Glek!
Gabby dan Ara sama-sama menelan saliva kesusahan ketika mendengar sekelumit kisah barusan, sebagai sosok yang memang lebih feminim ketimbang Raisa, mereka berdua rentan dengan sensitifitas perasaan.
“Ya Tuhan, kok Shaila bisa melakukan hal itu.” Ara yang menggumam pelan, dan Gabby ikut menyentuh siku Ara sembari mendekati wajahnya ke telinga, “Aku penasaran sebahaya apa ruang bawah tanah itu.” Bisik Gabby
Ara mengangguk, “Tidakkah ruangan itu adalah awal dari semua kesalahan ini. Tapi kenapa para pembeli tidak ada yang mendapat penjelasan dari agen perumahan.” Balas Ara ikut berbisik.
Sementara ketiga orang lainnya memasang wajah biasa saja, terutama Roni yang memang tidak terlalu menerima langsung cerita yang disebutkan mang Ujun.
“Tapi mang...” Hendy membuka suaranya, 4 pasang mata temannya dan mang Ujun memusatkan perhatian padanya.
“Bukankah rumah Angsana ini dihuni oleh banyak orang terkenal, bukan? Tapi kenapa kisahnya tidak dimuat di dalam artikel manapun.” Ujar Hendy yang mengutarakan keheranannya akan rumah ini.
“Betul, aku juga mencari artikel berita rumah ini, hanya mengatakan tentang kisah beberapa orang saja, sementara kata mang Ujun lebih dari itu.” Roni ikut menimpali dengan wajah menatap tajam pada mang Ujun.
“Kalian meragukan apa yang mamang ucapkan?” mang Ujun bereaksi dingin dengan kalimat tanya yang membuat Hendy, Roni, Ara, Gabby serta Raisa merasa terintimidasi di sana.
“Jika begitu, kalian bisa pergi dari sini.” Tanpa membutuhkan balasan, mang Ujun mengutarakan kalimat yang berarti pengusiran untuk mereka berlima.
“Eh mang, bukan begitu maksud kami.” Hendy merasa alarm bahaya di sini, jika mereka terusir maka rencana mengungkap fakta rumah ini akan sia-sia saja. Dan para penggemar channel mereka akan mengejar habis janji mereka berlima.
“Maaf mang jika kami bersikap kurang sopan dan meragukan cerita dari mamang. Kami lupa jika mamang adalah penjaga rumah ini yang tentu lebih tahu kisahnya ketimbang orang luar sana.” Hendy dengan panjang lebar meminta perhatian dan kemakluman mang Ujun agar menarik lagi ucapannya mengusir mereka.
Berhasil?
Ya.
Karena mang Ujun mengambil duduk lagi...
“Baiklah, mamang akan meneruskan cerita pemilik rumah selanjutnya.... dia adalah seorang arsitek....”
5 orang yang nyaris terusir tadi, kini duduk manis, memasang telinga dan mendengar cerita mang Ujun yang selanjutnya.
“Reihan!” pria yang dipanggil Reihan menoleh, dan senyumnya seketika mengembang ketika melihat siapa yang berlari sembari memanggilnya.
“Reina.” Sambutnya merentangkan kedua tangan agar wanita yang mendekatinya segera masuk dalam pelukannya.
“Apa aku terlambat?” tanya Reina dengan nafas ngos-ngosannya, lelah berlari mengejar Reihan yang nyaris mencapai pintu keberangkatan pesawat.
“Aku pikir kau tidak akan ikut denganku.” Jawab Reihan menggenggam tangan Reina dan mereka siap melanjutkan langkah mereka setelah melalui angkasa lebih dulu.
2 jam mereka tiba di tempat yang sudah dinantikan sebelumnya....
“Wah, ini sangat indah, sayang. Aku suka.” Reina bahkan berteriak girang hingga melompat-lompat kecil tanpa sadar.
“Hei, perhatikan sikapmu.” Tegur Reihan pelan dan Reina menjepit dua bibirnya rapat-rapat saat sadar mereka tidak hanya berdua.
“Mari tuan, nona. Saya akan mendampingi kalian melakukan tour rumah sebelum kita melanjutkan jual beli ini.” seorang pria bernama Gilang yang menjadi perwakilan agen perumahan kali ini.
Tiba di dalam, “Sungguh luar biasa perancang rumah ini, aku sebagai arsitek saja sudah jatuh cinta meski hanya dalam bentuk gambar.” Puji Reihan setibanya mereka selesai menelusuri rumah besar itu.
“Itu ruang apa?” Reina menoleh pada satu pintu yang terdapat gambar simbol agama di sana.
“Ohh itu ruang rubanah, nona.” Jawab Gilang.
“Kenapa ditempel beginian sih.” Reina mendekati pintu itu lalu menarik gambar yang menempel di sana, merasa merusak pemandangan.
“Ini tidak harusnya di tempel di sini, kan?” ujarnya membenarkan tindakannya.
“Hmm, iya sayang. Coba buka ruangan ini, aku penasaran apakah harus diubah atau tidak ruangannya” Reihan membenarkan lalu memberi perintah pada Gilang.
“Baik, mari nona, tuan.” Gilang yang selesai membuka pintu mengajak keduanya tour ruang bawah tanah yang biasanya tidak pernah dilakukan oleh pemilik rumah sebelumnya.
“Lihatlah, bahkan ruangan ini pun cukup sempurna penataan struktur bangunannya.” Decak kekaguman keluar lagi dari bibir Reihan.
“Iya, sepertinya pemilik rumah ini suka akan kesendirian mungkin, ia saja membuat toilet layaknya yang ada di dalam kamar.” Ujar Reina menelusuri toilet di sana.
“Ini ruangan apa? Kenapa susah dibuka?” Reina menarik handel pintu di sebelah toilet tapi sulit di buka.
“Apa dikunci?” Reihan yang gantian bertanya
“Tidak tuan, ruangan di sini tidak memiliki satupun anak kunci.” Jawab Gilang.
“Sepertinya ini yang harus kita benahi, Reihan.” Sahut Reina dan diangguki Reihan.
“Reina!!!”
“Heh?!” Reina bereaksi pelan dengan alis berkerut lalu kepalanya memutari kiri dan kanan ruangan, menelisik sekitar.
“Kenapa, sayang?” Tanya Reihan melihat kebingungan Reina
“Aku merasa ada yang memanggilku tadi.” Jawabnya
“Perasaanmu saja.” Ujar Reihan berpikir positif, karena hanya mereka bertiga yang ada di sini.
“Iya juga sih, mungkin aku jetlag kali.” Reina mengikuti saran Reihan.
Selesai tour rumah, mereka bertiga akhirnya berkumpul di ruang tamu setelah menyibakkan kain putih penutup sofa.
“Ini adalah kunci serta bukti transaksi pembelian rumah ini.” Gilang menyerahkan benda penting kepada Reihan selaku pembeli rumah Angsana nomor 10 ini.
“Baiklah, untuk berkas kepemilikkan nanti antarkan saja ke kantor saya.” Reihan menyambut uluran tangan Gilang sebagai bentuk berhasilnya jual beli diantara mereka.
“Siap tuan.” Ucap Gilang dan menundukkan kepala sebagai bentuk pamit dari rumah itu.
Tinggallah Reihan dan Reina di rumah besar itu.
“Apa aku boleh mengajak Gea tinggal bersama kita nanti, sayang?” Reina merengkuh lengan kekar Reihan, merayu tepatnya.
Dengan lembut Reihan mengecup puncak kepala Reina, “Tentu, karena apa yang kau sayangi akan aku perlakukan istimewa juga, Reina. Puterimu juga akan menjadi puteriku.” Ucap Reihan.
Reina meneteskan air matanya, “Terima kasih Reihan, terima kasih. Kau adalah pria terbaik yang aku kenal selain Alexander.” Ucap Reina mengingat mendiang suaminya.
“Iya, sayang, aku juga bersyukur memilikimu dalam hidupku.” Reihan menarik tubuh Reina dalam pelukkannya.
Reina yang seorang janda beranak satu merasa hidupnya kembali berwarna setelah bertemu dengan Reihan, pria berusia 32 tahun, mapan dan juga belum menikah.
“Kita akan membentuk keluarga baru dan lebih bahagia di istana kita ini.” Reihan mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit rumah ini yang tampak sombong menjulang tinggi.
“Hmm, aku yakin Gea akan bangga dan bahagia memiliki seorang ayah sepertimu.” Ucap Reina ikut menatap keindahan rumah Angsana nomor 10 yang akan menjadi hunian mereka dalam 1 bulan kemudian, pasca mereka menikah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments