Sehabis subuh, Icha melihat ibunya sudah sibuk di dapur. Sedangkan adiknya terlihat sibuk membersihkan lantai. Icha langsung berinisiatif membantu ibunya di dapur.
“Nduk, bisa belikan gula, nggak?” tanya bu Maryati.
“Loh. Emang udah mau ke pasar, bu?” Icha balik bertanya.
“Iya, nduk. Sebenarnya ingin libur dulu. Tapi langganan kita pada nanyain. Kan nggak mungkin mereka disuruh ngambil sendiri ke sini. Kasihan”
“Huuufff. Sebenernya Icha kurang setuju, bu. Berasa kaya kurang menghormati almarhumah” kata Icha.
Kegiatan bu Maryati terhenti karena ucapan Icha. Dia memandang wajah Icha beberapa saat.
“Iya, nduk. Ibu tahu. Tapi mau gimana lagi? Yang sudah meninggal itu cuman butuh didoain. Sedangkan yang hidup, masih terus butuh makan. Jadi, terserah orang mau bilang apa. Kita sendiri yang ngejalanin hidup kita”
“Nyindir?” respon Icha.
“kan Icha ngomongin pendapat Icha, bu” lanjutnya.
Bu Maryati tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil kembali menyiapkan gelas-gelas kacanya.
“Ini ke pasar, bu?” tanya Icha, sambil mengangkat plastik gua yang telah habis isinya.
“Enggak, di warungnya Mita aja” jawab bu Maryati.
“Mitanya mas Andi?”
“Iya, temenmu”
“Welah. Punya warung, dia?”
“Iya. Bantu-bantu suaminya”
“Wuih, keren. Oke, deh. Icha beliin”
“Ini duitnya”
“Nggak usah, bu” jawab Icha sembari berlalu.
Dalam keremangan pagi, Icha berjalan sambil bersenandung. Udara pegunungan yang masih bebas polusi, terasa menyegarkan baginya.
Setelah tiga tahun tanpa jeda, dia harus merasakan udara kota besar yang banyak polusinya, juga angin laut selama di pengeboran lepas pantai. Tak butuh waktu lama, sampailah dia di rumah teman sekolahnya dulu. Memang terlihat ada warung di sana.
“Assalamu’alaikum” sapa Icha.
Tok tok tok
“Assalamu’alaikum” Icha memberi salam lagi.
“Wa’alaikum salam” seru seorang wanita dari dalam rumah.
“Beli ap, “ kalimatnya menggantung.
“Ichaa?” serunya sambil bergegas ke depan warungnya. Serta-merta dia memeluk Icha dengan perasaan senang.
“Udah jadi pengusaha, nih?” goda Icha.
“Ya Alloh, Icha. Kapan pulang?”
“Kemarin, Mit”
“Kok nggak bilang-bilang? Kan aku bisa minta mas Hasan buat jemput kamu di terminal”
“He he. Iya, maaf. Dadakan, sih”
“Oh, iya. Lek Mar abis sakit sih, ya? Terus, berapa lama rencananya?”
“Bakal lama kayaknya, sih”
“Apa habis kontrak lagi?”
“Iya”
“Alhamdulillah”
“Kok alhamdulillah?”
“Ya akhirnya kerinduan ibumu terobati. Kasihan Lek Mar. Apalagi abis, “
“Iya. Makasih ya, udah perhatian sama ibu” potong Icha.
“Sama-sama. Kan kamu juga gitu, dulu”
“Gula pasir dong, sekilo” pesan Icha.
“Astaghfirulloh. Sampe lupa, aku. Bentar, aku ambilin”
“Wah, nggak kalah sama yang di kecamatan, Mit. Lengkap, dagangan kamu”
“Alhamdulillah. Tabungannya mas Andi” jawab Mita.
“Kalo di sono punya warung segini, nggak berenti ngelayanin, Mit. Apalagi cuman satu-satunya kaya kamu gini”
“Yaah, tapi ini kan pegunungan, Cha” sahut Mita mengeluh.
“Sepi terus warungku. Nggak tahu kenapa, tetangga-tetangga lebih seneng belanja ke pinggir jalan sono. Padahal ke sini lebih deket” lanjut Mita.
“Eh, kamu sama siapa, Mit?’ tanya Icha, saat menerima gula pesanannya”
“Sendiri” jawab Mita sambil menerima uang dari Icha.
“Itu, yang ke samping rumah, siapa? Cewek”
“Samping mana? Samping sih nggak ada pintunya, Cha”
Icha tidak menjawab. Karena penasaran, dia pergi kesamping rumah Mita. Sang tuan rumah juga penasaran.
