Ega masih membenamkan dirinya di balik selimut tebal bersama sang suami yang masih tertidur lelap di sampingnya. Kesibukan sejak kemarin pagi hingga acara konser semalam tampaknya membuat pasangan suami istri itu kelelahan hingga mereka tertidur pulas. Penanda waktu digital yang bertengger di atas kabinet masih menunjukkan pukul lima pagi, dan langit Jakarta masih gelap. Ketenangan tidur Ega tiba- tiba terusik tatkala mendengar dengungan getar ponsel pintar yang ia letakkan di samping jam digital itu.
“Ada apa , Nat? Masih pagi ini,” tutur Ega malas setelah mengetahui bahwa yang mengusik tidurnya adalah Nathan, penata rambut gemulai sekaligus rekan kerjanya.
“Kerja, Say. Pagi ini Aluna- Iko ada photo shoot iklan minuman ringan. Datang sebelum jam tujuh ya, aku share lokasi sebentar lagi. Bye!” suara dari seberang mengakhiri pembicaraan bahkan sebelum Ega sempat menjawabnya. Perempuan itu lantas beranjak malas dari pembaringannya. Evan yang mulai menyadari pergerakan itu, turut terbangun.
“Ada apa, Sayang?” tanya Evan sembari mengerjapkan matanya yang masih sedikit mengantuk.
“Hun aku ada pekerjaan mendadak pagi ini. Nathan baru saja menelepon. Aku siapkan sarapanmu dulu nanti jangan lupa kamu makan, okey?” tawar Ega. Laki- laki itu mengacungkan ibu jarinya pertanda setuju sebelum akhirnya Ega beranjak mempersiapkan semua keperluan sang suami sebelum ia tinggal bekerja.
Selesai dengan semua persiapan itu, Ega bergegas menuju ke lokasi pemotretan yang tadi pagi telah dibagikan oleh Nathan melalui aplikasi peta daring. Meskipun Ega telah berusaha secepat mungkin berangkat sebelum jam sibuk jalanan Jakarta, namun pada akhirnya perempuan itu harus kecewa karena ia tetap terjebak dalam kesibukan lalu- lintas yang melambatkan laju mobil yang dikendarainya. Bisingnya suara klakson dari pengendara yang terburu- buru membuatnya jengah hingga mendenguskan napas beratnya. Diraihnya earphone nirkabel dan disematkan di salah satu daun telinganya sembari mencari- cari nomor seseorang dan menghubunginya.
“Halo, Nat. Sepertinya aku terlambat. Macet total di sini, kamu handle dulu ya!” tutur Ega pada rekan kerja yang terhubung dengannya di saluran telepon. Perempuan itu melajukan mobilnya perlahan merayap keluar dari perangkap kemacetan yang tak kunjung berjalan.
...***...
Empat puluh menit Ega berhasil mencapai lokasi studio pemotretan, empat puluh menit itu pula ia terlambat. Dengan bergegas ia memarkirkan mobilnya pada sebuah gedung studio berlantai delapan dengan dominasi cat bangunan berwarna putih. Derap stiletto nya memecah keheningan dalam lorong bangunan itu. Sepi, hanya ada beberapa petugas kebersihan yang mondar- mandir mengepel lantai. Perempuan itu memasuki lift dan segera menuju lantai empat di mana lokasi pemotretan berada. Ditegoknya arloji hitam yang melingkar di lengan kirinya dan seketika ia tampak semakin tak sabar dengan laju lift yang terasa lambat. Langkahnya bergegas keluar begitu pintu lift terbuka, dan ia segera menuju ruang tata rias yang telah ditunjukkan oleh petugas keamanan di lantai bawah. Di lantai empat itu terdapat sekitar empat ruang tertutup dengan ukuran yang cukup luas. Dua ruangan multifungsi yang bisa digunakan untuk apa saja, satu ruangan yang merupakan studio foto, dan satu ruangan lagi yang sudah pasti adalah ruang tata rias. Ega memasuki ruang tata rias yang pintunya setengah terbuka. Dalam ruangan itu terdapat dua set meja rias yang terletak berjajar dan satu set lagi meja rias serupa yang terletak berdekatan dengan kursi cuci rambut di sisi yang berseberangan dengan dua meja rias sebelumnya. Mata cokelat Ega tampak memindai seluruh isi ruangan, memastikan siapa yang ada di ruangan tersebut. Seketika aliran darahnya berdesir manakala di dalam ruangan itu ia jumpai Aluna yang duduk di salah satu meja rias yang berjajar, Iko yang tengah duduk di meja rias di seberangnya, dan seorang perempuan yang tak lain adalah asisten Nathan yang tengah sibuk menangani rambut Iko.
“Kak Ega! Aku sudah menungg dari tadi,” ujar Aluna yang seketika membuat dua orang yang ada di ruangan tersebut mengarahkan pandangan padanya. Sebisa mungkin Ega tak menoleh ke arah Iko dan hanya berpusat pada Aluna.
“Maaf tadi aku terjebak macet. Ayo, duduk. Akan segera kubenahi rambutmu,” pinta Ega pada Aluna sembari memundurkan kursi rias dan mempersilakan Aluna duduk. Dengan cekatan perempuan itu mengeluarkan semua peralatan tata rambut yang ia butuhkan untuk Aluna dan jemari lincahnya mulai membenahi rambut tersebut. Bayangan Iko dan asisten Nathan yang tempat duduknya berada berseberangan tampak jelas tertangkap dalam cermin meja rias Aluna, sehingga Ega mampu melihat punggung keduanya dengan jelas dari kaca itu. Sesekali tanpa sengaja Ega melirik dua orang yang berada di seberang, hingga gerakan tangannya yang tengah membenahi tatanan rambut Aluna terhenti manakala menyadari bahwa asisten Nathan tengah mengoleskan cairan kental berwarna cokelat tua pada rambut Iko yang posisi duduknya setengah bersandar sembari memainkan ponsel pintarnya.
“Ada apa, Kak Ega?” tanya Aluna pada Ega yang tengah menghentikan pekerjaannnya. Perempuan itu tak menghiraukan pertanyaan Aluna karena terkejut dengan apa yang dioleskan oleh asisten Nathan pada rambut Iko. Perempuan itu segera berbalik menghampiri asisten yang tengah membubuhkan pewarna rambut pada Iko.
“Tunggu! Mengapa kamu pakai pewarna rambut merk ini?” tanya Aluna yang terkejut mendapati pewarna rambut yang tengah dioleskan pada rambut Iko bukanlah pewarna rambut yang biasa ia pakai saat masih menjadi penata rambut Iko. Melihat Ega yang secara tiba- tiba menghampiri, Iko terlihat sedikit terkejut.
“Mana Nathan? Apa dia tidak memberitahumu kalau Iko tidak bisa memakai pewarna rambut yang ini? Dia alergi dan itu dapat melukai kulit kepalanya,” jelas Ega pada asisten itu sembari dengan segera memakai sarung tangan berbahan lateks dan mengisyaratkan asisten itu untuk menghentikan pekerjaannya. Dengan patuh asisten itu menepi dari kursi rias sembari meminta maaf karena hanya menjalankan apa yang diperintahkan oleh Nathan. Raut muka Ega seketika tampak panik karena ia paham betul kondisi kulit kepala Iko yang memang alergi terhadap beberapa kandungan bahan pewarna rambut merk tertentu. Sementara Iko yang masih setengah terkejut, turut panik tanpa mengetahui apa yang tengah terjadi.
“Pindah ke sini,” pinta Ega sembari menahan tetesan pewarna rambut yang beberapa tetesnya mulai mengenai tengkuk dan pelipis laki- laki itu. Iko dengan sedikit menengadahkan kepalanya, menuruti saja apa yang dikatakan Ega untuk segera berpindah pada kursi cuci rambut yang ada di sampingnya. Dengan cekatan Ega mencuci bersih rambut Iko yang beberapa bagiannya telah terkena pewarna cokelat.
“Ada apa ini?” tanya laki- laki itu mencoba meminta penjelasan pada Ega yang semalam berselisih paham dengannnya di ruang ganti, tiba- tiba mengambil alih pekerjaan asisten Nathan.
“Apa kamu tidak ingat kalau kamu tidak bisa memakai pewarna rambut merk itu?” sergah Ega dengan nada yang masih panik. Iko yang baru menyadari merk pewarna rambut yang telanjur mengenai kepalanya, seketika turut panik.
“Jangan bergerak atau cairannya akan mengenai wajahmu!” larang Ega.
“Okey …, okey …,” Iko menurut. Kepalanya tak bergeser sedikitpun dari telapak tangan Ega yang tengah berupaya membersihkan pewarna rambut itu, karena laki- laki itu tahu kini nasib kulit kepalanya sepenuhnya berada di tangan Ega.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments