Bab 9.
Claire membuka pintu kamar Raven yang tidak terkunci, melongokkan kepalanya ke dalam sebentar, lalu melangkah masuk dengan hati-hati.
Ia berjalan mendekati ranjang Raven yang terletak di sudut, sementara telinganya mendengar bunyi gemericik air dari shower kamar mandi di ruang tidur itu.
Tangannya memegang sesuatu yang dibawanya dari luar. Setelah menghela napas panjang, ia duduk di tepi ranjang Raven yang besar dan beralaskan selimut tebal.
Ia menaruh sesuatu yang dibawanya itu ke bawah bantal. Setelah itu ia pun duduk dengan tenang, seolah-olah sedang menunggu si pemilik kamar itu yang sedang mandi.
Tak lama kemudian, bunyi gemericik air di kamar mandi tak terdengar lagi.
Claire menahan napas sesaat. Ia sudah lancang masuk ke dalam tanpa permisi. Tetapi karena amarah yang dirasanya sejak tadi membuatnya tidak ingin berpikir lebih panjang lagi.
Detik berikutnya pintu kamar mandi yang terbuat dari fiber putih transparan itu terbuka. Raven melangkah keluar dari sana dengan hanya selembar handuk putih melilit dipinggangnya.
Handuk itu menutupi sampai ke lututnya. Sedangkan dadanya yang bidang dengan bulu-bulu halus seperti di kedua betisnya tidak tertutupi, sehingga Claire dapat melihatnya dengan jelas.
Darah Claire bagaikan tersirap. Ini baru pertama kalinya ia melihat Raven seperti itu. Walaupun sudah sepuluh tahun lebih mereka tinggal di rumah yang sama, tetapi Claire tidak pernah begini. Setidaknya, ia akan mengetuk pintu dulu kalau hendak masuk.
“Kau…!” Raven terkejut mendapati Claire sedang ada di kamarnya, bahkan dengan tenangnya sudah duduk di atas ranjangnya. “Claire!” serunya pada gadis itu yang tak berhenti memperhatikannya dari jauh. “Kenapa kau menerobos masuk? Oh, mana piyamaku,” Raven berjalan beberapa langkah mendekati lemari bajunya dan hendak mencari piyamanya.
Melihat tingkah Raven itu, Claire tiba-tiba bangkit dari duduknya dan berkata, ”Tidak usah, Raven!” Ia berjalan mendekati laki-laki itu yang tak jadi membuka lemarinya tapi berganti menatapnya.
Claire berjalan semakin mendekat ke arahnya dan membalas tatapannya dengan aneh.
Raven jadi merasa risih. “Ada apa, Claire?” tanyanya berusaha menguasai keadaan. “Kalau ada hal penting, kita bicarakan di ruang tamu saja ya. Ijinkan aku berpakaian sebentar,” katanya memohon.
Gadis itu berdiri begitu dekat dengannya, sampai-sampai ia merasa hampir tidak bisa bernafas.
Bukannya mendengarkan permohonan Raven, Claire malah berucap dingin, “Ini bukan yang pertama kali kan, Raven?” matanya menatap tajam.
“Maksudmu?” Raven tak mengerti. Ia merasa kaget mendengar ucapan gadis itu. Apalagi tingkah gadis itu amat aneh.
“Oh, sori, maksudku, aku bukan gadis pertama yang melihatmu bertelanjang dada seperti ini kan?” ralatnya.
Raven terpana mendengar kata-kata Claire itu. Dengan perlahan ia berkata, “Aku makin tak mengerti maksudmu, Claire,” kali ini ia membalas tatapan gadis itu. Sorot matanya heran dan penuh selidik.
Claire tersenyum. Raven semakin heran melihatnya. Bukannya menjawab rasa penasarannya, Claire malah menyentuh wajah Raven dengan sebelah tangannya.
Wajah yang tampan dan berkesan macho. Claire mengusap wajah itu dengan lembut, mulai dari pipinya, hidungnya, bibirnya, sampai ke dagunya..
“Ada apa, Claire?” Raven mencoba bertanya lagi, tapi Claire menepisnya, “Ssst…, jangan berisik,” ucapnya serius sambil meletakkan dua jarinya ke bibir Raven.
Raven terdiam. Sesaat, ia membiarkan jari jemari gadis itu menelusuri lekuk-lekuk di wajahnya. Bahkan ia menunggu dengan sabar ketika gadis itu menaikkan tangannya yang satu lagi dan membelai dadanya.
Raven memejamkan matanya sesaat, menikmati belaian Claire itu. Tak lama, ia membuka matanya kembali.
"Claire…,” bisiknya perlahan. Darahnya bergejolak karena belaian Claire itu. Napasnya terasa tertahan. Sekonyong-konyong ia meraih jari-jemari tangan gadis itu yang membelai dadanya dan menatapnya tajam.
Claire tak perduli. Ia menjinjitkan kakinya ke atas dan berusaha merengkuh kepala Raven dengan kedua tangannya. Lalu dengan napas yang agak terburu ia menggapai bibir laki-laki itu dan mengecupnya.
Raven menundukkan kepalanya sedikit, menyambut kecupan hangat dari bibir gadis itu. Seakan ingin membalas, Raven juga me\\\\ perlahan. Sebelah tangannya berpindah memeluk pinggang gadis itu, sementara yang satunya lagi menumpu kepalanya.
Beberapa menit mereka saling melepaskan rindu, seolah-olah sudah lama tidak bertemu.
Mungkin karena sikap dingin yang ditunjukkan Claire padanya akhir-akhir ini, membuat Raven jadi merasa tidak nyaman. Dan sekarang, ketika gadis itu berada di dalam pelukannya, Raven menumpahkan seluruh resah dan gelisah yang menyelimutinya selama ini.
Ia memeluk gadis itu dengan erat, seolah-olah ingin meleburkan tubuh gadis itu bersama dengannya, supaya mereka tidak bisa terpisahkan lagi.
Agak lama, setelah puas saling memagut, Raven membopong tubuh gadis itu ke ranjangnya dan mendudukkannya ke sana. Sedangkan ia sendiri duduk di samping gadis itu.
Tangannya membelai rambut gadis itu yang tergerai begitu saja. Ia membelainya dengan kasih sayang dan juga tatapan mata penuh cinta.
“Raven…,” Claire menyebut nama laki-laki itu. Matanya menatap sayu pada wajah di depannya itu. Wajah yang sejak dulu amat dicintainya. Selama sepuluh tahun ini ia terus memendam perasaan cintanya.
Raven membalas tatapannya dengan lembut. “Claire…,” bisiknya perlahan. Ia menurunkan tangannya yang membelai rambut gadis itu, lalu dengan hati-hati ia melepaskan simpul tali piyama yang membalut tubuh gadis itu.
Claire amat mencintai Raven. Karena itu ia merasa tak berdaya ketika tangan Raven melepaskan ikatan tali piyama di pinggangnya, sehingga lambat laun bahunya tersingkap.
Ia memejamkan matanya dengan pasrah ketika laki-laki itu bergerak maju selangkah, dan menciumi lehernya yang jenjang.
Napas laki-laki itu terasa memburu di dekat telinganya. Ia dapat mendengarnya dengan jelas. Bahkan ketika bibir laki-laki itu tidak lagi hanya menciumi lehernya, melainkan sudah berpindah, Claire merasa tak sanggup lagi melawan. Ia hanya mampu mendesah.
Raven tahu Claire memberikan kesempatan padanya, karena itu dengan lebih berani lagi ia menyingkapkan pakaian gadis itu ke samping dan Claire hampir saja menyerah pada laki-laki itu malam ini, kalau saja tangannya tidak meraba secara tak sengaja ke bawah bantal dan menemukan sesuatu. Sesuatu yang membuatnya segera tersadar. Karena itulah ia datang tadi!
Sekonyong-konyong Claire mendorong tubuh Raven yang menimpanya. Ia bangkit dari ranjang dan buru-buru mengikat kembali tali piyamanya dan merapikannya sesaat. Lalu dengan tatapan mata yang tiba-tiba berubah dingin, ia berkata, “Kenapa kau tega padaku, Raven?” tanyanya sedih.
Raven terkesiap. Gadis itu menjauh darinya dan berjalan ke lemari baju. Dengan sekali sentak ia membuka pintu lemari itu dan mengeluarkan sebuah piyama dari sana. Claire membawanya ke arah Raven yang masih duduk dengan bingung di tepi ranjang. “Pakailah!” katanya sambil menyodorkan piyama itu pada Raven.
Dengan tatapan mata yang tak mengerti, Raven memakai piyama yang diambilkan oleh Claire itu dan memakainya dengan cepat, menggantikan handuk putih yang membelit di pinggangnya.
Claire menunggunya sesaat, dan ketika Raven selesai mengenakan piyama, Claire berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Raven,” katanya serius. Ia berjalan mendekati ranjang dan mengambil sesuatu dari bawah bantal.
“Apa itu, Claire?” Raven melihat pada benda yang dipegang Claire itu.
Selembar foto! Hatinya tiba-tiba berdesir. Ketika Claire menyerahkan foto itu padanya, ia menerimanya dengan perasaan was-was.
Ia melihatnya sekali, dan ternyata benar! Ini adalah foto yang ditakutkannya akan jatuh ke tangan Claire suatu hari nanti! Dan ternyata, hari yang ditakutinya itu adalah hari ini!
“Claire, dari mana kaudapatkan foto ini?” tanyanya penasaran.
Claire mencibir. “Itu tidak penting, Raven,” jawabnya tenang. “Sekarang kau jawab pertanyaanku, apakah betul kau melakukannya, Raven? Betulkah kau bersama dengan Rachel di apartemennya itu? Dengan mudahnya kau menghabiskan malam bersama dia kan? Apakah kau tidak teringat padaku saat itu? Dapatkah kau membayangkan bagaimana perasaanku nanti mengetahui hal ini? Dapatkah? Jawab aku, Raven! Jawab!” bentak Claire.
Raven tertunduk. Ia tak berani membalas tatapan Claire yang menghunjam hatinya itu. Dengan lesu ia duduk di tepi ranjang dan berkata pelan, “Aku tidak melakukannya dengan sengaja, Claire. Aku dijebak,” ia mengepalkan kedua tangannya ke depan, menahan geram. “Hanya itu yang dapat kukatakan padamu. Selebihnya, terserah padamu,” Raven menghela napas panjang.
Claire berjalan menjauh dan terduduk di kursi. “Jadi, kau dijebak? Itu katamu?”
Claire berkata-kata sendiri. Raut wajahnya menunjukkan rasa kecewa dan juga sedih. “Kalau bukan karena foto itu ditemukan secara tak sengaja di laci meja kerja Rachel semalam, maka selamanya aku akan berpikir kalau kau adalah pria yang terbaik bagiku di dunia ini. Dan aku pasti akan memilihmu. Tetapi, sekarang aku baru sadar, kalau ternyata anggapanku itu salah!”
“Claire, maafkan aku…,” Raven berucap penuh penyesalan. “Kau jangan perduli lagi dengan foto ini, Claire. Bukankah Rachel sudah tiada? Kau tidak perlu lagi memikirkannya.”
“Walaupun Rachel sudah tiada, tapi mengetahui kau pernah melakukan hal yang tercela itu, membuatku tidak mungkin bisa melupakannya, Raven. Kurasa, sebaiknya kita jangan lagi saling dekat, karena hatiku akan terasa sakit bila ada di dekatmu. Lakukan saja pekerjaanmu dengan baik. Dan jangan pernah lagi ikut campur dengan segala urusanku.”
Claire bangkit dari duduknya dan berjalan ke pintu. “Ohya, sebaiknya kau lebih berhati-hati terhadap sekretaris barumu itu, karena walaupun ia bekerja padamu, tetapi tampaknya ia lebih memihak kepada Kyle daripada memihakmu. Aku rasa kau mengerti maksudku.”
Raven terkesiap mendengar kata-kata dari Claire itu. Sekretaris baru? Tracy maksudnya?
Tunggu dulu, foto ini ditemukan di laci meja kerja Rachel semalam, seperti kata Claire tadi. Dan tak ada orang lain yang duduk di situ kecuali Tracy yang menggantikannya sejak seminggu lalu.
Tracy lebih memihak Kyle? Berarti maksudnya, Tracy yang menemukan foto ini dan memberikannya kepada Kyle, bukan kepada dirinya? Lalu Kyle memberikannya kepada Claire?
Raven merasa dadanya disesaki oleh amarah yang berkecamuk. Rasanya ia ingin segera bertanya kepada Tracy, apa maksudnya melakukan semua itu?
Benarkah Tracy adalah biang keladi yang menyebabkan ia dan Claire berselisih hari ini? Kalau memang benar, maka Raven tidak akan pernah membiarkannya begitu saja.
* * *
Ponsel di kamar Claire berbunyi. Claire tersentak dari lamunan sambil berjalannya itu, sekeluarnya ia dari kamar Raven tadi.
Dengan tergesa-gesa, Claire membuka pintu kamar tidurnya. Ia berjalan cepat ke samping ranjangnya dan menyambar ponselnya yang tergeletak di rak kecil di samping ranjang itu.
“Halo?” jawab Claire cepat.
“Halo, ini Nona Claire bukan?” terdengar suara seorang wanita di seberang sana.
“Iya, betul,” Claire merapatkan ponsel itu ke samping telingannya.
“Nona, dengarkan baik'baik,” suara wanita itu terdengar serius. “Ini telepon dari rumah sakit. Saya adalah suster jaga yang bertugas malam ini. Saya diminta untuk mengabarkan kepada Anda, kalau Tuan Kyle mengalami kecelakaan yang parah barusan tadi, dan sekarang ia sedang dirawat di ruang gawat darurat di Rumah Sakit Y. Kami menemukan nomor telepon utama di ponselnya, yaitu nomor hp Anda. Apakah Anda istri atau pacarnya? Bisakah Anda datang ke rumah sakit Y sekarang juga?”
“Ohh…,” Claire merasa tangannya gemetar dan lututnya terasa tak bertenaga mendengar berita mengagetkan yang baru diterimanya itu. “Jadi, bagaimana kondisi Kyle sekarang?” tanya Claire ingin tahu, berusaha menutupi keguggupannya.
“Tuan Kyle sangat parah, Nona. Kurasa Anda sebaiknya datang sekarang juga! Terima kasih!” telepon di seberang sana ditutup begitu saja.
“Hei, halo…!” Claire ingin bertanya lagi, tapi suara di seberang sana sudah tak terdengar lagi.
Rumah Sakit Y, pikir Claire cepat. Aku harus ke sana sekarang juga! Putusnya dalam hati.
Dengan tergesa-gesa Claire menukar piyamanya dengan blus dan celana jeans yang dikeluarkannya dari dalam lemari baju.
Ia berusaha menenangkan jantungnya sendiri yang terasa berdebar kencang dan menghibur hatinya dengan kata-kata penuh harap supaya tangan dan kakinya tidak gemetar lagi.
“Tenang, Claire, tenang, Kyle akan baik-baik saja,” katanya berulang-ulang sampai mulutnya berkomat-kamit.
Setelah siap, Claire berjalan tergesa-gesa keluar dari kamarnya.
Sambil berjalan ia menaruh ponselnya ke dalam handbag-nya. Ia hampir bertubrukan dengan Raven yang saat itu juga bermaksud menjumpai Claire dan meminta maaf lagi.
Raven memegang lengan Claire yang hampir terpeleset. “Claire,” katanya, “Ada apa ini? Kenapa tergesa-gesa? Kau mau keluar?”
