“Ibu. Itu tamu yang di depan pintu kok nggak disuruh masuk sekalian?” tanya Icha.
“Tamu? Siapa, nduk?” tanya bu Maryati bingung.
“Itu” jawab Icha, sambil berdiri dan melangkah menuju pintu.
Tapi begitu posisinya sejajar dengan pintu depan, mendadak matanya berubah melotot, dan wajahnya menggambarkan keterkejutan sekaligus ketakutan.
“IBUUUU”
Serta merta Icha berteriak dan berlari menuju ibunya. Dia menyembunyikan wajahnya di pangkuan ibunya. Membuat semuanya melongok ke arah pintu.
“Kenapa, nduk? Kamu ngeliat apa?”
“Nenek-nenek kemarin, bu” jawab Icha penuh ketakutan.
“Simbah. Kenapa dateng lagi? Ada perlu apa?” seru bu Maryati.
“Pak. Mbok diusir!” pinta bu Maryati pada suaminya. Dia mengedipkan matanya. Pak sigit berdiri dan berjalan ke luar
“Udah nggak ada, kok” jawab pak Sigit.
“Dari mana ya, asalnya? Usil banget” lanjut pak Sigit.
“Udah, nduk. Udah pergi, nenek-neneknya” kata bu Maryati.
Ichapun perlahan bangun dari posisinya. Masih dengan raut ketakutan, dia menyebar pandangan ke seluruh rumah. Dan dia tidak menemukan yang dia cari.
“ASTAGHFIRULLOH”
Saat kembali menoleh ke arah ibunya, mendadak Icha berteriak lagi.
“SIAPA KAMU?”
Wuuusss
“AAAAA”
Serta merta Icha melayangkan tinjunya ke arah ibunya. Membuat semuanya berteriak kaget.
Braaaaang
Tanpa mereka duga, meja tamu yang dipinggirkan ke pojok ruangan, kacanya pecah tiba-tiba. Seperti ada sesuatu yang menimpanya dari atas. Membuat semua yang ada di rumah itu terkejut bukan main.
“I... Itu tadi, apa, nduk?” tanya bu Maryati. Dia terlihat syok. Tapi juga terlihat lega.
Kok aku bisa ninju dia, ya? Masa itu bocah? Kalo bocah kok nggak ada badannya? Ada juga punya badan, nggak punya kaki. Kalo ada kakinya, nggak ada badannya, gimana idupnya? Ini masih bisa lompat jendela, lagi.
“Nduk?” tegur bu Maryati lagi.
“Haa”
“Kok bengong? Itu tadi apa?” tanya bu Maryati lagi.
“Nggak tahu bu. Baru liat, Icha” jawab Icha.
“Ya udah. Minum dulu, gih!” saran bu Maryati.
Tika menuangkan teh hangat buat kakaknya. Tapi Icha tidak langsung menerima. Dia melirik bu Sari.
“Nduk” tegur pak Sigit.
“Bikinan Tika, mbak” sahut Tika.
Barulah Icha mau menerima teh hangat itu. Tapi, belum juga habis minumnya, mendadak mata Icha terbelalak lagi.
“HUAAA”
Icha melempar gelasnya, dan kembali menyembunyikan wajahnya di pangkuan ibunya.
“Nenek itu, bu. Nenek itu”
Dalam pandangan mata Icha. Nenek-nenek tadi datang lagi. Dia mengintip, lalu melemparkan sepotong lengan manusia. Lemparan itu yang membuat Icha kaget dan ketakutan.
Pak sigit kembali beranjak ke depan rumah. Tapi nenek-nenek itu sudah tidak ada di sana.
Ada salah seorang tetangga yang dikenal waskita. Namanya pak Aziz. Dia memiliki ilmu kebatinan yang biasa dijadikan rujukan jika warga mengalami hal-hal gaib. Pak Sigit sengaja mengundangnya untuk melihat keadaan Icha. Sekaligus mengobati keanehan yang dialami Icha.
Pak Aziz mengatakan kalau apa yang Icha alami, adalah karena pusaka keramat berupa jarik. Jarik yang di dalamnya ada khodam bernama nyai Murda Ningrum. Dimana Icha merupakan keturunan paling identik dengan wanita yang pertama kali mengenakan jarik itu. Sehingga langsung menyatu begitu saja. Bahkan secara fisik, jarik itu kini melekat ditubuh Icha. Bersatu secara gaib.
“Bisa nggak pak, mata batinnya Icha ditutup saja? Kasihan, dia terlalu takut lihat makhluk gaib” tanya bu Maryati.
“Kita coba ya, bu” jawab pak Aziz.
Pak Aziz mencoba menutup mata batin Icha. Tapi setelah beberapa kali dicoba, mata batin Icha hanya menutup sebentar saja. Mata batin akan terbuka dengan sendirinya. Dia bisa melihat makhluk halus berseliweran di depan pintu rumah.
Di percobaan yang terakhir, Icha malah melihat sebuah bayangan, dimana ada banyak makhluk gaib yang berusaha menyakiti ibunya. Ada yang menendang, mencakar, meninju, bahkan melompat dari atap dan mendarat di perut ibunya.
“Cukuup!” pekik Icha,mengejutkan.
Pak Aziz menghentikan usahanya menutup mata batin Icha.
“Udah pak, jangan diterusin!” lanjut Icha. Dia menangis sambil memegangi kepalanya.
“Kenapa, nduk?”
Icha tidak segera menjawab. Dia menatap wajah ibunya, sambil tetap memegangi keningnya.
“Enggak. Nggak papa, bu. Sakit kepala Icha” jawab Icha. Dia tidak mengatakan yang sebenarnya.
“Tapi mata batinmu akan terbuka terus, nduk” kata pak Sigit.
Icha terkesiap. Disatu sisi dia memang masih sangat takut melihat bangsa tak kasat mata. Tapi di sisi lain, dia sama sekali tidak tega melihat ibunya mengalami apa yang dia lihat. Dia berpikir, mungkin apa yang dia lihat itu adalah peringatan, bahwa akan ada peristiwa buruk yang akan menimpa ibunya. Mungkin dikerjai seseorang.
“Nggak papa, pak” jawab Icha, sambil melirik ke istri baru bapaknya.
“Beneran nduk, kamu mau membiarkan mata batinmu terbuka terus?” tanya bu Maryati.
“Iya, bu. Mungkin akan lebih baik kalau Icha membiasakan diri melihat mereka. Toh, mereka juga pasti tahu, kalo Icha nggak sendirian”
“Ya sudah, kalo itu menjadi tekadmu. Kita bisa nanya ke pak Aziz kalo Icha butuh masukan”
“Iya, bu”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments