Kau Milikku

"Adeline, kamu kenal sama Om Ben?"

Pertanyaan itu membuat lamunan Adeline terpecah. Mata bulat gadis itu sontak berubah menjadi tatapan tajam pada Ben. Benar, dia Benedict Gevariel, sugar daddy-nya.

"Dia kekasihmu, Dion?"

Suara bariton Ben membuat Adeline merinding. Ia lantas menggeleng pelan masih sambil menatap Ben. Pria itu bergeming dengan sorot mata tajamnya pada Adeline. Mereka berdua sama-sama kelihatan kaget.

"Dia Adeline, teman kuliahku, Om," jawab Dion.

"Kalian semua kenapa malah berdiri, ayo duduk," ajak wanita yang tidak lain adalah ibu kandung Dion, Desya Ananta.

"Duduklah, Dion, ajak temanmu untuk duduk juga," sambung ayah Dion, yang tidak lain kakak kandung Ben, yaitu Benjamin Gevariel.

Mereka semua akhirnya duduk. Tapi Dion merasa ada yang aneh dengan gelagat Adeline dan Ben, mereka berdua kelihatan seperti sudah mengenal satu sama lain.

"Adeline, ini teman kuliahku, dia sangat baik dan cantik, bukan?" ucap Dion pada kedua orang tuanya dan juga omnya.

"Benar, salam kenal Adeline. Terima kasih karena sudah menjadi teman Dion," ujar Desya.

Adeline mengangguk. "Iya, salam kenal, Tante," jawabnya gugup.

Situasi tersebut benar-benar di luar dugaan. Kenapa ada kebetulan yang semacam itu. Dion adalah keponakan Ben, lalu tatapan mata Ben seolah ingin menerkam Adeline saat itu juga. Ya, tatapan marah dengan seribu tanda tanya. Jangan lupakan bahwa, Ben tidak suka miliknya dekat dengan pria lain.

"Om Ben, kenapa diam saja. Biasanya Om Ben selalu ramah sama gadis muda. Bukan begitu?" tanya Dion sambil tersenyum. "Tapi, jangan goda Adeline ya, soalnya dia beda dari gadis lain."

Adeline langsung terbatuk mendengar perkataan Dion.

"Oh, rupanya begitu. Apa kamu menyukai dia, Dion?" tanya Ben masih sambil menatap Adeline.

"Ah, maaf, apa saya boleh ke toilet?" Adeline tidak bisa terus ada di sana, dia benar-benar kebingungan saat itu.

"Silakan, toiletnya ada di sana," kata Desya menunjukkannya pada Adeline.

"Del, mau aku antar?" tanya Dion dibalas gelengan singkat Adeline.

***

Adeline menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi rumah Dion. Benar saja, wajahnya sangat pucat dan dia tak bisa menenangkan dirinya sama sekali. Perkataan Dion membuatnya makin tersudut, apalagi Ben mulai terpancing dengan bertanya hal yang sensitif pada Dion.

"Apa daddy marah? Bagaimana ini?" Adeline mengusap wajahnya dengan air berulang kali. "Aku harus jelaskan agar daddy tidak salah paham. Ya, aku tidak boleh diam saja."

Adeline mengambil ponsel untuk menghubungi Ben. Tapi Ben lebih dulu mengiriminya pesan singkat.

Daddy : Keluar, aku di depan.

Adeline meneguk ludah kasar. "Sepertinya dia memang marah."

Jantungnya berdegup kencang tatkala keluar dari toilet tersebut. Benar saja, Ben sudah berdiri menunggu dirinya di ambang pintu.

"Baby."

Adeline celingukan mengecek situasi sekitar, ia lalu menatap Ben dengan perasaan bersalah.

"Daddy, maafkan aku, sungguh aku dan Dion hanya—"

Ben langsung memeluk Adeline. "Aku tahu, tapi aku tidak suka kau bersamanya, Baby. Kau tahu, aku paling tidak suka milikku berada dekat dengan pria lain."

Adeline merasakan pelukan Ben yang sangat kuat sampai-sampai terasa sesak.

"Dari menatapnya saja aku sudah tahu, bahwa dia menyukaimu."

"Tidak, dia dan aku hanya—"

Ben lalu membungkam bibir Adeline dengan ciuman.

"H-hanya te-teman," ucap Adeline gagap.

Ben berdecih sambil merapikan anak rambut di kening Adeline. "Tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Baby."

Adeline meneguk ludah lalu memegang tangan Ben. "Maafkan aku, Ben."

"Panggil apa?" ulang Ben dengan sorot mata tajam.

"Daddy, maafkan aku, Daddy." Adeline menunduk pelan.

"Aku suka kamu karena kamu sangat patuh, maka kuharap kau terus begitu."

Adeline tahu maksud perkataan Ben. Apalagi semalam dia mencari tahu banyak informasi tentang sugar daddy-nya itu. Benedict Gevariel memang terkenal dikalangan wanita, tapi tidak ada satupun wanita yang bisa menaklukkan pria itu. Maka Adeline merasa bahwa dirinya amat beruntung karena bisa bersama dengan Ben sampai sekarang.

"Bersikaplah normal, ingat jangan mau diantar oleh Dion." Ben lalu mengecup puncak kepala Adeline sebelum kembali ke ruang keluarga. "Ingat, kau milikku."

Adeline duduk tak tenang sama sekali ditengah keluarga Dion. Di sana terlihat Ben yang justru sebaliknya, pria itu tampak jauh lebih tenang dari sebelumnya.

"Del, kamu minum dulu teh nya," ujar Dion ramah.

"Em, terima kasih, Dion. Tapi maaf sepertinya aku tidak bisa lama," jawab Adeline.

"Ada apa, kamu ada urusan lain?" tanya Dion.

"A-aku...." Mata Adeline menatap Ben sesekali. Dion keliatan memerhatikan gerak-gerik Adeline dan mulai menangkap sinyal tertentu. Dion pun menatap Ben dengan tanda tanya.

"Ada pekerjaan dadakan, Dion," lanjut Adeline dengan yakin. "Tadi ada urusan yang harus aku selesaikan segera."

"Ada apa, Dion?" tanya Desya.

Berbeda dengan ibunya, ayah Dion kelihatan lebih cuek dan dingin. Dia hanya berbincang dengan Ben, itupun sepertinya membicarakan urusan bisnis.

"Ini Ma, Adel katanya mau pamit," kata Dion pada sang mama.

"Tante, Om, maaf ya. Saya pamit karena ada urusan mendadak," ujar Adeline dengan santun.

Ayah Dion hanya mengangguk sedangkan Desya mendekati Adeline. "Kapan-kapan main kesini lagi, ya. Jarang-jarang Dion ajak teman wanitanya. Pasti kamu spesial bagi Dion."

Adeline tersentak. "Ah itu, saya hanya teman kok, Tante."

Ben tidak melihat ke arah Adeline sama sekali, seperti terbawa suasana obrolan serius dengan ayah Dion.

"Gapapa, berawal dari teman, lama-lama tante yakin kalian dekat." Desya sangat ramah, membuat Adeline jadi tidak enak sendiri.

"Dion, ajak Adeline ke pesta ulang tahun om kamu minggu depan ya."

Jantung Adeline berdebar kencang. "Ulang tahun?"

"Oh, itu, baik nanti Dion ajak Adel, Ma." Dion melirik Adeline sambil tersenyum simpul.

***

"Maaf, Dion, aku gak perlu kamu antar. Aku udah pesan taksi," ucap Adeline.

"Padahal kenapa pesan taksi, aku bisa kok antar kamu kemanapun," jawab Dion.

"Makasih, Dion. Tapi lain kali kamu gak perlu terlalu berlebihan, orang bisa salah paham." Adeline berusaha tetap ramah pada Dion, dia tidak mau kalau perkataannya akan menyinggung.

"Adeline, sebenarnya ada yang mau aku sampaikan." Dion kelihatan gugup sewaktu mengatakan itu pada Adeline.

"Apa itu?" Adeline merasa tidak nyaman, tidak mungkin Dion benar menyukainya, kan?

"Del, aku sebenarnya —"

"Dion!" Tiba-tiba saja ayahnya memanggil.

"Iya, Yah. Sebentar, ya, Del."

"Dion maaf tapi aku harus pulang sekarang, kamu temui ayah kamu saja ya. Aku duluan."

Adeline berjalan beberapa langkah ke tempat dia akan menunggu taksi.

"Del," panggil Dion.

"Dion cepat kesini," panggil ayahnya lagi. Alhasil Dion menggeram tertahan, mau tak mau harus memenuhi panggilan ayahnya dan membiarkan Adeline pulang sendirian.

Sewaktu Adeline menunggu taksi, mobil mewah melintas di depannya. Pintu mobil terbuka begitu saja, lalu Adeline melihat pria berkacamata duduk di depan tanpa menatapnya. Adeline tersentak, rupanya itu Ben.

"Daddy?"

"Masuk." Ben tidak menatap Adeline sama sekali.

Adeline pun masuk ke dalam mobil. "Daddy, tapi aku sudah pesan—"

Ben menatapnya sengit. "Duduk yang tenang, kenakan sabuk pengaman."

"B-baik." Adeline bisa merasakan kemarahan Ben.

Tapi karena apa lagi? Bukankah dia sudah melakukan yang seharusnya dia lakukan?

Terpopuler

Comments

Luna Lulu

Luna Lulu

Next thor

2023-10-03

0

Q.M.19

Q.M.19

si Daddy cemburu ya cuman gg sadar ana

2023-10-03

0

🌞Aline☀️

🌞Aline☀️

bakalan rumit nih kayaknya 😰 ben sama dion sodaraan, klo kluarga dion akhirnya tau hub ben sama adel gmn ya

2023-09-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!