Claire menarik tangannya dari pegangan Raven. “Aku mau ke Rumah Sakit Y,” katanya cepat. “Kyle kecelakaan dan kondisinya parah.”
“Kau sendirian? Kuantar ya? Tunggu aku tukar baju dulu,” Raven bermaksud kembali ke kamarnya.
Tapi Claire menolak. “Tidak usah, Raven! Aku bisa pergi sendiri,” tampaknya ia masih menyimpan amarah terhadap Raven sehingga menampik tawarannya.
Dengan langkah-langkah kaki yang dipercepat, Claire meninggalkan Raven yang tidak sempat berkata-kata lagi.
Ia berjalan menuruni tangga lebar yang melingkar, lalu menuju pintu utama yang besar. Setelah itu Claire mendekati mobilnya yang sedang parkir di halaman dan seolah tahu Nona rumah itu mau keluar, satpam yang menjaga pintu gerbang itu pun membukanya.
Claire mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Rumah Sakit Y adalah tujuannya, dan rumah sakit itu terletak lumayan jauh dari rumahnya.
Kadang ia berjalan lurus saja, tapi kadang membelok ke kiri dan kadang membelok lagi ke kanan. Tak jarang ia memotong jalan dengan cara memasuki jalan-jalan yang agak sempit. Setelah itu ia keluar lagi ke jalan besar dan melaju cepat beberapa kilometer jauhnya, lalu masuk lagi ke jalan sempit yang lain.
Tampaknya ia hampir sampai ke Rumah Sakit Y sepuluh menit lagi, kalau tidak sebuah mobil jeep tiba-tiba menghalangi jalannya.
Claire memijit klakson mobilnya keras-keras, karena mobil jeep itu berhenti dengan tiba-tiba, ketika Claire hendak keluar dari gang sempit itu dan berbelok ke gang yang lebih besar.
Tapi bukannya memberi jalan, mobil jeep itu malah berhenti total dengan cara melintang, sehingga mobil Claire tidak mungkin lagi bisa keluar dari gang sempit itu.
Tiga orang laki-laki bertubuh tegap dan berwajah sangar keluar dari dalam mobil jeep itu.
Darah Claire bagai terkesiap ketika ketiga orang itu mendekati mobilnya dengan gerakan cepat.
Nalurinya berkata kalau ketiga orang itu bermaksud tidak baik terhadapnya.
Tangan Claire tiba-tiba gemetar, seluruh tubuhnya terasa lemas, demikian juga wajahnya berubah pucat.
“Ayo, keluar!” bentak laki-laki yang satu, yang berwajah paling sangar di antara ketiganya.
Claire diam tak berkutik. Suasana di sekitar situ gelap dan sunyi. Salahnya sendiri kenapa memilih jalan yang seharusnya dihindari? Biasanya orang-orang jahat sembunyinya di situ.
Jangankan untuk keluar dari dalam mobil, bahkan untuk bergerak saja rasanya kakinya tak akan sanggup. Ia merasa tenaganya tak ada, dikalahkan oleh rasa takutnya yang amat sangat.
“Ayo, keluar kau!” bentak mereka lagi. Kali ini mereka bukan hanya membentak, tapi menggedor-gedor pintu mobil Claire dari luar.
Karena Claire mengunci semua pintu mobilnya, maka mereka memecahkan kaca mobil belakang dengan batu, lalu melongokkan kepala ke dalam untuk membuka pintu samping tempat Claire duduk itu.
Sekarang pintu di samping Claire terbuka lebar. Dan Claire tidak bisa berkelahi dengan mereka karena ia hanya seorang wanita.
Ia hanya bisa memohon dengan wajah pucat pias, “Jangan…, tolong jangan sakiti aku.... Ambil saja semuanya yang kalian mau. Ini… ini handbag-ku banyak kartu kreditnya…, uang…, dan...,” Claire menyodorkan tas tangan itu pada mereka.
“Ah, kami memang perlu ini, tapi sebelumnya kami akan bersenang-senang dulu karena ini memang keinginan orang yang membayar kami, lalu kau akan kami habisi, setelah itu baru kami bertiga akan dapat bayarannya yang berlipat ganda.”
