Bab 6.
Pintu ruangan Raven terbuka. Claire masuk ke dalam dengan langkah-langkah kaki perlahan. Begitu hati-hati langkahnya sampai tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
Raven sedang asyik membaca sesuatu, sehingga tidak menyadari kalau Claire sudah berdiri di depan mejanya.
Ketika Claire mendehem, barulah Raven mengangkat kepalanya dan tampak terkejut melihat kehadiran gadis itu.
"Kau tidak mengetuk pintu dulu,” protesnya.
"Ha?” Raut wajah Claire menunjukkan ketidaksenangan. “Apa aku harus meminta persetujuan darimu dulu sebelum melakukan segala hal?” tanyanya tajam.
"Bukan begitu, Claire, bukan itu maksudku,” dengan tergesa-gesa Raven berdiri dari duduknya dan berjalan memutar, melonggarkan letak kursi yang ada di dekat Claire.
Dengan angkuh, Claire duduk di kursi yang ditarik oleh Raven. Lalu, ia menarik nafas panjang, menunggu sesaat Raven yang kembali ke tempat duduknya.
Claire melirik ke arah meja Rachel yang masih kosong. Lalu ia bertanya, “Ke mana Rachel? Kok nggak nampak?”
Raven menghela nafas berat. “Ia tidak datang!” jawabnya singkat.
“Tidak datang? Apa ia sakit? Atau…, terlalu banyak bersenang-senang denganmu semalam?”
Hati Raven berdesir.“Apa maksudmu, Claire?” tanyanya perlahan. “Aku tidak mengerti apa yang kaukatakan. Rachel tidak datang, dan untuk seterusnya memang ia tidak akan pernah datang lagi. Aku sudah memecatnya!”
Sesaat Claire terpana. “Kau memecatnya, Raven? Kenapa? Lagipula, kau tidak meminta persetujuan dariku. Aku sampai tidak tahu….”
“Bisakah kita jangan lagi membicarakan tentang Rachel?” potong Raven merasa tak senang. “Dia itu barang yang tidak ada artinya!”
Claire menatap Raven tajam. “Kenapa kau kasar sekali padanya? Aku melihat dia sekretaris yang cocok untukmu selama ini bukan? Lagipula, kalian sudah bekerjasama selama beberapa tahun belakangan ini, kenapa tiba-tiba kau memecatnya?”
"Itu urusanku, Claire! Kau tidak perlu tahu.”
"Aku berhak untuk tahu, Raven! Karena mereka semua bekerja di perusahaanku!” teriak Claire.
Rasanya ia kesal sekali melihat kelancangan Raven yang telah berani mengambil tindakan sendiri dan membantahnya beberapa kali.
“Maafkan aku, Claire,” Raven memperlunak suaranya. “Aku tidak bermaksud meremehkanmu. Tetapi tolong, ini adalah urusan pribadiku, kau jangan ikut campur ya?”
Claire menggigit bibir. Nah, terus terang begitu kan lebih baik! Pikirnya.
Telepon di meja Raven berbunyi. Dengan cepat Raven mengangkat gagangnya dan terdengar suara operator wanita di seberang sana. “Tuan…, ada telepon untuk Tuan di line 3.”
"Halo?” jawab Raven setelah memijit line 3 di pesawat teleponnya.
"Halo, ini Tuan Raven kah?” terdengar suara berat seorang pria di seberang sana.
"Iya, saya sendiri. Ini siapa?” balas Raven.
"Tuan Raven, saya dari Kepolisian. Bisakah Anda hadir di kantor polisi sekarang? Kami ingin meminta keterangan dari Anda berkaitan dengan kematian Nona Rachel tadi malam.”
"Apaaa…?!” Raven tersentak kaget. “Rachel…, dia…?!”
“Betul, Tuan. Nona Rachel meninggal tadi malam. Dan kami curiga akan kematiannya. Saksi mata berkata, Anda lah orang terakhir yang bersama dengannya.”
Raven menurunkan tangannya, meletakkan gagang telepon itu ke tempatnya semula. Ia tampak terpekur sesaat sebelum akhirnya tersenyum hambar, serasa tak percaya.
