Mang Ujun menyelesaikan cerita Arsitek, sang pemilik rumah yang mengalami kisah tragis seperti pemilik sebelum-sebelumnya.
“Tapi mang.... “ Hendi menjeda kalimatnya
“Sepertinya ada yang aneh dari cerita mamang di sini.” Lanjut Hendy, semua temannya menatap Hendy heran, apa ada yang terlewati oleh mereka berempat tanpa disadari?
“Apa itu?” sahut mang Ujun datar
“Tidakkah mereka yang menjadi korban di sini perempuan semua? Lalu kemana para pria-nya?” tanya Hendy terpikir akan sosok pria dalam kisah mang Ujun
“Jika mereka masih hidup, bukankah saat ini mereka harusnya mendekam di penjara?” kembali Hendy mempertanyakan hal itu, keempat temannya mengangguk pelan seakan membenarkan hal itu.
“Tidakkah kalian sudah mencari infomasinya sendiri?” mang Ujun balik bertanya pada Hendy.
Hendy menggeleng, “Tidak ada yang bisa kami temukan, bahkan wajah yang pemilik rumah ini saja tidak diberi tahu di sana.” Ujar Hendy.
Sepertinya berita mengenai insiden di rumah Angsana jika memang benar adanya, harusnya terbit dan diketahui khalayak ramai. Tapi, cerita ini justru timpang dengan kenyataan yang sama sekali... nihil kebenarannya.
“Kalau begitu, artinya kalian harus mencarinya sendiri, bukan? Itu kan tujuan kalian ke rumah ini?” bukan menjawab, mang Ujun malah balik menantang mereka berlima yang datang dengan tujuan mencari kebenaran rumor angker seperti diceritakan seseorang.
Hendy mengangguk, “Iya mang.” Jawabnya
Hening selama beberapa menit...
“Mang Ujung, kalau boleh nih, izin ngeliat ruang bawah tanah itu, boleh?” Gabby yang bertanya. Ia penasaran karena dari awal cerita di mulai selalu saja ruangan itu yang jadi topik utama.
Mang Ujun menatap dingin pada Gabby, membuat gadis itu seketika merinding melihatnya.
“Silahkan, jika memang itu mau kalian.” Jawab Mang Ujun mempersilahkan, ia segera berdiri dan masuk ke dalam.
Kelima mahasiswa itu menyusul langkah renta mang Ujun, hingga tiba kaki mereka berhenti tepat di depan pintu yang katanya menuju ruang bawah tanah.
“Hmm jadi ini pintunya.” Ujar Roni menatap biasa saja pada daun pintu berwarna cokelat dan ada gambar simbol agama tertempel di sana.
“Jadi penasaran deh.” Ucap Riasa dengan gerakan antusias menatapnya.
“Kenapa di palang pintunya, mang?” tanya Roni melihat pintu itu terkunci oleh kayu menyilang sebanyak 8 kayu, atas dan bawah.
Mang Ujun hanya datar menatap Roni, “Karena mencegah orang-orang yang ingin masuk ke bawah sana.” Jawabnya dingin.
“Oh ya? lalu bagaimana kami nanti mau membuktikannya.” Balas Roni
“Itu urusan dan tanggung jawab kalian jika masih memaksa membukanya.” Jawab mang Ujun semakin dingin.
“Itulah tujuan kami, mang. Membuktikannya, jadi sudah jelas itu adalah urusan dan tanggung jawab kami jika terjadi sesuatu nanti.” Penuh tekad dan keberanian, Roni tak mempersalahkan atas ucapan mang Ujun yang menyiratkan ada peringatan di sana.
“Betul mang, jadi tolong izin ketika kami mengadakan peliputan rumah ini. untuk memperbolehkan kami memasuki ruangan ini.” Hendy meminta izin pada mang Ujun, suaranya penuh harap agar penjaga itu mengabulkan.
“Jika memang kalian siap akan resikonya, silahkan.” Jawab mang Ujun.
“Ara!!” Ara yang hanya memperhatikan mereka berbincang seketika mendengar namanya kembali di sebut.
Hingga tanpa sadar, langkahnya mendekati pintu yang tertutup palang kayu...
Tangannya menyentuh handel pintu...
Ceklek!
Terkunci
“Hei,, ini aja masih di palang, gimana bukanya.” Cibir Roni melihat tingkah Ara yang konyol menurutnya.
“Ara.” Gabby memanggil wanita itu yang masih menyentuh handel pintu.
“Sayang.” Hendy yang gantian memanggil, tapi tidak direspon, hingga ia menyentuh pundak Ara pelan.
