Meja judi.
Pertarungan sengit tengah terjadi di atas meja judi, empat orang pria tidak berguna saling melempar kartu andalan mereka masing-masing, sesekali terdengar kata umpatan kasar, jika salah satu diantara mereka hampir kalah dan tertawa riang mengatai sesama temannya jika berhasil menang.
"Bang-sat gua kalah lagi aja!" umpat kesal Yudi melempar kartu sisanya diatas meja. "Lu kalau ngocok kartu yang bener dong! Gua kalah terus nih!" maki Yudi kemudian.
"Ah ba-cot! Elu-nya aja yang enggak bisa maen, orang yang ngocok kartu malah lu omelin! Cepet bayar!" semprot si bandar menagih uang kekalahan Yudi.
Yudi pun berdecak kesal dan melempar uang sisa dalam kantong celananya yang tidak seberapa. "Nih! Kurangnya besok, gua ngutang dulu!" ucapnya begitu mudah.
"Enak bener lu ngutang melulu! Emang lu pikir gua renternir! Bayar!" ucap si bandar tidak mau tahu dan melotot.
"Ya besok! Gua kagak bawa duit! Kalau enggak gua pulang dulu deh, mau ambil duitnya!" balas Yudi memberi tawaran.
"Ya sudah, ambil sono duit elu, gua tungguin. Awas lu kagak balik lagi, gua ambil bini lu!" sentak si bandar judi bernama Herman.
"Ya bawel luh!" balas Yudi lalu pergi.
Sementara itu Alin bersusah payah membuka tokonya, satu persatu papan kayu lumayan berat ia lepaskan dari balok penyangga seorang diri tanpa bantuan lelaki.
Akan tetapi itu bukan saatnya untuk mengeluh, karena ia harus bergegas, mengingat para pembeli telah mengantri untuk membeli berbagai keperluan sembako di tokonya.
"Aduh Cik, emangnya kemana si engkoh? Masa tiap hari buka warung si engkoh nggak pernah bantu sih?" ucap Melan pelanggan setianya.
"Biasa lagi maen Cik," balas Alin.
Melan menghela nafas panjang, melihat kesulitan Alin setiap hari dalam mengurus rumah tangga membuat ia merasa iba.
"Besok-besok titipin saja Marlina ke rumah kalau lagi repot ya, encik bisa ambil Marlina setelah pekerjaan encik selesai," ucap Melan menawarkan diri.
"Ya Cik, terima kasih atas bantuannya. Mau beli apa Cik?" tanya Alin kemudian.
"Beli gula sekilo, beras lima liter sama minyaknya dua liter," balas Melan sambil menunjukkan daftar belanjaannya.
"Ya tunggu ya Cik," balas Alin. Lalu dengan cekatan ia menakar dan menimbang bahan-bahan tersebut. Lalu memberian semuanya kepada Melan tanpa kekurangan satu barang pun.
"Terima kasih ya Alin," balas Melan memberikan uangnya.
"Saya yang harusnya bilang terima kasih Cik," ucap Alin menghitung uang belanjaan tersebut dan memasukkannya ke dalam laci uang.
Melan tersenyum, lalu pergi dari warung sembako itu dengan menenteng belanjaan yang baru saja ia beli.
Sedangkan Alin kembali ke dalam untuk melihat keadaan bayinya yang masih tertidur lelap, sesekali menatap jam dinding.
"Mana sih si kokoh, sudah mau jam sepuluh. Katanya mau kembali sebelum jam pulang sekolahnya Yuan," gumam Alin mewanti-wanti.
Dan benar saja, Yudi terlihat kembali ke rumah dan Alin segera menyambut suaminya.
"Syukurlah Koh, Kokoh sudah pulang. Tolong jagain Marlina sama jagain toko sebentar ya, aku mau jemput Yuan dulu," ucap Alin bergegas.
"Eh enak aja lu mau pergi, gua masih ada urusan!" balas Yudi dengan tatapan tidak mengenakkannya. Lalu bergegas masuk ke dalam toko dan menguras habis seluruh uang dalam laci.
"Loh Koh! Kenapa uangnya diambil? Itu uang penglaris, sudah begitu uang itu juga buat bayar setoran kita pada pak Marsan nanti!" ucap Alin menahan tangan Yudi sebelum memasukkan uang tersebut ke dalam saku.
Namun larangan Alin membuat Yudi naik pitam, tangannya yang enteng langsung saja melayangkan satu tamparan keras ke wajah Alin, hingga sedikit membiru.
"Bini bang-sat! Duit segini lu pakai perhitungan sama gua! Nanti juga dapat lagi!" maki kesal Yudi dan buru-buru memasukan uang senilai seratus ribu rupiah kedalam saku. "Lumayan sisanya bisa buat beli minum," ucapnya tersenyum senang. Lalu pergi menuju tempat dimana bandar judi telah menunggunya.
Sedangkan Alin berusaha bangun dari duduknya, sambil memegangi pipinya yang sedikit membengkak, sesekali meringis kesakitan.
Wanita itu perlahan mendekati bayinya dan terduduk diatas kursi, sambil memandangi meja abu leluhur kedua orang tuanya yang selalu ia sembahyangi setiap masanya.
Alin menangis dan menyesal karena sewaktu itu ia tidak mendengarkan nasihat kedua orang tuanya, yang melarang ia agar tidak menikah dengan Yudi dan menolak untuk dijodohkan dengan pria pilihan ayahnya.
Yang kabarnya sekarang ini pria pilihan ayahnya itu telah menjadi seorang pengusaha garam sukses, serta memiliki harta berlimpah dimana-mana.
Akan tetapi nasi telah menjadi bubur, mau menyesal pun dirasa percuma. Itu karena dirinya yang terlalu bodoh dan begitu percaya dengan ucapan-ucapan manis Yudi sewaktu berpacaran dulu.
Kini Alin hanya bisa menguatkan hati dan menyeka setiap air mata yang keluar dari kedua sudut matanya, menyimpan semua rasa sakit seorang diri tanpa sanak keluarga menemani.
Sejenak Alin berpikir, masalah yang selalu ia hadapi itu seperti benang tanpa ujung, tidak memiliki awal baik maupun akhir yang baik.
...***...
Sore harinya.
Seperti biasa disetiap malam bulan purnama, atau orang Tionghoa menyebutnya dengan malam Cap Go, yaitu malam tanggal 15 dalam penanggalan imlek setiap bulannya.
Alin menyembahyangi arwah leluhurnya yang telah tiada, dengan beberapa persembahan seperti buah dan juga kue. Sebagai bentuk bakti mereka kepada para leluhur, serta tidak lupa menancapkan dupa diatas abu pada altar itu, berharap arwah leluhurnya mereka, dapat terlahir dialam bahagia.
Lalu tak lama setelah itu, Yudi pun tiba di rumah, dengan raut wajah kesal karena kalah berjudi. Serta aroma alkohol begitu lekat hingga menusuk indera penciuman Alin.
"Alin ambilin gua minum!" titah Yudi sambil menjatuhkan raganya diatas sofa dan menghela nafas tiada henti.
Alin menurut dan mengambilkan Yudi segelas air minum. "Ini Koh," ucapnya mengulurkan tangan.
Tak mau banyak bertanya, Alin pergi menuju toko dan menutupnya karena hari hampir gelap. Lalu menuju dapur dan menyiapkan makan malam untuk keluarganya.
"Yuan, sudah selesai ngerjain PR nya?" tanya Alin.
"Sudah," jawab Yuan dengan anggukan kecil.
Alin tersenyum, lalu membantu Yuan membereskan peralatan sekolah dan menaruhnya kedalam tas.
"Makan dulu yuk," ucap Alin mengajak Yuan dan menuntunnya ke ruang makan.
Nampak Yudi menatap sinis kearah mereka berdua, entah apa sebabnya. Namun pria penjudi dan pemabukan itu tidak suka jika keberadaan dirinya diabaikan.
"Yuan!" pekik Yudi melempar gelas yang ia genggam ke lantai hingga pecah berkeping-keping.
Yuan berlari ketakutan menghampiri sang ayah. "Iya papa," ucapnya gemetar.
"Kamu itu anak laki-laki, tidak pantas jika terus berada dibalik ketiak Mamamu! Sini main sama Papa dan kita main seperti lelaki," ucap Yudi menakuti Yuan dengan serpihan kaca ditangan.
Alin menarik Yuan agar tidak menuruti keinginan ayahnya yang sedang mabuk itu. "Jangan takuti Yuan seperti itu, dia masih kecil."
"Siapa yang mau menakutinya? Apa gua salah bicara heh! Anak lelaki mainnya yang bahaya seperti ini nih!" ucap Yudi memperagakan aksi kasar dan juga kekerasan kepada sebuah bantal sofa disana dan merobeknya dengan sebuah pecahan kaca tajam.
Alin meneguk ludahnya kasar, sambil menutupi kedua mata Yuan agar tidak melihat tindakan ayahnya yang bertingkah anarkis. Walau terhadap sebuah benda, namun Alin takut kalau sikap seperti itu akan membuat mental Yuan terganggu.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
💞Amie🍂🍃
like n sub sudah mendarat kakak, semangat💪💪💪
2023-12-19
1
neng ade
Si Yudi ga ada akhlak nya anak nya masih kecil malah di ajarin yg ga berguna..
2023-11-06
0
Dewi Payang
oh ya ampun si kokoh yudi, tega ya dihabisin
2023-11-04
0