Rasa Yang Terlarang

Ben menatap pantulan dirinya di cermin. Matanya terpejam beberapa saat setelahnya. Tiba-tiba ia merasa sangat jahat pada Adeline. Tatapan mata Adeline, kenapa dia merasa ada sesuatu.

"Tidak, kau tidak boleh mencintaiku sungguhan, Baby." Ben bukan pria yang tidak peka terhadap perasaan wanita.

Namun kali ini Ben tidak melihat sorot mata nakal Adeline, melainkan sebaliknya. Ketulusan, kenapa itu harus dia dapatkan dari Adeline.

"Hentikan semuanya sebelum terlambat. Tapi aku tak bisa melepaskan ia, bagaimana ini." Ben bimbang dengan perasaannya sendiri.

Tidak boleh. Ben terus mengingkarinya. Dia tidak boleh lengah sedikit saja. Hidupnya berantakan sejak awal. Meski dia hanya mengenal satu wanita yang bersamanya selama ini, hanya satu nama, hanya Adeline.

"Daddy, kenapa kamu lama sekali?" tanya Adeline dari luar kamar mandi. "Aku ke luar duluan, ya. Boleh aku lihat-lihat rumahmu sebentar?"

"Ya, Baby, lakukan sesukamu. Aku akan selesai sebentar lagi."

"Hentikan, Ben, kau tahu dia adalah perempuan yang baik. Kau harus melepaskannya jika dia punya rasa terlarang padamu. Ya, aku harus melepaskannya."

***

Adeline melihat-lihat rumah Ben. Rumah itu sangat megah. Sayang sekali hanya ada Ben saja di rumah itu. Para pelayan akan pergi jika Ben tidak memanggil. Pelayan datang saat Ben tidak ada, hanya untuk membersihkan rumah dan mengurus hal-hal berkaitan tentang itu.

"Aku penasaran, kenapa daddy memilih tinggal sendirian."

"Karena aku nyaman sendirian, Baby."

Ben muncul dibelakang Adeline dengan tampilan yang tak biasa. Setelan kasual yang dikenakan Ben untuk kencannya bersama Adeline, membuat Ben tampak lebih muda beberapa tahun. Sama sekali tidak kelihatan sesuai umur.

"Daddy, ini kamu?" ucap Adeline saking takjubnya melihat penampilan Ben.

Ben menggaruk tengkuk. "Aneh ya?"

"T-tidak! Mana mungkin aneh. Justru kamu kelihatan berbeda, lebih muda," jelas Adeline.

Senyum kecil Ben tersungging manis. "Ah, syukurlah, aku kira aneh saja. Bagus kalau kau menyukainya. Kau suka, kan?"

Adeline tersipu membuat Ben menggertakkan giginya tak tahan melihat ekspresi itu. Bagaimana dia bisa melepaskan Adeline kalau begitu.

"Daddy, kenapa malah bengong begjtu? Apa kamu kepikiran sesuatu?"

Mungkin saja Ben takut orang lain mengetahui keberadaannya saat bersama nanti. Wajar saja jika begitu, karena Ben bukan orang biasa, beberapa orang mungkin mengenalnya sebagai pengusaha yang kerap wara-wiri di majalah bisnis. Belum lagi media yang sering menjadikan Ben sebagai barometer.

"Tidak, aku tidak memikirkan apa-apa. Aku hanya....,"

Pria itu maju mendekati Adeline lalu menyentuh pipi Adeline dengan punggung jemarinya perlahan. "Hanya mengagumimu. Ibumu seharusnya bangga, punya anak secantik ini."

Perkataan Ben itu membuat pipi Adeline memerah. Rona itu membuat kulit putih Adeline menjadi berubah warna sangat mencolok. Ben mengekeh pelan, merasa lucu kala wajah itu tampak malu.

"Aku tidak peduli, apa dia bangga atau tidak." Adeline menggeleng.

"Iya, katakan begitu. Baiklah aku yang bangga saja. Boleh, kan?"

"Memangnya aku milikmu?" tanya Adeline.

