Seniman patung (2)

“Bagaimana rumah ini, kamu suka kan?” Wisnu bertanya pada Shaila yang sedang berdiri memandang langit malam dari balkon lantai atas.

“Suka, banget. Aku merasa ada nafas yang berbeda seperti menarikku ingin melakukan suatu hal yang bergairah di sini.” Shaila menjawab tanya Wisnu dengan binar senang.

“Tuh kan, aku sudah yakin kalau kamu pasti sama denganku.” Wisnu percaya diri berujar demikian, sesuai ekspektasinya.

“Rumah ini sejak dari gambar saja sudah memiliki daya tarik yang kuat memanggilku untuk memilihnya, dan terbukti waktu melihat langsung, jiwa seniku berontak ingin berkarya di sini.” Sambung Wisnu antusias.

“Kita berdua akan menciptakan seni indah di rumah yang sangat indah ini, sayang.” Shaila merengkuh lengan Wisnu yang berdiri di sebelahnya.

“Ya, aku akan membuat mahakarya patung dan kamu akan menggores lukisan indah di sini.” Sahut Wisnu.

Mereka berdua adalah dua seniman berbakat, tapi Shaila masih kalah jauh dari Wisnu yang sudah mulai dikenal oleh semua orang.

Beberapa hari setelah itu, karena Wisnu mendapat tawaran melakukan pertunjukkan seni patung di beberapa kota besar lainnya.

“Kau tidak mau menemaniku, sayang?” Wisnu memeluk tubuh Shaila yang tak mengenakan apapun di balik selimut.

Mereka berdua memang tinggal bersama, tapi sama-sama belum memiliki komitmen menikah karena sama-sama sedang meniti karir.

“Kali ini tidak bisa, aku harus menemui seseorang yang menawariku untuk ikut dalam pertunjukkan di sebuah galeri lukis.” Shaila membalikan tubuhnya, memperhatikan lamat-lamat wajah pria tampan dengan garis ciri khas Bali dan campuran Spanyol sembari menjawab.

Wisnu mengerucutkan bibirnya, “Baiklah kalau begitu, aku tidak bisa memaksamu.” Dengan wajah lesu, Wisnu pasrah jika kali ini Shaila tidak bisa ikut menemaninya seperti biasa.

“Jangan cemberut, sebagai gantinya, aku akan memberikan banyak vitamin untukmu agar kau semangat bekerja nanti.” Shaila menyibak selimutnya lalu menyerang Wisnu yang tertawa menyambut hal itu.

Satu jam setelah itu, Wisnu berpamitan pada Shaila dan segera pergi untuk perjalanan luar kotanya.

“Non, mbok mau ke pasar dulu ya, mohon izinnya.” Mbok Ina mendekati Shaila yang tengah duduk santai di ruang tengah dengan ponsel di tangannya.

“Oh, iya mbok.” Sahut Shaila ramah.

Keheningan melanda, rumah besar yang hanya diisi oleh 3 orang sekarang hanya tersisa satu saja.

Shaila menutup buku sketsa, menaruh ponsel setelah melakukan panggilan dengan kliennya, dan kini ia berniat ingin menyelonjorkan kaki sejenak dan menutup mata.

Tapi baru beberapa detik gerakan itu dilakukannya, tiba-tiba...

“Shaila!!!!” sebuah suara yang begitu halus semilir mengisi gendang telinga Shaila yang kelopak matanya baru menutup.

Tanpa membuka mata, wanita itu hanya mengerutkan alisnya.... mengacuhkan saja...

Brak!!!

Jantungnya berasa hendak lompat tali saat suara keras itu menghentak pendengarannya.

“Apa itu!!” serunya kaget dan sontak terduduk dari posisi baringnya.

Netranya mengidar ke penjuru ruangan, hingga fokusnya berhenti tepat di salah satu sudut.

“Terbuka?” beonya sendiri melihat satu buah pintu tampak bergerak berayun yang diduganya itu yang tadi membuatnya kelojotan.

“Apa ada angin?” ulangnya bertanya sendiri.

“Shaila!!!” kembali suara yang begitu halus menyapa telinganya.

“Hah?” pelan reaksinya setelah memastikan benar seperti ada yang memanggilnya.

Dipenuhi rasa penasaran, ia bangkit dari duduk. Otaknya memberikan perintah agar menggerakan kakinya menuju tempat yang berbunyi keras tadi.

“Ruang bawah tanah, kan?” ujarnya bertanya lagi.

“Shaila!!!” alisnya berkerut dalam mendengar namanya kembali dipanggil oleh pemilik suara yang tak ada wujudnya sama sekali.

“Siapa kau?” tanyanya pada kekosongan itu.

Merasa mendapatkan sebuah tarikan kuat, Shaila melangkah masuk setelah mendorong daun pintu itu agar semakin terbuka. Suasana remang-remang karena bias cahaya hanya mengintip dari sela ventilasi menjadi panduan Shaila menapaki undakan tangga.

Berhasil mencapai lantai bawah, Shaila menarik gorden tebal yang tidak bisa membawa sinar matahari menembus kain itu. Hingga teranglah ruangan yang menjadi tempat menyimpan benda yang tidak terpakai.

“Aku merasa ruangan ini memiliki daya tarik yang kuat dari semua bagian rumah.” Ujarnya menilai sendiri.

Rasa penasaran yang masih menggebu, membuat Shaila tertarik melakukan penelusuran pada bagian ruang bawah tanah.

Ada 2 ruangan kecil di sini, “Toilet?” ucapnya melihat ada shower, bathup serta sebuah tempat dari marmer yang dibentuk agar bisa duduk di sana.

“Kenapa ada toilet layaknya yang ada di kamar di tempat ini?” Herannya dengan konsep tak masuk akal untuk sebuah ruangan penyimpanan yang letaknya saja di bawah rumah.

Bergeser ke luar, kakinya berayun pada ruangan lain yang tertutup rapat.

Ceklek! Ceklek! Ceklek!

Ia cukup kesulitan membukanya, meski kunci sudah ditariknya sejak tadi.

“Seret gini, apa sudah rusak?” monolognya lagi.

Mencebikkan bibirnya, Shaila menolak langkah setelah tak berhasil melihat isi ruangan itu.

Ceklek!

Satu suara merangsek masuk ke telinganya, ia sontak menoleh ke asal suara.

“Hah?!” ia heran melihat pintu yang tadi tidak bisa dibukanya mendadak terbuka sedikit.

“Perasaan tadi gak bisa deh.” Ia menggaruk kepalanya.

Shaila bukan tipe orang yang memiliki rasa takut terhadap hal seperti ini, jiwa seninya menganggap itu adalah sebuah ilham untuk menggali sesuatu yang bisa dijadikan seni luar biasa nantinya.

Tapi, itu hanya ekspektasi yang biasa disombongkannya.

Karena begitu tangannya berhasil membuka lebar pintu itu, semua pikirannya meledak saat itu juga.

.

.

.

“Non, makan malamnya sudah siap.” Mbok Ina memanggil Shaila yang sedang menata peralatan lukisnya di ruang tengah tempat dirinya beristirahat siang tadi.

“Non.” Panggil mbok Ina karena tidak mendapati respon majikannya yang biasanya ramah.

Srettt

Suara decitan penyangga canvas Shaila digeser, dan wanita cantik itu beringsut berdiri. Melewati asisten rumah tangga menuju meja makan.

Kembali tanpa suara, ia menyendokan makan. Bagi mbok Ina yang beberapa hari ini bertemu dan mengenal kekasih majikannya cukup heran akan perubahan wanita cantik ini. Tapi ia sadar kapasitasnya sebagai pelayan yang tidak boleh berlebihan menanggapi hal itu.

Shaila menyelesaikan makan malamnya, tanpa sepatah kata, ia menuju peralatan lukisnya dan membawanya menuju sisi dapur dekat ruang bawah tanah.

“Ada yang bisa mbok bantu non?” melihat kedatangan Shaila di dekatnya yang sedang membersihkan peralatan makan, mbok Ina melempar tanya demikian.

“Iya, aku perlu bantuan mbok.” Jawab Shaila menyeringai tapi ekspresinya begitu dingin.

Mbok Ina mengelap kedua tangannya yang basah lalu mendekati Shaila perlahan yang membelakanginya, tapi baru saja kaki tuanya berhasil mengikis jarak, ia dibuat tak percaya.

“Arggggkkkkk.” Mbok Ina terjatuh dari berdirinya.

“Non... non Shaila?!!” Ucap mbok Ina dengan tubuh gemetar.

“Ayo, aku butuh bantuanmu.” Shaila menggeret Mbok Ina yang sudah bersimbah darah menuju ruang bawah tanah.

Teriakan minta tolong yang sangat pelan dari bibir wanita tua itu tidak berguna sama sekali, di saat dirinya hanya berdua dengan sosok yang tega menusuknya .

“Non, ap-apa sa-salah mbok?” mencapai lantai ruang bawah tanah, menggunakan sisa tenaganya mbok Ina bertanya.

“Salah mbok? Tidak ada.” Jawab Shaila dingin. Ia yang baru saja membawa peralatan lukisnya mendekati mbok Ina lagi.

Dan kembali. Dengan teganya serta begitu kejam, tangan Shaila menarik arteri karotis pelayan itu dengan menggunakan pisau yang sama, dan darah menyembur deras disertai tawa Shaila yang mengerikan. Seolah puas dengan hasil perbuatannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!