Raven Hendak Menikahi Vanessa

Bab 16.

“Nona, Anda tidak boleh masuk, Nona!” petugas keamanan itu berusaha menghalangi langkah-langkah kaki wanita itu yang berjalan menuju ruang kerja Raven di Hotel “Harrington”.

“Tolong Anda minggir ya, aku peringatkan, kalau tidak Anda akan berurusan dengan Tuan Raven nanti,” ancam wanita itu bernada marah, sepertinya ia sedang emosi berat.

“Justru aku akan dimarahi Tuan Raven jika sampai tidak mencegah Anda memasuki ruang kerjanya. Karena setiap tamu yang ingin bertemu dengan Tuan Raven, harus membuat janji dulu. Anda bahkan menerobos begitu saja setelah menanyai resepsionis tadi. Tolong mengertilah, Nona…,” petugas itu terus menghalang-halangi jalan wanita itu.

Tetapi wanita itu seolah tidak takut sedikit pun melihat beraneka macam senjata yang melekat di baju seragam petugas di depannya itu. Ia terus berjalan selangkah demi selangkah, sehingga mau tak mau petugas itu pun mundur selangkah demi selangkah sambil terus-menerus mengeluarkan kata-kata yang mencegah.

“Jangan, Nona!”

“Minggir…!” wanita itu berseru lantang. Ia sudah sampai di depan pintu ruang kerja Raven, dan…, “Driiit…,” bunyi pintu berderit menandai terbukanya pintu itu lebar-lebar.

“Nona, sebaiknya Anda pergi sekarang, kalau tidak aku akan berlaku kasar…,” petugas itu sudah kehilangan kata-kata untuk mencegah wanita itu masuk.

“Ada apa ini ribut-ribut?” suara Raven terdengar memecah suasana tegang di antara wanita dan petugas itu yang saling ngotot.

“Ini aku!” wanita itu menerobos masuk dan berdiri di ambang pintu, menatap tajam pada Raven yang sedang duduk di meja kerjanya.

“Tuan, maafkan saya, Nona ini memaksa untuk masuk,” kata petugas itu kesal.

Raven menatap wanita yang sekarang sudah ada di depannya, bahkan wanita itu berjalan semakin dekat ke arah mejanya. “Vanessa?!” seru Raven antara kaget dan tak percaya.

“Ya, ini memang aku, Vanessa!” wanita itu berkata ketus. Hilang sudah sikap lembutnya, seperti yang dikenal oleh Raven selama ini.

“Vanessa, kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Raven heran. Ia memberi isyarat pada petugas yang berdiri di samping Vanessa. “Tidak apa-apa, Pak. Anda boleh pergi sekarang. Ini adalah temanku, Nona Vanessa.”

Petugas itu mengangguk sedikit lalu berjalan pergi. Tinggallah Raven dan Vanessa di dalam ruangan itu.

“Duduklah Vanessa,” Raven bangkit dari kursinya, dan ia berjalan ke arah sofa yang terletak di tengah ruangan itu.

Vanessa berjalan angkuh mengikuti Raven, lalu ia duduk di sofa, berhadapan dengan Raven. Ia tunggu Raven yang bicara duluan.

“Kenapa kau tiba-tiba datang mencariku?” tanya Raven seolah-olah merasa heran.

“Kenapa?” Vanessa membelalakkan matanya yang indah. “Kenapa katamu? Coba ulangi sekali lagi?” sindirnya tajam.

“Sori, Vanessa. Kalau ada hal yang hendak dibicarakan, sebaiknya kita bicarakan baik-baik, jangan sampai terbawa emosi begitu,” kata Raven. Ia melihat wajah Vanessa seperti merah menahan amarah.

“Bagaimana mungkin aku bisa bicara baik-baik dengan orang seperti kau!” kesal Vanessa. “Kusuruh kau menghubungiku dalam waktu setengah jam setelah aku memutuskan handphone. Tetapi jangankan menghubungiku, bahkan sampai setengah bulan ini aku yang terus-menerus menghubungi handphone-mu tapi tidak pernah aktif, dan kau juga tidak pernah sekali pun mengontakku. Begitu tega hatimu membiarkan aku menunggu dan terombang-ambing begitu saja? Kau tahu tidak, kemarin tur panjangku selama dua bulan baru berakhir, dan hari ini aku sempatkan datang mencarimu.”

“Kenapa kau harus tergesa-gesa begitu?” sesal Raven. “Kau kan harusnya beristirahat di rumah dulu. Maaf, secara tidak sengaja handphone-ku hilang entah ke mana. Jadi aku pakai nomor baru dan aku tidak bisa menghubungimu lagi karena aku tidak hafal nomor handphone-mu. Banyak data-data yang ikut hilang, termasuk nomormu,” terang Raven.

Entah benar entah tidak, hanya dia sendirilah yang tahu. Mungkin ia jujur, mungkin juga ia bohong dengan sengaja mengganti nomornya, supaya tidak bisa lagi dihubungi oleh Vanessa.

“Sekarang hal itu tidak penting lagi bagiku,” kata Vanessa. “Karena hari ini aku sengaja datang mencarimu, khusus untuk meminta pertanggungjawaban darimu! Kau harus menikahiku, Raven. Secepat mungkin, walau apapun yang terjadi!”

“Vanessa, kau tidak boleh bicara semudah itu,” kata Raven. “Aku tidak mungkin memenuhi permintaanmu dalam waktu yang sesingkat ini.”

“Jadi, kau mau lari dari tanggung jawab?” tanya Vanessa bernada marah.

“Bukan begitu, Vanessa,” sangkal Raven cepat. “Aku akan menikahimu nanti, tetapi bukan secepat ini. Setidaknya berikan aku waktu untuk bicarakan hal ini dengan Claire dan membuat persiapan. Kau tahu kan maksudku? Aku tetap akan menikahimu, tetapi tolong, bersabarlah, beri aku waktu.”

“Baiklah, jadi kapan kau bisa?” tanya Vanessa.

“Setelah aku bicarakan dengan Claire, aku akan beri jawabannya padamu,” janji Raven.

“Okey, aku akan tunggu kabar darimu!” Vanessa bangkit dari duduknya. “Aku memang mencintaimu, Raven, walaupun kau telah mengecewakan hatiku. Demi anak yang ada di dalam kandunganku ini, aku tidak mau ribut-ribut denganmu. Tetapi kau juga harus memahami posisiku yang sulit. Kalau para penggemarku tahu aku hamil tanpa tahu siapa laki-laki yang harus bertanggung jawab, mereka pasti akan menertawakanku. Setidaknya kita harus bertunangan dalam waktu dekat ini supaya mereka mengenal dirimu, jadi mereka pun akan beranggapan kalau anak yang kukandung adalah anakmu.”

Vanessa membalikkan tubuhnya dan berjalan beberapa langkah menuju pintu. Ia membukanya perlahan, tapi menutupnya cukup keras.

Tinggallah Raven yang tepekur menatap kepergian Vanessa. Ia merenungi dirinya sendiri yang sudah telanjur melakukan suatu kesalahan. Rasanya ia ingin memperbaiki kesalahan itu, tetapi tampaknya sudah terlambat, karena bakal ada yang tersakiti, dan orang yang akan tersakiti itu adalah Claire, wanita yang sangat dikasihinya.

 * * *

“Hei, Claire, sudah lama kau tidak ke sini?” Raven menemui Claire yang sedang berada di lab pribadinya di rumah besar itu. Malam ini, Raven berencana akan mengatakan prihal dirinya dengan Vanessa.

“Ya, Raven,” balas Claire sambil menoleh sekilas, lalu kembali menekuni pekerjaannya. “Memang sudah lama aku tidak melakukan percobaan-percobaan seperti hobiku dulu. Kesibukan di perusahaan akhir-akhir ini menyita banyak waktuku.”

Raven berjalan mendekati Claire yang sedang memunggunginya. “Apa yang kaukerjakan dengan cairan-cairan itu?” tanya Raven ingin tahu.