Keduanya saling bertatapan dengan penuh arti. Bodohnya Adeline berharap Ben menjawab dia memang milik Ben. Ya, kepemilikan yang berbatas waktu. Bukan itu yang diinginkan hati kecil Adeline. Tapi kepemilikan sebenarnya walau itu agak mustahil.

"Jelas saja kau milikku, untuk sekarang siapa yang berani mengambil milikku Maka dia berhadapan denganku."

Sudah Adeline duga. "Hem." Adeline tidak berkata-kata lagi.

Kemudian Ben menggenggam tangan Adeline. "Ayo kita berangkat kencan, Sayang. Nikmati hari ini dengan senyum dan bahagia."

Aneh. Kenapa Adeline melihat sorot mata sendu di sana. "Ya, aku sudah pasti akan berbahagia asalkan denganmu, Daddy."

"Kau boleh panggil Ben, atau mungkin panggilan yang lain. Sayang, misalkan."

Adeline terkekeh. "Beneran boleh begitu? Boleh kupanggil sayang saja?"

"Boleh, tentu boleh."

Ini sangat mengejutkan. Ben memang bebas memanggil Adeline dengan bagaimanapun. Tapi dirinya dibatasi hanya boleh memanggil daddy saja. Tapi kali ini Ben membebaskan dirinya. Itu amat mencengangkan.

"Okey, Sayang." Adeline masih belum terbiasa, dia memalingkan wajahnya saking merasa malu.

"Cute," ucap Ben lalu mencubit gemas pipi Adeline yang memerah.

***

Benjamin merasa bersalah karena tidak peka terhadap perasaan sang putra. Dion mendiamkan Benjamin yang malah menyarankan agar memperkenalkan Adeline pada Ben. Padahal putranya juga menyukai gadis itu.

"Dion, maafkan ayah. Jangan mendiamkan ayah juga dong."

"Kalian ini memangnya kenapa, sih?" sahut Desya, dia heran karena suami dan anaknya lebih banyak diam sejak tadi.

Meja makan adalah tempat yang dilarang saling cemberut. Dion pun tersenyum dengan terpaksa.

"Tidak apa-apa, Ma," jawabnya singkat.

"Yah, apa gak mau cerita sama mama?" tanya Desya pada Benjamin.

"Begini, Ma—"

"Udahlah, Yah, jangan dibahas," potong Dion.

Benjamin menghela napas berat. "Dion, biar ayah menebus kesalahan ini. Baik, kamu boleh ajak dia kemari kalau memang kamu menyukainya. Perkenalkan dia sebagai pacar kamu," ujarnya pada Dion.

Dion menghentikan aktifitas makannya. Ia lalu meletakkan sendok dan garpu di tangannya. "Sebenarnya....,"

"Ada apa sih?" Desya makin tidak paham. "Ini masalah pacar Dion? Emangnya kamu udah punya pacar?"

"Mama dengarkan aja dulu," pungkas Benjamin kemudian Desya mengangguk patuh.

"Sebenarnya Dion dan Adeline belum berpacaran," jelas Dion.

Haruskah Dion mengatakan bahwa Adeline menyukai Ben, bukan dia. Tapi dia enggan membahas Ben sama sekali saat itu.

"Ya tidak masalah, kamu cukup ungkapkan perasaan kamu padanya, Dion. Simpel kan?" ujar Benjamin.

Seandainya sesimpel itu, batin Dion.

"Begini Dion, siapa yang akan menolak anak ayah. Tidak mungkin kamu ditolak. Anak teman mamamu saja sudah banyak yang menanyakan kamu. Tandanya kamu populer dikalangan gadis."

Benjamin memuji sang putra. Mungkin saja Dion kurang percaya diri, meski itu hal yang tak beralasan. Seharusnya Dion lebih yakin terhadap dirinya.

Ya, tapi Adeline berbeda. Dia jelas akan ditolak. Batin Dion.

"Yah, maaf mama menyela. Tapi maksudnya Dion suka Adeline, mama udah tahu. Cuman apa hubungannya dengan kalian yang saling diam. Apa sebelumnya ada salah paham?" tanya Desya.

"Hem, ada salah paham. Ayah meminta Dion mengenalkan Adeline pada Ben, karena Ben batal menikah dengan Kristin. Kelihatannya Ben suka, rupanya ayah yang tidak peka. Dion yang menyukai Adeline," jelas Benjamin.

"Oh begitu rupanya. Lagian ada-ada sih Ayah. Masa gitu aja gak peka. Lagipula Adeline lebih cocok dengan Dion daripada dengan Ben. Usia mereka terlampau jauh, Adeline seumuran anak kita. Ben sudah hampir kepala empat." Desya mengemukakan pendapatnya.

Lagi-lagi Dion menghela napas. Kedua orang tuanya masih belum tahu kondisi yang sebenarnya terjadi. Kalau mereka tahu, pasti Adeline yang akan dipandang remeh oleh kedua orang tuanya. Karena itu Dion memilih diam saja.

"Benar juga, Ma. Malah kesannya kurang baik. Seperti anak gadis yang menggoda om-om," jelas Benjamin yang baru menyadari kekeliruannya.

Jantung Dion berdegup kencang karena terkejut mendengar ucapan Ayahnya. "Ayah jangan sembarang menilai."

"Ayah? Menilai siapa?" Benjamin bingung kenapa putranya kelihatan tak senang. Apa dia salah lagi? Pikirnya.

"Iya, Dion. Ayah cuman bilang seandainya seperti itu. Bukan berarti menilai Adeline begitu," kata Desya membantu menjelaskan.

Dion kemudian berdiri. "Dion udah selesai makan, Yah, Ma, kalau gitu Dion pamit ke kampus."

"Tapi Dion!" Benjamin memanggil putranya yang pergi begitu saja.

"Ada apa sih dengan Dion?" Desya heran karena tidak biasanya Dion bertingkah aneh begitu.

**

Adeline bergandengan tangan dengan mesra bersama Ben. Pria itu mengenakan jaket dan topi tak lupa masker untuk menutupi wajahnya. Sayang sekali, padahal Adeline ingin orang-orang tahu dengan siapa dia bersama. Tapi pikiran itu dia buang jauh-jauh. Bisa nonton film bersama seperti sekarang rasanya sudah sangat mengejutkan. Adeline merasa senang.

"Sayang mau nonton apa?" tanya Ben.

"Hem, apa yang bagus ya. Aku lupa terakhir kali ke bioskop."

"Benarkah? Jangan-jangan kau terakhir kali ke sini bersama laki-laki, ya?" ledek Ben.

Adeline menggeleng. "Tidak, mana mungkin."

Ben mengacak pelan rambut Adeline. "Tentu, ini yang pertama, anggap saja begitu. Aku akan mengikuti mu, pilihlah judul film yang kau suka, Sayang."

Sewaktu Adeline hendak memilih judul film, tiba-tiba saja ada yang menyerobot antrian mereka. Seorang laki-laki hampir menabrak Adeline. Untung saja Ben dengan sigap menarik Adeline ke pelukannya. Sewaktu Adeline beralih ke pelukan Ben. Adeline mendengar degup jantung Ben yang berdebar kencang. Lantas jantung Adeline pun turut berdebar-debar.

Meneguk ludah, Adeline mendongak, ia menatap Ben yang menunduk melihatnya. "Kau gapapa?"

"Em, gapapa kok." Adeline tersenyum lalu kembali ke posisinya berdiri.

Kalau mereka tidak ke tempat umum, mereka tidak akan mendapati kejadian seperti sekarang ini. Anehnya Adeline merasa amat bahagia.

Terpopuler

Comments

IG Cherry.apink

IG Cherry.apink

Aku udah up lagi ya ges. Tapi masih review dulu 🙈/Ok/

2023-10-05

0

mamah teby

mamah teby

lanjut thoooorrrrrr 💪💪

2023-10-05

0

JianXu_Gege

JianXu_Gege

tp yg dibutuhkan adel adalah ben 🥲

2023-10-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!