Raven Mulai Mendekati Vanessa

Bab 13.

“Hai...! Boleh aku duduk di sini?” suara seseorang menyadarkan Vanessa dari sikap santainya di meja kafe hotel itu.

Ia menoleh, dan tampak olehnya Raven sedang menunggu jawaban darinya.

Vanessa tersenyum dan mengangguk, “Silakan, Tuan Raven…,” katanya lalu meneguk sejenak minuman hangat di mejanya.

Raven mengambil tempat di depan Vanessa. Seorang pelayan datang, dan Raven memesan segelas kopi susu hangat.

“Anda tidak masuk kantor?” tanya Vanessa. “Ini sudah hampir pukul sepuluh lho….,” Vanessa melirik jam besar di tangannya.

Pagi itu ia mengenakan baju santai dipadu dengan celana jeans. Make up tebal di wajahnya saat tampil di pentas tadi malam tidak terlihat lagi, berganti dengan riasan tipis yang membuatnya malah terlihat makin cantik.

Sebagai laki-laki normal, Raven merasa dirinya juga tertarik melihat gadis secantik Vanessa yang juga seorang penyanyi sohor.

“Kebetulan hari ini aku tidak begitu sibuk,” kata Raven. “Aku barusan dari kantor tadi. Aku merasa bosan, dan memutuskan untuk relaks sejenak di cafe. Tak disangka bisa bertemu denganmu di sini.”

“Oh…,” reaksi Vanessa. “Rupanya begitu. Mulanya kupikir seorang direktur seperti Anda, pasti sangat bebas, mau masuk pagi atau siang, dan juga bebas berkeluyuran ke mana saja yang Anda suka.”

“Ah, tidak begitu,” sangkal Raven. “Aku selalu datang tepat waktu dan jarang pulang sebelum jam kantor usai. Sebagai seorang atasan, aku kan harus memberi contoh yang baik juga kepada para bawahan.”

“Aku setuju dengan perkataanmu,” Vanessa mengacungkan jempol. “Walaupun aku tidak pernah bekerja di kantor, tetapi aku sependapat, kalau disiplin harus diterapkan sejak dini.”

Mereka sama-sama tersenyum.

“Aku merasa iri denganmu,” kata Raven. “Di usia yang semuda ini kau sudah mencapai segalanya. Kesuksesan, ketenaran, dan banyak lagi. Apa kau merasa puas dengan apa yang telah kau capai selama ini?”

Vanessa mengangkat bahu. “Rasanya sampai saat ini aku merasa sudah cukup puas bisa sampai ke puncak karier, tinggal bagaimana mempertahankannya. Tapi biasanya seorang penyanyi tidak bisa selalu berada di puncak, kadang muncul penyanyi-penyanyi muda lainnya yang lebih berbakat yang bakal menggantikan posisinya. Karena itu, kadang aku juga merasa cemas. Tapi aku selalu berkata pada diriku sendiri, kalau ketenaran seperti ini bukanlah tujuan utama hidupku. Sebenarnya, sebagai gadis normal, aku ingin mempunyai seorang kekasih juga yang benar-benar mencintaiku, bukan karena ketenaranku atau pun karena segala kelebihan yang aku miliki, melainkan karena ia mencintai aku apa adanya, dengan segala kekuranganku.”

“Wanita secantik kau pasti akan dengan mudah mendapatkannya,” kata Raven.

Vanessa menghela nafas panjang. “Sejujurnya aku katakan, kalau sampai sekarang aku masih belum mendapatkan orang yang aku inginkan. Tetapi hari ini aku berpikir…,” Vanessa memandang sejenak pada Raven, tapi cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya ke tempat lain ketika tatapannya bertemu dengan tatapan mata Raven yang tajam dan berkesan dingin. “Aku berpikir…, mungkin aku bakal menemukan orang itu. Dan aku merasa yakin sekali,” desis Vanessa.

“Oh iya?” Raven merasa tertarik. “Memangnya siapa orang yang beruntung itu, kalau boleh kutahu?”

Vanessa menggeleng. “Aku tidak bisa mengatakannya padamu. Karena aku masih belum mengenal lebih dekat orang tersebut. Cuma saja sekilas pandang, aku merasa orang itu cocok untukku.”

“Sori, tak apa kalau kau menganggap aku masih teman barumu, jadi belum layak untuk tahu,” kata Raven lepas.

“Sungguh bukan begitu,” Vanessa buru-buru menampik. “Aku hanya berpikir apakah orang tersebut juga mempunyai perasaan yang sama denganku? Sejak dulu aku mempunyai keinginan untuk mendapatkan seorang kekasih yang benar-benar kucintai dan mencintaiku. Lalu kami akan menikah secara sederhana dan mengarungi bahtera rumah tangga dengan bahagia, bersama dengan anak-anak kami yang lucu.”

“Jadi, itu adalah tujuan utama hidupmu?” tebak Raven.

Vanessa mengangguk. “Kalau kau bagaimana, Tuan Raven?” pancing Vanessa.

“Panggil saja Raven. Bolehkah aku memanggilmu dengan Vanessa saja?”

“Itulah yang ingin kukatakan padamu sejak tadi,” Vanessa tersenyum lega. “Walau aku baru berkenalan denganmu tadi malam, tapi aku merasa bisa dengan cepat akrab denganmu. Rasanya kita cocok, ya?” seloroh Vanessa.

Raven tersenyum kecil menanggapi gurauan Vanessa. Lalu ia berkata, “Tujuan utama hidupku, hampir sama denganmu. Di samping pekerjaan dan karier yang mapan, aku juga ingin mendapatkan seorang wanita yang benar-benar bisa menyentuh perasaanku. Jadi aku suka padanya bukan karena terpaksa atau pun karena mengharapkan sesuatu darinya. Dan kuharap wanita itu pun bisa mengerti diriku lalu membalas cintaku.”

“Apakah sampai sekarang kau sudah menemukan wanita itu?” tanya Vanessa ingin tahu.

Raven berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Rasanya belum. Karena setiap wanita yang kukenal, mereka selalu duluan menunjukkan gelagat untuk mendekatiku. Itulah yang aku benci. Kupikir, seorang wanita yang setia, harus bisa menjaga harga dirinya bukan?”

Vanessa mendehem sejenak. Untunglah ia tidak terlalu agresif tadi, pikirnya. “Kupikir, akan susah menemukan wanita seperti yang kauinginkan itu,” katanya berani. “Karena setiap wanita yang bertemu denganmu, susah untuk tidak menyukaimu, setidaknya mereka akan merasa tertarik,” Vanessa melihat Raven dengan hati-hati, ingin tahu bagaimana reaksinya.

Tetapi Raven tampak tidak bereaksi.

“Ehm…, maksudku…,” Vanessa merasa tak enak hati dan kehabisan kata-kata untuk menyambung.

“Tak apa-apa,” kata Raven. “Aku mengerti maksudmu. Memang susah untuk mendapatkan wanita seperti itu. Tetapi itu adalah prinsipku. Di samping itu, aku berharap kau juga mendapatkan laki-laki seperti yang kausebutkan tadi. Aku kagum dengan tujuan hidupmu yang sederhana itu, yang tidak muluk-muluk. Kau pantas mendapatkannya, Vanessa. Kau bakal mendapatkannya,” ulang Raven lagi.

“Terima kasih atas dukunganmu,” balas Vanessa. “Aku juga berharap tak lama lagi bakal ada seorang wanita yang benar-benar bisa menyentuh perasaanmu dan membuatmu tertarik. Rasanya, aku tidak mungkin memiliki syarat seperti itu kan?” pancing Vanessa seolah bercanda.

Raven memperhatikan Vanessa sesaat. Matanya terpaku pada wajah Vanessa yang cantik dan lembut. Ia sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya terhadap Vanessa. Apakah ada perasaan tertentu yang khusus? Jujur, ia memang sedikit tertarik pada Vanessa. Tapi kalau sampai menyentuh perasaannya? Tunggu dulu…? Masih belum, ya?

Raven mulai bercerita, “Sebenarnya, ada seorang wanita yang sejak dulu sudah kuperhatikan dengan setulus hati. Ia adalah Nona Claire, pemilik hotel ini. Kami bertemu kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Papanya Claire mengambil, membesarkan dan membiayaiku sejak aku berusia 14 tahun. Aku tinggal di rumahnya yang besar, menemani Claire, puteri semata wayangnya. Sejak saat itu aku dan Claire selalu bersama, ke mana-mana selalu berdua. Aku amat menyayangi dan memperhatikan Claire. Tetapi aku ragu, apakah ini termasuk perasaan khusus ataukah hanya perasaan sayang semata, karena kami sudah lama selalu bersama.

Vanessa manggut-manggut sejenak, lalu ia menanggapi, “Kalau tak salah, Nona Claire yang kaumaksudkan itu adalah Nona yang tadi malam diperkenalkan oleh Caroline kepadaku, bukan? Yang berdiri di sampingmu itu?”

“Benar! Dialah orangnya!” jawab Raven. “Menurutmu, apakah aku pantas bila bersanding dengannya?”

Vanessa tersenyum, walaupun terasa pahit dan agak dipaksakan.

“Sebenarnya, aku melihat kalian tidak tampak sebagai pasangan yang serasi. Melainkan lebih tampak seperti kakak-beradik saja. Mungkin perasaan sayangmu terhadapnya hanyalah perasaan sayang semata, karena kalian sudah lama saling bersama, tetapi bukan perasaan cinta,” kata Vanessa. “Maaf ya, kalau aku sudah menyinggung perasaanmu, tetapi aku bicara jujur dan apa adanya. Itulah yang kurasakan.”

Raven menghela nafas berat. “Memang aku juga berpikir demikian. Tetapi rasanya, aku tidak akan sanggup hidup tanpa Claire, karena selama ini ia selalu ada di sisiku.”

“Kalau begitu, kau katakan saja padanya kalau kau mau mengangkatnya sebagai adik,” saran Vanessa. “Dengan begitu kan, kau bisa selalu memperhatikan dan menyayanginya, walaupun nanti kalian mungkin terpisah karena ia yang menikah dengan pria lain, ataupun kau yang menikah dengan wanita lain.”

“Apakah itu saranmu?” tanya Raven agak ragu. “Sebenarnya, aku sudah pusing memikirkan hal ini sejak dulu. Memikirkan perasaanku yang tak menentu dan tak bisa kupahami sendiri. Aku juga tidak tahu bagaimana perasaan Claire terhadapku. Apakah ia menyayangiku karena ia mencintaiku, ataukah semata-mata karena kami sudah lama bersama?”

“Kalau yang itu, sebaiknya kau tanyakan sendiri padanya,” saran Vanessa lagi, sambil mengangkat bahu.

Telepon genggam di saku jasnya Raven berbunyi. Dengan cepat, Raven menjawabnya setelah melihat nomor si pemanggil, “Ya, Claire?”

“Raven, kau ada di mana? Aku mencarimu di ruanganmu, tapi kau tak ada?” terdengar suara Claire bertanya di seberang sana.

“Oh…, ini aku sedang ada di cafe hotel. Aku ngopi sejenak karena tadi merasa suntuk. Memangnya ada apa kau mencariku, Claire?”

“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, mengenai proyek baru kita,” kata Claire.

“Kalau begitu, aku segera ke sana sekarang juga.”

“Memangnya kau dengan siapa di sana?” tanya Claire curiga. “Sepertinya aku merasa kau tidak sendirian?”

“Oh, aku sedang bersama dengan Vanessa. Tadi kebetulan saja kami bertemu di cafe dan berbincang-bincang sejenak.”

“Jadi aku mengganggumu?” tanya Claire bernada aneh.

“Sama sekali tidak, Claire. Aku memang sudah hendak balik sekarang. Sudah ya, tunggu aku di sana,” Raven menutup telepon genggamnya dan menaruhnya kembali ke saku jas.

"Aku harus pergi sekarang, Vanessa. Claire sedang menungguku,” Raven mengeluarkan sesuatu dari dalam saku kemejanya. “Ini adalah kartu nama dan nomor handphone-ku,” katanya sambil menyerahkannya pada Vanessa lalu bangkit dari kursinya, bersiap-siap untuk pergi.

Vanessa bagai teringat sesuatu, ia meminta secarik kertas dari pelayan dan menulis nomor handphone-nya di situ. “Dan ini nomorku,” katanya sambil menyerahkan kertas itu pada Raven.

Raven menerimanya dan menyimpannya di saku kemejanya.

“Okey, kapan-kapan kita bicara lagi ya?” Lalu ia pun pamit dan berjalan pergi, meninggalkan Vanessa yang menatap kepergiannya dengan tatapan penuh arti.

 * * *

Vanessa menyanyi lagi malam ini. Tetapi bukan di ballroom tempat diadakannya pesta tadi malam, melainkan di ruang karaoke hotel itu yang lumayan luas.

Memang hotel ini lumayan lengkap. Karena selain tersedia banyak kamar untuk memuat para tamu, juga ada restoran besar tempat para tamu menikmati hidangan pagi, siang, dan malam. Juga ada kafe untuk hang-out dan ruang karaoke untuk bernyanyi, menikmati musik dan menghilangkan penat sesaat.

Walaupun tampilnya Vanessa malam ini seolah tak resmi, karena pesta sudah diadakan tadi malam, tapi tak urung penampilan Vanessa mendapat perhatian dari para tamu yang sengaja memadati ruang itu untuk menyaksikan Vanessa bernyanyi. Vanessa pun tampak lebih santai dalam membawakan lagu-lagunya.

Tepuk tangan yang meriah dari para tamu menyambut selesainya Vanessa bernyanyi.

Sudah lima lagu dibawakannya sejak tadi, dan sekarang ia turun dari atas pentas lalu berjalan mendekati sebuah sofa yang terletak di sudut. Raven sedang duduk-duduk di sana.

“Hai…,” sapa Vanessa, “Boleh aku duduk di sini?”

“Tentu saja boleh,” Raven menggeser sedikit duduknya, dan Vanessa mengambil tempat di sampingnya.

“Minum?” tawar Raven sambil menuangkan botol bir ke dalam gelas kosong di meja.

“Sedikit saja,” kata Vanessa.

“Sebenarnya, aku lebih suka minum air putih. Tapi tak apalah, untuk menemanimu minum malam ini. “Toast…,” Vanessa mengangkat gelasnya ke atas, dan Raven pun mengangkat gelasnya, lalu mereka sama-sama toast.

Pentas karaoke itu sudah berganti dengan orang lain. Mungkin salah satu tamu hotel yang juga ingin bernyanyi. Suaranya lumayan juga dan musik yang mengiringinya terdengar lembut di telinga.

Raven dan Vanessa tampak santai, mereka berbincang-bincang, dan kadang-kadang minum lagi dari gelas masing-masing.

“Ah, sebenarnya aku tidak biasa minum begitu banyak,” kata Vanessa. “Ini untuk menyenangkanmu. Kasihan bila kau sampai minum sendiri, tidak enak bila tidak ada teman minum bukan?”

Raven bersenyum. “Ternyata kau tahu juga. Sebenarnya, aku terbiasa minum sendiri, karena bila ke mana-mana bersama Claire, ia tak bakalan mau menemaniku minum walau satu gelas pun.”

“Tapi kau kan bisa mengajak teman wanitamu yang lain?” pancing Vanessa.

“Ah, mana ada itu. Kalau Claire melihatku minum-minum dengan wanita lain, pasti ia akan memarahiku. Dikiranya aku macam-macam.”

“Kalau sekarang Claire melihatmu sedang minum bersamaku, bagaimana?”

“Ia tidak mungkin ke sini sekarang, karena tadi sore ia bilang mau pergi ke acara pertemuan para pemilik hotel. Kyle yang menemaninya.”

“Kyle?” ulang Vanessa. “Siapa dia?”

“Oh, aku lupa bilang padamu ya, kalau Claire mempunyai seorang asisten pribadi. Laki-laki yang gagah dan bernama Kyle. Ia juga bodyguard-nya Claire bila ke mana-mana. Semenjak suatu kejadian di malam hari yang nyaris mencelakakan Claire, maka kehadiran Kyle di sampingnya, makin dibutuhkan lagi untuk melindunginya ke mana saja ia pergi. Bahkan setiap hari Kyle-lah yang mengantar Claire pulang dari kantor.”

“Oh, jadi walaupun kalian tinggal di rumah yang sama, tapi kau tidak selalu pulang bareng Claire?” tanya Vanessa tertarik.

Raven menggeleng. “Kadang jadwal kami tidak sama. Karena aku tidak selalu sempat mengantarnya pulang tiap hari, maka Kyle-lah yang melakukan tugas itu.”

“Apa kau merasa kedudukanmu di sisi Claire seolah tergantikan?”

“Sedikit. Tetapi aku merasa lega karena Kyle bisa menjaganya tiap hari. Asalkan demi untuk kebaikan Claire, aku terima saja apapun itu.”

“Kau memang amat memperhatikan Claire,” kata Vanessa merasa iri.

“Ohya, kudengar hotel ini punya cabang di beberapa tempat. Bisakah kau mengajakku melihat-lihat ke sana besok? Kata manajerku, aku boleh pergi keluar jalan-jalan besok karena tidak ada acara di skedul.”

“Mmm…, boleh juga,” jawab Raven setelah pikir-pikir sejenak. “Rasanya besok tidak ada pertemuan dengan klien di luar maupun peninjauan ke proyek. Aku bisa menemanimu seharian.”

“Apa Claire tidak bakalan marah lagi bila tidak mendapatimu di ruang kerjamu nanti?” Vanessa bagai teringat karena tadi pagi Claire menghubungi Raven lewat telepon genggam karena tidak menemukan Raven di ruang kerjanya.

“Ah, rasanya tidak mungkin ia marah, karena aku toh hanya menemanimu melihat-lihat ke hotel kami yang lain. Kehadiranmu di sana bahkan bisa menarik perhatian dari para tamu hotel. Itu hal yang menguntungkan buat hotel kami bukan?” tanya balik Raven.

“Syukurlah kalau begitu,” kata Vanessa merasa lega. “Akhirnya aku punya teman lagi, bukan sekedar penggemar ataupun teman untuk

bersenang-senang.”

“Tampaknya kau juga tidak punya banyak teman?” tebak Raven.

Vanessa mengangguk. “Memang benar. Aku tidak suka bergaul dengan sembarang orang. Aku amat selektif dalam memilih teman dan tidak ingin ikut\-ikutan mereka yang suka keluyuran di malam hari. Karena itulah kadang aku dibilang sombong.”

“Tapi menurutku, para penggemarmu tidak menganggapmu sombong bukan?”

“Betul, karena mereka tahu jelas seluk-beluk diriku yang ingin menjalani hidupku dengan tenang. Hampir tidak ada berita miring mengenai diriku kan? Kurasa, itu salah satu yang membuat para penggemarku salut dan tetap bertahan mendukungku.”

“Sekarang kau tambah lagi satu pendukung,” gurau Raven memancing tawa Vanessa.

Mereka sama-sama tertawa, lalu toast dan minum lagi, sementara malam kian larut.

 * * *

Terpopuler

Comments

Your name

Your name

Kurasa benih-benih cinta mulai tumbuh di antara mereka.

2021-07-27

1

Whiteyellow

Whiteyellow

jumpa lagi

2021-04-02

1

🌻Ruby Kejora

🌻Ruby Kejora

3 like. Sukses selalu
❤️❤️❤️

Salam dari
THE THUNDER'S LOVE
CINTA RASA COVID-19

2021-03-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!