Chapter 7. Konflik Pagi Hari

Aroma semerbak omelet yang digoreng dengan mentega, taburan lada, dan sedikit bubuk rosemary menguar memenuhi ruangan apartemen itu. Membuat pria yang sedang tertidur damai kian terusik.

"Sepagi ini kau mengacaukan tidurku?" suara itu menggema, terdengar nyaring di telinga Meiska yang berada di dapur meski belum terlihat seperti apa wujud makhluk yang bersuara itu.

"Maaf, saya lapar. Anda juga mau kubuatkan, Tuan?" tanya Meiska yang menyaut keras di tengah kesibukkan memasak omelet untuk isian roti panggangnya.

"Aromanya saja sudah menyakitkan hidungku. Tidak sanggup aku memakannya," ucap Dion setibanya di dapur, mengambil air dingin dari dalam refrigerator.

Mendapatkan penolakan, tidak masalah bagi Meiska. Dia tidak terlalu memikirkannya, toh tidak menjadikan repot dirinya sendiri.

"Saya makan dulu, silakan Anda mau masak apa terserah." Pamit Meiska membawa sepotong sandwhich isi omelet dan beef.

Sepertinya suatu kesialan menolak tawaran gadis itu karena kini, dia menyesal tidak ada bahan makanan apapun selain telur dan roti tawar di dalam kulkas, sedangkan perutnya kian menjerit minta pertolongan untuk segera diisi.

Gengsi, tidak ingin terlihat lemah dan merendah meminta dia membuatkan makanan yang sama dengan bahan makanan yang ada, sepagi buta itu dia terpaksa harus memesan makanan lewat aplikasi.

Sial, belum ada satu pun kedai makanan terdekat yang buka. Hanya tersedia restoran cepat saji yang jaraknya berpuluh kilo meter dari lokasi.

Menunggu, hanya bisa sabar menunggu makanan yang telah dia pesan beberapa menit lalu. Tersedia beberapa jam entah kapan makanan itu sampai.

Dion mendudukan diri di sofa, di samping dimana mana gadis itu sedang melahap lezat sandwhich-nya dengan posisi setengah berbaring di kursi sofa panjang tempat tidurnya semalam.

Matanya sibuk menelisik layar ponsel dan terkadang diselingi tawa karena konten dagelan yang sengaja dia saksikan di sela mengunyah makanannya.

Kruuyuuk.

Terdengar bunyi perut yang lapar, Meiska menurunkan volume ponselnya. Menatap ke bawah, mencari dimana sumber suara itu berasal.

"Lapar? Hahaha, sudah kubilang masak sendiri semau Anda, Tuan. Dengan telur dan roti tawar, terserah mau dimasak seperti apa kalau tidak menjadi sandwhich?" sindir Meiska, lantas gadis itu mengubah posisi berbaringnya menjadi memunggungi pria yang duduk tidak jauh darinya.

Grab!

Suara tawa lantas terhenti kala ponsel yang Meiska pegang diambil tanpa seizinnya.

"Buatkan aku sarapan, Mei," titahnya.

"Nggak, berikan ponselku!" pinta Meiska.

"Buatkan dulu,"

"Kembalikan dulu!" Meski Meiska melompat untuk meraih ponsel itu, tetapi tidak juga dapat Meiska jangkau dari tubuh tinggi pria itu.

"Buatkan dulu makanan seperti itu, pastikan rasanya enak dan dapat dimakan, setelah itu ini baru kukembalikan," ujar Dion memukul kepala Meiska dengan ponsel itu, lalu sudah tidak ada kesempatan bagi Meiska untuk meraihnya karena ponselnya telah masuk ke dalam saku celana.

Tidak ada pilihan lain, dia segera membuatkan satu sandwhich yang sama. Bedanya, kali ini dia lebih ber-effort untuk memberikan hasil masakan terbaik supaya hasilnya nyaris sempurna dan dapat dimakan oleh pria itu atau ponselnya tidak akan kembali karena setahu Meiska, pria itu tidak pernah bermain-main dengan kata-katanya.

"Halo. Sudah siap makanannya, Tuan." Berulang kali Meiska mengetuk pintu kamar itu, tetapi tidak ada jawaban dari dalam.

"Halo, Tuan...." ia bahkan ragu menyebutkan nama pria itu, takut jika salah memanggil.

Sedangkan pintu dalam keadaan sedikit terbuka, kesempatan untuk mengintip.

"Tidur!" ucapnya saat melihat seseorang terbaring di atas ranjangnya dengan mata yang tertutup sempurna.

Meiska memberanikan diri masuk, berjalan mengendap-entap tanpa suara. Sampai dapat dia saksikan ponselnya yang mencuat keluar dari saku samping celana pria itu.

Gerakan lambaian tangan dia lakukan di depan wajah si pria, tidak ada gerakan apapun tanda jika pria itu sudah terlelap.

Tot tot. Sentuhan jari telunjuk menekan ujung hidung pria itu, tetapi sama saja dia tidak menunjukkan respons pria itu akan terjaga.

"Pingsan dia," gumam Meiska segera mengambil ancang-ancang.

Satu tarikan pelan ia lakukan untuk mengambil ponselnya, masih aman.

Tarikan kedua, ada pergerakan sedikit yang mengintai dirinya.

Hampir Mei, cepatlah. Selesaikan di tarikan terakhir ini.

Tiga! Slup!

Bruk!

"Syahnaz, ouh cintaku. Kenapa kau baru muncul?"

"Uh, rindunya diriku ini," racau Dion menggebas tubuh Meiska dalam pelukannya.

"Hum, hum!" elak Meiska.

Plak Plak Plak.

"Tllong... Hum!"

Meiska tidak bisa bergerak karena tubuhnya terkunci di dekapan pria yang dalam kondisi setengah sadar.

Lengan pria itu terus dipukul bahkan mulut gadis itu dibekap dengan lengan besarnya.

"Syahnaz, lama kita tidak bersama seperti ini. Kamu kemana saja, Sayang?"

"Sudah lama kita tidak bercinta,"

Sontak mata gadis itu membulat mendengar pernyataan yang terdengar menggelikan itu di telinganya.

Tanpa tedeng aling-aling, dan, ya! Kriuut!

"Akhhh!!!" Meiska mengigit kuat lengan pria yang sejak tadi membungkam mulutnya dan hampir mencekiknya.

Mereka seketika sama-sama bangkit dan berdiri dari posisinya.

"Gilak! Mau apa kau ada di sini?!"

"Dasar wanita penggoda!" tuduh Dion.

"Hah? Apa Anda bilang?" Tantang Meiska berkacak pinggang.

"Tuan.... Hem," bahkan gadis itu terlihat konyol di tengah situasi yang serius itu karena sampai sekarang dia tidak mengenal pasti siapa pria yang menjadi suaminya itu dan siapa namanya.

"Yak, Tuan Dino yang terhormat," Meiska mengacungkan telunjuknya ke depan wajah Dion.

"Anda yang berniat bejat bertindak kurang ajar kepada saya, kenapa saya yang dituduh penggoda, Tuan Dinosaur!" tudingnya pada pria yang masih mengusap wajahnya yang penuh keringat.

"Jangan salahkan aku yang tidak sadar, kau yang bersalah! Tidak mungkin ini terjadi kalau kau tidak lancang masuk ke kawasanku!" ucap Dion marah-marah.

"Kawasan dia bilang? Benar-benar, ya? Dia bukan sembarang Dino seperti dinosaurus, tapi ini T-rex."

"Ternyata kau tidak ada bedanya dengan wanita murahan di luaran sana yang sukanya menggoda pria dewasa," tunjuk Dion entah kemana.

Amarah Meiska sudah tidak bisa lagi ditahan, "Apa?! Kau menuduhku murahan? Aku bukan Syahnaz, wanita yang biasanya kau tiduri sesuka hati! Aku ke sini hanya ingin mengambil ponselku, tidak lebih. Tidak ada niat pun untuk menyerahkan harga diriku pada pria sepertimu!" Setelah berteriak, Meiska menyergap ponselnya yang berada di atas ranjang itu dan bergegas keluar dari kamar itu.

Namun, sebelum benar-benar pergi, Meiska membalikkan badannya. Dengan tatapan sewot dan wajah yang merah padam, dia berucap dengan serius, "Jangan harap aku akan ikut dengan Anda di acara akhir pekan itu, aku sudah punya janji yang harus kutepati!" ketusnya, lalu pergi.

Dion terpaku sesaat, menatap gadis kecil yang disangka seperti anak kelinci ternyata bisa segarang singa betina saat marah.

"Siapa gadis itu, mengapa bukan terlihat seperti sembarang gadis muda yang biasa?" pertanyaan yang terlintas seketika saat melihat sikap gadis yang dia nikahi tanpa suatu pengenalan.

"Sepertinya, aku de javu dengan sikap perempuan seperti itu, tapi dimana?" ucap Dion yang larut dalam pikirannya yang seperti untaian benang kusut mengingat kejadian seperti ini yang sepertinya sudah pernah terjadi di masa silam.

Bersambung....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!