Matanya menatap tak mengerti pada berbagai macam cairan di dalam gelas dengan warna-warni beraneka ragam. Cairan-cairan itu berjejer rapi di atas meja percobaan. Claire berdiri di tepi meja itu, sementara tangannya dengan leluasa mencampurkan cairan itu satu persatu.

“Aku harus hati-hati,” kata Claire. “Kalau salah campur, nanti bisa meledak.”

“Ohya?” Raven merasa surprais.

Tak berapa lama kemudian, Claire siap dengan percobaannya. “Ilmu Kimia adalah jurusanku di Fakultas. Sayang kan kalau tidak dipergunakan dan dibiarkan begitu saja? Lama-lama aku bisa lupa lho. Nah, sekarang aku sudah siap.” Claire membereskan sisa-sisa percobaannya, menanggalkan sarung tangannya, lalu mencuci tangannya di wastafel.

Raven memperhatikan gerak-gerik Claire itu. Setelah Claire selesai mengelap tangannya, barulah Raven angkat bicara, “Sebenarnya, aku ingin mengatakan suatu hal padamu, Claire” katanya hati-hati.

“Ohya?” Claire tertarik. Ia merasa mimik wajah Raven lain dari biasanya. “Hal apa itu? Apakah sama dengan hal yang ingin kaukatakan padaku di pantai tempo hari, tapi tak jadi?” Claire mengambil tempat duduk di salah kursi di lab itu.

Raven berjalan mengikutinya, menggeser kursi yang ada di samping Claire, lalu duduk berhadapan dengannya. “Bukan, bukan itu,” katanya cepat.

“Lalu apa?” tanya Claire ingin tahu.

Dengan wajah bimbang, Raven melanjutkan, “Walaupun aku tak tahu bagaimana tanggapanmu nanti atas hal ini, tetapi aku harus mengatakannya sekarang juga, Claire. Karena ini sangat mendesak.”

“Kalau begitu, katakanlah,” pinta Claire. Matanya menatap Raven dalam-dalam, seolah ingin menerka apa yang sebenarnya akan diutarakan oleh laki-laki di depannya itu.

Hening sesaat. Raven seolah sedang mengumpulkan seluruh keberanian untuk mengutarakan hal ini di depan Claire. Setelah terdiam beberapa saat dan mengatur nafas dalam-dalam, akhirnya ia pun berkata, “Aku akan menikah dengan Vanessa.”

Claire tersentak. “Apa? Apa katamu?” tanyanya sambil memicingkan mata. “Coba ulangi sekali lagi?” Telinganya mungkin salah dengar.

“Aku akan menikah dengan Vanessa!” ulang Raven. “Aku akan menikahinya segera!” lantang suara Raven.

Claire menggeleng-geleng tak percaya, karena jelas sekali nama wanita yang disebutkan oleh Raven itu. Ia tak mungkin salah dengar kali ini.

Dengan tak berdaya, Claire menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Di sudut bibirnya terukir seulas senyum pahit.

Kepalanya terkulai layu. Setelah diam sesaat, ia membuang napas yang tiba-tiba terasa menyesaki dadanya.

Apa yang dikatakan oleh Raven barusan? Ia akan menikah dengan Vanessa? Dengan Vanessa, penyanyi yang baru dikenalnya selama dua bulan lebih belakangan ini? Kenapa harus dengan Vanessa? Kenapa bukan dengan dirinya, Claire Harrington yang telah menemaninya dalam suka dan duka selama sepuluh tahun lebih?

Ah, Seandainya saja tadi nama yang diucapkan oleh Raven adalah namanya, dan bukan nama Vanessa, pastilah sekarang ia akan sangat berbahagia. Dan tidak akan merasakan kecewa dan kacau seperti saat ini.

“Kenapa, Raven? Kenapa harus dengan Vanessa?” tanya Claire sambil mengangkat kepalanya, matanya menatap tak mengerti pada Raven.

Dengan sisa-sisa keberaniannya yang terkumpul tadi, Raven menjawab pasrah, “Karena Vanessa sedang mengandung anakku.”