“Hah!” Ara terkejut dan wajahnya seperti orang kebingungan.
“Hei, kau kenapa?” Hendy meraih wajah Ara yang belum menjawabnya
“Ah ti-tidak, tidak ada apa-apa.” Jawabnya, sementara mang Ujun menatap Ara dingin melihat ekspresi wanita itu yang tidak biasa.
“Kau merasakannya?” tanya mang Ujun yang ditujukan pada Ara seorang. Semua menoleh pada pria penjaga rumah Angsana nomor 10 itu seperti mempertanyakan kemana arahnya.
“Kau.” Kepala mang Ujun bergerak mengangkat dagu kearah Ara.
“Merasakan? Merasakan apa memangnya.” Gabby malah yang menjawab, sementara Ara hanya diam dan seperti menghindari tatapan mang Ujun.
“Ara? Apa maksud mang Ujun, kau merasakan apa?” Raisa ikut penasaran.
“Ti-tidak ada, tidak ada.” Geleng Ara, tapi wajahnya tidak menatap satu pun teman kuliahnya.
“Penasaran deh.” Roni yang merasa jika Ara bersikap seperti itu karena handel pintu itu, membuatnya bergerak kesana juga.
“Ron, jangan.” Ara mencegah tangan Roni yang mau menyentuh pintu itu.
“Dih kenapa, orang mau pegang aja.” Roni menepis tangan Ara dan menyentuh apa yang tadi membuat Ara berubah.
Satu detik....
3 detik
10 detik
Roni diam saja dengan fokus merasakan sesuatu, tapi...
“Aihhhh perasaan kamu aja, Ra. Berlebihan.” Ucap Roni yang merasa tidak ada yang aneh dari pintu itu.
“Iya kah?” Raisa ikut-ikutan menyentuhnya, dan sama saja. Nihil.
“Coba ah.” Gabby menyentuh pula, dan sama,,, tidak merasakan apa yang seperti Ara rasakan.
“Sayang, kamu gak apa-apa?” tanya Hendy, siapa tahu Ara merasa tidak enak badan sehingga kondisinya berhalusinasi seperti itu.
“Gak, aku gak apa-apa.” Jawab Ara menarik nafasnya pelan.
“Ayo, kita ke depan lagi aja ya.” Hendy merangkul bahu kekasihnya dan membawanya menuju ruang tamu lagi.
“Ada-ada aja si Ara nih.” Begitu pikir Raisa.
“Waktu itu merasa jika ada yang mengikutinya sampe rumah, kayaknya Ara takut deh ikut misi kita.” Ucap Gabby.
“Kayaknya memang penakut tuh anak, di baperin semua.” Roni ikut mencibir Ara dari belakang.
Sementara mang Ujun menyusul mereka setelah menyentuh pintu ruang bawah tanah.
Seketika, pintu ruang bawah tanah yang tadi biasa saja mendadak menguarkan cahaya hitam pekat, tapi sayangnya tidak ada yang melihat hal itu.
Aura rumah pun mendadak membuat Ara tidak nyaman, “Guys, aku boleh balik ke mobil gak, pusing banget nih.” Kepala Ara terasa pusing dan berat, ia meminta izin pada teman-temannya untuk menyingkir ke mobil agar tidak mengganggu wawancara mereka kepada mang Ujun.
“Ya udah, sini aku anterin ya.” Hendy menawarkan dirinya sebagai seorang kekasih yang harus melindungi wanitanya.
Ara menggeleng, “Gak usah, aku bisa sendiri.” Tolak Ara khawatir nanti yang lain sibuk berdebat.
“Aku aja yang anter deh, ntar kamu pingsan lagi.” Gabby yang ambil alih, ia segera mendekati Ara dan menemaninya melangkah.
Setelah berpamitan, Ara yang ditemani Gabby pun mulai menyusuri halaman untuk menuju mobil berada.
“Memang kamu tadi ngerasain apa sih, Ra, sampe dipanggil berapa kali gak nyahut.” Gabby tidak menerima begitu saja jawaban Ara sebelumnya, maka dari itu saat hanya berdua ia kembali menguliknya.
“Aku merasa kalau ruang bawah tanah itu seperti menarikku untuk ke dalam, dan ada bisikan yang menyuruhku untuk mencelakai kalian.” Ucap Ara merasa gemetar menjawabnya.
“Tapi, kenapa kami tidak merasakan apapun sih dari sana, malah kami berempat mencoba melakukan hal serupa kayak kamu.” Ujar Gabby merasa Ara sedikit aneh.
“Aku gak tahu, aura ruangan itu kuat sekali menarikku, By.” Jawab Ara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments