Vanessa Hamil

Bab 15.

Satu setengah bulan kemudian...

Claire berlari-lari di tepi pantai itu. Rambut panjangnya melambai-lambai diterpa angin yang mendesau. Kaki-kakinya yang mulus dan tanpa alas, disapu gelombang ombak yang datang dan menyentuh tepian pantai. Kadang ombak itu tiba-tiba membesar dan menghantam batu-batu karang di sekitarnya. Tawa cerianya seolah menyatakan, betapa ia amat bersenang hati sekarang ini.

Raven memperhatikan Claire dari jauh. Dengan setengah berbaring di atas tikar yang dibentangkan di atas pasir putih, ia menjemur diri di bawah terik matahari pagi dengan dada telanjang dan celana short biru sampai ke paha. Air mukanya juga menunjukkan keceriaan yang sama seperti yang dirasakan oleh Claire.

Hari ini hari Minggu. Raven sengaja mengajak Claire berlibur ke salah satu pantai yang paling indah. Di hari ini juga dan di tempat ini, Raven berencana akan menyatakan suatu hal kepada Claire. Ia akan menyatakan isi hatinya dan juga perasaan yang sudah dipendamnya sejak lama.

Belakangan ini Raven terus berpikir dan merenung, sebenarnya bagaimanakah perasaannya terhadap Claire. Setelah mendapatkan jawabannya dan merasa yakin, Raven berencana akan menyatakannya langsung pada Claire hari ini juga. Ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Harus dikatakannya sebelum semuanya terlambat.

Senyumnya mengembang menyambut kedatangan Claire yang sudah puas bermain-main dengan air. Kadang-kadang kalau sudah ke pantai, seseorang bisa tiba-tiba berubah seperti anak kecil lagi. Demikian juga Claire, pikir Raven.

“Sudah puas main-mainnya, Nak?” Raven memperolok Claire.

“Ah, kau…!” Claire mengambil tempat berbaring di samping Raven dan ia mencubit perut Raven.

Merasa geli, Raven memegang perutnya sendiri dan berseru spontan, “Auww…!”

“Awas ya, kalau kau berani lagi mengolokku,” ancam Claire bercanda.

Mereka sama-sama tertawa, dan sama-sama berbaring. Tubuh mereka telentang menghadap pada sinar matahari pagi yang terasa menghangatkan kulit.

Claire menikmati saat-saat seperti itu, karena ia merasa sudah lama sekali ia dan Raven tidak berlibur lagi seperti dulu. Jangankan berlibur bersama, malah saat bertemu pun mereka bagaikan sedang perang dingin saja. Tidak akrab dan mesra lagi seperti dulu.

Tetapi hari ini, Raven ingin mengubah segalanya. Ia ingin memiliki kembali hari-hari mereka yang indah dulu, yang sempat hilang belakangan ini. Ia ingin mereka bisa seperti dulu lagi. Selalu bersama, ke mana-mana selalu berdua, berlibur ke mana saja yang mereka suka, berbagi cerita, tawa dan canda.

Dan tentu saja yang terutama, Raven ingin Claire tahu isi hatinya selama ini. Juga perasaan yang dipendamnya sekian lama. Hari ini juga ia telah bertekad bulat untuk mengatakannya pada Claire, apa pun yang terjadi.

Pertama-tama, ia akan meminta kejelasan dari Claire, tentang hubungannya dengan Kyle, yang akhir-akhir ini selalu akrab dan seolah menyisihkan posisi Raven di sampingnya.

Yang kedua, ia akan menyatakan perasaannya pada Claire, tak perduli bagaimanapun penjelasan Claire atas hubungannya dengan Kyle.

Lalu yang ketiga, ia akan mengajukan suatu permintaan yang paling spesial pada Claire, yang tidak akan pernah disangka oleh gadis itu sebelumnya.

Dan yang terakhir, Raven akan menunggu Claire memberikan jawabannya, saat itu juga, hari itu juga. Ya atau tidak?

“Claire…,” Raven memulai misinya. Mereka masih berbaring menghadap matahari.

