Setelah berpamitan dengan penjaga rumah yakni mang Ujun, kelima mahasiswa teknik komputer itu meninggalkan hunian megah bernomor 10 jalan bernama Angsana tapi memiliki rumor mengerikan.
“Kenapa ya, perasaan kalo liat sudut lantai atas kayak ada yang merhatiin terus.” Gabby merasa bulu kuduknya merinding ketika matanya menyerobok sudut jendela lantai atas.
Empat orang lainnya mengikuti arah pandang Gabby.
“Gak ada ah, perasaan kamu aja kali.” Roni selalu mencibir siapapun yang mengomentari rumah itu.
“Ih beneran, coba deh lihat ke sana.” Gabby mengarahkan telunjuknya pada sudut jendela yang tak sengaja ia lihat.
Ara mengerenyitkan dahinya, ia juga membenarkan hal itu. Saat kedatangan pertama kali ke rumah ini, ia pun merasakan hal serupa ketika menatap jendela yang ditunjuk Gabby.
Seolah ada yang memperhatikannya dari sana.
Ia ingin membantu membenarkan apa yang dikatakan Gabby, tapi nanti malah rencana mereka berantakan membuat konten horor di rumah itu hanya karena perasaan takut berlebihan saja.
“Udah, udah, ayo pada pulang, udah sore ini, mau nginep apa?” Hendy menengahi mereka. Beruntung otaknya tidak tercemar emosi seperti Roni, jadi ia bisa menghandel teman-temannya yang sering berdebat hal receh.
“Dih ogah, serem.” Gabby bergidik menolak
“Gimana nanti pas kita siaran langsung kalo kamu takut gini?” Raisa mengomentari ucapan Gabby tadi.
“Ya kan bukan sekarang, gak ada persiapan, Raisa. Kalo nanti waktu siaran langsung, itu mental kan udah diasah, jadi gak kaget lagi.” tutur Gabby menjelaskan maksudnya menolak.
“Bilang aja takut pakek alasan-alasan.” Sambar Roni
“Kayak kamu berani aja, sana... sana.. nginep tuh sama mang Ujun.” Gabby mendorong tubuh Roni agar masuk lagi setelah mereka menutup gerbang.
“Kalian ini, ribut terus. Ayo pulang, biar aku yang nyertir.” Hendy menghentikan keributan Gabby dan Roni dengan mengajak segera pulang agar tidak kemalaman di lokasi ini.
“Ayo let’s go.” Roni merangsek masuk duluan, ia tidak sabar segera pergi dari tempat ini, letih, lapar, hanya makanan ringan saja yang sejak tadi masuk ke perutnya. Dan ia tidak cukup dengan itu saja.
Seiring mobil melaju, beragam bayangan bermunculan di sela-sela jendela rumah tadi, terlebih di celah lantai paling bawah yang memang tidak terlalu terlihat karena posisi yang rendah dan tertutupi rerimbunan bonsai tanaman.
“Ara!!!” suara halus mengetuk gendang telinga Ara yang baru akan memejamkan mata
“Iewwwww, kok kayak ada yang manggil ya.” Ujarnya bergidik.
“Kenapa sayang?” Hendy yang mendengar gumaman kekasihnya menoleh.
“Ah, kayak ada yang manggil nama aku.” Jawab Ara tampak ragu.
“Perasaan kamu aja, sayang.” Hendy menggenggam tangan kanan Ara agar kekasihnya tidak berpikiran yang aneh-aneh.
“Mungkin aku ngantuk aja kali ya, karena seharian di sini.” Ara berpikir sama dengan Hendy.
“Ya sudah tidur aja, nanti aku bangunin kalo udah sampai tujuan, kita kan mau makan dulu.” Hendy mengelus punggung tangan Ara menenangkan kekasihnya.
“Hemm, iya, hati-hati nyetirnya, kalo ngantuk gantian sama Roni.” Ucap Ara yang diangguki Hendy
Raisa, Gabby dan Ara mulai memejamkan mata mereka, sementara Roni sibuk memainkan game onlinenya sekaligus menemani Hendy menyetir agar temannya tidak sendirian dan ada teman ngobrol.