"Ada apa, Raven?” tanya Claire melihat perubahan mimik wajah Raven. “Apa yang terjadi? Siapa itu yang menelepon? Ada apa dengan Rachel?” berondongnya bertubi-tubi.
“Rachel sudah mati,” jawab Raven.
Claire menggeleng-geleng. “Dua hari lalu aku masih melihatnya segar bugar,” katanya tak percaya.
"Iya, itu tadi telepon dari Kepolisian, mereka curiga akan kematiannya,” tambah Raven.
"Apa menurut mereka, Rachel dihabisi?” Claire menaikkan tangannya ke dekat lehernya dan memperagakan gerakan sebelah pisau.
"Aku tidak tahu…,” Raven menggelengkan kepala. Dengan lemas ia bersandar di sandaran kursinya dan matanya menerawang.
“Raven,” panggil Claire tiba-tiba, memecahkan lamunan laki-laki itu. “Apakah ada bukti? Mereka curiga padamu kah? Kau bersama dengannya kan tadi malam?”
Raven menatap Claire dengan curiga. “Darimana kau tahu aku bersama dengannya? Kau memata-mataiku?”
"Ah, tidak,” jawab Claire merasa jengah. “Tadi malam kan kau tiba-tiba keluar setelah mendapat panggilan dari Rachel. Ke mana lagi kalau bukan menemuinya?”
Claire mencuri lihat ke wajah Raven, tapi laki-laki itu semakin menatapnya. “Oh…, iya aku akui,” Claire terpaksa mengaku. “Aku memang mencuri lihat panggilan masuk di ponselmu tadi pagi sewaktu kau sedang mandi. Aku lihat, nomor panggilan masuk di jamnya kau keluar tadi malam, adalah nomor ponsel dari Rachel. Jadi aku pikir, kau pasti keluar menemuinya, iya kan?”
"Kau mengganggu privacy-ku, Claire. Dan kau mencampuri urusan pribadiku,” tuduh Raven merasa tak senang.
"Kalau tidak begitu, dari mana aku tahu apa yang kaulakukan?” Claire bangkit dari duduknya. Ia tampak rada emosi. “Kau tidak mau jujur padaku, Raven! Ada yang sengaja kausembunyikan dariku. Ada yang tidak pernah kauceritakan padaku. Kalau bukan karena papaku meninggal dan aku berada di perusahaan menggantikannya, maka selamanya aku tidak akan pernah tahu. Kau telah membohongiku! Kau dan Rachel punya hubungan khusus!” tuding Claire bertubi-tubi.
Sudah kukatakan, Rachel tidak ada artinya bagiku! Tidak bisakah kau melihatnya sendiri? Lagipula, sekarang ia sudah tiada, untuk apa mengungkitnya?”
"Apa karena ia tak berarti bagimu, maka kau menghabisinya?” sindir Claire tajam.
"Kau jangan sembarangan bicara, Claire! Apa kau punya bukti? Kau pikir, aku akan melakukan perbuatan sekeji itu?”
Claire mendengus. “Sebaiknya kau pergi ke kantor polisi sekarang!” katanya sambil membuang muka dan membalikkan badan. Dengan langkah-langkah kaki yang sengaja dikeraskan, ia berjalan keluar dari ruangan Raven.
* * *
Raven melangkahkan kakinya memasuki kantor polisi itu. Rupanya kedatangannya sudah ditunggu sejak lam.
Seseorang menuntunnya memasuki sebuah ruangan. Ia melihat ada beberapa orang di sana, tetapi tampaknya hanya ada seorang yang berkedudukan tinggi yang berpakaian lain daripada yang lainnya. Dan orang itu bertubuh tambun.
"Selamat siang, Tuan Raven, perkenalkan, saya Inspektur Jason. Tadi saya yang menelepon Anda.”
Raven menjabat tangan laki-laki yang bersuara berat itu. Mungkin sama beratnya dengan bobot tubuhnya itu. “Raven,” katanya pendek.
