Beberapa hari ia tinggal seorang diri di dalam apartemen itu. Dion, dia merasa hidupnya hampa sejak kepergiaan Syahnaz untuk kedua kalinya. Bahkan, sinar mentari pagi yang masuk dari celah tirai jendela yang tidak tertutup rapat yang menyorot hangat dan lama kelamaan kian memanas menerpa punggung pria itu, tidak ia hiraukan. Hidupnya benar-benar tidak ada rasa ataupun warna karena kini jiwanya kosong seperti tidak bertuan.
Merasa sepi dan sunyi dalam keadaan sendiri, merana yang dirasakan. Tidak ada orang yang benar-benar setia padanya. Kemalasan mengusai dirinya, sudah tidak ada lagi beban tanggung jawab perusahaan yang selama ini ia emban.
Tidak ada lagi hal yang dapat membuatnya senang, tidak ada ambisi melakukan pekerjaan, tidak ada lagi kegiatan mengawasi proyek perusahaan, tidak tahu lagi kemana tempat untuk berpulang, tidak ada kebahagiaan. Hampa.
Dia memutar tubuhnya, menghadap ke sumber cahaya yang menyilaukan, dia melihat satu benda yang sejak tadi berada di samping dirinya dan menanti telepon dari seseorang yang tidak kunjung memberikan kabar, bahkan sudah seminggu wanita itu menghilang.
Dia bangkit, tetapi tidak berniat menurunkan kakinya dari ranjang karena memang tidak ada hasrat untuk melakukan sesuatu apapun.
Ponselnya masih sepi, selain dari beberapa pesan dari kantor yang menanyakan dimana dirinya, bukan bertanya soal pekerjaan, tetapi bertanya keberadaannya karena sebentar lagi harus menghadiri acara peresmian kapan ia akan dicabut dari jabatannya.
"Akh, kacau!" Kesalnya pada situasi sendiri. Dia mengacak rambutnya sendiri, menjambaknya sesekali untuk menyalurkan rasa kesal dalam diri.
Enggan untuk pergi kemana pun, terbesit pikiran untuk menghubungi seseorang.
"Syahnaz," orang pertama yang dia pikirkan untuk kembali dihubungi meskipun sejuta kali ia telah mencoba meneleponnya dan selalu diabaikan, tetapi dia tidak kapok untuk kembali mencoba.
Nyatanya tidak ada yang berubah, panggilan kali ini malah nihil bahkan sambungan berada di luar area.
"Teman," tapi ternyata dia bingung kepada siapa teman yang dia maksud karena sungguh setelah mengenal bisnis dan sibuk dengan pekerjaannya, dia tidak lagi mempunyai teman karib yang bisa diajak bicara selain soal bisnis. Saat ini yang pria itu butuhkan adalah segala sesuatu yang tidak menyangkut soal bisnis atau pekerjaannya.
"Mommy," satu kata yang tercetus selanjutnya karena sang ibu tidak pernah mengabaikannya selama ini meski seringnya butuh waktu untuk dia datang saat dibutuhkan, baginya sang mommy wanita yang selalu ada untuknya walau keberadaaanya tidak selalu ada di sisinya.
"Mom sedang dimana? Aku, aku ingin," ucap Dion terjeda karena enggan melanjutkan kalimat selanjutnya.
"Ingin apa? Kalau mau bicara nanti saja, ya? Mom lagi sama teman-teman mommy, reuni. Gak enak kalau ditinggal telepon, udah ya nanti mommy telepon lagi, bye."
"Sama saja," cetusnya pada akhirnya.
"Tidak ada yang bisa diharapkan," kata pria itu sebelum melemparkan ponselnya menabrak tembok kamar itu.
Pada akhirnya, dia turun dari ranjang karena isi perut yang sudah kosong. Dia memperhatikan ke sekitar, ia sadar jika ruangan itu benar-benar terlihat berantakan karena memang tidak ada yang membereskan.
Setiap langkah, muncul satu per satu ingatan akan seseorang yang mengaku membersikan ruangan ini setiap saat. Dan benar adanya, dia menyadari perbedaan yang ada karena nyata, perbedaan itu sangat kontras.
Hingga sesuatu terjadi di dalam dadanya, afa keinginan untuk mengundang dia datang menemani harinya, tetapi ragu menghubungi dia untuk datang di saat tidak ada keperluan. Hanya sekadar ingin ada teman yang bisa hadir dan ada di sisi.
Entah, timbul secuil semangat untuk dia kembali ke kamarnya, mengambil benda yang nyaris remuk karena terpental menabrak dinding. Untunglah, benda itu masih bisa menyala dan berfungsi dengan semestinya.
Sejuta kali ia berpikir sebelum satu hal terputuskan untuk menghubungi gadis itu dan berharap dia bisa datang dan menemani harinya yang suram.
"Mei, bisakah datang ke apart sekarang?" tulisnya pada chat ke nomor tujuan.
"Oh tidak, bukan seperti itu, jelas kalimat itu seperti suatu permohonan, aku bukanlah orang yang suka memohon kecuali pada Syahnaz, kekasihku."
Kembali dia mengetikan sesuatu di ponselnya, "Mei, datanglah ke apart dan bersihkan seluruh ruangan ini seperti biasanya."
Lagi-lagi Dion menggeleng dan kembali menghapus teks itu dari ponselnya, "Kalimat itu terlalu tidak berperikemanusiaan."
"Mei, datang ke apart sekarang!"
"Tunggu, apakah dia akan membalas, 'untuk apa?' atau 'ada perlu apa?' Oh tidak-tidak, pikirkan kalimat yang benar supaya dia tidak ada kesempatan bertanya atau menolak, Dion." ucapnya pada dirinya sendiri.
"Mei, aku sakit datanglah ke apartemen," tulisnya dan langsung mengirimkannya tanpa berpikir dua kali sebelum mengklik ikon kirim yang mana ia menyesal mengirimkan pesan itu. Namun, terlambat karena pesan itu langsung dibaca oleh Meiska karena saat bersamaan dia pun sedang online.
"Sial, dia langsung membacanya. Baiklah, tidak masalah, chat itu tidak terlalu buruk."
Kini dia merasa gelisah bila saja gadis itu sungguhan datang dan mendapati dirinya dan seluruh penjuru ruangan itu yang sungguh berantakan. Lantas, ia memeriksa suhu tubuhnya sendiri, "Apa benar aku sedang sakit?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments