Bab 5.
Hingar-bingar suara musik di klub malam itu terasa memekakkan telinga setiap pengunjung yang datang.
Kerlap-kerlip lampu warna-warni yang menyorot sana-sini dan berkedap-kedip juga terasa menyilaukan mata.
Beberapa buah sofa menyebar di ruangan itu. Puluhan pengunjung pria duduk-duduk di sana sambil ditemani gadis-gadis belia. Mereka minum-minum sepuasnya. Sebentar mereka bercanda, sebentar lagi mereka tertawa terbahak-bahak, seperti kesenangan. Suasana semakin riuh dan meriah oleh suara cekikikan gadis-gadis belia itu.
"Ayo…, minum…, minum…, minum sampai sepuas-puasnya…,” kata mereka berbarengan. Dan gelas-gelas pun di angkat ke atas, saling melakukan toast sekuatnya sampai-sampai gelas itu terasa mau pecah.
Di sisi yang lain, di satu lantai yang cukup luas, tampak disesaki oleh para pengunjung yang sedang berdisko-ria.
Gerakan-gerakan mereka sangat bersemangat mengikuti suara alunan musik keras yang sedang menggelegar. Peluh membasahi sekitar kening mereka walaupun ruangan itu disejuki oleh dinginnya hembusan AC.
Rachel duduk di sofa sendirian. Jari tangannya mengapit sebatang rokok yang dihisapnya berulang kali dan diembuskannya asapnya itu ke udara.
Tiga botol kosong bekas bir tergeletak begitu saja di atas meja. Sementara botol yang satu lagi masih tersisa setengah.
Lagi-lagi ia menuangkan sisa bir itu ke dalam gelasnya dengan tangan bergetar, sementara tangan yang satunya lagi masih memegang puntung rokok.
Setelah minum beberapa teguk, tangan Rachel merogoh ke dalam handbag-nya dan mengeluarkan sebuah ponsel dari sana.
Rachel mencari-cari sebuah nama, setelah dapat, dipijitnya nama orang itu dengan kepala terantuk-antuk.
"Halo?” suara seorang laki-laki terdengar menyahut dari seberang sana.
"Eaven, ini Raven kan?” Rachel memperkeras suaranya karena dentuman suara musik yang keras di ruangan itu mengganggu pendengarannya.
Samar-samar orang itu menjawab.
“Iya, ada apa?”
Rachel mematikan puntung rokoknya, berdiri sesaat, dan dengan sempoyonan ia berjalan ke tempat yang agak terasing dari suara hingar-bingar musik itu.
“Raven, kau harus menjemputku sekarang. Aku ada di Klub X. Aku merasa amat pusing. Rasanya aku tidak bisa pulang kalau kau tidak datang menjemputku. Kau datang segera, ya?”
“Aku tidak bisa, Rachel!” suara Raven terdengar dari ponsel itu yang sengaja dikeraskan sehingga terdengar seperti suara loudspeaker.
“Kau harus datang, aku mohon…, kali ini saja. Aku benar-benar ingin bertemu denganmu.”
"Tidak bisa; Rachel! Aku baru sampai di rumah satu jam lalu. Claire juga tahu aku pulang. Kalau aku keluar lagi, ia pasti akan bertanya.”
"Kau harus datang, Raven. Ayolah…,” rengek Rachel yang mulai mabuk. “Aku punya sesuatu yang pasti kauinginkan. Aku pegang kartu as-mu. Kau dalam keadaan bahaya kalau sampai kau tidak datang.”
"Rachel, apa maksudmu?” suara Raven terdengar penasaran dan ingin tahu.
Rachel tertawa cekakakan. Lalu dengan nada serius, ia berkata, “Aku punya sebuah foto, Raven. Sebuah foto dirimu, setahun yang lalu, yang bila Claire melihatnya nanti, akan ada angin topan dan ******-beliung.”
:Apa katamu? Foto diriku? Setahun lalu?” suara Raven menegang. “Kau jangan main-main denganku, Rachel!” Raven membentak lewat ponsel.
“Aku tidak main-main, Raven. Tidak main-main,” ulangnya seperti mengancam. “Kau masih ingat kan dengan apa yang kaulakukan padaku setahun yang lalu ? Tepatnya malam di mana kita baru pulang dari jamuan makan?” tanyanya mempertajam.
Hening sesaat. Sepertinya orang di seberang sana sedang terkejut hebat.
“Halo?” tanya Rachel, karena Raven tidak menjawab. “Halo, halo?” ulangnya.
“Tunggu!” sentak Raven tiba-tiba. “Kau tunggu aku di sana, aku segera datang!” putusnya dengan tergesa-gesa.
Rachel tertawa senang lalu menutup ponselnya. Dengan tertatih-tatih ia berjalan kembali ke tempat duduknya semula. Lagi-lagi ia menuangkan sisa bir dari botol terakhir ke dalam gelasnya, dan meminumnya sampai habis. Tangannya mencari-cari sembarang nama dari ponselnya dan memijitnya sesuka hati. “Hai…,” katanya selalu, persis seperti orang yang sedang mabuk. “Aku Rachel, sedang ada di Klub X. Mau datang bergabung denganku nggak? Ha…ha…ha…,” ia tertawa-tawa, tampaknya senang sekali.
Rachel benar-benar sudah mabuk. Kepalanya terasa pusing dan berputar-putar. Tak lama kemudian ia tertidur di sofa sendirian. Suaranya mendengkur halus, terasa amat pulas. Bahkan suara musik yang hingar-bingar tidak lagi terdengar olehnya.
* * *
Rachel menggeliatkan kedua tangannya ke atas dan menguap panjang. Ia mengusap-usap matanya dengan punggung tangannya, setelah itu berusaha membelalakkan matanya yang masih mengantuk. Jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk kepalanya yang terasa berat.
Seolah tak percaya ia menatap ke depan, ke arah jalanan yang dilalui oleh beberapa kendaraan. Lalu ia menoleh ke samping, Raven sedang mengemudikan mobil. Wajahnya terlihat tenang namun sorot matanya terasa dingin dan misterius.
Sesaat Rachel bergidik. Ia merasa Raven sedang menyimpan suatu kemarahan terhadap dirinya. Tapi ia masih berusaha bercanda, “He-eh, akhirnya kau datang juga, Raven! Kupikir Claire tidak memperbolehkan kau keluar tadi. Sayang, kau terlambat, karena aku sudah puas minum-minum sendiri. Aduh…, rasanya nyaman sekali karena tadi sempat tertidur pulas sebentar. He… he…, kau membopongku ke dalam mobil ya, Raven? Sejak kapan? Kenapa aku tak sadar? Aduh, leganya….”
Raven tak menjawab. Matanya tetap memandang dingin ke luar jalanan.
Rachel merasa tak enak karena Raven tak memberikan reaksi.
Temaram lampu-lampu di jalanan yang mereka lalui malam itu, beberapa kenderaan yang masih berlalu lalang dalam suasana selarut itu, dan dinginnya angin yang bakal menyergap di luar mobil bila terbuka, membuat Rachel memeluk kedua tangannya sendiri dan menggigit bibir.
Perlahan, ia mencuri pandang dengan hati-hati kepada Raven yang sedang menyetir mobil. Tampaknya laki-laki itu tetap diam dan fokus ke jalanan. Atau, ada yang sedang dipikirkannya sehingga tidak sempat berkata-kata? Ah, Rachel tidak tahu jawabannya.
“Ah, Raven. Apa yang sedang kaukerjakan di rumah tadi? Bersama Claire-mu itu? Tak bosan ya setiap hari bertemu dengannya? Ini kan hari Minggu? Seharusnya kau bersenang-senang di luar, seperti aku ini,” Rachel mencoba memancing.
Raven tak bereaksi. Merasa penasaran, Rachel menggerakkan tangannya, menyentuh bahu Raven.
Dengan sekali kibas, Raven menghalau tangan Rachel itu.
“Ooh…, jadi kau sedang marah ya?” Rachel tersenyum. Dengan nekad ia kembali menaikkan tangannya, kali ini mengelus wajah Raven.
“Jangan sentuh aku!” Raven spontan menangkap pergelangan tangan Rachel yang sedang menyentuh pipinya, lalu membuangnya begitu saja.
“Aduh…, kau menyakitiku,” umpat Rachel karena Raven memegang tangannya dengan kasar dan menghentaknya cukup keras. “Apa kau tidak bisa bersikap lebih lembut padaku, Sayang? Aku ingin kau bersikap lembut seperti malam itu. Aku terus teringat perlakuanmu dan tidak bisa melupakannya sampai sekarang. Aku ingin…, kita bisa bersama lagi,” Rachel tiba-tiba merebahkan kepalanya ke dada Raven yang bidang, dan kedua tangannya memeluk pinggang laki-laki itu yang sedang menyetir.
Tiba-tiba Raven menghentikan laju mobilnya di tepi jalanan dan bertanya tajam, “Di mana foto itu, Rachel?” Kali ini dengan perlahan ia melepaskan pelukan Rachel di pinggangnya, tapi tetap membiarkan wanita itu merebahkan kepalanya.
“Foto? Foto yang mana?” tanya Rachel balik seperti tidak mengerti.
“Foto diriku yang kaukatakan tadi di telepon. Mana itu? Berikan padaku sekarang!”
Rachel pura-pura berpikir sesaat, lalu berseru spontan. “Ooh…, itu maksudmu?” ujarnya pendek sambil menarik kepalanya dari bahu Raven dan meluruskan badannya sendiri.
Tangannya merogoh ke dalam handbag-nya dan mengeluarkan sebuah foto dari sana. Dengan wajah tersenyum ia menyerahkan foto itu pada Raven. “Ini Sayang, foto yang kauinginkan,” katanya setelah mengecup terlebih dahulu foto itu.
Secepat kilat Raven mengambil foto itu dari tangan Rachel dan memperhatikannya dengan seksama.
Hatinya seketika berdebar karena di foto itu tergambar jelas dirinya yang sedang berbaring di atas ranjang dalam sebuah kamar. Ia bertelanjang dada dengan hanya diselimuti oleh selembar selimut putih. Di foto itu, ia lagi tertidur dengan pulas. Dan di dinding kamar itu, tepat di belakang ranjang tempat Raven tertidur, tergantung sebuah foto besar berbingkai. Foto seorang wanita sexy. Dan wanita di dalam foto besar itu adalah Rachel!
Gila! Ini adalah foto dirinya setahun lalu ketika ia bersama Rachel menghabiskan malam di dalam kamar Rachel di apartemennya! Dan foto itu jelas diambil ketika ia sedang tertidur pulas.
Jadi Raven sama sekali tidak tahu kalau Rachel sudah memanfaatkan kesempatan itu untuk meninggalkan bukti.
“Kau keterlaluan, Rachel!” Raven tak tahan lagi dan dengan sekuat tenaga ia mencengkeram lengan Rachel, sehingga Rachel yang saat itu sedang mengenakan gaun hitam tanpa lengan dengan belahan dada rendah, menjerit kesakitan.
“Aduh...,” ia mengerang sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangan Raven yang kekar dari lengannya, tapi bukannya melepaskan, Raven malah semakin memperketat.
“Apa yang kauinginkan dariku, Rachel?!” sentak Raven dengan nada emosi.
“Lepaskan tanganmu dulu, Raven! Kau menyakitiku lagi!” Rachel menjerit tertahan.
Dengan sekali hentak, Raven melepaskan lengan Rachel yang sudah kesakitan.
“Ayo katakan! Apa yang kauinginkan dariku?” tanya Raven. “Apa tujuanmu dengan mengambil foto diriku yang sedang tertidur ini? Apa maksudmu?”
“Tidak ada maksud apa-apa, Raven!” Rachel membela diri. Sambil menggigit bibir, ia mengelus-ngelus sakit di lengannya. “Aku mengambil foto itu begitu saja, tanpa ada maksud apa-apa. Aku suka sekali melihat bentuk tubuhmu itu, apalagi kalau sedang bertelanjang dada. Bagus sekali bukan? Apa kau pikir aku bermaksud jahat padamu? Tidak, Raven. Aku tidak mungkin bermaksud jahat padamu, karena aku sangat mencintaimu. Itu cuma fotomu yang akan kujadikan kenang-kenangan.”
“Tapi kau tahu kan apa akibatnya bila Claire sampai melihat foto ini? Kau tahu kan? Kau tahu kan Claire sangat posesif? Ia bisa meledak dalam kemarahan.”
“Ya, sudah. Jangan biarkan ia melihatnya,” ujar Rachel.
“Kau harus ingat, Rachel,” kata Raven. “Kejadian malam itu tidak kita sengajai. Kau dan aku dalam keadaan mabuk karena baru pulang dari jamuan makan malam klien kita yang amat meriah.”
“Kau memang mabuk, Raven, tapi aku tidak,” sanggah Rachel. “Aku masih dalam keadaan sadar ketika membopongmu. Cuma kau saja yang kurang sadar.”
“Kumohon, Rachel. Kau jangan lagi mengungkit hal ini di depanku. Itu adalah satu-satunya kesalahan yang kuperbuat dalam hidupku. Aku sangat menyesal, dan kalau waktu bisa diputar balik, aku memilih tidak akan pernah melakukan kesalahan itu.”
“Tapi bagiku itu bukan suatu kesalahan, Raven,” Rachel membantah. “Sejak mengenalmu lima tahun lalu, aku sudah menyukaimu, dan belakangan aku semakin yakin kalau aku benar-benar mencintaimu.”
Raven menepis sinis. “Kau mencintaiku? Kupikir, wanita seperti kau tidak mungkin tahu apa itu artinya cinta. Kau cuma ingin mengejar kesenangan semata. Kau juga selalu ingin bersenang-senang. Jadi hentikan omong kosongmu tentang cinta.”
“Tapi Raven…, aku benar-benar mencintaimu. Dan malam ini, aku ingin bersamamu lagi. Biarlah ini untuk yang terakhir kalinya karena setelah itu aku tak akan lagi mengganggumu. Aku akan menjaga hubungan kita di perusahaan, agar tetap nampak sebatas hubungan kerja,” janji Rachel. “Tolonglah, Raven. Untuk malam ini saja….”
“Tidak, Rachel! Itu sama saja dengan kau memintaku mengulangi kesalahan yang sama. Satu kesalahan saja sudah cukup membuatku menyesal. Apalagi kalau sampai dua.” Sambil berkata begitu, Raven menghidupkan mesin mobil, lalu kembali menjalankan mobilnya menuju ke apartemen Rachel.
“Malam ini, kau harus menuruti permintaanku, Raven! Kalau tidak, kau akan tahu akibatnya!” kata Rachel memecah keheningan.
“Aku bilang tidak tetap tidak!” tegas Raven.
“Baiklah, karena kau menolak, maka Claire akan melihat fotomu itu besok,” ancamnya.
Raven spontan mengoyak foto yang ada di dekatnya.
Rachel tertawa sinis. “Silakan kau koyak foto itu sepuasnya. Karena aku masih punya belasan lembar copy-annya.”
“Kau benar-benar licik!” tuding Raven. “Aku tidak akan takut dengan ancamanmu. Claire sangat mendukungku dan ia akan percaya kalau kubilang foto itu karena kau telah menjebakku.”
“Aku tak yakin ia akan percaya kata-katamu,” sindir Rachel. “Lebih baik kau mengaku saja di hadapannya dan lihat apa yang akan diperbuatnya terhadapmu nanti!”
“Itu bukan urusanmu. Turun kau sekarang!” bentaknya sambil menghentikan laju mobil tiba-tiba walaupun rumah Rachel masih sekira dua ratus meter lagi dari situ.
“Aku tidak mau! Kau harus mengantarku sampai di depan pintu apartemenku dan kita sama-sama masuk ke dalam. Kalau tidak, jangan harap aku mau.”
“Turun kau!” bentak Raven lagi. Karena Rachel tak mau, maka Raven yang membuka pintu mobil di sampingnya dan mendorongnya keluar. “Mulai besok, kau tidak usah lagi ke perusahaan. Aku sudah muak melihatmu!” Setelah itu Raven menutup pintu mobil dengan suara keras dan bersiap-siap menjalankan kembali mobilnya.
Dengan kesusahan Rachel menjaga keseimbangan tubuhnya yang hampir jatuh karena didorong secara paksa oleh Raven untuk keluar dari dalam mobil.
Setelah itu mobil pun bergerak maju dengan kecepatan tinggi. Rachel berteriak sekuatnya, “Raven, tunggu…! Tunggu, Raven…! Raven…! Raven…!” Rachel menghentakkan sepatu tumit tingginya ke tanah dan menghentikan lambaiannya pada laju mobil Raven yang sudah meninggalkannnya.
Percuma saja ia memanggil-manggil, karena Raven tidak mau kembali.
“Sialan!” umpatnya di belakang mobil Raven yang sudah mendahuluinya.
Dengan terpaksa ia membuka sepatu tumit tingginya, memegang kedua belah sepatu itu di tangannya dan berjalan kaki menuju apartemennya yang masih berjarak dua ratus meter lagi.
Ia terus mengumpat dan mengomel panjang pendek. Tangan dan kakinya terasa sakit. Kepalanya terasa pusing. Tapi hatinya lebih sedih lagi. Laki-laki yang dicintainya membuangnya begitu saja , seolah membuang seonggok sampah.
Ah, tapi sebenarnya Raven tidak bisa disalahkan karena laki-laki itu tidak pernah mencintainya. Rachel yang dengan sengaja telah memanfaatkan kesempatan yang ada, setahun yang lalu itu.
Di saat laki-laki itu lengah dalam keadaan mabuk, ia membopongnya ke apartemennya, walaupun seharusnya kalau ia berniat baik, seharusnya ia mengantarkan laki-laki itu pulang terlebih dahulu, karena Rachel sendiri tidak mabuk.
Tapi karena perasaan cinta dan dahaga yang dirasanya sejak lama terhadap Raven, maka Rachel pun tidak kuasa menolak keinginan hatinya itu. Semuanya terjadi begitu saja.
Rachel terus berjalan. Tak dihiraukannya bila kadang ada pejalan kaki yang berpapasan dengannya dan melihat dirinya yang tidak beralas kaki. Rasanya ia cuma ingin segera sampai di apartemen dan membaringkan tubuhnya di kasurnya yang empuk, menghilangkan rasa pusing di kepalanya.
Akhirnya ia sampai juga di bangunan apartemen tempatnya tinggal selama ini.
Dengan menghela napas lega ia masuk ke koridor, menaiki lift menuju apartemennya yang terletak di lantai empat. Setelah pintu lift terbuka, ia pun berjalan menuju apartemennya itu.
Rachel merogoh handbag-nya dan mengeluarkan seikat kunci dari dalam. Dengan tangan agak gemetar menahan dingin, ia berusaha memasukkan kunci itu ke lobangnya. Mungkin karena tergesa-gesa, kunci itu terjatuh ke lantai.
Ia membungkuk untuk mengambil kunci yang jatuh itu. Ketika ia berdiri, sebuah tangan tiba-tiba membekap mulutnya dari belakang. Rachel hendak berteriak, tetapi tangan itu amat kuat mengunci bibirnya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang yang membekapnya karena lampu yang menerangi tempat itu cukup temaram.
Dengan kasar orang itu menuntun Rachel memasukkan kembali kunci itu ke lobangnya. Setelah pintu terbuka, ia mendorong tubuh Rachel ke dalam, dan menguncinya dari dalam.
“Oh…!” Rachel mengatur napasnya yang sesak dan setelah di dalam, ia berusaha melihat wajah orang yang membekapnya tadi.
Sebenarnya penerangan lampu di ruangan itu cukup temaram, sehingga Rachel tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang itu. Tetapi karena ia merasa sosok itu familiar baginya, maka samar-samar pun Rachel mengenalinya.
“Rupanya kau!” serunya tertahan.
"Kupikir siapa. Akhirnya kau datang juga. Aku…, aku…,” Rachel mendekati orang itu yang menatapnya dengan kaku. Lalu ia memeluk tubuh yang berdiri tegak itu dan membenamkan kepalanya ke situ.
Rachel menumpahkan tangisnya di bahu bidang itu dengan lega dan berkata, “Aku sangat membutuhkanmu, kau jangan pergi ya. Temani aku malam ini.”
Perlahan, Rachel mengangkat kepalanya, dan sekarang ia bisa melihat dengan jelas wajah orang yang dipeluknya itu. Tetapi ekspresi wajah orang itu amat dingin, seolah-olah menyimpan sesuatu yang siap untuk dibuncahkan.
“Kau…, kau kenapa?” tanya Rachel heran. Tangannya dinaikkan sampai menyentuh pipi orang di depannya. Lalu dengan wajah yang didekatkan, ia berusaha menggapai bibir orang itu yang berdiri kaku.
"Ayolah, kenapa kau diam saja? Aku tahu kau pasti akan datang mencariku. Aku sudah mengharapkanmu sejak tadi. Aku sudah menebaknya, kau tidak mungkin pergi dariku....,” dengan bernafsu Rachel me***** bibir orang itu, dan juga me***** lekuk-lekuk di wajahnya yang amat jantan sampai ia merasa puas.
Beberapa detik, Rachel tenggelam sendiri dalam kebuasannya, melampiaskan seluruh resah dan dahaga yang dirasakannya. Tetapi orang itu tetap tak bereaksi.
Rachel mulai curiga. “Ada apa denganmu? Kenapa kau dingin sekali?”
Ia mundur dua langkah. Tetapi orang itu sekonyong-konyong menarik tubuh Rachel kembali namun tangan Rachel dipitingnya dari belakang, sehingga punggung Rachel menimpa tubuhnya.
“Hei…! Apa maumu!?” Rachel mencoba berteriak. Tetapi orang itu mengeluarkan sesuatu dari balik pinggangnya. Sebuah sapu tangan yang diselipkannya di antara kaos dan jaket yang dikenakannya. Sebelum Rachel sempat bereaksi, orang itu sudah membekapkan sapu tangan itu ke mulut Rachel.
Susah payah Rachel mencoba melepaskan bekapan keras di mulutnya itu, karena tenaga orang itu amat kuat, dan Rachel tidak kuasa melawannya. Ia hanya sempat menggumam tak jelas lalu berontak sekuat tenaga karena kehabisan napas, sebelum akhirnya benar-benar terkulai lemas dan terjatuh ke atas lantai dengan tak berdaya.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Rosni Lim
Semakin bagus audionya
2021-08-07
1
Nailil Ilma
Yok kak semangat....
Selalu dukung karyamu
2021-07-18
1
Fira Ummu Arfi
semangattt teruusss kakkk
salam ASIYAH AKHIR ZAMAN 🥰🥰🥰🥰
2021-04-19
1