Perempuan cantik bermata cokelat itu berjalan gontai menuju salah satu ruang VVIP rumah sakit di mana Iko dirawat. Ruangan itu terletak di bagian paling ujung lantai tiga, tepat di sisi kanan tangga darurat. Perlahan Ega mengetuk pintu ruangan itu dan membukanya begitu suara seorang laki- laki yang ada di dalam ruangan mempersilakan untuk masuk. Begitu pintu terbuka, Ega mendapati sosok Iko yang tengah duduk bersandar di atas hospital bed dengan setengah tubunya tertutup selimut. Pandangan mata mereka bertemu, dan raut wajah Iko terlihat sedikit terkejut begitu menyadari siapa yang datang.
“Ega?” gumamnya. Perempuan itu berjalan menghampiri seraya meletakkan rangkaian bunga yang ia pesan dari Tasya di atas kabinet yang terletak tepat di samping hospital bed itu.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Ega singkat sembari mengamati pelipis Iko yang masih tampak kemerahan.
“Sepertinya pertolonganmu tempo hari sedikit terlambat,” pungkas laki- laki itu sembari tersenyum tipis.
“Setidaknya aku berusaha mencegah seluruh kulit kepalamu terbakar,” selorohnya setengah meledek. Suasana hening seketika sedikit mencair begitu keduanya terkekeh kecil.
“Apa kamu sudah makan?” tanya perempuan itu pada Iko.
“Hm” jawab laki- laki itu seraya mengangguk. “Apa lagi yang kamu bawa untukku selain bunga itu?” tanya Iko yang penasaran karena selain rangkaian bunga, tangan Ega masih menenteng bungkusan berwarna hitam. Perempuan itu segera membuka bungkusan yang ada di tangannya dan menunjukkan pada Iko.
“Garlic bread?” ucap Iko begitu mendapati Ega yang menunjukkan satu kotak roti bawang yang merupakan roti yang sangat disukai oleh Iko, begitu juga Ega.
“Makanlah. Kamu pasti sudah lama tidak makan roti ini, ‘kan?” tanya Ega pada laki- laki yang menerima bungkusan itu dengan senang hati.
“Sejak kamu menikah dan menjauhiku, tepatnya.” Pungkas laki- laki itu seraya menatap Ega dengan serius. Ega lantas menghela napas perlahan begitu mendengar kata- kata yang keluar dari mulut Iko.
“Sudah jangan banyak bicara, makan saja rotinya,” ucap Ega yang kemudian dituruti saja oleh laki- laki itu. Perlahan ia menggigit roti lembut itu, dan seketika matanya membulat karena citarasa gurih dan kelembutan tekstur roti bawang mampu menaikkan suasana hatinya menjadi lebih bahagia.
“Temani aku makan,” ujar Iko sembari menyodorkan kotak yang masih tersisa beberapa biji roti bawang di dalamnya.
“Habiskan saja, aku sudah kenyang,” tutur Ega sembari mendorong perlahan kotak yang disodorkan Iko padanya.
“Kalau begitu makan yang ini,” tawar Iko sembari merobek bagian belakang roti bawang yang ia makan, dan mendekatkannya pada mulut Ega. Perempuan itu menggeleng, namun Iko tak kunjung memindahkan tangannya.
“Iko, ayolah. Aku bilang aku sudah kenyang,” tolak Ega pada laki- laki itu.
“Kali ini sahabatmu yang meminta. Kumohon,” pinta Iko sembari tetap menyodorkan potongan roti itu, hingga Ega tak mempunyai pilihan lain selain membuka mulutnya menerima suapan itu. Ega mengunyahnya dengan pelan, namun ada sedikit rasa sesak kembali membuncah dalam dada perempuan itu. Ada satu hal yang hendak ditanyakan Ega pada sahabat yang baru saja menyuapinya perihal apa yang dia katakana tentang Evan beberapa hari yang lalu, namun Ega menyadari hal itu pasti akan membuat suasana semakin keruh. Ia tak mau melibatkan orang lain dalam urusan rumah tangganya. Suasana kamar VVIP itu lengang, hanya ada mereka berdua yang saling beradu tatap.
“Kamu masih saja seperti dulu,” ujar Iko sembari meraih selembar tisu yang ada di dekatnya dan mengusapkan pada sudut bibir Ega yang sedikit berlumuran krim yang berasal dari roti bawang yang ia suapkan beberapa saat yang lalu. Ega tertegun karena seketika kenangannya bersama sang sahabat kembali terulang seperti de javu. Suapan roti bawang dari Iko, sudut bibir yang belepotan, dan Iko yang membersihkan dengan selembar tisu. Semuanya sama, hanya tempat dan waktu yang berbeda. Kedua bola mata itu bertemu sesaat, lantas dengan segera Ega mengalihkan pandangannya ke sembarang arah agar tak terbawa perasaan yang telah ia tenggelamkan jauh di dasar hatinya.
“Habiskan sisanya,” ujar Ega menghilangkan kecanggungan di antara keduanya. Laki- laki itu lantas kembali mengigit sisa potongan roti yang masih ada di tangannya.
“Terima kasih kamu sudah datang. Aku menunggu kehadiranmu sejak kemarin,” ujar Iko sembari membersihkan sisa minyak mentega yang menempel pada ujung- ujung jarinya.
“Aku lega sudah melihat keadaanmu. Lain kali berhati- hatilah,” timpal perempuan itu.
“Aku tidak bisa berhati- hati jika tidak ada kamu, Ga. Kamu tahu itu, kan?” Kata- kata Iko kembali membuat perempuan itu mendengus.
“Iko, jangan mulai lagi,”seloroh Ega sedikit kesal yang seketika membuat Iko terkekeh.
...***...
Penanda waktu pada jam dinding yang bertengger di dinding ruangan berukuran enam kali lima meter itu menunjukkan pukul tujuh malam. Ega yang telah selesai menyiapkan makan malam untuk suaminya, kini bersiap menunggu sang suami pulang. Dengan balutan setelan santai berwarna cokelat, perempuan itu tampak cantik dengan parfum aroma magnolia yang lembut. Sesekali perempuan itu meneguk secangkir teh hijau yang sedari tadi berada dalam genggamannya. Entah mengapa, pikirannya semenjak bertemu Tasya tadi siang benar- benar membuatnya tak tenang. Mawar putih yang dipesan sang suami pada temannya itu mulai menimbulkan keraguan dirinya atas laki- laki yang selama ini tinggal satu atap bersamanya. Rasa ingin tahunya yang semakin tinggi membuat perempuan itu seketika membuka kunci layar ponsel pintarnya dan mulai menelisik akun bisnis sosial media milik Tasya. Diketiknya nama toko bunga milik teman kuliahnya itu, dan dalam hitungan detik hasil pencarian itu muncul dengan beberapa pilihan. Dengan cekatan Ega memilih satu akun yang ia yakini milik temannya itu. Dikunjunginya akun itu dan matanya mulai meneliti ratusan unggahan gambar rangkaian bunga yang merupakan pesanan dari klien Tasya. Semuanya tak ada yang mencurigakan, karena Tasya selalu menandai orang- orang yang memesan rangkaian bunga padanya. Dalam penandaan itu, beberapa kali nama sang suami tertaut dengan foto rangkaian bunga berwarna merah seperti yang seringkali diberikan kepadanya. Ada beberapa unggahan gambar rangkaian bunga mawar putih berbentuk hati yang sangat besar, namun Ega yakin rangkaian bunga itu bukan pesanan suaminya, karena Tasya menandai nama orang yang berbeda. Kecuali satu mawar putih dengan bentuk yang sama yang baru saja diunggah sekitar tiga puluh menit yang lalu. Ditelitinya foto itu dan benar saja, Tasya menandai Evan dalam foto itu.
“Mawar putih berbentuk hati?”
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
borjun as
Ayo ga tanya Tasya aja tanpa sepengetahuan Evan..
2023-09-27
1