Seorang pria terus melangkah, menyusuri lorong rumah sakit. Kaki jenjangnya ia percepat agar cepat sampai. Hingga tiba di ruangan VIP, di rawatnya sang istri.
Bruk!
"Istri saya mana?" Semua orang disitu langsung menoleh pada Arya yang masuk tanpa permisi.
"Pak, Cla___"
"Kenapa istri saya bisa masuk rumah sakit Hani?" Arya langsung mendekat pada Clara yang belum sadar.
"Pak, sabar dulu. Clara sebenarnya ___"
"Sebenarnya apa? Kenapa Clara bisa masuk rumah sakit?" Dokter yang memeriksa Clara hanya bisa geleng-geleng kepala.
"Arya," ujarnya. Arya yang menatap Hani beralih pandangan pada dokter seumurannya. Arya sedikit bingung, tapi dia langsung kenal kalau dokter itu adalah teman sekelas nya pas SMA.
"Apa yang terjadi pada istri saya?" Dokter bernama Nayla itu tersenyum manis.
"Dia cuma kelelahan, dan itu sering terjadi saat dia mengalami stress atau pekerjaan yang terlampau banyak," jelas dokter Nayla.
"Kelelahan? Stress?" batin Arya.
"Benar hanya begitu? Tapi mengapa istri saya belum sadar?"
"Tunggu saja beberapa menit lagi." Arya menatap Nayla tak suka.
"Kenapa harus menunggu? Saya tidak suka menunggu. Clara harus cepat sadar, saya tidak ingin dia kenapa-kenapa." Nayla sedikit kaget, mendengar Arya berbicara banyak. Padahal pria itu di kenal dengan cowok yang irit bicara. Bahkan dengan dia pun bisa di hitung berapa kali mereka berbicara.
"Tunggulah, kamu menjadi pria yang banyak bicara sekarang." Arya hanya menatap dingin Nayla, kalau bukan karena Nayla yang mengobati istrinya sudah dia pastikan mulut Nayla akan dibungkam.
Tanpa mereka sadari, jari-jari Tata langsung bergerak. Ia mengerang, ketika merasakan sakit di kepalanya. Mereka yang mendengar itu langsung menoleh.
"Clara," ucap mereka bersamaan.
Saka yang ingin mendekat pada Clara langsung di dahului oleh Arya. Pria itu langsung mendekat pada Clara.
"Clara, ada yang sakit? Mana yang sakit? Kepala yang sakit, atau hidung atau rambut atau telinga?" Hani berdecak kesal mendengar pertanyaan Arya yang terdengar aneh.
"Clara." Arya tidak suka jika Clara tidak menjawab pertanyaannya.
"Apa sih mas? Kepala aku sakit jadi jangan banyak tanya dulu." Arya langsung diam, namun pria itu memeluk Tata. Sedikit heran namun Clara menerima pelukan itu.
"Kenapa Mas?" tanya Clara.
"Kamu masih nanya kenapa? Nggak lihat aku khawatir sama kamu. Kamu kalau sakit nggak bilang-bilang, mau jadi istri durhaka kamu sakitpun nggak bilang sama suami." Arya menatap kesal istri kecilnya itu.
"Ya aku nggak ta ___"
"Nggak usah ngejawab, kamu cukup dengerin aja."
Hani dan Vera melongo melihat itu, dia tidak percaya kalau yang di depannya adalah dosennya sendiri. Dia mungkin bukan Arya.
"Mendadak jadi penyiar radio," gumam Hani.
Vera, dan Saka masih bingung dengan semua ini. Mereka mengenal Arya, siapa yang tidak mengenal Arya. Pengusaha kaya dan arogan. Tapi yang jadi pertanyaan mereka, apa hubungan Pak Arya dengan Clara?
Sedangkan Hani hanya diam seperti patung setelah mengetahui hubungan mereka yang sebenarnya.
"Ini juga ruangannya, kenapa sekecil ini. Disini tidak nyaman, nanti istri saya bisa sakit."
"Istri lo emang sakit goblok." Saka hanya bisa mengatakan itu dalam hati.
"Mas ini VIP lo."
"VIP? Saya ngak suka istri saya ada di ruangan seperti ini. Saya ingin istri saya di berada di ruangan VVIP." Arya menatap tajam Hani.
"Mas, apaan sih? Ini juga nyaman kok. Lagi pula bentar lagi aku bakal pulang. Ngapain di pindahin ke ruangan VVIP, ngabisin uang aja," ucap Clara sedikit kesal pada suaminya.
"Hey, uang saya banyak jadi nggak bakal pernah habis." Clara berdecak kesal, Arya itu memang sombong.
"Oke, tapi mas simpan saja uang mas itu. Aku sekarang ingin pulang." Clara mencabut infusnya hingga menyebabkan tangannya berdarah.
"Clara!"
Hani langsung menutup mata Clara karena dia tau sahabatnya itu phobia dengan darah.
Arya yang melihat itu langsung menatap tajam Clara, gadis itu terlihat nekat. Tidak bisa menunggu infusnya habis dulu.
"Apa yang kamu lakukan?" Dia langsung mengambil tisu untuk menghapus darah yang keluar.
"Aku cuma ingin pulang."
"Tidak bisakah menunggu sampai infusnya habis?" Clara menggeleng pelan.
"Baiklah, kita pulang sekarang. Dok apa cabutan infus tadi berpengaruh?"
"Tidak, tapi resep obat ini tolong di tebus. Dan teratur dalam meminumnya." Nayla menyerahkan satu lembar kertas berisi catatan obat yang akan di ambil.
"Terima Hani, kamu yang menebusnya."
"Kok saya, Clarakan is ___"
"Black card." Hani langsung menarik kertas itu dari tangan Nayla.
"Siapa yang menggendongmu kesini tadi?" Clara terdiam, dia tidak tahu setelah dia pingsan.
"Saka," ujar Hani membuat dahi Arya mengerut.
"Pria yang ada di belakang Bapak." Ucap Hani dan Vera serentak. Pria itu langsung menatap kebelakang namun hanya sekilas.
"Dimana saja dia memegang istri saya?"
"Pinggang." Arya kembali menatap tajam Saka, dia tidak suka pada laki-laki itu. Tatapannya seperti tatapan permusuhan.
"Jangan pernah menyentuh istri saya lagi." Arya langsung menggendong Clara dan membawanya keluar.
"Kok di gendong? Turunin mas! Ish, aku bisa jalan." Arya tak menggubris ucapan Clara.
"Mas, malu tau. Mas turunin mas! Mas, dengar nggak sih?!"
"Saya akan nurunin kamu jika sudah ada gempa."
'Mulutmu gempa.' Clara hanya bisa membatin sambil menatap tajam Arya. Kalau di ungkapkan langsung bisa-bisa Arya akan menceramahinya sepanjang jalan.
Sesampainya di rumah yang lebih mengarah ke istana itu, Clara di sambut oleh sang mertua. Ada raut kesedihan di mata wanita paruh baya itu.
"Astaghfirullah, menantu Mama." Dia langsung memeluk Clara dengan hangat, kemudian membawa gadis itu ke ruang tamu. Arya hanya mengekor dari belakang.
"Kok udah pulang sayang? Padahal Mama mau jenguk kamu." Clara tersenyum pada mertuanya.
"Clara udah nggak papa Ma, buktinya clara bisa jalan sendiri."
"Kamu jangan kayak gini lagi yah, Mama nggak suka menantu Mama sakit." Laras memeluk Clara dengan tulus. Entahlah, alasan Clara membuatnya begitu sayang pada menantunya ini.
"Kamu juga Arya, nggak bisa jagain istri sendiri. Kamu apain semalam menantu Mama sampai masuk rumah sakit? Ha!" Arya yang dituduh hanya diam, menatap datar wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Arya, ke kantor dulu."
"Arya, apa begitu sopan santun mu? Arya dengarkan Mama, kalau Clara sakit lagi karena kamu, Mama nggak bakal izinin kamu satu ranjang sama istrimu." Arya tak menggubris, ia tetap melangkahkan kakinya menuju luar. Sedangkan Clara yang mendengar itu terkekeh pelan, padahal bukan salah Arya tapi kenapa laki-laki itu yang di salahkan.
Di kantor, Arya menatap datar temannya itu. Pria lebih muda darinya 2 tahun terus menggoda sesekali mengejeknya.
"Gitu aja lo cemburu." Arya menatap tajam temannya, ingin sekali dia membuang temannya ke danau Toba biar tenggelam sama ujung rambutnya.
Arya ke kantor bukan untuk bekerja, tapi menemui Leon temannya. Agar Leon mencari tahu tentang Saka. Setelah mengetahui apa hubungan Clara dengan Saka itu membuatnya lega. Namun saat tahu kalau Saka menyukai Clara dari SMA sontak membuat Arya ingin sekali membakar Saka hidup-hidup.
"Istri lo cantik, makanya banyak yang suk ___"
Leon tak melanjutkan ucapannya ketika wajah Arya yang sudah memerah menahan amarah. Ingin sekali Leon tertawa hanya karena cemburu Arya bisa semarah itu.
"hahahaha. Lo cemburu mas?" Arya tak lepas menatap tajam Leon.
"Nggak penting," jawab Arya ketus.
"Masa sih, dari wajah mas aja udah tergambar kalau mas cemburu. Kasian, bocah itu lebih pertama mencintai istri dari Arya. Apa jangan-jangan Clara juga suka sama Saka, aduh pasti mereka cocok banget kalau sama-sama suka." Leon sengaja memanas-manasi Arya. Benar saja Arya semakin panas mendengar penuturan Saka.
"Saka pasti udah nembak Clara, dan pasti Clara bakal terima Saka. Saka juga kan gan ___"
Prang!
Arya langsung melempar laptop yang ada di depannya. Leptop itu berubah menjadi beberapa kepingan yang tak terbentuk lagi. Leon yang melihat itu syok.
"Berhenti mengatakan itu atau dirimu yang akan bernasib seperti laptop yang saya buang." Leon menelan salivanya kasar, ternyata cemburu Arya melebihi kehilangan uang satu milyar.
Arya berdiri dan pergi meninggalkan Leon, hatinya terasa panas dan tidak suka mendengar lontaran Leon yang membahas tentang Saka dan Clara. Entahlah, tapi itu yang di rasakan Arya sekarang.
Leon yang masih diam di kursinya menatap laptop yang sudah tak berbentuk lagi. Dia kembali terkekeh namun ini sedikit pelan.
"Kamu hanya gengsi Mas, aku tau dirimu sudah mencintainya," ujar Leon sambil terkekeh geli.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments