Dendam Kesumat : Kasyaf
"Yo terminal, terminal, terminal"
Seseorang berseru dari arah depan bus. Ya, dia adalah co driver sebuah bus. Bus merah yang berjalan lambat. Seorang gadis berjaket parasut yang tadinya tertidur, terkejut mendengar seruan co driver itu.
"Cuwik, mas" seru salah seorang penumpang. Penumpang itu berjalan ke arah depan.
Gadis berjaket parasut itu menyiapkan tasnya. Dia juga memeriksa ponselnya. Belum ada pesan singkat maupun telepon yang masuk. Namun foto sang ibu langsung terpampang di layar depan.
Diapun menghembuskan nafas berat. Seolah ada masalah berat berkaitan dengan sang ibu.
Dia buka pesan singkat dari seseorang yang dia beri nama kontak, adek. Sebuah foto lama, yang dia terima enam bulan lalu, dia tekan hingga memenuhi layar ponselnya.
Foto sebuah pernikahan, dari sepasang insan yang tampak tak lagi muda. Foto itu mengambil tempat di belakang kedua mempelai. Ada lingkaran yang membingkai mempelai laki-laki. Ada panah yang menunjukkan sebuah tulisan. Bapak, begitu tulisan yang ditunjuk panah itu.
Untuk beberapa saat gadis itu tenggelam dalam lamunannya. Beberapa aksi mulai dia susun di pikirannya, yang sedianya hendak dia lakukan sesampainya di rumah. Namun, lampu merah pertigaan menyadarkannya kalau terminal tujuannya akan segera terlihat. Diapun segera menepis angan-angan itu dan mengantongi kembali ponselnya.
"Pulang kemana?"
Perhatian gadis itu teralihkan ke sebelah kiri. Seorang laki-laki di kursi seberang tersenyum padanya.
"Sido Dadi, mas" jawab gadis itu.
"Wah. Masih jauh, dong" komentar laki-laki itu.
"Iya, mas" jawab gadis itu.
"Masnya pulang kemana?" Lanjut gadis itu.
"Pucang Sewu" jawab laki-laki itu.
"Deket, dong?"
"Iya. Mau mampir?" Goda laki-laki itu.
"Makasih, mas. Udah ditungguin ibu" tolak gadis itu.
"Oke. Kapan balik tangerang lagi? Jangan-jangan ketemu lagi, entar" goda laki-laki itu lagi.
"Waduh. Kayaknya nggak balik lagi, mas"
"Loh kenapa? Abis kontrak, gitu?"
"He he. Ya gitu, deh"
"Oh" laki-laki itu mengangguk-angguk.
"Ya udah. Aku doain, semoga mbaknya cepet dapet kerja lagi"
"Amiin. Makasih mas, doanya"
Bus merah itupun masuk ke dalam terminal. Semua penumpang, tak terkecuali dengan gadis itu bersiap untuk turun.
Beberapa kali dia tolak tawaran tukang ojek maupun tukang becak saat baru turun. Dia lantas berjalan menuju tempat keberangkatan bis lokal.
Untuk sejenak dia melihat jam di ponselnya. Sudah lewat dari jam tujuh malam. Dia tampak berpikir, mengingat-ingat jadwal keberangkatan bis. Dan dia yakin, seharusnya masih ada satu atau dua trip lagi menuju desanya.
Ya Alloh, harusnya aku gembira bisa menginjakkan kaki lagi di tanah kelahiranku. Tiga tahun nggak bisa pulang rasanya kangen banget sama semuanya. Tapi pulang dengan status habis kontrak begini, seperti orang yang kalah perang saja, rasanya.
Gadis itu memainkan ponselnya sembari berjalan. Dia hanya berpatokan pada sudut matanya tanpa memperhatikan jalannya dengan sepenuhnya. Yang penting masih terlihat tembok di kiri dan kanannya, dia terus berjalan.
Tapi lama kelamaan dia jadi curiga. Terminal ini seharusnya tidak punya lorong sepanjang ini. Tapi dia merasa sudah berjalan seperti menyusuri koridornya terminal Tirtonadi.
Gadis itu berhenti sejenak. Dia menyebar pandangan ke sekitar. Di belakangnya, ujung koridor ini sudah tak terlihat, karena sudah sekian kali dia berbelok arah. Ke depan, ujung satunya belum juga terlihat.
"Emang terminal ini diperluas, ya? Tapi kok desainnya aneh? Terlalu vintage gitu loh" gumam gadis itu.
Dia kembali berjalan. Kali ini dia tidak memainkan ponselnya. Sepenuh hati dia memperhatikan sekitarnya. Sungguh, dia merasa sangat aneh dengan terminal kotanya ini.
Semakin berjalan, dia seolah kembali ke jaman dulu. Ruangan-ruangan di kiri-kanannya seperti tidak baru saja dibangun. Setidaknya tidak dalam kurun waktu tiga tahun ke belakang. Pintu dan jendela di ruangan-ruangan itu besar-besar, identik dengan gaya arsitektur eropa. Mirip bangunan-bangunan di kota tua Jakarta.
Srek srek srek
Terdengar suara orang menyapu. Gadis itu mempercepat langkahnya. Dan benar, dia melihat ada seorang nenek-nenek sedang menyapu lantai.
Tak selayaknya nenek-nenek jaman sekarang yang lebih suka pakai daster, nenek-nenek itu masih memakai jarik dan baju khas wanita jawa jaman dulu.