“Ya?” Claire menunggu Raven yang dirasanya seperti ingin mengutarakan sesuatu.

“Bagaimana hubunganmu dengan Kyle akhir-akhir ini?” tanya Raven hati-hati.

“Baik,” jawab Claire singkat.

“Memangnya kenapa?” Claire menoleh, ia masih belum bisa menebak apa maksud Raven bertanya demikian. Jangan-jangan Raven hendak menjodohkannya dengan Kyle, pikirnya sederhana.

“Mmm…, baiknya itu bagaimana? Maksudku, sebaik apa?”

“Ya, baiklah begitu, kami kan rekan kerja yang cocok,” kata Claire cepat. “Kyle juga amat sabar, teliti, dan melindungiku ke mana saja aku pergi. Apa pun yang kuperintahkan, pasti akan dia kerjakan dengan sebaik mungkin. Karena itu aku merasa tidak bakal menggantikannya dengan asisten lain.”

“Asisten?” Raven seolah mendapat angin. “Maksudmu, Kyle hanya sebatas seorang asisten bagimu? Tidak lebih?”

“Selain asisten, aku juga sudah menganggapnya seorang teman baik,” aku Claire jujur.

“Hanya seorang teman baik?” ulang Raven tak percaya.

“Ya, memang hanya seorang teman baik,” jawab Claire pasti. “Aduh, kau ini kenapa sih? Kok dari tadi terus menanyaiku tentang Kyle? Memangnya kau curiga apa padanya?”

“Tidak, tidak kenapa-kenapa. Aku cuma ingin tahu saja,” Raven menarik napas lega. Ternyata prasangkanya selama ini tidak benar. Hubungan antara Claire dan Kyle memang hanya sebatas rekan kerja, atau kalau pun lebih, sebatas teman baik. Tidak lebih dari itu.

“Aduh, aku merasa haus nih,” kata Claire tiba-tiba. “Aku ke sana dulu ya beli minum,” Claire bangkit dari tidur-tidurannya di atas tikar itu, dan hendak berjalan ke salah satu tempat yang agak jauh dari situ, tempat orang menjual minuman.

“Biar kubelikan untukmu?” tawar Raven melihat Claire yang sudah bersiap-siap pergi.

“Tidak usah,” tolak Claire, “Aku bisa pergi sendiri. Aku ingin menikmati sesaat lembutnya pasir putih di atas kakiku yang tidak beralas ini,” ucapnya seolah berpuisi.

“Ya, pergilah,” senyum Raven. “Cepat balik ya! Ada suatu hal penting yang ingin kukatakan padamu,” pesannya dengan mimik serius.

“Apa itu?” tanya Claire ingin tahu.

“Nantilah, nanti saja kalau kau sudah beli minum dan melepas dahaga, baru kukatakan padamu. Ingat lho, ini penting sekali,” kata Raven seolah bercanda.

“Aku pasti balik secepatnya, tunggu aku ya…!” Claire bergegas pergi meninggalkan Raven yang masih berbaring di atas tikar yang terbentang di atas pasir putih di pantai itu.

Raven menatap kepergian Claire dengan seulas senyum lega.

Tampaknya ia berpeluang besar untuk memiliki Claire seutuhnya. Senyumnya berhenti ketika telepon genggam yang tergeletak di sampingnya di atas tikar itu berbunyi.

Dengan sekali raih, telepon genggam itu sudah berpindah ke tangannya. Ia melihat nama si pemanggil yang tertera di layar. “Vanessa!” hatinya merasa kaget sekaligus heran. Kenapa Vanessa tiba-tiba menghubunginya? Padahal mereka tidak pernah saling kontak lagi setelah Vanessa check-out dari hotel “Harrington”, dan melanjutkan perjalanannya ke kota lain dengan pesawat terbang.

Vanessa pernah berkata padanya, kalau sekeluarnya dari hotel itu, ia akan langsung melanjutkan tur menyanyinya ke kota-kota lain selama dua bulan, bersama dengan penyanyi-penyanyi yang lain. Jadi tentu Vanessa akan sangat sibuk dan mungkin saja sudah melupakannya. Kenapa sekarang bisa tiba-tiba menghubunginya lagi?

“Ya, Vanessa?” Raven berdiri dari tikar itu. Sambil meletakkan handphone di samping telinganya, ia berjalan ke tempat yang agak jauh dari suara deburan ombak.

“Raven. Memang aku ini Vanessa. Aku gembira sekali, ternyata kau masih belum melupakanku. Kau masih menyimpan nomor hp-ku?”

“Iya, tumben kau mencariku. Ada apa? Bagaimana dengan tur menyanyimu? Sukses atau tidak?” tanya Raven.

“Masih setengah bulan lagi baru berakhir turnya,” jawab Vanessa.

“Sejauh ini tampaknya sukses. Tetapi bukan ini yang ingin kukatakan padamu, Raven. Hari ini aku meneleponmu karena aku ingin bicara sesuatu denganmu. Bicara tentang kita.”

“Kita?” Raven mengulangi kata itu. “Memangnya apa ada yang perlu dibicarakan di antara kita? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mengungkit lagi hal yang sudah terjadi? Sebenarnya, aku ingin minta maaf atas kejadian malam itu. Seringkali aku terpikir untuk meneleponmu dan meminta maaf, tetapi karena sibuk, aku jadi lupa lagi,” alasan Raven.

“Tak apa-apa, Raven, kalau kau memang benar sibuk. Asal bukan karena kau memang sudah ingin melupakanku begitu saja. Kumohon, Raven, kau jangan mencampakkanku kelak, karena sekarang aku sudah hamil, dan ini adalah anakmu!”

Kalimat yang diucapkan oleh Vanessa dengan suara serak itu, dirasakan Raven bagaikan petir yang menggelegar di siang bolong.

Tak ada angin, tak ada hujan, dan tak ada badai, tiba-tiba Raven merasakan tubuhnya bagaikan terombang-ambing.

Bukan tubuhnya saja, melainkan pikiran dan perasaannya pun tiba-tiba menghentak keras. Vanessa hamil? Benarkah itu? Lalu, siapa ayah dari anak yang ada di dalam kandungannya? Apakah benar dirinya?

“Ah, kau ini bicara apa, Vanessa? Kau bercanda, ya?” suara Raven bagaikan tak percaya.

“Aku tidak mungkin bercanda untuk hal ini, Raven,” kata Vanessa parau. “Hampir sebulan aku terlambat. Mulanya sudah ingin kucek ke dokter sejak seminggu lalu, tetapi karena jadwal turku amat padat, aku jadi tidak sempat. Tapi tadi pagi-pagi sekali aku kebetulan melihat sebuah klinik 24 jam di dekat hotel tempat rombongan kami menginap. Aku sempatkan diri ke sana. Dan kau tahu apa hasil test-nya? Aku positif hamil! Kau harus bertanggung jawab, Raven. Karena kau adalah satu-satunya laki-laki yang pernah menjamahku. Aku tidak mau anak ini lahir tanpa seorang ayah! Bagaimana nanti reaksi para penggemarku mengetahui hal ini? Seorang penyanyi tenar yang sebelum ini belum pernah diterpa gossip, tiba-tiba hamil di luar nikah?!”

Raven merasa hatinya bergejolak mendengar penuturan dari Vanessa itu. Antara kaget, bingung, resah, dan gelisah, Raven berucap pelan, “Vanessa, tunggu dulu…, ini terlalu mendadak. Aku tidak bisa berpikir secepat ini, berikan aku waktu ya? Kumohon…,” suara Raven bagaikan tersekat di kerongkongan.

“Baiklah, Raven,” putus Vanessa. “Kutunggu kau meneleponku balik setengah jam lagi! Ingat ya, kau harus meneleponku, jangan sampai tidak,” lalu sambungan telepon seluler itu pun diputus begitu saja, tak perduli pada reaksi Raven yang masih bimbang dan gemetaran. Katanya laki-laki sejati, harusnya bertanggung jawab dong! Jangan lari begitu saja!

“Hei…!” pundak Raven ditepuk dari belakang. Raven terkejut karena barusan saja ia memutus handphonenya dan Claire sudah ada di belakangnya, entah sejak kapan.

“Oh, Claire, kau rupanya, kukira siapa. Ini tadi telepon dari Vanessa,” beritahu Raven dengan sendirinya, karena ia melihat Claire sudah memergokinya baru habis berbicara dengan seseorang di handphone.

“Ada masalah?” selidik Claire. Sebenarnya, ia tidak tertarik mendengar penuturan Raven tentang Vanessa, apalagi di saat-saat seperti ini, tetapi ia melihat raut wajah Raven seolah menanggung beban.

“Oh, tidak,” bohong Raven. “Ia bilang kalau turnya akan berakhir setengah bulan lagi, dan sampai sejauh ini sudah terbilang sukses. Oh iya, mana minuman yang kaubeli tadi?” tanya Raven mengalihkan perhatian dari Claire.

“Ini untukmu,” Claire menyodorkan segelas minuman juice untuk Raven. “Aku sudah minum di sana tadi. Aku tergesa-gesa lho, habis katamu tadi akan mengatakan suatu hal penting padaku. Sekarang aku sudah siap mendengarnya.”

Raven hampir tersedak oleh minuman yang sedang disedotnya. “Apa katamu?” tanyanya linglung

“Bukankah tadi kau bilang akan mengatakan suatu hal penting padaku? Nah, sekarang kan aku sudah minum dan tidak merasa haus lagi, jadi sudah siap mendengar hal penting itu. Ayo, katakan saja!” bujuk Claire sambil berjalan.

“Oh, hal itu....,” Raven menyembunyikan wajah dan perasaannya dengan cara menunduk. Ia terus menyedot minuman juice di gelasnya. “Sori, Claire,” katanya lesu. Mereka berjalan berdampingan menuju tikar tempat berbaring tadi. “Tiba-tiba aku merasa tidak enak badan dan kehilangan mood. Aku tidak bisa mengatakannya sekarang.”

Claire menghela napas kecewa. “Apa karena telepon dari Vanessa tadi?” tebaknya asal-asalan.

Ia dan Raven sudah sampai di tikar, dan mereka duduk di sana berhadapan.

“Bukan, bukan itu,” Raven meletakkan gelas itu di atas tikar “Aku hanya merasa belum tepat mengatakannya sekarang. Lain kali saja ya, Claire. Lain kali aku pasti mengatakannya padamu. Aku janji,” Raven menaikkan jari kelingkingnya untuk saling berkait dengan Claire.

Claire diam sejenak, tampak berpikir sebentar. Lalu dengan senyum yang dipaksakan, ia balas mengait jari kelingking Raven. “Ya, tak apalah,” katanya berat. “Walaupun sebenarnya aku masih merasa penasaran. Kalau kau merasa tidak enak badan, sebaiknya kita jangan berlama-lama di sini. Kita pulang saja sebentar lagi, okey?”

“Jangan, Claire!” kata Raven. “Kita kan belum lama di sini. Masakan kau mau liburan kita ini terganggu hanya gara-gara aku? Sudahlah, aku tak apa-apa kok. Sebentar lagi juga baik.”

“Benar, kau tak apa-apa?” selidik Claire agak khawatir.

“Tidak apa-apa, Nona Besar,” Raven berusaha tersenyum dengan mengacak-acak rambut Claire yang duduk di depannya.

Ketika gadis itu mengalihkan pandangannya ke tempat lain, dengan cepat Raven mematikan handphone-nya, supaya tidak bisa lagi telepon masuk. Apalagi dari Vanessa!

* * *

Terpopuler

Comments

Nailil Ilma

Nailil Ilma

like like💜

2021-07-23

1

zien

zien

Hadir ❤❤

2021-06-17

1

Dewi Ws

Dewi Ws

❤❤

2020-11-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!