“Kamu tahu kalau aku berada di ruang itu, 'kan? Mengapa kamu tak menemuiku?” ujar laki- laki itu sembari berjalan mendekat berusaha mengikis jarak dengan perempuan yang baru saja memutus sambungan teleponnya.
“Aku …,” ujar perempuan itu terputus. Perlahan ia berjalan mundur seiring langkah laki- laki itu yang semakin mendekat.
“Kamu benar- benar berubah, Ga. Laki- laki itu telah membuatmu menjadi orang asing,” tutur Iko sembari menatap kedua bola mata cokelat Ega lekat- lekat. Dengan segera Ega mengalihkan pandangannya ke arah lain, sebisa mungkin menghindari kontak mata itu.
“Mengapa kamu tidak berani menatap mataku, hm?” Laki- laki itu kembali mengintimidasi.
“Iko, ayo! Semua penggemar sudah menunggumu! Apa yang kamu lakukan di sini?” suara salah seorang kru kembali memanggil laki- laki itu, yang seketika menyelamatkan Ega dari intimidasi nya. Nadanya setengah tinggi karena sedari tadi mencari sang idola yang ternyata tengah berada di ruang rias wanita bersama Ega.
“Tunggu sebentar. Tatanan rambutnya sedikit berantakan jadi aku memanggilnya,” bela Ega sembari dengan tiba- tiba membetulkan bagian depan rambut laki- laki itu, menyelamatkannya dari kekesalan kru yang sedari tadi mencarinya. Seketika kru acara itu berdecak kesal, mungkin karena Iko terkesan tidak profesional.
“Kembalilah seperti ini. Jadilah seseorang yang selalu menata rambutku, seperti sebelum kamu menikahi laki- laki itu,” pinta Iko sembari menghentikan tangan Ega yang merapikan rambutnya.
“Cobalah untuk mengerti, Ko. Hargai aku yang sudah menikah,” pinta Ega pada laki- laki itu.
“Aku hanya memintamu untuk tetap menjadi sahabatku, itu saja. Seperti waktu dulu. Apa salahnya aku memintamu untuk itu, Ga?” Iko tetap bersikukuh pada pendiriannya. Perkataan Iko seketika mengingatkan Ega ketika ia masih menjadi penata rambut yang khusus menangani Iko, sahabatnya sendiri. Setelah menikah, Ega memilih untuk menjadi penata rambut artis wanita dan sebisa mungkin menghindari kontak dengan artis pria karena menghormati kepercayaan sang suami yang telah memberi kebebasan padanya untuk tetap bekerja.
Suara riuh tepuk tangan penonton yang meneriakkan nama Iko terdengar jelas sampai ruang tata rias, hingga membuyarkan kekosongan pandangan Ega.
“Pergilah, mereka sudah menunggumu,” ucap Ega berharap laki- laki yang ada di hadapannya segera pergi. Iko menghela napas dalam, menggeleng perlahan seolah masih tak percaya dengan perubahan sikap sahabatnya yang terkesan menjaga jarak denganya. Laki- laki itu lantas beranjak meninggalkan Ega tanpa sepatah katapun. Gitar cokelat yang mengalung di punggungnya, seketika kembali membuka kenangan masa SMA Ega dengan laki- laki itu.
...***...
“Selamat ulang tahun!” ucap Ega pada laki- laki yang tengah sibuk menulis sesuatu di buku catatannya di ruang musik.
“Dari mana kamu tahu aku ada di sini?” ujar laki- laki itu pada gadis yang tengah bediri di hadapannya.
“Di mana lagi keberadaan seorang Iko Bhagaskara, sang vokalis, gitaris, dan pencipta lagu paling diidolakan di sekolah ini kalau bukan di ruang musik, hm?” ujar gadis itu yang seketika membuat Iko menyunggingkan senyum tipisnya.
“Duduklah. Temani aku membuat lagu,” pinta laki- laki itu. Matanya memicing ketika menyadari perempuan yang ada di hadapannya tengah mengalungkan sesuatu di punggungnya.
“Apa yang kamu bawa di punggungmu?” tanya laki- laki itu. Ega tersenyum sembari melepaskan apa yang ia kalungkan di punggungnya. Dari bentuknya, laki- laki itu dengan mudahnya mengetahui apa yang dibawa gadis bermata cokelat itu.
“Gitar?”
“Hm,” gadis itu mengangguk sembari menyerahkan gitar pada laki- laki yang duduk di hadapannya. “Untuk sahabat musisiku yang terhebat di sekolah ini!” lanjutnya. Laki- laki itu dengan senang hati menerima pemberian gadis bermata cokelat yang tak lain adalah sahabatnya. Dengan antusias Iko mengatur setelan melodi pada ujung gitar seraya memetik senarnya dengan seksama, menemukan irama yang sesuai dengan telinganya. Tanpa menunggu waktu lama, laki- laki itu selesai mengatur melodi dengan sempurna.
“Terima kasih!” ujar laki- laki itu sembari tersenyum pada sahabatnya. Perempuan itu hanya tersenyum seraya mengacungkan ibu jarinya pertanda menerima ucapan terima kasih tersebut.
“Sudah sampai berapa baris liriknya?” tanya gadis itu sembari meraih buku catatan yang sedari tadi berada di pangkuan Iko. Kedua bola mata cokelatnya bergerak cepat memindai semua baris syair yang telah ditulis oleh sahabatnya itu. Sesekali lengkung alisnya mengernyit, mencoba mencerna makna dari syair lagu yang ia baca.
“Aku kesulitan menyelesaikan bagian ini,” keluh laki- laki itu pada gadis yang masih sibuk membaca syairnya. Tangan laki- laki itu berusaha merebut kembali buku catatannya, namun gadis itu menahannya. Diraihnya pena yang digenggam oleh laki- laki itu dan ia mulai mengimbuhkan beberapa bait syair untuk menyelesaikan keseluruhan lagu tersebut.
“Bagaimana kalau seperti ini?” ujar gadis itu sembari menyodorkan kembali buku catatan yang sedari tadi di tangannya. Laki- laki itu tampak serius memahami bagian akhir dari lagu yang telah diselesaikan oleh gadis itu lantas senyum cerah tersungging di kedua sudut bibirnya.
“Ini hebat!” ujar laki- laki itu sembari dengan sigap meraih gitar yang baru saja ia terima sebagai hadiah ulang tahunnya, lantas jemari panjangnya dengan lincah mulai memetikkan melodi- melodi yang mengiringi syair tesebut. Gadis itu mulai memejamkan mata manakala mendengar petikan melodi indah yang tercipta dari jemari lincah itu, meresapi setiap alunan melodi yang membelai telinganya. Dua sahabat itu kemudian melantunkan syair yang baru saja mereka selesaikan secara bersamaan.
Bahkan bila pada akhirnya takdir tak berpihak kepadaku,
ingatlah aku sebagai kenangan terindahmu.
Dan apabila suatu saat takdir membawa kita bertemu,
kau harus tahu, ku masih mencintaimu.
Gadis itu memberikan tepuk tangan kecil atas lantunan melodi yang baru saja mereka nyanyikan bersama. Laki- laki itu tersenyum manis hingga terlihat barisan gigi putihnya yang rapi dan indah.
“Tulis sesuatu di sini,” ujar laki- laki itu pada sahabatnya sembari menyerahkan sebuah spidol berwarna hitam. Laki- laki itu lantas menunjuk pada bagian bawah gitar, meminta agar sahabatnya menuliskan sesuatu untuknya. Gadis itu tampak berpikir keras menemukan kata-kata apa yang akan ia tuliskan untuk sahabatnya.
Bersinarlah, musisi hebatku!! Begitu kata- kata yang ditulis oleh sang gadis sembari membubuhkan gambar senyum kecil pada akhir kalimatnya.
“Kelak jika kita bertemu lagi, aku harap kamu sudah menjadi seperti apa yang tertulis pada gitar ini. Berjanjilah padaku,” pinta perempuan itu sembari mengacungkan jari kelingkingnya meminta janji pada laki- laki itu. Iko mengangguk penuh keyakinan sembari mengaitkan kelingkingnya menyambut janji sahabatnya.
...***...
Riuh suara tepukan para penggemar yang menggema sampai ke ruang rias membuyarkan lamunan Ega yang baru saja terlempar pada kenangan masa lalu. Tepuk tangan itu adalah penanda bahwa dua idola yang tengah membawakan lagu sudah hampir pada bagian akhir liriknya. Suara lembut Aluna dan petikan gitar Iko menyanyikan bagian terakhir dari syair itu seketika membuat darah Ega berdesir. Bibir tipisnya turut bergumam kecil mengikuti bagian syair yang begitu ia ingat semua liriknya, karena dia sendirilah yang menulis bagian akhir tersebut.
Bahkan bila pada akhirnya takdir tak berpihak kepadaku,
Ingatlah aku sebagai kenangan terindahmu.
Dan apabila suatu saat takdir membawa kita bertemu,
Kau harus tahu, ku masih mencintaimu.
Tanpa sengaja perempuan itu menitikkan air mata yang segera ia usap dengan punggung tangannya. Semuanya sudah berlalu, persahabatan itu telah berakhir karena semuanya sudah tak sama lagi. Ega sudah memiliki suami, dan Iko sudah memiliki Aluna sebagai pasangan hidupnya. Menjaga jarak dengan laki- laki itu untuk menghargai pasangan masing- masing adalah cara terbaik yang Ega pilih agar tak saling melukai. Dengan bergegas perempuan itu pergi meninggalkan ruang rias untuk menghindari pertemuannya kembali dengan sang idola. Langkahnya lebar ke luar ruangan, namun perempuan itu justru kembali bertemu dengan Iko dan Ega di sana, tengah berfoto bersama beberapa penggemar yang mencuri masuk melalui pintu belakang.
“Kak Ega, sini!” teriak Aluna memanggil perempuan itu. Merasa tak ada pilihan lain, Ega segera berjalan menghampirinya.
“Kak bisa minta tolong fotokan kami?” pinta Aluna karena penggemarnya ingin berfoto bersama setelah bergantian berfoto dengan pasangan duo itu.
“Tentu saja. Berikan ponselnya padaku,” tawar Ega pada Aluna sembari meraih salah satu ponsel penggemarnya. Semuanya bersiap untuk berfoto, tak terkecuali pasangan duo yang berada di tengah. Terlihat jelas dari kamera ponsel itu, Iko menatap Ega dengan tatapan yang tajam lantas kemudian laki- laki itu melingkarkan lengannya ke pinggang Aluna. Seolah ia tengah berusaha membakar api cemburu dalam dada Ega, namun perempuan itu sebisa mungkin terlihat biasa saja.
“Sudah,” tutur perempuan itu sembari menyerahkan ponsel kembali pada salah satu penggemar sang idola. Mereka lantas mengucapkan terima kasih dan berpamitan untuk pergi, hingga hanya tertinggal mereka bertiga.
“Aku pulang dulu, pamit Ega.
“Tunggu! Fotokan kami berdua dulu, bisa ‘kan?” pinta Iko secara tiba- tiba seolah sengaja kembali membakar api cemburu itu. Laki- laki itu menyerahkan ponselnya lantas berpose mesra dengan gadis yang berdiri di sampingnya. Setelah beberapa kali mengambil gambar, Ega lantas mengembalikan ponsel itu.
“Wah, apa ini Kak? Cincin kakak baru? Pasti dari suami kakak, 'kan?” Gadis itu mencerca Ega dengan beberapa pertanyaan hingga membuat Ega sedikit gelagapan.
“Uhm, ini …,” Ega terbata menjawab pertanyaan itu karena Iko menatapnya dengan tatapan yang tidak suka. Laki-laki itu lantas bergegas pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kak Iko!" panggil Aluna, namun Iko tak menggubrisnya.
"Ada apa dengannya?" tanya Aluna penuh keingintahuan.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
oy Ega! gue aduin ke suamik lu ye. Sepertinya masih belom move on sama si Iko Iko enak tauk!
2023-09-29
1
borjun as
hmm sepertinya ada kisah yang belum usai dimasa lalu
2023-09-27
1