Bab 17.
Pesta pertunangan antara Raven dan Vanessa akan diadakan hari ini. Pesta yang mengambil tempat di taman belakang Hotel “Harrington” yang mewah. Pesta yang disebut sebagai Pesta Taman, karena para tamu tidak usah duduk mengelilingi meja, melainkan bebas untuk berkeliaran ke sana ke mari di sekitar taman itu.
Aneka hidangan telah dipersiapkan di stan-stan khusus yang masing-masing menyediakan makanan khasnya. Para tamu bebas memilih makanan apa saja yang mereka sukai.
Claire duduk seorang diri di kursi yang agak tersendiri. Matanya terus memandang pada sosok Raven di kejauhan yang sedang sibuk menyambut para tamu yang datang. Senyum di wajahnya seolah-olah bukan senyum yang bahagia, melainkan senyum yang dipaksakan untuk menyenangkan hati para tamu.
Claire teringat pembicaraannya dengan Raven seminggu lalu.
“Aku memutuskan untuk tetap menikah dengan Vanessa, walaupun tidak dalam waktu dekat ini. Tetapi aku telah menyiapkan rencana untuk mengadakan pesta pertunangan dulu, seperti saran Vanessa.”
“Lalu berarti, kau akan pindah dari rumah ini setelah kau bertunangan dengannya?”
“Iya. Aku kan sudah memiliki sebuah villa di dekat pegunungan yang kubeli dua tahun lalu. Kukira kami bisa tinggal di sana nanti setelah menikah. Bahkan sekarang Vanessa sudah tinggal di sana sambil menunggu hari pertunangan kami.”
“Villa di dekat pegunungan?” ulang Claire berusaha mengingat.
“Benar, kau pernah kuajak melihat-lihat ke sana setahun yang lalu bukan? Apa kau sudah lupa?”
Bukannya menjawab, Claire malah balik bertanya. “Apakah betul sekarang Vanessa sudah tinggal di sana?”
“Betul,” jawab Raven.
“Menurutmu, villa itu cocok untukmu dan Vanessa nantinya? Tidakkah kau pikir terlalu jauh dari kota dan tempat kerjamu?”
“Apa boleh buat, Claire,” kata Raven sambil mengangkat bahu. “Kukira untuk sementara ini saja, sampai kami dapatkan rumah baru di perkotaan.”
“Kukira tidak ada yang tahu letak villa yang kau beli dan sekarang ditinggali oleh Vanessa itu, karena kau tidak pernah mempergunakannya sebelumnya.”
“Memang tidak,” Raven membenarkan. “Waktu aku membeli villa itu, papamu dan Caroline juga menemaniku ke sana, bertemu dengan pemiliknya yang terdahulu. Kami sekaligus meninjau daerah pegunungan di sana, untuk mengetahui apakah cocok kalau dibuat hotel.”
“Baguslah kalau begitu,” kata Claire.
“Kalau memang keputusanmu sudah bulat untuk bertunangan dahulu dengan Vanessa, aku terima saja. Semoga kau dapatkan hari-hari yang bahagia bersamanya.”
“Terima kasih, Claire, akhirnya kau mau mengerti juga,” ucap Raven.
Dan hari ini, Claire harus merelakan Raven menjadi milik orang lain, bukan miliknya lagi.
“Claire,” entah sejak kapan Raven sudah ada di dekatnya. Sambil berdiri ia berkata dengan gundah. “Entah kenapa sampai sekarang Vanessa belum datang juga ya? Katanya ia akan datang sendiri, aku tidak usah menjemputnya. Aku disuruhnya menyambut para tamu dulu, karena ia harus merias diri dulu dengan secantik mungkin.”
“Sebentar lagi dia juga bakalan datang. Tunggu saja, bukankah villa itu letaknya jauh dari sini? Di daerah pegunungan pula,” kata Claire bernada aneh.
Telepon genggam di saku jasnya Raven berbunyi. Dengan sigap Raven meraihnya dan melihat nomor si pemanggil. “Ya, Vanessa? Kau sudah datang atau belum? Cepat sedikit, para tamu sudah berdatangan sejak tadi, dan mereka terus bertanya karena tak melihat kehadiranmu.”
“Raven, Raven, kau harus ke sini sekarang juga. Ada sesuatu yang terjadi dengan diriku. Tubuhku, wajahku, aku…, aku…,” suara Vanessa terdengar bergetar dan memburu.
“Vanessa, ada apa denganmu?!” tanya Raven cepat. Hatinya tiba-tiba merasa cemas. “Apa yang terjadi denganmu? Kau masih ada di villa?”
“Klik!” sambungan telepon seluler itu pun terputus begitu saja.
“Vanessa!” seru Raven, “Vanessa, Vanessa! Kau masih di sana?” Raven terlihat khawatir.
“Kenapa, Raven?” tanya Claire yang masih duduk di kursi. Ia heran melihat wajah Raven yang gugup setelah menerima telepon dari Vanessa.
“Sesuatu terjadi pada Vanessa, Claire. Aku harus ke sana sekarang.”
“Apa? Kau akan ke sana sekarang? Lalu, siapa yang menyambut tamu-tamumu?” tanya Claire. “Kau jangan menyuruhku yang menyambut mereka ya! Aku tidak sudi harus bermuka manis dan senyum-senyum pada mereka sementara hatiku sedang sedih.”
“Tapi Vanessa menyuruhku segera ke sana, Claire!”
“Suruh saja Caroline!” kata Claire cepat. “Bukankah Caroline tahu letak villa itu? Kalau orang lain, mungkin tidak tahu.”
“Sudahlah, kau dengarkan saja usulku,” kata Claire enteng. “Kau kan bisa menyuruh Caroline menghubungimu nanti lewat telepon genggam sesampainya ia di sana. Tidak ada apa-apa terjadi pada Vanessa. Dia hanya manja saja dan ingin kau datang menjemputnya.” Claire berusaha meyakinkan Raven.
“Baiklah kalau begitu,” kata Raven setelah berpikir sejenak. Ia mencari nomor handphone Caroline, menyuruhnya segera datang menemuinya.
Setelah Caroline datang, Raven berkata padanya untuk ke villa di pegunungan itu, melihat keadaan Vanessa dan menjemputnya datang ke pesta pertunangan mereka ini.
Caroline mengangguk, pertanda akan melaksanakan perintah yang diberikan oleh Raven kepadanya.
Setelah itu Raven kembali melayani para tamu yang datang, sedangkan Claire duduk-duduk saja di kursi. Di bibirnya tersungging seulas senyum yang susah ditebak, entah apa artinya.
* * *
Sementara itu di villa....
“Ohh…, apa yang terjadi denganku?” Vanessa duduk di depan meja rias. Tak henti-hentinya ia memperhatikan sekujur kulitnya yang seperti melepuh.
Tangan, kaki, leher, bahkan wajahnya juga melepuh. Di sana-sini melepuh hingga membuat orang yang bila melihatnya pasti akan merasa jijik.
“Tidak. Ini tidak mungkin,” Vanessa terus-menerus menggumam sendiri.
Tidak ada seorang pun yang sedang menemaninya. Ia memang keras kepala, tidak mau membiarkan orang lain meriasnya seperti saran Raven. Semuanya ia mau kerjakan sendiri.
Sehabis mandi, ia baru saja berpakaian dan hendak mulai merias wajahnya sendiri. Tapi bayangan yang terpantul di cermin meja rias itu seolah bukan dirinya. Karena bayangan itu amat menjijikkan, seluruh kulitnya melepuh, termasuk wajahnya juga. Tidak mungkin wajahnya seperti itu. Karena wajah seorang penyanyi tenar seperti Vanessa, pastilah sangat cantik. Kenapa bisa berubah jadi menjijikkan begitu?
“Ah, tidak, ini pasti bukan diriku,” Vanessa seperti gila memperhatikan bayangan wajahnya sendiri di cermin yang tidak lagi seperti dulu.
Tadi ia menelepon Raven, hendak memberitahukan hal ini. Tetapi ia memutus handphone-nya segera karena ia merasa gugup.
Sebentar lagi Raven pasti datang, pikirnya. Sebentar lagi, karena sudah satu setengah jam lebih sejak ia menelepon tadi.
Bel pintu villa itu berbunyi. Vanessa menyambar sehelai kain yang terletak di atas ranjangnya. Ia menutup wajahnya dengan kain itu, mulai dari bawah mata sampai ke dagu. Setelah itu ia berjalan keluar dari kamarnya dan turun dari tangga lalu berlari-lari kecil menuju pintu utama.
Tangan Vanessa memutar anak kunci dan memegang handle pintu lalu membukanya cepat. “Raven, akhirnya kau….”
Ucapannya tak berlanjut. Matanya memandang terbelalak pada orang yang berdiri di depannya. Ternyata orang itu adalah….
* * *
“Kenapa belum juga ada kabar dari Caroline?” Raven terus menggerutu panjang pendek, karena telepon yang ditunggu-tunggunya sejak tadi belum masuk juga. Ini sudah hampir tiga jam sejak keberangkatan Caroline tadi ke villa.
Merasa tidak bisa bersabar lagi, Raven memutuskan ia saja yang menelepon Caroline. Tetapi bagaikan disengat listrik, handphone Caroline ternyata tidak aktif. Raven mencobanya berkali-kali, tetapi tetap tak bisa. Seketika ia teringat untuk menelepon Vanessa. Ternyata handphone-nya Vanessa juga sama saja, sedang tidak aktif!
Ada apa ini? Pikirnya gelisah. Apa yang terjadi? Raven tiba-tiba teringat sewaktu Vanessa meneleponnya tadi, kira-kira tiga jam lalu. Kata-kata Vanessa adalah, “Raven, Raven, kau harus ke sini sekarang juga. Ada sesuatu yang terjadi dengan diriku. Tubuhku…, wajahku…, aku…, aku…,” Raven tersentak kaget.
Sesuatu yang buruk pasti telah menimpa Vanessa! Ia merasa yakin sekali. Ya, Vanessa dalam bahaya!
Raven berjalan tergesa-gesa mendekati Claire. “Claire, tolong aku sekali ini saja ya, berbincang-bincanglah dengan para tamu. Aku harus menemui Vanessa sekarang juga, karena ia pasti sedang membutuhkanku….”
Ucapan Raven terhenti. Handphone-nya berbunyi. Sebuah SMS masuk. Dari Caroline.
Claire berdiri di samping Raven, melihat isi pesan yang masuk. Mereka berdua sama-sama membacanya,
“Tuan Raven, maaf, Nona Vanessa sudah tewas. Ia menggantung dirinya dengan seutas kain. Segeralah kemari!”
Raven tercengang membaca SMS itu, demikian juga Claire.
Raven mencoba menghubungi lagi handphone Caroline, tetapi tetap tak bisa. Mungkin ada sesuatu hal yang sedang atau telah terjadi, sehingga Caroline cepat-cepat mematikan handphone-nya setelah mengirim SMS.
“Tidak mungkin ini…,” desis Raven. Seluruh persendiannya terasa lemas.
“Kita batalkan saja acara pertunangan ini!” usul Claire. “Sampai sekarang Vanessa toh belum datang juga. Apa menurutmu Caroline berbohong? Benarkah Vanessa sudah tewas?” Claire bertanya-tanya terus, semakin membingungkan Raven.
Raven mengambil inisiatif dengan cepat. Ia berjalan ke podium dan melalui mic ia mengumumkan kepada para hadirin dan tamu yang datang, kalau acara pertunangan antara ia dan Vanessa hari ini dibatalkan. Dan Raven meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Para tamu pun bubar dengan suara riuh rendah dan tanda tanya yang amat besar. Apa sebenarnya yang telah terjadi?
* * *
Mobil ambulans itu datang mengangkut mayat Vanessa. Suara sirenenya yang meraung-raung seolah-olah menandakan ada hal buruk yang telah terjadi. Benar, karena seorang penyanyi tenar ditemukan tewas bunuh diri. Seutas kain yang menggantung di langit-langit kamarnya adalah saksi kepergian Vanessa.
Raven terkulai lesu menatap kepergian mobil ambulans itu. Dua jam lalu ia dan Claire tiba di tempat itu, di villa yang terletak di dekat pegunungan. Villa yang dibelinya dua tahun lalu, kini menjadi saksi kematian seorang penyanyi tenar yang hampir saja menjadi tunangannya.
Vanessa ditemukan dengan kulit wajah dan tubuh yang melepuh. Mungkinkah karena itu ia bunuh diri? Karena tak sanggup menerima keadaan dirinya yang tiba-tiba berubah jadi menakutkan begitu? Bahkan ia tak mungkin sanggup menghadiri pesta pertunangan apapun dengan wajah yang seperti itu.
“Sejak tadi aku tak melihat Caroline,” kata Claire tiba-tiba. “Di mana dia? Bukankah ia yang mengirim SMS padamu? Lalu, ke mana ia sekarang?”
“Caroline?” Raven bagai tersadar. Memang sejak sampai di villa tadi, mereka sama sekali belum melihat Caroline. “Apa? Caroline tak ada? Ke mana dia? Mungkinkah Caroline tiba-tiba menghilang?” Raven kelihatan bingung dan ia berkata-kata sendiri.
Raven mencoba menghubungi lagi handphone Caroline, tetapi masih tak ada hasil. Orangnya menghilang, handphone-nya pun tidak aktif. Ada apa ini? Ke mana perginya Caroline?
Caroline memang tiba-tiba menghilang. Karena sejak kejadian tewasnya Vanessa di villa yang terletak di dekat pegunungan itu, Caroline sama sekali tidak pernah lagi menunjukkan wajahnya, barang satu kali pun.
Selama berhari-hari mereka menunggu kedatangan Caroline, tetapi ia tidak pernah datang memberikan kesaksian, bahkan Hotel Harrington pun seolah sudah kehilangan seorang manajer yang telah memimpin para karyawannya selama belasan tahun.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
zien
hadir💐💐
2021-05-18
1
Whiteyellow
boom like
2021-04-06
1
Dewi Ws
❤❤
2020-11-10
1