Malam harinya.
Alin bersyukur hari ini Yudi tidak pergi ke meja judi, karena suaminya itu telah tertidur pulas setelah mabuk tadi sore, sehingga Alin bisa tidur cepat malam ini tanpa harus begadang menunggu Yudi pulang seperti malam-malam sebelumnya.
Akan tetapi masalah tidak berakhir sampai disitu saja, karena Yudi membuka kedua matanya yang sempat terpejam cukup lama. Karena secara tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu yang bangkit dalam tubuhnya.
Ya, itu adalah hasratnya sebagai seorang lelaki. Dimana Yudi ingin menghabiskan malam itu bersama dengan sang istri dan ia tak akan menunda, walau apapun alasannya.
Malam ini begitu panas bagi Yudi dan ia sangat menginginkan penyatuan agar suhu badannya dapat kembali normal, dengan menyalurkan hasratnya yang sudah beberapa hari ini terpendam.
Yudi menoleh ke samping, dimana Alin sedang tertidur. Lalu perlahan-lahan ia menarik selimut yang menutupi tubuh Alin dan dengan tatapan lapar, Yudi mulai mencumbuiinya.
Alin yang baru saja tidur sontak terbangun. "Koh, Alin capek. Apa boleh mainnya besok pagi saja?" ucapnya menolak sehalus mungkin, agar tidak menyinggung perasaan suaminya.
Karena bukan tanpa sebab, hari-hari wanita itu sudah sangat melelahkan dan Alin butuh mengistirahatkan badan, agar dapat menjalani aktifitas berat di keesokkan harinya.
Namun penolakan Alin rupanya menjadi bumerang sendiri baginya dan Yudi tentu tidak menyukai penolakan tersebut, apalagi hasrat pria itu saat ini tengah berada di puncak ubun-ubun.
Yudi yang tidak terima penolakan tersebut segera menatap bengis Alin, yang telah berani menolak keinginan bercintanya.
"Apa lu bilang? Capek? Seharian kerja di rumah lu bilang capek!" sergah Yudi marah.
"Iya Alin capek! Sudah capek ngurus anak, ngurus warung kita, terus ngurus kelakuan suami yang suka judi dan mabuk-mabukkan!" sahut Alin berani.
"Oh jadi sekarang lu udah berani ngelawan gua, yah!" geram Yudi.
"Sudah ah Alin bosan berantem terus sama Kokoh, lagian malu sama tetangga kita tiap hari berantem melulu!" balas Alin lalu kembali memejamkan mata dan membelakangi suaminya yang emosinya sudah naik dipuncak ubun-ubun.
Yudi tentulah naik pitam mendengar hal tersebut, apalagi melihat Alin berani membelakangi dirinya. Lalu tanpa membalas perkataan Alin yang menurutnya sudah kelewatan itu.
Yudi tidak segan-segan merobek baju tidur yang dikenakan Alin hingga terburai berantakan dan melemparnya ke sembarang arah, sesekali melayangkan tamparan keras di wajah Alin dan memaki Alin dengan alasan sebagai hukuman karena telah berani menolak keinginannya.
Lalu tanpa berpikir panjang ia menampar pipi Alin. "Dasar bini tidak berbakti! Berani-beraninya lu nolak keinginan laki lu hah! Nih rasain!"
"Sakit Koh ... " lirih Alin akan tetapi ia tidak berani berteriak, karena takut membangunkan kedua anaknya yang sedang tertidur lelap, terutama Yuan.
Ia tidak ingin sampai putranya itu melihat kekerasan yang dilakukan oleh sang ayah kepada ibunya, karena takut berimbas akan psikis dan juga emosional si anak dimasa mendatang.
Hingga pada malam itu, Yudi akhirnya berhasil menguasai raga Alin dan menyalurkan hasratnya. Sedangkan Alin hanya bisa mendesaah pasrah, terlebih Yudi tidak hanya memberikannya kekerasan secara fisik, tetapi juga melakukan kekerasan secara sekksual.
Kekerasan yang berulang kali kerap Yudi lakukan, apabila ia berani menolak permintaan apalagi melawan.
...***...
Keesokan harinya.
Alin duduk didepan cermin, sambil mengolesi luka lebam sedikit berwarna kebiruan dengan salep untuk luka.
Dan bukan hanya luka diwajah saja yang ia rasakan, akan tetapi pada sekujur tubuhnya juga banyak sekali luka membiru, akibat pemukulan yang ia dapatkan dari Yudi tadi malam. Hingga Alin kesulitan bangun saat pagi tadi, mengingat rasa sakit yang ia alami.
Alin mendesis setelahnya, lalu berusaha menutupi luka diwajahnya itu dengan bedak cair yang ia punya, agar lebam diwajahnya itu sedikit tersamarkan dan tidak menjadi pusat perhatian orang lain termasuk tetangganya sendiri. Dan tidak ada lagi orang yang bertanya-tanya mengenai urusan rumah tangganya dengan Yudi.
Walau semua orang tahu kekerasan yang dilakukan Yudi pada Alin kerap dilakukan, namun mereka hanya bisa diam membisu dan tidak mampu membantu banyak menolong Alin.
Karena Yudi sendiri akan berbuat semakin agresif pada Alin, apabila ada orang lain yang ikut campur menasehatinya atau membela Alin saat ia memberi pelajaran kepada istrinya itu.
Mereka seakan tutup mata dan menganggap kekerasan didalam rumah tangga Alin adalah tindakan yang sudah menjadi makanan sehari-hari, bagai suatu kebiasaan yang telah mendarah daging dan tidak dapat dihentikan oleh tindakan biasa.
