Javier Lionel Gevariel, berusia hampir 70 tahun. Meski tak lagi muda, tapi Javier masih aktif dalam kesehariannya. Mengurus banyak hal, walaupun lebih suka berada di balik layar dibandingkan harus terjun langsung dalam urusan bisnisnya. Ayah Ben, yang tidak muncul di khalayak, tapi menjadi pengendali entah itu dalam urusan bisnis maupun urusan keluarga.
Hal itu yang paling tidak disukai Ben sejak kecil. Ayahnya otoriter yang paling dia benci. Berusaha mengendalikannya dengan segala macam cara. Sedangkan wataknya keras dan tidak suka diatur. Karena itu Ben yang cerdas lebih suka melakukan apa yang menjadi pemikirannya sendiri ketimbang mengikuti perkataan Javier. Berbeda dengan kakaknya, Benjamin, yang cenderung patuh pada sang ayah.
"Dimana sopan santun mu Ben?"
Ben berdecih. "Langsung saja karena aku tak punya banyak waktu."
"Oh. Rupanya hanya karena kau sudah bisa membangun perusahaan mu sendiri? Jadi, tak perlu lagi pertimbanganku sebagai ayah?"
Menghela napas panjang. Ben menggaruk sebelah alis yang tidak gatal kemudian duduk di kursi yang ada di hadapan Javier.
"Baiklah, apa yang kau inginkan?"
Javier menggeleng. "Bisakah kau pakai sapaan yang sopan padaku?"
"Astaga." Ben memejamkan matanya sebentar. Lelah harus berbasa-basi dengan pria paruh baya di depannya.
"Ya, Ayah. Jadi, apa lagi yang Ayah inginkan?" tanya Ben. "Tidak cukup membuat semua berantakan karena perjodohan sialan yang sudah ayah lakukan?"
"Ben!" sentak Javier.
"Sudahlah, hari ini aku sangat pusing. Bisakah tidak mengajakku bertengkar?" Dalam pikiran Ben saat ini hanya ingin langsung mendatangi Adeline, itu saja.
Kemudian Javier melempar tumpukan kertas bergambar, itu adalah foto-foto yang didapatkan dari Paparazi.
"Apa ini?" Ben menatap foto yang berserakan di atas meja, matanya membulat melihat itu merupakan fotonya bersama Adeline.
Beberapa foto diambil sewaktu dia berjalan-jalan dengan Adeline. Juga saat makan malam dan berbelanja. Padahal selama ini tak ada yang berani menguntitnya seperti itu. Hal itu kontan membuatnya meradang. Ben takkan membiarkannya begitu saja.
"Aku tak heran kalau kau punya wanita simpanan. Tapi kau membuatku marah karena tidak bisa menyembunyikan wanitamu dengan bijak, Benedict!"
Ben meneguk ludah lalu mengumpulkan foto-foto tersebut. "Lantas apa yang jadi persoalan?"
"Kau bertanya apa?" Javier terkekeh. "Ben, Ben, kau tau ini akan mencoreng nama baik keluarga Gevariel. Padahal jelas pertunangan kau dan Kristin sudah diumumkan."
Ben berdiri sambil meremas foto-foto tadi. "Jangan ganggu dia."
Javier tersenyum. "Kau mencintainya?"
"Not your bussiness!" tegas Ben.
"That's my business!" Javier ikut berdiri.
"Ben kau ingat, pernikahanmu dan Kristin akan segera diselenggarakan. Tidak peduli kau mencintai wanita itu atau tidak, tapi urus dia agar tidak muncul di permukaan. Dia takkan mungkin masuk ke dalam keluarga Gevariel!"
Ben tidak menjawab perkataan Javier, dia hanya langsung keluar dari ruangan tersebut meninggalkan Javier dengan kemarahannya.
"Kenapa anak itu sangat sulit diatur. Tidak sadarkah dia berapa umurnya? Kapan dia akan memberiku cucu?" gumam Javier sambil memijat pelipisnya.
***
Tidak peduli apa pun yang dikatakan oleh ayahnya. Persetan dengan pernikahan! Itu hanya ikatan yang baginya tidak berfungsi apa-apa. Entah itu Kristin atau wanita lain, baginya yang terpenting hanya Adeline.
"Nolan tolong kau carikan rumah untukku."
"Rumah?" jawab Nolan dari sambungan telepon. "Untuk apa kau membeli rumah, Ben?"
"Untuk Adeline, dia harus pindah," jawab Ben.
"Kenapa dia harus pindah? Apa ada masalah? Maaf aku tidak tahu karena belakangan sangat sibuk," ujar Nolan.
"Kau lakukan saja apa yang kukatakan. Cari yang nyaman, dan yang terpenting tidak boleh diketahui oleh siapapun. Mengerti?"
"Ya, baiklah, Ben. Aku akan mengurusnya."
Ben mengusap wajahnya kasar. Pikirannya harus tetap fokus kalau tidak semuanya bisa berantakan. Baru kali ini ada urusan yang menyita pikirannya. Ini semua karena Adeline begitu penting baginya.
Daddy : Baby aku sedang dijalan, kau bersiap ya. Kau akan pindah.
Adeline baru saja terjaga setelah lagi-lagi tidak sadar malah tertidur. Ia terkejut begitu membaca pesan dari Ben.
"Pindah?"
Tubuhnya langsung tegak sambil membaca ulang pesan dari Ben itu. "Untuk apa aku pindah?"
Namun dia memahami Ben yang tak suka jika ditanya macam-macam. Adeline hanya perlu patuh dan menuruti semua perkataan Ben.
Adeline : Baik, Daddy.
Ia pun segera merapikan pakaiannya ke dalam koper. Memasukkan beberapa barang berharga miliknya. Selebihnya sudah pasti Ben yang akan membereskan nanti.
Adeline memegang perutnya yang terasa sakit, dia sampai lupa belum makan sejak tadi. Semua karena permasalahan Kristin yang membuatnya jadi tidak berselera melakukan apa pun.
"Astaga perutku sakit." Adeline kemudian pergi ke dapur mengambil segelas air dan obat maag yang biasa dia konsumsi lalu meminumnya.
"Baby."
Ben datang dan masuk begitu saja lalu menghambur memeluk Adeline. "You okay?"
"Daddy, aku gapapa," angguk Adeline.
"Kenapa kau sangat pucat? Kau sakit, hem?"
"Tidak kok. Ini aku mau makan, tadi aku lupa makan," jawab Adeline.
"Astaga, Baby. Kau duduk saja, biar aku yang membuatkan makanan untukmu."
"Daddy tidak usah," tolak Adeline. "Kamu baru sampai. Aku akan makan ramen."
"Ramen? Jangan makan makanan semacam itu, Baby. Duduklah, aku akan memasak untukmu."
Adeline lalu duduk di ruang makan sambil menunggu Ben yang bersikeras untuk memasak.
Melihat pria memasak membuat Adeline jadi teringat pada mendiang ayahnya. Dulu sewaktu Adeline masih kecil, ayahnya memasakkan sarapan untuknya. Ingatan itu membuatnya sedih. Ia pun tanpa sadar menangis.
"Jangan makan makanan junk food, fast food, Sayang. Aku tidak mau kau sakit," kata Ben.
Adeline segera menghapus air matanya. Ia lalu menghampiri Ben yang tengah membuatkan omelette. Ben sangat cekatan, kelihatannya sudah berpengalaman. Melihat itu membuat Adeline yang berdiri di belakang Ben langsung memeluk. Ben tersentak tapi kemudian mengelus tangan Adeline dengan lembut.
"Kau duduk saja, Sayang. Ini belum selesai," ucap Ben.
"Daddy, aku tidak mau kehilanganmu. Bagaimana ini?" Adeline menempelkan kepalanya ke punggung Ben.
Ben menaruh omelette yang sudah jadi ke atas piring. Ia lalu berbalik menatap wajah Adeline yang memerah.
"Siapa yang akan menghilang? Aku?" tanya Ben sambil mengelus pipi Adeline.
"Hem, bagaimanapun kita akan tetap berpisah. Perjanjian itu, hanya dua tahun, sisanya sebentar lagi, kan?"
Perasaan Ben sangat berantakan sewaktu mendengar hal itu dari Adeline. Lantas dia teringat ucapan Javier.
Dia tidak bisa masuk ke dalam keluarga Gevariel!
"Baby." Ben mengecup kening Adeline lembut.
"Kenapa harus membahas sesuatu yang belum terjadi. Sementara aku selalu bilang, nikmati apa pun selagi kau masih bisa menikmatinya."
Keduanya saling menatap satu sama lain. Adeline mengarahkan tangannya menyentuh dada bidang Ben dan mengusapnya dengan hangat. Ia menempelkan kepalanya ke sana sambil memejamkan mata. Betapa nyamannya berada di pelukan Ben. Betapa beruntungnya wanita yang bisa menjadi pendamping Ben kelak.
Sayangnya itu tidak mungkin aku, kan, Daddy.
"Baby apa yang kau pikirkan, hem?"
"Tidak, aku hanya nyaman memelukmu," jawab Adeline.
"Kau harus makan, atau kau ingin aku memakanmu?"
Adeline terkekeh. "Daddy, tidak bosan memakanku terus?"
"Kau aneh, aku hanya akan memakanmu. Aku tidak berselera dengan makanan lain."
Kata-kata itu membuat Adeline makin sakit. Apa benar begitu? Nyatanya Ben punya segalanya yang digilai oleh wanita di luar sana. Wanita yang sudah pasti lebih cantik darinya. Lebih bisa memuaskan dalam segala hal. Mana mungkin Ben tulus mengatakan hal itu kalau bukan hanya untuk menghibur hatinya.
"Kamu menyebalkan, Daddy."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Sri Sumarsih
Semoga Dady Ben berjodoh dg Adelia (baby ). Aamiin
2025-02-22
0
mamah teby
bagus ceritanya 👍👍
tulisannya rapih
aku suka author yg tulisannya rapih
👍👍👍👍
2023-10-05
1
Q.M.19
Restu orang tua memang penghalang terbesar
2023-10-04
0