Inspektur Jason mempersilakannya duduk. Dan Raven pun duduk di hadapan Inspektur itu. Mereka hanya dibatasi oleh sebuah meja.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Inspektur Jason berkata, “Kurasa, Anda sudah tahu kenapa Anda dipanggil ke sini bukan, Tuan Raven? Ya, betul, semua itu berkaitan dengan kematian Nona Rachel. Kami mencari tahu dari penghuni-penghuni lain di apartemen itu, dan mereka bilang kalau Nona Rachel hampir tiap malam pergi ke klub malam X. Kami menelusuri tempat itu, dan kata pelayan di situ memang malam itu Nona Rachel ada pergi ke sana. Ia minum empat botol minuman keras sampai mabuk dan tertidur pulas di sofa. Tak lama kemudian Anda datang menjemputnya dan membayar kas bon. Anda membopongnya keluar dari klub malam itu. Penjaga di situ melihat Anda memasukkannya ke dalam mobil Anda, lalu mobil Anda pun melaju pergi. Betulkah begitu ceritanya, Tuan Raven?” tanya Inspektur Jason.
Raven mendengarkan penuturan dari Inspektur itu, dan menjawab jujur, “Memang betul begitu,” angguknya.
“Setelah mobil Anda melaju pergi, mereka tidak lagi melihat Anda. Tapi sekira dua ratus meter dari apartemen Rachel, ada penghuni di situ yang melihat Nona Rachel keluar dari mobil Anda. Tampaknya Nona Rachel menunjukkan mimik yang kesal dan sepertinya kalian baru habis bertengkar. Betul begitu?”
Lagi-lagi Raven mengangguk. “Iya, aku menyuruhnya keluar dari mobilku sebelum sampai di apartemennya.”
“Anda menyuruhnya keluar?” tatap Inspektur itu penuh selidik. “Apa Nona Rachel mau keluar begitu saja?”
"Oh, maaf,” ralat Raven. “Aku mendorongnya keluar karena ia tetap bertahan.”
“Kenapa Anda lakukan itu?” tanya Inspektur.
"Karena aku sangat marah,” jawab Raven mudah. “Aku muak melihatnya dan aku ingin ia segera keluar dari mobilku.”
"Setelah itu?” selidik Inspektur Jason lagi.
"Setelah itu, aku menancap gas dan pergi meninggalkannya. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya, karena aku tidak melihat ke belakang.”
"Anda tidak melihat ke belakang?” tanya Inspektur itu.
"Memang tidak,” jawab Raven pendek.
"Lalu Anda membawa mobil Anda itu ke mana?”
“Yah, tentu saja langsung pulang ke rumah! Apa aku harus berhenti di apartemennya dulu dan menunggu ia berjalan kaki dari belakang? Untuk apa? Toh, aku tidak perlu lagi bicara dengannya.”
Inspektur Jason berhenti sebentar. Lalu ia melanjutkan interogasinya. “Tuan Raven, maukah Anda bercerita kenapa Nona Rachel sampai memanggil Anda datang ke klub malam X?”
“Karena ia mabuk,” jawab Raven singkat.
"Maksudku, apakah ia ingin membicarakan sesuatu hal yang penting dengan Anda?”
Raven terdiam. “Ini masalah pribadi kami. Tetapi yang jelas, tidak ada hubungan dengan kematiannya.”
"Tahukah Anda bagaimana caranya Nona Rachel dihabisi?”
"Aku tidak tahu,” jawab Raven.
"Ia dihabisi dengan cara dibekap mulutnya sampai ia kehabisan napas begitu sampai di apartemennya. Malah ia belum sempat mengganti baju dan melakukan hal apapun. Keadaan kamarnya rapi dan tidak berantakan. Tidak ada perlawanan yang cukup berarti. Sebenarnya kalau pun Nona Rachel melawan, tidak akan gampang begitu saja, karena dari hasil pemeriksaan ada sesuatu zat racun yang telah dihirupnya. Jadi kami menduga, pelaku itu menggunakan sapu tangan yang telah dibubuhi suatu zat racun untuk mempercepat kepergian Nona Rachel.”
Raven diam tepekur.
“Oh iya, ternyata pelaku itu juga mengambil ponsel dari Nona Rachel. Karena ponselnya tidak ada di handbag-nya. Kami juga sudah mencari ke mana-mana. Rupanya pelakunya itu cukup cerdas dengan menghilangkan ponsel Nona Rachel, supaya polisi tidak tahu siapa-siapa saja yang telah dihubungi olehnya pada malam kepergiannya. Tetapi pelaku itu juga cukup bodoh, karena selalu ada saksi mata di sekeliling Nona Rachel.”
Raven bertanya sinis. “Apa saksi mata kalian itu melihat dengan jelas seseorang keluar dari apartemennya Nona Rachel?”
Inspektur Jason terdiam. “Kalau itu memang tidak,” katanya pelan. “Pelakunya sungguh cerdas. Kami sampai tidak tahu bagaimana caranya ia masuk dan keluar begitu saja tanpa terlihat oleh siapa-siapa.”
“Pasti ia menunggu saat yang benar-benar sunyi, sehingga tidak ada seorang pun yang melihat kedatangan dan kepergiannya,” kata Raven enteng.
"Apa Anda pikir begitu?” tanya Inspektur Jason.
“Iya, jelas begitulah! Karena tidak ada jejak sedikit pun, apakah mungkin setan yang melakukannya?” sindir Raven.
Inspektur Jason menghening sesaat.
“Apa aku boleh pergi sekarang?” tanya Raven sambil bangkit dari duduknya.
Sambil mengibaskan tangan, Inspektur Jason menyilakan Raven untuk pergi. Tampaknya, ia tidak punya cukup bukti untuk menahan Raven yang dicurigainya.
* * *
“Caroline, bisa kau ke ruanganku sebentar?” Raven menghubungi Caroline lewat telepon di meja kerjanya. Ia baru pulang dari kantor polisi tadi, dan sekarang sedang melihat berkas-berkas di mejanya.
"Iya, Tuan Raven,” jawab Caroline segera.
Tak lama berselang, Caroline masuk dengan langkah-langkah kaki perlahan dan kedua tangan disilangkan ke depan. Dengan sopan ia memberi hormat pada Raven, “Selamat siang, Tuan Raven. Ada apa Tuan memanggilku?” tanyanya.
"Silakan duduk,” Raven mempersilakan Caroline untuk duduk di depan mejanya.
Dengan hati-hati, Caroline duduk di kursi yang berhadapan dengan Raven.
Setelah menarik nafas sesaat, Raven berkata, ”Begini, Caroline. Bisakah kau mencarikanku seorang sekretaris baru? Tapi harus secepatnya dan memenuhi kriteria.”
“Oh, untuk menggantikan Nona Rachel, Tuan?” Caroline bertanya sambil melirik ke arah meja Rachel yang kosong. “Kasihan ya dengan Nona Rachel…,” gumamnya perlahan.
"Kau juga telah tahu tentang apa yang terjadi padanya?” Raven menatap Caroline dengan heran.
"Oh, tentu saja, Tuan. Kami semua sudah tahu. Pagi-pagi sekali tadi ada orang yang datang tergesa-gesa dan memberitahukan tentang kejadian yang menimpa Nona Rachel. Sebentar saja kabar itu berhembus dari mulut ke mulut, dan sekarang seluruh pegawai hotel di sini juga sudah tahu.”
Caroline memperhatikan wajah Raven yang berubah mendengar kata-katanya. Ia dapat merasakan ketidaknyamanan yang ditunjukkan oleh pria di depannya itu. Untuk memperbaiki suasana, Caroline cepat-cepat berkata, “Ah iya, hal yang sudah berlalu biarlah berlalu. Mungkin Nona Rachel punya banyak musuh karena pribadinya yang kurang baik. Ia juga suka berteman dengan orang-orang yang nggak benar. Semoga saja dosa-dosanya diampuni.”
Raven tepekur mendengar kata-kata yang diluncurkan oleh Caroline.
Melihat reaksi yang diberikan oleh pria itu, Caroline mengganti topik pembicaraan. “Tadi kata Tuan Raven ingin mencari sekretaris baru? Bagaimana kalau kita buat iklan lowongan pekerjaan di surat kabar? Kriteria yang bagaimana yang diinginkan oleh Tuan? Apakah harus seperti Nona Rachel? Mengingat Nona Rachel telah cocok bekerjasama dengan Tuan selama beberapa tahun belakangan ini?”
“Tidak perlu seperti Rachel,” jawab Raven. Tangannya meraih sebungkus rokok yang tergeletak di atas meja, lalu mengambilnya sebatang. Dengan pemantik api, disulutnya rokok itu. Setelah menghembuskan asapnya sesaat, ia berkata. “Yang penting ia tahu tugas-tugasnya sebagai seorang sekretaris, berpengalaman, juga tidak buta di bidang perhotelan. Yang terutama lagi, ia bisa segera masuk kerja besok. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama, karena pekerjaan Rachel terbengkalai saat ini.”
"Kurasa tidak bisa secepat itu, Tuan,” tepis Caroline. Mana mungkin dalam waktu sehari bisa mencari pengganti Rachel, pikirnya. Lalu ia melanjutkan, “Kalau memasang iklan di surat kabar besok, mungkin lusa baru akan ada yang melamar. Biasanya memakan waktu beberapa hari baru surat lamaran dikumpulkan. Setelah itu harus diseleksi pula satu-persatu, diwawancarai, baru akhirnya disuruh masuk kerja. Apakah Tuan bisa menunggu sampai satu minggu?” beritahunya.
Raven menggeleng, mengisap dalam-dalam rokok yang berada di tangannya.
"Jangan selama itu, Caroline,” tolaknya. “Kupikir, kau ada kenalan yang mungkin memenuhi kriteria yang aku sebutkan tadi. Kalau ada, kau suruh ia menemuiku besok, dan lusa sudah mulai bisa bekerja.”
Caroline berpikir-pikir sejenak. Keningnya tampak berkerut-kerut di atas kacamatanya yang tebal. Tiba-tiba ia bagai teringat sesuatu. Dengan wajah yang berubah ceria ia berkata, “Oh, sungguh kebetulan sekali, Tuan. Seminggu lalu, ada seorang kenalanku yang mengatakan keponakannya yang baru pulang dari luar negeri, sedang mencari pekerjaan. Ia memang tamatan sekolah kesekretarisan di bidang perhotelan. Dan ia juga pernah bekerja selama beberapa tahun di salah satu hotel di luar negeri. Mungkin ia orang yang Anda cari, Tuan. Orangnya masih muda, cantik, dan berpendidikan. Aku pernah bertemu dengannya sekali.”
“Ohya?” Raven tampak tertarik. Dihembuskannya asap rokok yang menggumpal di mulutnya, ditepiskannya sekali abu yang dihasilkan oleh percikan api itu ke asbak. Lalu dengan sebuah anggukan setuju, ia berkata, “Suruhlah ia datang menemuiku besok. Aku yakin orang yang kaukenalkan nanti pasti cocok untuk menggantikan Rachel. Aku percaya padamu, Caroline.”
“Terima kasih, Tuan Raven. Sekarang aku akan segera menghubungi kenalanku itu. Aku tidak hapal nomor teleponnya. Ijinkan aku melihat nomor teleponnya di buku memoku.” Caroline bersiap-siap untuk pamit dan bangkit dari kursinya.
Sebelum Caroline pergi, Raven tiba-tiba teringat sesuatu. “Ohya, di manakah Nona Claire? Aku menunggunya sejak tadi. Kupikir ia akan mencariku langsung sepulangnya aku dari kantor polisi.”
Caroline tak jadi pergi, dan tetap berdiri di depan Raven. Ia mendehem sekali. “Nona Claire sudah pulang ketika Anda ke kantor polisi tadi,” beritahunya.
“Pulang?” Raven melirik jam tangannya sambil mengerutkan dahi. “Ini baru tengah hari. Berarti ia sudah pulang sebelum siang tadi?”
“Iya, Tuan,” Caroline mengangguk. “Aku berpapasan dengannya tadi. Ia bersama dengan Tuan Kyle. Ia sempat berpesan padaku kalau sedang tidak enak badan dan mau pulang ke rumah. Ketika aku bertanya apakah ia akan balik ke kantor lagi, jawabannya tidak.”
"Jadi Kyle juga ikut pulang?”
