Hadiah Terindah

"Cinta itu bisa membuat seseorang menjadi gila, Ben." Perkataan Lusiana, ibunya, selalu terngiang di pikiran Ben. Apa yang dikatakan Lusiana mungkin memang benar. Karena itu Ben tak pernah berpikir akan jatuh cinta pada siapapun. Dia tidak mau menjadi gila dan berakhir menyedihkan seperti sang ibu.

Ben menoleh menatap senyum cantik Adeline yang baru saja keluar dari toilet.

"Sudah selesai?" tanya Ben. Adeline berkata harus membersihkan diri sebelum pergi.

"Sudah. Kamu mau mandi juga?" Adeline duduk di pangkuan Ben dengan leluasa. "Kenapa tadi tidak mandi bersama saja?"

Kerlingan mata Adeline membuat Ben tersenyum. "Kenapa di saat begini senyumanmu membuatku takut."

Adeline mengerutkan kening terheran. "Kenapa takut? Apa aku menyeramkan?"

Ben terkekeh. "Mana mungkin, bukankah aku yang menyeramkan saat di ranjang?"

"Ah, daddy, kalau itu tidak perlu dibahas. Semoga hanya aku yang merasakan betapa seramnya dirimu."

"Tentu. Apa aku kelihatan seperti pembual di matamu,. Baby?"

Sudah waktunya Adeline berhenti membahas hal yang hanya akan membuatnya banyak berpikir. Apa pun yang akan dilakukan oleh Ben seharusnya tidak perlu dia permasalahkan. Yang terpenting seperti kata Ben, cukup nikmati apa pun yang masih bisa dinikmati, sebelum semuanya tak lagi bisa dirasakan lagi.

"Kita pergi sekarang?" Adeline mengalihkan pembicaraan. "Apa aku boleh bertanya, kenapa aku harus pindah?"

Ben menggeleng. "Tidak ada masalah, hanya rumah lebih baik dibandingkan apartemen."

"Rumah? Kamu membeli rumah untukku?"

"Ya, Baby."

Semudah itu bagi Ben membelikan sebuah rumah, bahkan kapal pesiar sekalipun kalau Adeline menginginkannya.

"Daddy, apa ada yang mengusik mu?" Adeline yakin firasatnya tak salah. Pasti Ben ada sesuatu sampai memintanya pindah.

"Jangan cemas, aku bisa mengurusnya," kata Ben.

"Mana bisa tidak cemas. Bolehkah aku tahu apa yang membuat mu terusik? Katakan, apa ada hubungannya denganku? Ini tentang Kristin, ya?"

Adeline menghujani Ben dengan bermacam pertanyaan. Pria itu lantas menghela napas panjang.

"Kau tahu aku tidak akan membebani mu. Apa pun yang ku hadapi semuanya tak ada masalah. Kau tidak perlu tahu karena nantinya aku akan sedih jika kau jadi kepikiran."

Namun sayang, Adeline sudah terlanjur banyak berpikir sejak keberadaannya ketahuan oleh Kristin. Lambat laun semuanya mungkin saja akan tahu. Tidak terkecuali di kampusnya. Bisa jadi Kristin pun akan membongkarnya.

"Baiklah, Daddy, tapi tolong jangan terlalu banyak berpikir. Aku tidak mau kamu sakit nantinya."

"Adeline-ku yang paling perhatian. Terima kasih, Baby."

"Aku tidak akan bisa membalas kebaikanmu, Daddy, kamu yang menyelamatkan ku dari keterpurukan. Bagaimana bisa aku tidak melakukan apa-apa."

"Ssttt...." Ben mengunci mulut Adeline dengan telunjuknya.

"Kau adalah hadiah terindah, maka jangan berkata begitu. Apa yang kuberikan, tidak sebanding dengan keberadaan mu dalam hidupku."

***

Kristin menggertakkan gigi menahan emosinya yang meluap. Melihat senyum Adeline dan juga Ben yang ada di foto. Seseorang mengirimkan itu padanya dan berhasil mengusik pikirannya. Kemarahannya membuncah seolah ingin meluapkan ledakan besar. Belum pernah Kristin melihat senyuman Ben yang selepas itu di depannya.

"Adeline, kamu kira kamu berhak?"

Mendadak pikirannya langsung berkerja keras. Memikirkan bagaimana membuat Adeline menyerah mendekati Ben. Gadis itu mungkin berpikiran sempit dengan berharap bisa terus bersama Ben. Padahal Kristin yakin tidak ada satupun dari keluarga Ben yang akan merestui Adeline. Apalagi ia juga yakin Ben tidak serius. Ben hanya memanfaatkan Adeline demi kepuasan pribadinya.

Sejauh mata memandang, Adeline tidak melihat keramaian. Itu jauh dari perkotaan. Sebuah rumah yang minimalis nan nyaman, juga dilengkapi dengan fasilitas mumpuni di dalamnya. Hanya saja, agak jauh dari tempatnya kuliah. Adeline harus menempuh perjalanan hampir setengah jam. Itu pasti akan menyita waktunya.

"Daddy, ini rumah yang kamu maksud?"

"Ya, apa kau suka?"

Jujur Adeline menyukai rumah itu. Lingkungannya sangat nyaman. Tapi jaraknya saja yang membuat Adeline menggelengkan kepala.

"Kenapa, Baby? Kau tak suka?"

"Ini terlalu jauh dari kampusku, Daddy."

Ben sudah tahu Adeline akan berpikir begitu. "Tidak masalah, kau bisa menginap di hotel saat akan kuliah. Lagipula kau kuliah hanya seminggu dua kali, kan?"

"Tidakkah itu merepotkan, Daddy?"

"Baby maafkan aku. Tapi kita tidak bisa bertemu di tempat yang ramai untuk saat ini. Aku hanya akan menemui mu di rumah ini," terang Ben.

Apa yang bisa Adeline lakukan, tidak ada. Dia hanya bisa mengikuti keinginan Ben saja. Tapi sampai kapan?

"Jangan terlalu dipikirkan, ya. Yang terpenting bagiku, aku tetap bisa bertemu denganmu."

Adeline menatap Ben karena ingin menanyakan hal yang sejujurnya menyita pikirannya. Tanda tanya yang bersarang di kepalanya. Tentang hubungan Ben dan Kristin.

"Daddy akan tetap menikah dengan Kristin?"

Ben juga tahu Adeline akan bertanya tentang hal itu. Sayangnya, Ben tak pernah berselera membahasnya sama sekali. "Kita masuk Baby, kita lihat kamarnya. Kau pasti suka. Kalau tidak suka, aku akan membunuh Nolan."

Adeline mengerti. Itu tandanya Ben tidak ingin membahas, walaupun sekedar menjawab pertanyaan pun Ben tak akan melakukannya.

"Hem, ayo daddy." Senyum Adeline kemudian Ben menggandengnya.

***

Kristin tersenyum puas setelah ia melakukan hal yang seharusnya dia lakukan segera. Lalu dia mengetuk pintu ruang kerja orang tuanya untuk mengatakan sesuatu.

"Masuk."

Kristin langsung memeluk papanya dengan manja.

"Papa." Kristin sengaja memasang raut murung di depan papanya.

"Putri papa kenapa?" tanya sang papa.

"Papa, aku sangat sedih." Kristin menghela napas berat.

"Sedih? Siapa yang berani membuat putri ayah sedih?"

"Pria yang papa jodohkan denganku, dia orangnya," kata Kristin.

"Apa? Maksud kamu, Ben?"

"Huum." Kristin mengangguk.

"Ben kenapa memangnya?"

"Dia sangat dingin padaku. Padahal aku sangat menyukainya. Lalu, ada wanita lain yang coba menggodanya. Papa juga kenal siapa orangnya."

"Astaga." Perkataan Kristin berhasil membuat papanya jadi terpancing. "Siapa maksud kamu sayang? Katakan saja, papa akan bereskan."

"Salah satu mahasiswi coba menggoda Ben, aku tidak suka. Bisakah papa mengeluarkan dia saja dari kampus?"

Hal itu bukanlah hal yang sulit bagi papa Kristin. Mengingat dia adalah salah satu pemegang saham yang punya wewenang di kampus tersebut.

"Apa kamu sudah menyelidikinya? Benar dia merayu Ben?"

"Tentu saja. Ben orang yang baik, pasti dia ramah karena kebaikannya. Tapi ada saja gadis tidak tahu diri yang coba menggoda. Papa tahu, dia mungkin bermaksud mencari keuntungan dari Ben."

Mendengar itu tentu saja papa Kristin tidak akan tinggal diam. "Baiklah sayang, kamu tidak perlu cemas."

Semudah itu, batin Kristin bersorak karena berhasil menjalankan rencananya dengan lancar.

Bersiaplah Adeline. Jika kamu gak bisa menjauhi Ben, maka aku yang akan melakukannya.

**

Kesibukan beberapa hari ini membuat Adeline sampai lupa melakukan hal yang sangat penting. Padahal sudah melewati batas waktu yang seharusnya. Adeline harus pergi ke dokter, tapi beberapa hari lalu dia malah tidak melakukannya.

"Ya Tuhan, aku lupa sekali." Adeline kemudian melihat kalender. "Sudah terlambat beberapa hari. Bagaimana ini?"

Kemudian dia mengingat lagi, berapa kali ia berhubungan dengan Ben akhir-akhir ini.

Sialnya Ben paling tidak suka menggunakan pengaman. Karna itu Ben meminta Adeline melakukan kunjungan rutin ke dokter untuk kontrasepsi yang aman dan nyaman.

Padahal Adeline sudah bersiap akan ke kampus. Hari ini dia baru saja tiba di hotel. Seperti yang Ben katakan, Adeline hanya perlu menjaga dirinya agar tidak tertangkap kamera sedang bersama Ben di tempat umum.

Begitu dia hendak memesan taksi, satu panggilan masuk dari Dion mengusiknya. "Dion, udah beberapa hari ini dia gak kelihatan. Tumben telepon," gumamnya.

"Halo?"

"Del, kamu ke kampus gak hari ini?"

"Hem, iya, Dion," jawab Adeline.

"Mau bareng?"

Adeline berpikir mungkin sebaiknya dia memang bersama Dion ke kampus. Kalau benar ada yang sedang mengikutinya, pasti keberadaannya bersama Dion membuatnya aman. Dengan begitu takkan ada yang mencurigai kedekatannya dengan Ben.

"Memangnya nggak ngerepotin?" tanya Adeline.

"Enggak kok, aku jemput ya. Kamu shareloc aja."

"Okey Dion, makasih ya sebelumnya."

Hal itu membuat Adeline lupa, bahwa seharusnya pergi ke dokter adalah yang lebih penting sekarang. Dibandingkan pergi ke kampus.

Terpopuler

Comments

Q.M.19

Q.M.19

Gmn g kesemsem si adel perlakuan Ben sweet banget

2023-10-04

0

LV

LV

jgn menjustifikasi org lain kristin kamu gak tau rasanya jd adeline knp dia bisa milih pekerjaannya yg skrg

2023-10-01

0

LV

LV

🥰🥰🥰 so sweet bgt daddy ben

2023-10-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!