Pria berwajah paling sangar itu menarik tubuh Claire keluar dari dalam mobil, Claire meringkuk ketakutan.
Rasanya, ia tak mungkin bisa melawan mereka bertiga dengan cara apapun. Ia hanya mampu menangis sesunggukan, memikirkan nasibnya yang malang. Bahkan untuk berteriak minta tolong saja ia lupa.
Tetapi untunglah di saat-saat yang genting itu, seseorang datang menyelamatkannya. Ternyata orang itu adalah Raven yang merasa cemas pada Claire tadi dan menyusulnya kemudian.
“Lepaskan dia!” bentak Raven marah dengan wajah berapi-api.
“Hei, kau! Jangan ikut campur!” Salah satu dari mereka bergerak maju dan menyerang Raven.
Tetapi Raven yang dibekali ilmu bela diri sejak kecil, mematahkan serangan orang itu dengan sekali gerak. Malah Raven meninjunya berkali-kali sebelum ia sempat membalas.
Melihat temannya dikalahkan, satu orang lagi maju menyerang Raven. Tapi yang satu ini pun dengan mudah dikalahkan oleh Raven. Ia terjatuh ke tanah sampai menjerit kesakitan seperti temannya tadi.
Terakhir, yang berwajah paling sangar pun maju, ia melepaskan lengan Claire yang tadi terus dicengkeramnya dengan kuat. Lalu ia maju menyerang Raven dengan teriakan marah. Raven agak kewalahan juga melayani yang satu ini, tampaknya ia ketuanya dan lumayan tangguh. Tapi setelah berusaha dengan keras, akhirnya Raven dapat mengalahkannya juga.
Mendengar suara ribut-ribut, tak urung memancing keingintahuan penduduk setempat. Mereka membuka pintu ingin tahu apa yang terjadi.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan mereka, ketiga orang itu pun cepat-cepat menaiki jeep kembali dan pergi tergesa-gesa dengan menancap gas.
Raven berjalan mendekati Claire dan memeluk tubuh gadis itu yang masih gemetar ketakutan. “Tenanglah, mereka sudah pergi sekarang,” kata Raven menenangkan hati gadis itu.
“Kalian tak apa-apa?” tanya salah satu penduduk yang mendekati mereka yang baru keluar dari dalam rumah.
“Kami tak apa-apa,” jawab Raven. Ia membimbing Claire kembali ke dalam mobilnya itu, sementara Raven minta tolong untuk menitipkan mobilnya sendiri pada salah satu rumah penduduk di situ.
Sekarang Raven yang mengemudikan mobil Claire, sementara Claire duduk di sampingnya.
“Kita pulang ke rumah, ya?” tanya Raven.
“Jangan, kita ke rumah sakit dulu,” kata Claire. “Aku belum sempat melihat keadaan Kyle.”
Raven tak menolak keinginan Claire itu. Ia menjalankan mobil menuju ke Rumah Sakit Y.
Claire dan Raven berjalan memasuki pintu rumah sakit itu seturunnya dari mobil, lalu mereka menemui resepsionis untuk bertanya tentang keberadaan Kyle.
“Tidak ada yang namanya Tuan Kyle sedang dirawat di sini, Nona,” kata resepsionis wanita itu setelah memeriksa buku pasien yang masuk.
“Coba periksa sekali lagi,” pinta Claire.
Resepsionis itu memeriksa sekali lagi dengan lebih teliti. “Tetap tidak ada, Nona,” katanya. “Seharian ini bahkan belum ada korban kecelakaan lalu lintas yang dirawat di ruang gawat darurat,” katanya menyakinkan. “Apalagi yang namanya Tuan Kyle.”
“Tapi tadi aku menerima telepon dari suster jaga di sini. Katanya Rumah Sakit Y, di ruang gawat darurat,” bersikeras Claire.
“Memangnya suster jaga itu siapa namanya? Dan ia menelepon dari mana? Kok usil sekali mempermainkan orang?” Resepsionis itu merasa kesal karena Claire seolah tak mempercayai keterangannya.
Raven menyarankan Claire untuk memeriksa ponselnya. Dengan rasa penasaran Claire mengeluarkan ponsel dari dalam handbag-nya dan memeriksa nomor telepon yang masuk tadi.
Ternyata nomor yang terakhir masuk tadi berasal dari nomor sebuah handphone. Claire memperlihatkannya pada resepsionis itu.
“Nah, kan, ini kan nomor handphone!” kata resepsionis itu.
“Rumah sakit ini kalau memberitahukan famili pasien selalu melalui telepon rumah sakit, dan ini adalah ketentuan yang berlaku di sini. Kami tidak diijinkan untuk memberitahukan melalui handphone siapapun, apalagi handphonenya seorang suster jaga.”
Claire menggeleng-geleng tak percaya. “Jadi, siapa yang meneleponku tadi?” tanyanya tak percaya.
“Coba kulihat,” kata Raven sambil mengambil ponsel Claire. Ia melihat nomor itu dengan teliti. Sesaat kemudian ia berkata, “Sepertinya nomor ini cukup familiar bagiku.” Lalu Raven mengeluarkan ponselnya sendiri dan memeriksa nomor itu di sana. “Tak salah lagi,” katanya. “Ini adalah nomor handphone-nya Tracy!” Raven meyakinkan.
“Tracy?” belalak Claire tak percaya.
“Tracy, sekretarismu itu?” tanyanya memperjelas.
“Iya,” jawab Raven pasti.
Claire menggeleng-geleng lagi. “Jadi, apa maksud Tracy mengaku suster jaga dan mengatakan padaku kalau Kyle mendapat kecelakaan dan menyuruhku ke rumah sakit ini?”
“Apa mungkin kau dijebak?” tanya Raven.
“Maksudmu, Tracy sengaja menjebakku?” ulang Claire tak percaya.
Raven mengangkat bahu. “Kurasa, kejadian tadi bukan tanpa disengaja.”
Claire tepekur memikirkan kejadian tadi, sewaktu ia dicegat oleh mobil jeep itu di tengah jalan. “Oh iya,” katanya bagai teringat. “Sepertinya mereka tadi bilang dibayar oleh seseorang, yang memerintahkan mereka berbuat demikian.”
“Kalau begitu, orang itu pasti Tracy!” yakin Raven.
Claire dan Raven saling berpandangan tetapi sama-sama diam. Detik berikutnya bagaikan teringat sesuatu, mereka sama-sama berseru, “Kyle!”
Ya, Kyle! Kenapa mereka sampai lupa menghubungi Kyle?
Claire cepat-cepat mencari nama Kyle di ponselnya, dan memijitnya begitu ketemu. “Kyle, kau ada di mana?” tanya Claire cepat, hatinya terasa lega begitu mendengar suara Kyle sendiri yang menjawab panggilannya.
“Aku ada di rumah, Claire,” jawab Kyle. “Baru mau tidur. Memangnya ada apa?” tanyanya merasa heran karena mendengar suara Claire yang tergesa-gesa.
“Oh, jadi kau ada di rumah sekarang? Kau baik-baik saja kan? Tidak kecelakaan seperti kata Tracy tadi?”
“Apa? Aku baik-baik saja, kok. Memangnya Tracy bilang apa padamu?” tanya Kyle ingin tahu.
“Besok saja baru kuceritakan padamu ya. Aku dan Raven ada di rumah sakit sekarang. Kami mau pulang ke rumah dulu. Tadi Raven habis berkelahi,” katanya.
Claire menutup ponselnya sebelum Kyle sempat bertanya lebih lanjut. Lalu ia dan Raven permisi pada resepsionis itu dan sama\sama meninggalkan Rumah Sakit Y.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
triana 13
lanjut
2021-07-23
1
zien
hadir 🎉🎉💐💐
2021-06-17
1
Whiteyellow
hadir ya
2021-04-01
1