"Kupikir tidak begitu,” jawab Caroline merasa ragu. Mimik wajahnya seolah menyimpan sesuatu yang tidak berani diungkapkan.
“Ada sesuatu yang ingin kaukatakan padaku?” Raven menatap ingin tahu pada Caroline yang berdiri dengan menyilangkan kedua tangannya ke depan. Kepalanya tertunduk. “Katakan saja, Caroline, biarkan aku mendengarnya,” desak Raven.
Dengan hati-hati, Caroline mengangkat kepalanya, membetulkan letak kacamatanya dengan menggesernya ke atas, lalu membuka mulut, “Aku yakin Tuan Kyle tidak pulang ke rumahnya. Melainkan terus mendampingi Nona Claire.”
Dahi Raven berkerut. “Jadi maksudmu, Kyle menemani Claire pulang ke rumah?” tanyanya tak percaya.
“Maafkan aku, Tuan. Tapi kurasa memang begitu. Karena aku perhatikan, akhir-akhir ini Nona Claire sangat dekat dengan Tuan Kyle. Mereka sepertinya sangat akrab, sampai-sampai orang yang tidak tahu akan mengira mereka berpacaran. Kadang mereka berjalan berdua sambil bercanda dan berpegangan tangan. Pegawai di sini semua tahu, hanya saja Tuan yang tidak tahu karena terlalu sibuk dengan pekerjaan.”
Raven menarik nafas tertahan. Dadanya tiba-tiba terasa sesak mendengar kata-kata Caroline. Sesuatu yang tidak diketahui dan sama sekali tidak disangkanya. Apakah mungkin Claire dan Kyle sedang merencanakan sesuatu yang tidak ia ketahui? Bisa saja Claire ingin menyingkirkannya, karena posisi Raven yang amat kuat di perusahaan. Pasti Claire tidak ingin perusahaan papanya jatuh ke tangan orang lain.
"Kalau tidak ada yang Tuan perlukan lagi, aku permisi dulu,” pamit Caroline.
Raven mengibaskan tangannya, mengijinkan Caroline pergi. Benaknya dipenuhi oleh berbagai macam pertanyaan. Merasa tak menemukan jawabannya, Raven mematikan puntung rokoknya ke asbak, lalu kembali melanjutkan membaca berkas-berkas di mejanya.
* * *
Bunyi gedebyuran air kolam renang di dekat teras belakang rumah besar itu, seolah mengatakan bahwa ada seseorang yang sedang berenang di sana. Tak salah lagi, si pemilik rumah besar itu, Claire Harrington, sedang berenang di kolam, bergerak ke sana-kemari mengitari kolam renang berukuran luas itu. Ia berenang sambil mengganti-ganti beberapa macam gaya renang yang dikuasainya. Tampaknya ia sudah cukup lama berada di dalam air, terlihat dari warna wajah dan bibirnya yang menandakan lamanya ia berendam di sana.
Tapi Claire seolah tak perduli Dengan bersemangat ia masih melanjutkan renangnya, layaknya anak kecil yang masih belum puas dengan mainannya dan tak ingin diganggu. Bahkan ia seolah tak perduli pada sinar matahari senja yang membiaskan warna kemerahannya di ufuk barat, yang menandakan sebentar lagi sang surya akan tenggelam.
Sementara di pinggir kolam, Kyle berdiri dengan tenang. Tatapan matanya tidak pernah lepas sekalipun dari gerakan-gerakan Claire di kolam itu. Bahkan ia terus mengamati ke mana saja Claire pergi. Kadang Claire berenang jauh sampai ke sudut, kadang ia berada di tengah-tengah, dan kadang hampir mendekat ke arah Kyle. Tapi Kyle tetap setia melihat setiap gerakan-gerakannya. Di sudut bibirnya terukir seulas senyum simpul. Senyum yang menandakan si pemiliknya sedang berbahagia.
Sepuluh menit kemudian, Claire berenang ke tepi kolam, kemudian mengangkat kepalanya keluar dari dalam air sambil mengibas-ngibaskan ke kiri dan ke kanan. Dengan kedua tangannya, ia mengusap rambutnya yang berada di dekat sepasang telinganya. Lalu mengusap wajahnya sendiri yang basah karena terendam air.
Kyle memperhatikan gerak-gerik Claire itu. Sorot matanya menyiratkan suatu rasa yang disembunyikan. Yang jelas, Kyle amat terpesona pada kepandaian Claire dalam berenang.
Baginya, gerakan-gerakan gadis itu amat indah dan sempurna. Gadis itu punya wajah yang manis dengan postur tubuh yang padat dan langsing. Ia juga cerdas, pandai, ceria, ingin tahu, bersemangat, keras, agak kekanak-kanakan, dan sedikit acuh. Cocoklah! Baginya, Claire adalah gambaran gadis yang sempurna yang dicari olehnya selama ini.
Kyle menyodorkan selembar handuk besar putih kepada gadis itu yang naik melalui tangga di tepian kolam itu. Claire menerima handuk itu untuk mengeringkan rambut dan tubuhnya. Setelah itu Kyle membantu gadis itu membalutkan handuknya.
Seseorang tampaknya telah mengawasi mereka dari jauh semenjak lima menit yang lalu. Orang itu sengaja memilih tempat yang agak tersembunyi dan berusaha diam saja untuk melihat apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
Ternyata orang itu adalah Raven. Ia barusan pulang dari kantor dan langsung mencari Claire yang kata pengasuhnya sedang ada di kolam renang teras belakang.
Claire melempar senyum pada Kyle yang berdiri bersisian dengannya. Ia tak sadar Raven sedang memperhatikan mereka. Bahkan ia menyambut uluran tangan Kyle yang membimbingnya. Mereka berjalan berdampingan menuju meja bulat di bawah tenda yang ada di dekat kolam renang itu.
Kyle membiarkan Claire duduk duluan, setelah itu ia baru mengambil tempat duduk di samping gadis itu. Claire menyeruput minuman juice-nya yang ada di gelas, lalu dengan bercanda ia menyodorkan sisanya kepada Kyle. Kyle balik menggoda gadis itu dengan cara menjentik hidungnya. Claire spontanitas menghalau jari tangan Kyle yang menghalangi wajahnya. Mereka sama-sama tertawa.
Keceriaan mereka terusik oleh sebuah suara nyaring, “Senang sekali tampaknya!” Dan Raven tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Ekspresi wajahnya dingin. Entah mengapa, ia tidak suka melihat Claire dan Kyle bercanda dan tertawa bersama seperti itu.
Padahal walaupun ia dan Claire tinggal di dalam satu rumah, tetapi mereka bukan sepasang kekasih. Mereka hanyalah teman semasa kecil yang sekarang menjalankan perusahaan yang sama, yaitu perusahaan milik papanya Claire.
"Oh, kirain siapa, rupanya kau!” Claire memberi tanda pada Kyle, dan seketika Kyle berdiri dari duduknya, menyingkir sedikit dari situ. Dengan sebelah kakinya Claire menyepak kursi yang tadi diduduki oleh Kyle untuk lebih menjauh darinya. Lalu ia berkata pada Raven, “Duduklah!”
Raven merasa hatinya agak miris melihat tingkah dari Claire itu. Masakan Kyle boleh duduk dekat-dekat dengannya, sedangkan ia tidak?
Padahal selama ini, selama sepuluh tahun mereka hampir selalu bersama. Claire juga selalu menceritakan semua hal padanya, bahkan kadang-kadang gadis itu merebahkan kepala di dadanya yang bidang di saat-saat ia sedang sedih dan butuh bantuan.
Kehadiran Kyle, asisten sekaligus bodyguard-nya Claire, membuat Raven seolah tersisihkan. Apakah mungkin gadis itu tidak membutuhkannya lagi?
“Ada apa?” tanya Claire pendek, ketika Raven mengambil tempat di kursi yang kosong itu.
“Rupanya kau dan Kyle sudah pulang ke rumah sejak pagi tadi. Apakah kau seharian berenang?” sindir Raven. “Kenapa Kyle berdiri saja?”
Claire mendengus sebal. “Kau mengintaiku tadi? Ohya, tak apa. Kami memang sudah pulang sejak pagi tadi. Kyle menemaniku jalan-jalan, setelah itu aku mengajaknya ke rumah untuk melihat-lihat. Lalu aku berenang karena sudah lama aku tidak berenang.”
"Oh, jadi kau berenang dalam keadaan sakit. Hebat sekali!” puji Raven.
"Apa maksudmu?” Claire mengerutkan dahi.
“Katanya kau tidak enak badan tadi? Jadi pulang ke rumah.”
Wajah Claire memerah. Dengan kesal ia berkata, “Pasti si kacamata tebal Caroline yang mengatakannya padamu! Sungguh pengikutmu yang setia!”
Raven mendehem. “Sebenarnya, aku ingin memberitahukanmu kalau besok akan ada orang baru yang melamar jadi sekretarisku.”
"Kau dapat dari mana?” tanya Claire heran.
"Caroline yang akan mengenalkan ia padaku.”
"Baguslah kalau begitu!” kata Claire. “Kau atasi saja sendiri. Terserah padamu. Ohya, bagaimana hasilnya tadi mengenai interogasi mereka terhadapmu di kantor polisi? Apakah mereka curiga padamu?”
Raven menghela nafas panjang. “Sebenarnya mereka curiga, tapi mereka tidak punya cukup bukti untuk menahanku. Memang aku orang terakhir yang bersama dengan Rachel tadi malam, tapi aku berpisah dengannya sebelum ia dihabisi. Kira-kira, siapa ya orangnya yang tega berbuat sekeji itu?” Raven berpikir keras. Matanya menatap Claire seolah ingin meminta pendapat darinya, tapi Claire hanya mengangkat bahu, “Mana aku tahu!” jawabnya.
"Dengar-dengar, Rachel punya banyak teman yang kurang baik, bisa saja ada yang berniat jelek padanya.”
"Tapi kata mereka, barang-barang berharga milik Rachel tidak ada yang hilang, kecuali ponselnya. Rachel juga tidak disakiti secara fisik. Pelakunya sungguh teliti, pasti ia salah satu orang yang dihubungi oleh Rachel sebelum kematiannya. Kalau tidak, kenapa mesti menghilangkan ponsel?”
"Ya sudahlah, ia kan sudah mati,” kata Claire mudah.
"Tampaknya kau sama sekali tak perduli sedikit pun? Padahal ia kan salah satu pegawai di perusahaanmu? Jangan-jangan kalau aku yang mati, kau juga akan biasa-biasa saja,” sindir Raven.
Claire menampik, “Tentu saja lain, Raven. Kau adalah orang yang paling berarti bagiku selama ini. Lagipula, untuk apa aku bersedih untuk Rachel? Kau pun tak pantas bersedih untuknya. Bukankah ia hanya salah satu dari sekian banyak wanita yang bisa kaukencani, kapan saja kau mau?”
Raven terpana mendengar kata-kata bernada sinis dari Claire itu. “Kenapa kau bicara seperti itu, Claire? Astaga…,” ia menggeleng-geleng, “Seburuk itukah prasangkamu terhadap diriku? Aku dan Rachel tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya berteman sebatas kerja.”
"Tapi kau menemuinya bukan dalam rangka kerja kan tadi malam? Aku tahu kau tidak ada jadwal pertemuan dengan klien kita, jadi untuk apa kau menemuinya kalau bukan untuk berkencan dengannya?”
Raven menggeleng. “Ada hal yang tidak bisa kuceritakan padamu, Claire…,” ucapnya perlahan. “Karena hal itulah, aku dan Rachel harus bertemu.”
"Aku kecewa padamu, Raven. Sungguh kecewa! Karena itu aku tak perduli lagi dengan urusanmu dan Rachel. Ah, sudahlah, sekarang aku mau pergi mandi dulu,” kata Claire sambil bangkit dari duduknya. Ia menatap Kyle yang berdiri tak jauh dari situ. “Kyle, tunggu aku ya!” pesannya. “Kita nanti keluar makan malam bersama!”
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
triana 13
like
2021-07-23
1
Your name
Enak aja menganggap Rahel barang, dasar pria.
2021-07-21
2
Fira Ummu Arfi
likeee boooommmmmmm
2021-05-08
1