Richard tertegun mendapati rumahnya gelap gulita padahal hari sudah menjelang magrib.
“Kenapa lampu masih padam? Apakah Lira masih belum pulang?” tanyanya pada diri sendiri.
Menggunakan anak kunci yang mereka bagi satu sama lain jika saja salah satunya terlambat pulang, Richard membuka pintu depan dan masuk ke dalam rumah menenteng bungkusan untuk istrinya.
“Lira!!” suaranya menggema memanggil nama istrinya, siapa tahu Lira sedang berendam dan ketiduran di kamar hingga lupa menghidupkan lampu rumah.
Hening.. tidak ada sahutan
Langkahnya menuju lantai dua di mana letak kamar mereka berada.
Ceklek!
Pintu kamar di buka dan kembali ruangannya gelap, “Sepertinya Lira memang belum pulang.” Ia bermonolog pada dirinya lagi ketika langkahnya sudah berhasil menjangkau kamar mandi yang kosong.
Segera Richard membersihkan dirinya dan turun kembali menuju dapur untuk menghangatkan makanan yang di belinya tadi.
Ketika kakinya memasuki area dapur, matanya menangkap satu sudut yang membuat dahinya berkerut dalam.
“Bukankah itu ruang bawah tanah?” lagi-lagi ia bertanya.
Setelah meletakkan bungkusan di meja bar, ia yang penasaran pada pintu yang sudah terbuka itu memilih menuju ke sana.
Dilihatnya ruangan itu sudah terpapar bias cahaya di area bawah, tanpa kesulitan ia menuruni anak tangga hingga netranya mendapati keberadaan sosok yang dicarinya sejak tadi.
“Sayang!” langkahnya cepat pada Lira yang duduk dengan wajah tertunduk.
“Hei kenapa kau di sini?” tanyanya pada istrinya yang sudah mengangkat kepalanya dan menatap Richard datar dan juga kosong.
“Lira, hei.” Richard menepuk pipi Lira pelan, ia menduga jika istrinya pasti ketiduran di sini, memang kebiasaan Lira yang suka tidur sembarangan jika dirinya kelelahan.
“Eh mas, jam berapa sekarang?” Lira tergagap setelah tangan Richard menyentuh wajahnya.
“Sudah magrib sayang. Kau ketiduran sepertinya.” Jawab Richard membantu Lira untuk berdiri.
“Sepertinya sih.” Lira seperti membenarkan ucapan suaminya.
“Ayo kita naik aja ya, aku udah beli makanan kesukaan kamu.” Richard menggandeng tangan Lira agar keluar dari ruangan yang dirasa Richard agak pengap.
Richard menutup kembali ruangan bawah tanah yang tadi dibiarkan terbuka. Beruntung pintu itu terbuka, jika tidak mungkin dirinya tidak pernah tahu Lira ketiduran di sana.
“Mandi dulu? Atau langsung makan?” Richard bertanya pada Lira saat makanan mau dihangatkan Richard.
“Makan aja dulu mas, laper soalnya.” Jawab Lira mengambil piring untuk ditata ke meja makan, mereka biasa berbagi tugas, jika ada yang memasak maka satunya akan membereskan meja.
Richard memperhatikan Lira yang makan dengan begitu anggun, lembut serta tidak seperti biasanya yang kadang berantakan.
“Eh, mas ngapain.” Lira menepis jemari Richard yang hendak menyentuh wajahnya.
“Ada nasi di sudut bibirmu. Bukankah biasanya aku melakukan itu.” Richard tertegun atas reaksi Lira
“Tidak usah, aku bisa sendiri.” Tolak Lira lalu menyendokkan makan lagi ke mulutnya.
“Kau kelaparan sekali.” Kekeh Richard
“Hmm, aku sudah terlalu lama tidak makan.” Sahut Lira yang membersihkan mulutnya dengan serbet di sisi kanannya.
“Dan kau sangat anggun makan malam ini.” sambung Richard terkekeh lagi.
“Oh ya? apa kau tidak menyukai aku yang sekarang?” Lira menatap Richard dalam.
“Tentu suka, tapi aku lebih menyukai dirimu apa adanya, sayang.” Ujar Richard menjawab.
Lira berdiri di sela Richard memberi jawaban, ia dengan gaya sensual mendekati pria itu dan duduk dipangkuannya.
“Kau mau apa sayang?” tanya Richard, Lira tidak pernah seperti ini soalnya.
“Aku merindukanmu sayang.” Lira melanjutkan dengan mengalungkan kedua tangannya di leher Richard, memajukan wajahnya hingga jarak mereka semakin terkikis.
Ketika bibir Lira sudah menempel di bibir Richard, pria itu memalingkan wajahnya.
“Nanti saja Lira, kau pasti lelah, apalagi kau ketiduran dalam posisi duduk. Ayo aku antar ke kamar mandi agar kau bisa menyegarkan tubuhmu dulu.” Richard mendekap pinggang Lira agar wanita itu bisa berdiri kembali, tapi...
Plak
“Kau menolak sentuhanku.” Dengan nada naik beberapa oktaf, Lira berujar seperti itu pada Richard hingga pria itu kembali melongo atas sikap istrinya.
“Bukan begitu maksudku, Lira. Kau pasti letih dan aku masih harus mengirim laporan setelah ini pada dokter Elan, kau tahu sendiri jadwal keseharianku bagaimana.” Richard tidak menanggapi sikap Lira yang seperti kesal padanya.
“Halah, itu hanya alasanmu saja. Pasti kau sedang menyimpan wanita lain hingga menolak untukku sentuh.” Dengan yakinnya Lira malah melempar tuduhan pada suaminya.
“Lira, aku bukan pria seperti itu, kau sangat mengenalku, bukan?” Richard menolak akan tuduhan tidak masuk akal istrinya yang tidak berdasar itu.
“Sudahlah, memang itu kebenarannya. Makanya kita tidak pernah bisa punya anak, karena kamu selalu jarang bersamaku.” Lira lagi-lagi menguji suaminya dengan kalimat tuduhan lebih kejam lagi.
“Ya Tuhan Lira, kau bicara apa sih.” Richard meremas rambutnya dengan gemas, menahan diri agar tidak mengikuti emosi istrinya yang tiba-tiba.
“Apa kamu sedang datang bulan, huh? Jadi kamu marah-marah begini?” Richard menduga akan sikap istrinya menurut kebiasaan para wanita yang sering memiliki emosi naik turun.
“Kamu pikir aku bercanda, huh! Aku serius, kamu memang menjadikan pekerjaan sebagai alasan, pulang larut, dinas luar untuk seminar apalah itu. Dan juga, dan juga satu lagi, kamu sering menyinggung perawat baru yang ada di ruanganmu itu. Itu pasti gundikmu kan!!” sembur Lira semakin tak terkendali.
“Lira! Jaga bicaramu! Omong kosong apa yang kamu ucapkan, huh!” tanpa sadar, Richard tersulut emosi, ia tidak menyangka hanya karena hal sepele menolak sentuhan Lira, mereka malah bertengkar hebat seperti ini.
“Kita tidak pernah bertengkar seperti ini, Lira, kamu tahu betapa aku setia dalam hubungan kita dari dulu.” Richard menurunkan nada suaranya agar lembut kembali.
Ia mencoba mengingatkan fakta bahwa dari dulu mereka tidak pernah melepas emosi sehebat ini, dan mengedepankan percakapan sehat ketimbang bertengkar.
“Itulah bodohnya aku, selalu mengikuti aturan gilamu hingga aku dengan mudahnya bisa kau tipu.” Ucap Lira masih enggan menyambut bujukan suaminya.
“Jadi maumu apa, huh!” Richard berusaha keras menahan gelegak emosi di dadanya, ia hanya mendesis mempertanyakan kemauan istrinya,
“Aku mau kita bercerai!!!” suara Lira yang mengucapkan kata perpisahan memenuhi rumah megah yang hanya terisi mereka berdua.
“LIRA!!!! Jaga bicaramu!!” sentak Richard yang sontak mengeluarkan bara emosinya ketika Lira semakin menjadi dengan meminta perpisahan padanya.
“Aku akan hidup dengan pria lain, aku yakin aku bisa mendapatkan pendamping yang lebih baik darimu.” Balas Lira tak takut melihat emosi Richard
Plak!
Satu tamparan dihadiahkan Richard ketika Lira dengan santainya memiliki rencana hidup dengan pria lain.
“Kau menam-menamparku.” Sudut bibir Lira mengeluarkan bercak darah segar saking kerasnya tamparan yang dilayangkan Richard padanya.
Tak terima akan perlakuan Richard, Lira meraih piring tebal yang berisi sisa makan malam mereka dan mengadunya dengan kepala Richard.
Prang!!!!
Darah segar membasahi wajah Richard akibat benturan keras dan tebalnya piring yang mengenai kepalanya.
“Lira, kau.... kau...!!!!” muka merah padam Richard menyeruak diantara noda darah yang mengalir di wajahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments