Ben tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Ia merapikan sedikit rambutnya yang agak berantakan sebab kejadian barusan. Adeline tengah menunggu Ben sembari memberikan buku menu pada pelayan yang datang.
"Terima kasih," ucap Adeline pada si pelayan.
"Baik, Nona."
Melihat Adeline dari kejauhan membuat perasaan Ben sendu. Ia memegang dada yang berdebar seperti biasa, setiap kali berada di sekitar Adeline, rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya terhadap wanita lainnya.
"Dad—" Adeline langsung menutup mulutnya. Orang-orang melihat ke arah Adeline yang memanggil Ben dari jarak beberapa meter dengan sebutan Daddy.
"Um, Sayang," lanjut Adeline sambil melambaikan tangannya ke arah Ben.
Ben menghampiri Adeline lalu duduk. "Baby, sudah pesan?"
"Udah, kamu aku pesankan yang sama denganku, ya."
"Okey." Ben mengusap pipi Adeline dengan tatapan mendalam.
"Ada apa? Kenapa kamu agak ngos-ngosan?" tanya Adeline.
"Ah, itu bukan apa-apa. Tadi agak ngantri di toilet," jawab Ben asal.
"Astaga, kamu mengantri?" Adeline tercengang. Seumur hidup mungkin baru kali ini Adeline mengantri, batinnya.
"Yap, aku mengantri, kenapa kelihatan aneh, ya?"
Adeline tertawa mendengar jawaban Ben. Sewaktu Adeline tertawa lepas itulah Ben makin merasakan hal yang aneh dalam hatinya. Ia pun turut tersenyum menatap wajah ceria di depannya.
"I love you." Tanpa sadar itu keluar begitu saja dari mulut Ben.
Mata Adeline membulat sempurna dengan jantung yang berdegup kencang luar biasa. Keduanya saling menatap dengan seribu arti yang tidak mereka mengerti.
Beberapa detik berlangsung hanya saling melihat satu sama lain dengan hati yang bergetar. Tak lama ada air mata yang menetes membasahi pipi putih Adeline.
Barusan itu....
"Apa yang kamu bilang, Ben?" Suara Adeline gemetar.
Ben mengerjap setelah menyadari apa yang telah terjadi. Tiga kata yang keluar dari mulutnya itu.
"A-Aku—" Ben malah tergagap.
"Kamu bilang apa?"
Sorot mata Adeline yang berkaca-kaca membuat hati Ben terluka. Apakah benar perkiraannya, bahwa Adeline memiliki rasa yang terlarang itu.
"Tidak, aku tidak bilang apa-apa," geleng Ben kemudian dia memalingkan wajah.
Padahal jelas Adeline mendengarnya. I love you. Itu yang Ben lafalkan tadi di hadapannya.
Air mata Adeline tumpah tanpa bisa dicegah. Ia segera menyeka bulir bening yang membasahi pipinya lalu mulai menenangkan diri.
"What happened, Adeline?"
Adeline melihat Ben dengan perasaan terluka. Apa benar pendengarannya salah.
"You said it, I heard it.” Adeline menunduk pilu.
"Lupakan perasaan itu, Adeline."
Bak petir menyambar. Kata-kata Ben membuat Adeline terdiam.
"Aku sudah pernah bilang, kita tidak bisa memiliki rasa yang terlarang. Tidak, benar-benar tidak." Ben menatap tajam wanita yang menangis di depannya.
"Untuk apa kamu menangis, Baby?" tanya Ben.
"Don't call me, Baby!" sentak Adeline tiba-tiba.
Ben menghela napas berat. "Kita pulang ya. Aku akan mengantarmu."
"Enggak, aku gak akan pulang ke rumahmu lagi." Adeline menggeleng.
"Kenapa?" Ben memasang raut serius.
"Kita hentikan saja, Ben."
"Hentikan? Hentikan apa maksudmu?"
Adeline tidak tahu apakah Ben berpura-pura tak mengerti apa yang barusan dia maksud. Ben telah menyadari bahwa ada rasa itu di dalam hatinya. Rasa yang Ben bilang bahwa itu adalah rasa terlarang.
"Aku mencintaimu, Daddy."
Ben tercengang mendengar pengakuan Adeline itu.
"Tidak, yang kucintai bukan daddy, melainkan Benedict Gevariel. Pria baik yang selalu ku anggap spesial."
Ben menggeleng. Ia lalu memegang tangan Adeline. "Katakan kamu tidak begitu, Baby."
Adeline mengalihkan pandangan. Ia melepaskan genggaman tangan Ben perlahan.
"Kita harus berhenti, kan, Ben?"
"Adeline, kau hanya terbawa suasana. Maksudku, kita telah bersama dan melakukan banyak hal. Mungkin kau hanya salah mengartikan. It's pleasure, not love."
"Sampai kapan aku harus membohongi perasaanku sendiri, Ben?" kata Adeline lirih. "Maaf aku sungguh tidak bisa. Aku lelah."
"Kita bisa istirahat, tapi tidak berhenti. Maafkan aku." Ben menghapus air mata Adeline dengan tangannya.
Tak lama pelayan datang membawakan pesanan mereka berdua. Saat ini Adeline sudah tidak lagi berselera. Ia jelas telah jujur dengan perasaannya. Meski sedikit lega, tapi dia sedih mendapati tanggapan Ben terhadap kejujurannya itu.
"Makanlah, kau pasti lapar, kan?" Ben tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. "Setelah ini mau kemana lagi?"
Adeline menarik napas dalam-dalam. Ia lalu berdiri.
"Duduk, Baby, ini di tempat umum. Aku ingin kau makan sekarang."
Aneh. Mendengar perkataan Ben yang serupa perintah itu, Adeline sontak langsung menurutinya.
Adeline pun duduk kembali.
"Makan, ya, kalau tidak kau bisa sakit."
Kini Adeline menyadari keberadaan Ben ibarat morfin. Hal yang tak bisa ia hentikan begitu saja. Setiap perkataan Ben merupakan jeratan yang sulit dia hindari. Adeline terjebak, dia sudah terlanjur menjadi wanita Ben yang patuh.
"Aa ...." ucap Ben mengisyaratkan agar Adeline membuka mulut.
"Aku bisa makan sendiri," tolak Adeline.
"Buka mulut, Baby, aku selalu senang menyuapi mu."
Lagi-lagi Adeline langsung membuka mulut.
"Bukankah ini enak?"
Adeline mengangguk.
"Aku bisa melupakan semua yang terjadi tadi. Maka kaupun harus bisa, ya. Kita jalani seperti biasa," ujar Ben.
Adeline tidak bisa menjawab apa-apa. Keberaniannya seolah sirna karna sikap Ben yang mendominasi. Dia hanya gadis lemah yang ditawari menjadi wanita penghibur untuk pria kaya raya. Adeline memiliki perjanjian untuk mematuhi pria kaya raya itu tanpa menuntut sesuatu yang berkaitan dengan perasaan cinta. Kedua belah pihak dilarang memiliki perasaan yang bernama cinta. Jika salah seorang melanggar, maka kebersamaan mereka harus dihentikan.
"Maaf atas apa yang kukatakan tadi, Baby. Tapi aku tidak mau kau salah mengatakan sesuatu yang nantinya akan kau sesali."
Adeline hanya diam karena tidak tahu harus menjawab apa. Sedangkan sikap Ben kembali seperti biasa. Benar-benar seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara keduanya beberapa waktu tadi.
"Aku ingin bersamamu, terus menjagamu, itu saja." Ben mengatakannya dengan tulus.
Sekuat tenaga Adeline menahan perasaan sedih di hatinya. Ia pun tersenyum menatap Ben.
"Ya, Daddy, maafkan aku."
...***...
Aku tak ingin menyembunyikannya. Kalau bisa bahkan aku ingin semua orang tahu bahwa aku mencintaimu. Tapi apakah itu hanya ilusi belaka.
Kuingin menggenggam tanganmu ditengah keramaian sambil tersenyum. Membiarkan orang-orang berpikir bahwa kita adalah pasangan yang paling bahagia.
Aku ingin menciummu dengan gairah yang berbeda. Bukan hanya karena gelora hasrat yang menggebu-gebu semata. Aku ingin menyentuh bibirmu dengan perasaan yang kusebut cinta.
Adeline menulis setiap kata tersebut dengan air mata berderai. Malam itu entah kenapa dia ingin pergi dari Ben. Rasa itu amat menyesakkan. Rasa yang menuntutnya terus-terusan. Tapi sayangnya, Ben takkan berubah sedikitpun.
"Apa kita memang tak mungkin bersama, Daddy?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Q.M.19
si Ben nya egois .. dia jg tau ada rasa Ama Adeline tp selalu menepis nya
2023-10-11
0
LV
😭😭😭 yg sbaar ya adel
2023-10-09
0
LV
adel jalan satu2nya kamu deket ma co lain. ben pasti cemburu klo dh gitu minta ben jujur sama perasannya
2023-10-09
0