“Jadi kelanjutannya kapan ngulang lagi?” tanya Roni
“2 hari lagi, tadi kan sudah kita bicarakan sama mang Ujun.” Jawab Hendy
“Jadi selama seminggu dihabisin ngulik cerita baru pembuktian?” Roni bertanya kembali
“Iya, kita juga perlu mencari kebenaran kisah yang diceritakan mang Ujun tadi, benar atau tidak, kan? Karena harusnya menjadi berita fenomenal dimasanya.” Hendy menyarankan hal itu.
“Iya juga, dari 2 kisah itu aja kayaknya semuanya gak ada yang bagus akhirnya.” Roni mengiyakan saran Hendy
“Betul, makanya cari kebenaran. Jangan sampe cuma cerita kacangan aja, kan, buat nyari sensasi di masa itu agar rumahnya laku.” Ucap Hendy
“Hmm iya, buktinya mang Ujun aja masih hidup tuh padahal dia ngejaga rumah itu siang malem, kan?” Roni menyadari fakta tersebut.
“Iya salah satunya itu.” Ujar Hendy menanggapi
“Eh tapi siapa tahu mang Ujun punya ilmu yang bisa nolak hantu, jadi dia gak diganggu gitu.” Duga Roni
“Makanya cari kebenarannya, Ron.” Gemas Hendy mendengarnya
“Harusnya kalo rumahnya dihuni orang terkenal semua, kenapa sampe sekarang masih gak ada yang ngehuni kan, itu aja aneh.” Hendy menambahi lagi, baginya cerita dari mang Ujun perlu diusut.
“Kita search dari berbagai lini massa mengenai fakta rumah Angsana nomor 10 itu setelah kita mengumpulkan semua cerita dari mang Ujun.” Kata Hendy
“Jadi belum dulu nih?” tanya Roni yang bersiap mencari di ponselnya
“Di kumpulin dulu bagong, jadi sekaligus, cerita aja masih berlanjut.” Cebik Hendy
“Ya udah, aku cicilin juga aja, kan gak apa-apa.” Roni tetap bersikeras pada keinginannya.
“Serah deh.” Balas Hendy masa bodoh.
Mereka berhenti sejenak di sebuah tempat makan untuk mengisi perut yang keroncongan dan melesak lagi memecah keramaian jalan menuju tempat tinggal masing-masing.
“Ara!!” Ara baru saja membuka pintu apartemennya tapi sudah disambut suara perempuan yang begitu halus di telinganya.
Menoleh ke belakang, tidak ada siapapun yang di sekelilingnya, tetangganya pun tak nampak satu pun karena hari sudah semakin larut.
“Perasaan ada yang manggil.” Gumamnya pelan tapi ia tetap masuk enggan menggubris lebih lanjut.
Ruangan yang tadinya gelap satu persatu mulai terang saat Ara menghidupkan saklar lampu, langkahnya menuju dapur untuk mengambil segelas air sebelum ia masuk ke dalam kamarnya.
Selesai membersihkan diri dan berganti piyama tidur, Ara seperti biasa akan menuju balkon untuk melihat pemandangan malam sekaligus merasakan segarnya angin malam.
“Capek banget.” Keluhnya memijat leher lembut dan menyentak tangan yang pegal.
Puas menikmati angin malam, Ara masuk untuk menuju ranjang kesayangannya. Tapi langkahnya seketika terhenti oleh....
Brak!
Ia terjengkit kaget akan suara pintu balkon yang tiba-tiba terbuka keras.
“Ya ampun, ngagetin aja.” Ucapnya mengelus dada.
“Perasaan sudah dikunci deh, apa aku lupa ya?” tanyanya sendiri setelah mengulang lagi menuju pintu dan menguncinya.
Tidak sampai di sana, jendela pun menghentakkan tirai-tirai dengan angin yang tetiba deras.
“Hffftt.” Ujarnya menghela nafas, menutup satu persatu jendela yang pintunya terbuka.
“Okeh selesai, waktunya tidur.” Cakapnya lalu mematikan lampu utama hingga temaram karena lampu tidur yang hidup.
Baru saja memejamkan mata, Ara merasakan tengkuknya meremang tapi karena rasa kantuknya lebih menguasai dirinya, ia tak memperdulikan hal itu dan memilih melanjutkan tidur agar bisa segar keesokan harinya.
Seiring itu Ara beranjak menuju alam mimpinya, bayang sosok berkain biru tua muncul tepat di depan sisi tubuh Ara yang sudah terpejam. Dari balik bayangan itu jelas tergambar jika itu adalah sosok perempuan berambut panjang dengan tubuh penuh noda darah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments