Bab 18.
Sudah sebulan berlalu semenjak kejadian tewasnya Vanessa di villa milik Raven.
Kejadian itu menimbulkan banyak kontroversi dan desas-desus di kalangan media dan para penggemar Vanessa.
Tetapi polisi toh sudah menyimpulkan kalau kematian Vanessa adalah karena bunuh diri. Sebab penyanyi tenar itu tak sanggup mendapati dirinya sendiri yang sudah berubah menjadi menakutkan, tidak lagi cantik seperti dulu.
Keadaan Hotel “Harrington” kembali normal. Semua aktivitas berjalan lancar seperti biasanya. Seorang manajer baru telah dipilih untuk menggantikan posisi Caroline yang menghilang entah ke mana.
Tampaknya Hotel “Harrington” sudah kembali tenang setelah kematian dua orang karyawannya secara misterius, yaitu Rachel dan Tracy. Lalu menghilangnya sang manajer, yaitu Caroline, yang sampai sekarang tidak diketahui di mana rimbanya, apakah ia masih hidup?
Raven duduk di kursi menatap pada laptop di ruang kerjanya. Tampaknya ia sangat serius memperhatikan layar, sebelum handphone-nya tiba-tiba berbunyi. Raven meraih handphone itu yang tergeletak di meja, lalu melihat nomor yang masuk. Sebuah nomor yang tidak dikenalnya!
“Halo?” sapanya pendek. Matanya masih menatap ke layar laptop.
“Halo, ini aku…,” suara perlahan di seberang sana bagai menyentakkan Raven.
“Ya…?” Raven merapatkan handphone itu ke daun telinganya, ingin mendengar lebih jelas lagi suara si penelepon.
“Ini aku…, kau harus percaya.dan datang menemuiku sekarang juga. Ada hal yang sangat penting yang harus kau ketahui. Datanglah sekarang juga ke Taman Z, di sudut paling kanan dari Taman itu, di dekat patung bergambar seorang tuan puteri.”
“Halo?” Raven ingin bertanya, tetapi orang itu sudah memutuskan teleponnya. Sesaat, Raven merasakan bulu kuduknya merinding. Suara itu amat dikenalnya karena sangat familiar baginya! Raven merasa tak ragu lagi dan tak salah lagi, itu pastilah dia!
Raven berjalan tergesa-gesa meninggalkan meja kerjanya. Handphone yang berada digenggamannya dimasukkannya ke saku jasnya. Ia melangkah cepat mendekati pintu ruang kerjanya. Di saat ia membuka pintu dan melangkah keluar, ia bertabrakan dengan Claire yang juga ingin masuk ke dalam.
“Ada apa ini? Kenapa kau tergesa-gesa?” tanya Claire yang berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Matanya menatap penuh selidik.
“Oh, sori, Claire, ada hal penting yang harus kukerjakan sekarang ini,” kata Raven. “Kalau kau mau membicarakan suatu hal denganku, sebaiknya nanti saja ya, sesudah aku kembali.”
Sebelum Claire sempat bertanya lebih lanjut, Raven sudah melangkahkan kakinya terburu-buru meninggalkan dirinya. Tinggallah Claire yang menghela nafas panjang dan menggeleng-geleng tak mengerti.
* * *
"Kau masih ingat dengan liburan kita ke pantai beberapa waktu lalu, Claire?” tanya Raven sambil menjatuhkan dirinya ke sofa ruang tamu di dalam rumah Claire yang besar.
Claire mengalihkan matanya dari majalah yang sedang dibacanya dan menatap Raven sesaat. “Masih, memangnya kenapa?” tanyanya balik, lalu kembali menekuni bacaannya.
Raven menggeser duduknya agak mendekati Claire. “Saat itu, aku katakan padamu, akan menyatakan suatu hal yang penting bukan, tetapi tak jadi?”
Claire berpikir sesaat, lalu mengangguk, “Memang benar. Aku masih ingat.”
“Sekarang, aku akan katakan lagi hal itu padamu,” ucap Raven tiba-tiba.
Claire menurunkan majalah yang dibacanya, menutupnya, dan menaruhnya ke atas meja. Dengan mata curiga, ia bertanya heran, “Kenapa tiba-tiba kau ingin katakan hal itu padaku, Raven? Apa yang terjadi?”
“Karena inilah saat yang tepat,” jawab Raven cerdas. “Aku tidak mau lagi menunggu terlalu lama. Sebenarnya saat di pantai itu, aku sudah ingin mengatakan padamu, kalau aku… mencintaimu…, dan ingin kau menjadi pendamping hidupku untuk selamanya. Maukah kau menikah denganku, Claire?”
Claire seolah tak percaya mendengar kata-kata Raven barusan. Ia berusaha menemukan kebohongan yang mungkin saja ada di wajahnya, tetapi ia tidak berhasil. Karena sorot mata Raven menunjukkan ketulusan atas apa yang diucapkannya. Tampaknya Raven tidak mungkin berbohong.
“Itukah yang ingin kaukatakan padaku saat itu, Raven?” tanya Claire sambil menelan ludah. Kepalanya tertunduk, seolah menyesali sesuatu. “Kenapa lama sekali baru kaukatakan padaku, Raven? Kenapa tidak dari dulu-dulu, sebelum terjadi semua kejadian yang membingungkan ini di sekitar kita? Kau tahu kan, Rachel, Tracy, dan Vanessa, sudah mati begitu saja?”
“Apa hubungannya kematian mereka dengan pernyataanku ini?” tanya Raven tak mengerti.
“Tentu ada, Raven,” jawab Claire, mengangkat kepalanya. “Setelah kematian mereka bertiga, rasanya aku sudah tidak berminat lagi untuk menikmati kebahagiaan.”
“Mereka mati bukan karena salahmu, Claire. Kita tidak tahu siapa pembunuh Rachel dan Tracy. Lalu Vanessa pun mengakhiri hidupnya sendiri. Itu semua bukan salahmu, dan tak ada kaitannya dengan kita. Jadi apakah kita tidak berhak untuk memperoleh kebahagiaan kita sendiri? Sadarlah, Claire. Dan menikahlah denganku! Bila kau jawab “ya” saat ini, maka besok akan kuumumkan pada seluruh karyawan perusahaan kalau kita akan segera menikah. Jadi tidak ada lagi yang bakal mengganggu hubungan kita, karena aku akan menjadi milikmu seutuhnya, dan kau pun akan menjadi milikku seutuhnya.”
Claire menunduk kembali. Hatinya terasa pedih memikirkan semua ini. Setelah banyak kejadian tragedi di sekitar mereka akhir-akhir ini, masih bisakah ia menikmati kebahagiaan?
Betulkah saat yang ditunggu-tunggunya sejak dulu itu sudah tiba? Saat ia dengan Raven melangkah ke pelaminan dengan jas dan gaun pengantin indah, hasil rancangannya sendiri? Betulkah ia berhak menikmati semua itu?
“Jawab aku, Claire,” pinta Raven.
Tangannya sekarang menggenggam jari jemari Claire yang masih menyembunyikan wajahnya. “Jawablah, Claire. Katakan saja “ya”, dan semuanya akan selesai.”
Claire mengangkat kepalanya, menatap sayu pada Raven yang masih menanti jawabannya. Dengan senyum setengah bahagia dan setengah gundah, Claire pun menjawab bimbang, “Ya!”
Raven tersenyum puas mendengar jawaban dari Claire itu. Dengan spontan ia memeluk tubuh gadis itu dan membenamkan kepalanya ke dadanya yang bidang. Tangannya mengelus rambut panjang gadis itu yang terurai lembut dan berombak. “Terima kasih, Claire,” bisiknya perlahan. Hatinya terasa bahagia, walaupun bercampur dengan sedikit perasaan sedih.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
triana 13
lanjut lagi
2021-07-25
1
zien
semangat💗💗 semoga sukses selalu 💐💐💗💗🌹🌹
2021-05-18
1
Dewi Ws
❤
2020-11-10
1