“Loh, loh, loh, mbah?” Icha berseru kaget, melihat nenek-nenek mendekati sumur dengan setengah berlari.
“EEEEH”
Icha berlari setengah melompat saking kagetnya. Nenek-nenek tadi justru melopat ke dalam sumur.
Byuuur
Icha terperangah. Dia menutupi mulutnya dengan telapak tangannya. Dia tidak menyangka akan melihat adegan orang mengakhiri hidupnya seperti itu. Beberapa saat lamanya, Icha terperangah dan tertegun. Saking syoknya, sampai tidak mendengar teguran dari Mita.
“Icha” tegur Mita.
“Ha?”
Setelah teguran ke tiga itu, Icha bisa tersadar dari syoknya.
“Kamu ngeliat apa, sih? Jangan bikin parno, deh!”
Tolong bersihin rumahku, cu! Rumah nenek pengap.
“Ha?”
Icha kembali menoleh ke arah jatuhnya nenek-nenek tadi. Suara nenek-nenek itu seperti berasal dari dalam sumur. Tapi sekarang sumur itu sudah tidak terlihat lagi. Hanya ada tumpukan sampah.
Tolong bersihin, cu! Dan nenek nggak akan ganggu bangsamu lagi.
Suara itu menggema lagi.
“Kamu ngeliat apa?” tanya Mita lagi.
“Hem?” Icha tersentak kaget.
“Oh. Eng, enggak” jawabnya tergagap.
Walau masih sangat syok, tapi sekarang Icha paham. Yang baru saja dia lihat bukanlah manusia. Melainkan bangsa jin.
“Eh, kurang nggak, duitnya?” tanya Icha mengalihkan suasana.
“Kembalian, sih. Tapi belum aku ambilin” jawab Mita.
“Ya udah. Ke depan, yuk!“ ajak Icha, dengan getur tubuh takut.
“Kamu tuh, yang bikin parno” kata Mita, paham dengan maksud gestur tubuh Icha.
“He he”
Merekapun kembali ke depan. Tapi pandangan Icha selalu tertarik untuk melihat ke arah tumpukan sampah tadi. Walaupun memang terhalang tembok rumah Mita.
“Ini kembaliannya. Makasih ya, Cha” kata Mita.
“Sama-sama” jawab Icha.
“Oh ya, Mit” kata Icha sebelum beranjak.
“Ya?”
“Yang di sono itu, emang tempat sampah, ya?” tanya Icha.
“Kan dari dulu juga tempat buang sampah, Cha”
“Iya. Maksud aku, apa bukan dulunya sumur, ya?”
“Loh. Kok kamu tahu? Aku aja baru tahu kemarin, lho”
“Eeem. Jangan tersinggung, ya!”
“Kenapa sih, Cha? Serius amat, kayaknya?”
“Sebaiknya, kamu bersihin deh, sumur itu!”
“Buat apa? Orang dari dulu udah gitu” kilah Mita. Icha tersenyum.
“Kalo mau warungmu rame, coba kamu bersihin sumur itu! Warung kamu sepi, itu karena yang nunggu sumur itu lebih suka tinggal di rumah kamu. Secara, rumah kamu kan bersih. Dan karena kamu buang sampahnya ke sana, penunggu sumur itu kesel sama kamu. Makanya dibikin sepi”
“Sejak kapan kamu bisa ngeliat setan?” tanya Mita setengah geli.
Icha tidak langsung menjawab. Dia terkejut, tiba-tiba di belakang Mita ada nenek-nenek yang wajahnya meleleh seperti terbakar. Dan seluruh kuit tubuhnya melepuh. Banyak jenis binatang tanah bersarang ditubuhnya. Bahkan juga di matanya.
“Hei, Cha. Kamu ngeliat apa?” tegur Mita.
“Oh, enggak. Sori” jawab Icha.
“Ya udah. Makasih, ya? Aku pulang dulu” lanjut Icha
“Eh. Sarapan dulu! Aku udah masak” seru Mita. Ramah tamah khas orang kampung.
“He he. Lain kali aja, kalo ibu lagi nggak masak. Masih inget kan, kalo ibu masak nggak dimakan, apa jadinya?” jawab Icha.
“Ha ha ha. Kan kamu udah nggak minta uang jajan, Cha”
“He he. Lain kali, ya?”
“Ya udah. Ati-ati!”
Icha pulang dengan kewaspadaan tinggi. Dia masih syok. Dia tak menyangka kalau sepagi ini masih ada setan yang berani muncul. Dalam hati dia bertanya-tanya. Apa sebenarnya sama saja, antara manusia dengan setan? Sama-sama punya tiga shift?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈
aq mau tanya kk
ini pas nulis kyk gni kira2 ada gguan g kk...
2023-10-06
0