Pernah satu hari, ketua Rukun Tetangga setempat mengadukan kasus kekerasan yang dialami oleh Alin. Namun tidak butuh waktu lama, ketua RT itu didatangi oleh banyak orang yang tidak lain adalah teman-temannya Yudi, lalu mengancam keselamatan nyawanya, dan meminta agar tidak banyak ikut campur masalah keluarganya lagi.
Hingga mau tidak mau, ia harus membatalkan keinginannya untuk membantu Alin dalam memanggil pihak berwajib demi keselamatan banyak orang, termasuk dirinya sendiri.
"Mama, ayo kita pergi sekolah." Yuan berbicara berbisik agar tidak membangunkan Yudi ayahnya.
Alin mengangguk dan menuntun Yuan ke depan. "Tunggu didepan Mama keluarin motornya dulu."
"Ya Mah," patuh Yuan lalu menunggu sang ibu mengeluarkan motor jadul pemberian dari almarhum kakeknya.
"Ayo kita berangkat," ucap Alin setelah motor siap dan telah dipanasi.
"Dede Marlinanya tidak ikut?" tanya Yuan.
"Dede masih tidur, lagian ada Papa di rumah." Alin berpikir ada Yudi yang menjaga putrinya yang masih terlelap.
Namun pikiran hanyalah pikiran, karena fakta sesungguhnya tidak berjalan sesuai dengan keinginan Alin.
Yudi terbangun, saat bayi Marlina menangis karena popoknya yang basah. Namun Yudi mengabaikan tangisan itu dan menutupi telinganya dengan bantal, lalu melanjutkan kembali tidurnya, karena rasa kantuk masih mendera di kedua matanya.
Hampir setengah jam bayi Marlina menangis, tapi Yudi masih enggan menengok bayinya. Ia hanya mengumpat kesal, sesekali membentak putri kecilnya itu.
"Berisik! Mana sih si Alin?"
"Alin!" panggilnya.
"Diam!"
Namun bukannya diam, bayi Marlina justru menangis semakin kencang karena terkejut dengan bentakan ayahnya sendiri. Dan lagi-lagi itu membuat Yudi naik pitam.
"Dasar anak si-allan! Gua matiin juga luh!" makinya.
Tak berselang lama kemudian akhirnya Alin pulang juga sehabis mengantar Yuan ke sekolah, ia bergegas menghampiri putrinya yang menangis dan segera menggendongnya agar diam. Lalu menukar popok Marlina yang basah agar kembali nyaman.
"Kemana aja lu? Anak nangis daritadi bukannya cepet disamperin, gara-gara dia gua jadi kebangun!" semprot Yudi mengusak-ngusak rambutnya hingga berantakan.
"Habis anter Yuan ke sekolah," balas Alin biasa.
"Lama amat lu nganterin anak sekolah? Oh gua tau, lu pasti ngobrol di sekolahan sama ibu-ibu disana, ya kan? Ngaku aja luh!" tuduh Yudi.
Alin menghembus nafas kasar. "Kenapa sih pikiran Kokoh selalu seperti itu? Sekolah Yuan cukup jauh, belum lagi kena macet diperjalanan. Sudah begitu motor kita sudah tua dan harus di servis. Minimal diganti oli biar enggak mogok!" jawabnya kesal.
Sekaligus menyindir suaminya yang tidak pernah mengurus motor peninggalan almarhum ayahnya.
"Motor motor Lu, jadi elu lah yang ngurus! Lagian udah gua bilangin tuh motor udah enggak layak dipake, udah tua cuma bisa makan duit doang. Mendingan tuh motor dijual ajah, lumayan kan duitnya bisa buat beli motor baru!" balas Yudi.
"Itu motor satu-satunya peninggalan Papa Alin, mana bisa dijual begitu saja. Harusnya kokoh bantu Alin, setidaknya bawa ke bengkel buat di servis ringan," ucap Alin.
Yudi berdecak kesal, "Aargggh!! Lu jadi bini bisa enggak sih, satu hari aja jangan ngoceh. Kepala gua pusing dengerin ba-cot lu!"
"Alin ngoceh juga gara-gara kokoh kurang peduli sama keluarga," sahut Alin.
Yudi mendesaah kesal dan membuka lemari pakaian untuk mengambil baju ganti.
"Mau kemana Koh?" tanya Alin.
"Pergi main!" balas Yudi. "Daripada gua pusing di rumah, mending nongkrong sama si Ah Chin!" sentaknya kemudian.
"Pergi? Terus siapa yang mau jaga toko?" tanya Alin mencegah.
"Ya elu lah! Biasanya juga bisa lu sendiri," balas Yudi lalu pergi dari rumah.
Alin mengurut dadanya yang kurus, karena capek hati melihat kelakukan suaminya. Jika bukan karena membalas budi keluarga Yudi saat menyelamatkan dirinya sewaktu kerusuhan mei tahun 1998 lalu, hingga mertuanya itu merenggang nyawa.
Alin sudah pasti tidak akan peduli dengan warung sembako peninggalan mertua lelakinya itu.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
Kok gitu banget sih, Anak siapa coba itu. Harusnya disayangi . Hadehhhh
2023-12-21
0
💞Amie🍂🍃
Setidaknya jangan bermain fisik yud, Nyadar diri dong😪
2023-12-21
0
💞Amie🍂🍃
Bikin darah tinggi gak sih😪😪
2023-12-21
0