Sekali lagi, Claire tersentak. Tetapi kali ini ia mencoba lebih tegar. Ia tidak ingin tampak sebagai makhluk yang kalah di hadapan Raven. Ia benci bila Raven mungkin saja sedang menertawakan dirinya yang seolah amat terpukul. Ia tidak ingin Raven mengira, bila dirinya adalah segalanya bagi Claire. Raven tak pantas mendapatkannya. Laki-laki yang telah menyakiti hatinya seperti Raven, tidak pantas mendapatkan cintanya.

“Ohh…, jadi Vanessa hamil?” sindir Claire. “Apakah kau yakin, itu anakmu?” tanyanya dingin.

“Aku tak sangsi lagi,” jawab Raven. “Vanessa melakukannya hanya denganku. Bahkan ia masih suci ketika malam itu kami…,” Raven tak melanjutkan kata-katanya. Ia menelan ludah ke dalam kerongkongannya yang terasa kering.

Teringat olehnya kejadian malam itu, ketika ia tak berdaya menolak keinginan Vanessa yang amat menggebu-gebu. Seandainya saja saat itu ia bisa mengontrol diri dan menguasai keadaan, pastilah kesalahan itu tidak pernah terjadi.

Sekarang sudah terlambat untuk menyesalinya. Sebagai laki-laki sejati, ia harus bertanggung jawab, walaupun ada wanita lain yang akan tersakiti oleh keputusannya itu.

“Terserah denganmu, Raven, kalau kau memang ingin menikahi Vanessa,” putus Claire akhirnya. “Cuma aku beritahukan padamu, kalau kau menikah dengan Vanessa, maka kau tidak boleh lagi tinggal di rumahku ini, karena aku tidak mau melihat kalian berdua setiap hari di depanku bermesra-mesraan. Kau pindah saja, ke mana kau suka. Dan ingat ya, saham yang rencananya akan diberikan papaku untukmu, akan batal dengan sendirinya. Kau ingat kan wasiat dari papa? Kau akan memperoleh 50% saham perusahaan, hanya jika kau menjagaku dan mendampingiku seumur hidup. Kalau kau menikah dengan Vanessa, maka otomatis kau tidak mungkin lagi bisa menjaga dan mendampingku seumur hidup. Bukankah begitu, Raven?”

Dada Raven terasa bergejolak mendengar penuturan dari Claire itu. Hal ini tidak terpikir olehnya tadi. Ia terlalu gegabah mengatakannya pada Claire karena kepalanya sudah pusing memikirkan Vanessa yang terus-menerus mendesaknya.

“Aku berikan waktu untukmu berpikir-pikir lagi,” kata Claire setelah melihat Raven tak bersuara.

Ini adalah kesempatan terakhir, mungkin masih ada harapan baginya, supaya Raven mengubah keputusannya yang ingin menikahi Vanessa. Karena Raven memang adalah sosok yang paling penting dalam hidupnya. Claire merasa tidak mungkin ia bisa hidup tanpa laki-laki itu di sisinya. Karena itu ia berikan kesempatan kepada laki-laki itu untuk mengubah keputusannya.

“Sebaiknya kau pikirkan lagi baik-baik, karena aku tidak mau kau menyesal untuk yang kedua kali. Walaupun sebelumnya kau sudah pernah menyakiti hatiku bersama dengan Rachel, tapi aku sudah memaafkanmu. Dan sekarang ini, aku juga ingin berbuat hal yang sama, asalkan kau mengubah keputusanmu.”

Claire bangkit dari duduknya. Ia berjalan ke arah pintu, membukanya, lalu menutupnya perlahan. Meninggalkan Raven yang masih tepekur sendirian, memikirkan segalanya.

* * *

Terpopuler

Comments

triana 13

triana 13

lanjuy

2021-07-25

1

Whiteyellow

Whiteyellow

hadir ya

2021-04-06

1

🌻Ruby Kejora

🌻Ruby Kejora

5like
💗💗
Sukses sluu

Salam dari
THE THUNDER'S LOVE

2021-03-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!