kata Meiska.
"Beberapa hari ini, Anda kehilangan nafsu makan, bukan?" terka gadis itu.
Pria itu mengingat-ingat, setidaknya tiga hari ini pria itu tidak menyentuh nasi sama sekali, hanya makanan ringan yang dia dapat dari lemari pendingin itu pun seadanya. Kemudian, pria itu pun mengangguk, "Bagaimana bisa kau tau?"
"Lalu, dari kantung matamu yang menghitam, tanda bahwa Anda sepertinya tidak dapat tidur nyenyak selama beberapa hari ini, betul?"
Lagi-lagi pria itu mengangguk, meskipun ragu.
"Itu karena Anda mengidap insomnia, gangguan tidur yang disebabkan karena stres dan pemicunya adalah karen banyak pikiran. Aku benar, Kan?" tanya Meiska yang seakan menerka dengan lihai.
"Alah, kau hanya menduga-duga saja," ucap Dion meremehkan.
"Tidak, sungguh. Lalu, kamu bilang jika terserang flu dan sakit perut di waktu yang bersamaan. Dalam artikel yang pernah kubaca itu merupakan ciri khusus jika Anda terindikasi gangguan–" kata Meiska dengan ekspresi tambah sangat serius membuat keringat dingin muncul di dahi pria itu sangkin takutnya dengan dugaan self-diagnose dari Meiska.
"Stop, jangan dilanjutkan. Kau malah membuatku takut, aku sehat," ucap Dion yang langsung bangkit seketika dari posisi berbaringnya dengan wajah khawatir.
"Hahaha, jadi, Anda sehat saja kan?" kini gadis itu tertawa seakan rencana untuk menakut-nakuti pria itu berjalan sesuai dengan harapan.
"Aku sehat, hanya kurang fit. Buatkan sesuatu yang bisa dimakan!" perintah Dion setelahnya.
"Katakan saja rindu masakanku, kenapa harus repot-repot berbohong segala?" ucap Meiska mendesis.
"Tidak usah banyak membual, cepat buatkan!" ucapnya lagi menegaskan.
Satu jam lebih dia menunggu makanan tersaji, tetapi tidak ada tanda-tanda jika pintu itu akan kembali diketuk dan gadis itu akan datang membawakan nampan berisi sepiring makanan dan minuman.
"Lama sekali memasak, apa yang sedang kau buat?" tanya Dion yang mendatangi Meiska yang sedang sibuk di dapur dengan alat tempur memasaknya.
"Halo, iya, aku mungkin datang sedikit terlambat karena ini sedang ada urusan," kata Meiska berbicara dengan sesorang di seberang telepon yang dalam keadaan loud speaker aktif.
"Sedang bicara dengan siapa Mei?" tanya Dion yang semakin mendekat.
"Mei, kau sedang bersama siapa?" tanya seseorang dari seberang panggilan.
"Oh, tidak, itu hanya saudara sepupuku," jawab Meiska.
"Sudah, ya, nanti aku akan datang. Tunggu saja," kata Meiska sebelum mematikan sambungan teleponnya.
"Siapa, Mei?" tanya Dion sekali lagi.
"Temanku. Cepatlah makan, aku buatkan krim sup untukmu. Makanlah selagi hangat," pesan Meiska setelah mematikan kompor listrik itu dan ia bergegas akan pergi.
Meiska yang buru-buru seperti dikejar hantu, membuat Dion penasaran dan sedikit tidak rela jika gadis itu pergi secepat itu.
"Mei, mau kemana?" tangganya ditahan saat ia hendak mengambil tas selempangnya di sofa.
"Ah, aku harus pergi karena ada janji dengan temanku," jawab Meiska. Kini Dion sadar jika Meiska berpenampilan berbeda. Dia berpakaian rapi dan tampak bersiap akan menghadiri sebuah acara penting.
"Sekarang? Tapi, aku masih sakit?" kata pria itu memelas, tidak lain supaya gadia itu mau tinggal lebih lama.
"Sakit apa? Sudah kubuatkan sup untukmu. Makanlah, maka kau akan sembuh," kata Meiska.
"Mei," kembali terdengar suara itu yang mengurungkan Meiska yang sudah memegang gagang pintu dan siap untuk keluar.
"Tunggu," kata Dion mendekat.
Semakin mendekat dan menyudutkan Meiska yang sudah di sudut ruangan itu, butuhnya condong ke arah gadia yang kini terkunci oleh kedua lengannya yang mengapit tubuh kecil Meiska di sudut ruangan dekat pintu keluar.
"Apa?" tanya gadis itu cemas saat wajah Dion tepat beberapa sentimeter berada di depannya.
"Boleh aku ikut, Mei?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments