Chapter 11. Penonton Kelas VVIP

Meiska tidak menjabat tangan itu, ia berpura-pura tidak melihat uluran tangan dan langsung menarik kursi untuk duduk di seberang dua orang itu. Ia juga mengabaikan kursi yang sengaja sudah disiapkan untuknya.

"Kerja apa, Mel? Oh, siapa tadi namanya? Dion mengatakan namamu, hem..." Wanita itu mendudukan diri di  kursi depan Meiska. Bibirnya menipis, matanya menyipit, seakan sedang berpikir keras mengingat siapa nama wanita yang menggantikannya menjadi seorang istri dari kekasihnya.

"Meiska. Iya, aku ingat namamu Meiska. Meiska, apa pekerjaanmu?" tanya wanita bernama Syahnaz itu lagi.

"Serabutan," jawab Meiska tanpa rasa ragu ataupun malu.

Wanita itu mengangguk-angguk, "Kamu tidak akan pernah berniat memiliki Dion, kan?"

Telinga Meiska terasa panas mendengar pertanyaan itu, tetapi dia bisa menguasai emosinya, "Tidak perlu khawatir, kamu memang yang terbaik untuknya. Jodoh adalah cerminan diri, aku rasa kalian memang serasi," komentar Meiska seraya menyeruk nasi ke dalam piringnya.

"Ambilkan untukku dan Syahnaz, Mei. Sekalian," kata Dion memerintah seenaknya.

"Gak, aku bukan pelayan. Ambil saja sendiri, makan minta dimasakkin, nasi minta diambilin. Bayi kah kalian ini? Tidak dewasa sama sekali," cibir Meiska sedikit membanting centong nasi bekas dirinya.

"Kuharap kau tidak lancang, Mei!" ucap Dion malah marah dan tersinggung.

"Ya sudah, aku tidak jadi makan! Kalian memang aneh, banyak waktu yang terbuang sia-sia hanya untuk menuruti permintaan kalian yang tidak jelas," Meiska mendorong kursinya, dia berdiri dan akan segera pergi. Namun, terhenti saat Dion berkata.

"Kesepakatan kita belum selesai, Mei. Jika kau bersikap tidak kooperatif begini, aku akan datang ke rumahmu dan mengatakan jika kau sudah menikah denganku. Kau tahu, ibumu punya riwayat penyakit jantung dan asma, Mei," kata Dion yang mengancam dan seolah-olah tahu tentang seluk beluk kehidupan Meiska.

"Darimana kamu tahu?" tanya Meiska yang membalikkan tubuhnya.

"Tidak penting, datamu semua sudah kukantungi. Makanya jangan macam-macam,"

"Duduk!" lanjutnya memerintah.

"Tidak mau," bantah Meiska.

"Mei!" Bentak Dion memukul meja dan dia berdiri dari tempat duduknya, hingga bunyi kaki-kaki kursi terdengar  berderit nyaring.

Akhirnya, gadis itu menurut dan kembali duduk di meja makan. Sungguh, bukan sekadar makan malam bertiga. Tetapi, Meiska dibuat tambah kesal karena kini dia duduk sendiri di sana, sedangkan kedua orang itu malah pindah tempat duduk di ruang televisi dan bukan lagi kegiatan makan malam yang mereka lakukan, melainkan kegiatan di luar nalar yang tidak tahu waktu dan tempat.

"Ekhem!" Meiska berdehem saat melihat mereka tengah bergulat di atas sofa panjang.

"Hem, mph. Ah!" Suara menggelikan terdengar memaksa saat keduanya terpaksa menghentikan aktivitas bercumbu mereka karena kini Meiska telah mengganggunya tanpa rasa bersalah.

"Apa?" tanya pria yang sedang sibuk dengan kekasihnya.

"Apa lagi yang harus aku lakukan? Aku harus pergi, mau nonton konser," ungkap Meiska.

"Konser?" tanya Dion, dia mengerutkan alisnya.

"Orang kuno tidak perlu tahu apa saja urusan anak muda, aku pamit pergi." pamit Mesika yang sudah siap dengan tas bahunya.

"Tunggu, Mei, kenapa tidak bilang sejak tadi?"

"Gara-gara kalian, aku tidak mau kehilangan uang 10 jutaku karena gagal nonton konser itu!" Ujar Meiska yang kesal karena langkahnya dihentikan untuk ke sekian kalinya.

"Pergi sama siapa?"

"Sendiri," jawab Meiska.

"Aku antar," kata Dion.

"Gak usah! Sama teman," sergah Meiska.

"Yang bener mana? Sendiri atau sama temen?"

"Di sana ada temen," jawab Meiska berkilah.

"Meiska, di sana ratusan ribu orang. Kalian janji ketemu di mana?" Tanya Dion.

"Sayang, kamu tunggulah di sini. Biar kuantar bocah ini atau dia akan membuat kususah kalau hilang nanti," kata Dion mengecup pipi wanitanya. Dia lantas mengambil kunci mobilnya, memakai jas hitamnya, dan menarik tangan Meiska untuk segera bergerak keluar dari apartemen mereka.

Di halaman tempat konser, jauh dari bibir pintu utama terlihat begitu banyak orang yang berjubal di sana.

Saling berdesakan, tetapi tidak membuat Meiska urung atau segan. Dia mau ikut berdesakan demi segera mendapat antrean masuk atau jika bisa, dia akan memotong antrean dengan caranya.

Namun, keadaan tidak berjalan kondusif. Orang-orang yang masih di luar pintu masuk itu tidak bisa diatur, bahkan banyak terjadi saling tendang dan aksi kekerasan lainnya oleh beberapa oknum yang sengaja memancing keributan.

Dion melihat, saat kerah baju belakang gadis kecil itu ditarik paksa dan oleh seseorang sampai dia terjatuh dan berada di barisan belakang.

Terlihat tidak berdaya dan tidak punya tenaga untuk melawan, Dion turun dari mobilnya untuk mencangking Meiska yang masih terbengong seperti anak kecil yang plonga-plongo.

"Dimana temanmu?" tanya pria itu setelah mencangking Meiska dan membawanya ke tempat yang aman.

"Kenapa masih di sini?" Meiska berbalik tanya pada pria yang dengan mudahnya menarik jaket bajunya sampai dia berdiri sempurnya.

"Dimana mereka?"

"Tidak tahu, tapi mereka bilang juga akan datang," jawab Meiska jujur.

Meiska masih saja mencoba mengantre untuk masuk, meski orang-orang di sekelilingnya sudah tidak teratur.

Sedangkan, Dion tahu telapak tangan gadis itu lecet karena terkena permukaan tanah yang kasar.

"Ini semua gara-gara kamu dan pacarmu itu. Jika saja kau tidak menyuruhku untuk belanja dan memasak, aku pasti sudah berada di dalam bersama teman-temanku," kata Meiska menyalahkan Dion atas apa yang telah terjadi padanya.

Tidak ingin membuat gadis itu menggila dan menyita perhatian di tempat ramai itu, Dion segera membekap mulut gadis itu den membawa dia ke mobilnya.

"Ini semua gara-gara kamu, aku menunggu konser itu seja enam bulan lalu. Mengapa kau datang dan seakan merusak semau rencana hidupku, Tuan Dino!"

"Shuttt, diam. Pakai ini!" Dion memberikan sebuah bingkisan berisi kotak.

"Itu hadiah untuk ulang tahun Syahnaz, pakailah dulu dan tutupi wajahmu itu. Cepat," kata Dion memerintah.

"Kenapa masih diam di sini? Cepat ganti bajumu, mau nonton konser, tidak?" tanya Dion.

"Bagaimana aku mau ganti baju, jika kau pun masih di sini dan menatapku sepert itu?" jawab Meiska.

"Keluarlah," perintah Meiska pada akhirnya.

Dion memutarkan bola matanya, baru kali ini ada seseorang yang berani memerintahnya untuk keluar dari mobilnya sendiri.

"Ini tidak mungkin, ini bukan seperti mau ke konser!" Dumal Meiska setelah dia menyadari pakaian apa yang Dion berikan untukknya. Sebuah long dress berwarna navy sepaket dengan sepatu heels dan topi yang besar.

"Ini bukan pakaian konser, ini seperti pakaian bangsawan kerajaan Inggris," tidak hentinya ia mengomel atas penampilannya.

"Sudah nyaman pakai jeans, kaos, dan sneakers. Kenapa mesti pakai beginian di acara konser? Ibu, tolong," rengek gadis itu.

"Ingat, selama kau bersamaku berpenampilanlah seperti ini. Karena kau berperan menjadi istriku, maka kau harus berpenampilan secara elegan," kata Dion.

"Tapi ini mau nonton konser, kan? Bukan kondangan? Atau acara makan malam penting?"

"Bersikap seperti wanita dewasa, Mei. Jangan kekananakan! Oh ya, pasti akan ada media yang menyorot kita, jaga sikap, bersikaplah seolah kita pasangan yang harmonis, dan ingat jangan sampai wajahmu terlihat kamera atau tamatlah riwayat kita," nasihat Dion sebelum mereka keluar dari mobil.

Mereka benar-benar bersikap seperti pasangan bahagia yang baru menikah, tersenyum simpul dan berjalan khusus melalui karpet merah melalui pintu masuk dengan jalur berbeda dengan para calon penonton yang sebelumnya Meiska berdesakan di sana. Bahkan, mereka disambut dengan sangat baik tanpa dimintakan tiket masuk.

"Silakan Tuan dan Nyonya Dion, panggil saja saya jika membutuhkan sesuatu," ucap ramah seorang wanita berpakaian rapi dan formal.

Mereka duduk di tempat yang berbeda, ber-AC, eksklusif, dan berada paling dekat dengan stage sehingga tidak ada yang mengganggu pandangan untuk melihat idola di depan mata.

Meiska menyikut orang yang berada di sebelahnya, "Sebagai apa Anda disambut seperti itu?"

"Aku yang menyeponsori acara ini," ucapnya berlagak.

"Apa?" pekik Meiska tidak menyangka.

"Bersyukurlah kamu diperistri pria kaya dengan segala privilege-nya seperti aku," pongah Dion berkata dengan tatapan datar ke depan.

"Baru kulihat ternyata di acara mega konser seperti ini, bukan hanya idolanya saja yang disambut ramah, tetapi donaturnya juga," kata hati Meiska.

Inginnya gadis itu berdiri dan meloncat seraya bernyanyi bersama dengan idolanya, tetapi satu tangannya terus saja di tahan oleh pria yang duduk di sampingnya, menghentikan keinginan hati untuk segera berteriak menyanyikan lagu-lagu kesukaannya.

"Bagaimana? Sudah puas, bocah? Acara membosankan seperti itu saja hampir kamu tangisi," cibir Dion.

Gadis itu mengerucutkan bibirnya, "Kurang puas, harusnya aku bisa memegang lightstick dan berteriak bernyanyi bersama di tengah-tengah penonton, bukan hanya diam dan duduk selama acara berlangsung. Itu yang membuat suasana membosankan," kata Meiska.

"Lain kali kau bisa melakukan hal gila itu sendiri saat tidak bersamaku."

"Oh ya, memangnya kapan pacarmu ulang tahun?" tanya Meiska saat mobil telah melaju.

"Malam ini,"

"Apa? Kenapa kau masih di sini sudah lewat tengah malam seperti ini?"

"Dia sudah pulang," informasi singkat yang Dion berikan.

"Lalu, bagaimana dengan hadiah gaun ini?" Meiska merasa tidak enak memakai dress yang seharusnya sebagai hadiah ulang tahun wanita itu..

"Sudah bekas pakai, tidak mungkin aku memberikan barang bekas untuknya," jawab Dion yang tentu membuat hati Meiska sedikit lara.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!