Sapu yang dipakai juga bukan sapu yang lazim digunakan di jaman sekarang. Sapu itu masih menggunakan sabut kelapa dengan bambu sebagai pegangannya.
"Permisi, mbah" sapa gadis itu.
"Nggeh" jawab nenek-nenek itu dengan bahasa jawa.
"Mau tanya, mbah. Tempat keberangkatan bis ke timur, ke arah mana ya, mbah?" Tanya gadis itu.
"Mriko" jawab simbah itu.
Dia menujuk ke kirinya. Bukan tanpa alasan, ada koridor cabang di depannya, atau di kanan gadis itu.
"Oh. Masih jauh, mbah?"
"Mboten" jawab simbah itu menggunakan bahasa jawa lagi.
"Oh. Sudah nggak jauh lagi ya, mbah. Makasih"
"Nggeh"
Gadis itu berjalan lagi. Dia lebih bersemangat karena sebentar lagi dia akan sampai di ujung koridor ini.
Namun dia jadi curiga, saat koridor ini semakin lama semakin berkurang penerangannya. Seharusnya kalau masih jam operasional, penerangan tidak boleh dikurangi. Sudah lebih dari sepuluh meter dia berjalan, namun belum juga bertemu ujung dari koridor ini. Malah penerangan semakin tak bersahabat.
"Astaga. Itu apa?"
Gadis itu menghentikan langkahnya. Tatapannya terpaku pada tiga benda berwarna putih yang tergantung di langit-langit koridor. Di bawah benda-benda putih ada sebuah meja yang tampak ringkih yang menopang ketiga benda putih itu.
"Karung beras atau apa, ya?"
Gadis itu masih berpikiran positif. Dia melanjutkan langkahnya meskipun kini sangat pelan dan sangat waspada.
"A'udzubillahi minas syaitonirrojim"
Gadis itu melafadzkan doa-doa saat dia semakin dekat dengan benda yang tergantung di langit-langit koridor itu. Dia mengambil ponselnya dan menyalakan lampu flashnya.
"Allohu Akbar"
Dia terkejut saat dia mengarahkan lampu Flashnya ke arah benda putih itu.
"Po, po, pocong?" Gumamnya lirih.
Ketiga benda itu kini jelas di matanya, bukan merupakan karung beras. Ketiga benda itu jelas sekali berbentuk pocongan utuh. Kainnyapun masih baru. Ketiga pocongan itu tergantung di bagian leher. Hanya saja tidak terlihat wajahnya. Tali yang menggantung ketiganya tampak menegang tapi belum sepenuhnya menegang.
Braakk
"Aaaa"
Gadis itu berteriak kencang, saat meja ringkih di depannya tiba-tis patah. Ketiga pocongan itu kini tergantung sepenuhnya.
"Tolooong"
Dia ketakutan bukan main, saat mengetahui ketiga pocongan itu bergerak-gerak.
Keekhh, eeeek, keekh
Terdengar juga suara orang tercekik dari arah pocongan itu. Seolah pocongan itu adalah manusia yang masih hidup dan sedang menjalani hukuman gantung.
"Tolooong"
Gadis itu berlari kembali ke arah kedatangannya. Jatuh-bangun dia berlari, berharap akan bertemu nenek-nenek tadi.
"Woo pateni ae!"
"Iyo. Pateni ae!"
"Ha?"
Gadis tadi sontak mengerem langkahnya, begitu melihat ada gerombolan orang mempersekusi nenek-nenek tadi. Setengah melompat dia masuk ke dalam salah satu ruangan yang kebetulan pintunya terbuka.
"Ampuuun, ampuuuun"
Terdengar suara nenek-nenek tadi memohon pada gerombolan laki-laki tadi. Namun sepertinya gerombolan itu tidak memiliki belas kasihan.
Mereka terdengar berbuat kasar pada sang nenek. Termasuk juga pada seorang laki-laki, seorang ibu muda dan bahkan kepada seorang anak-anak.
"Jangaaaan!"
Buaaakk
"Jantooo"
Bak buk bak
Terdengar suara teriakan diiringi hantaman dan tendangan silih berganti. Gerombolan itu seperti memang berniat untuk menyiksa. Karena menit telah berganti namun suara pukulan dan tendangan itu tak kunjung berhenti. Suara laki-laki dam ibu muda itu semakin menyayat hati.
Bak buk bak
"Minggiiiir!"
Braaaakk
"Jantoooo"
"Biadaaaap"
Terdengar teriakan dan tangis yang membahana. Namun juga ada tawa lepas dari gerombolan itu. Seperti pemain bola yang berhasil mencetak gol.
Gadis itu merasakan ketakutan yang teramat sangat. Dia sudah membayangkan apa yang terjadi kepada anak kecil itu.
Namun, diantara ketakutannya, dia masih teringat sesuatu. Ya, dia merasa harus merekam aksi kejam itu. Dia merasa harus melaporkan kebiadapan itu. Karena kalau harus mencegahnya, dia merasa itu tidak mungkin.
Dengan sekuat tenaga dia meredam ketakutannya. Dia lalu beranjak merendahkan tubuhnya, tiarap ke lantai. Dengan gerakan perlahan dia berusaha mengintip sambil menyiapkan ponselnya untuk merekam.
Kraaakk
"Ha?"
"Martiiiii"
Gadis itu hampir saja kelepasan suara. Baru saja mengintip, sebuah aksi kejam terjadi di depan matanya.
"Martiiii"
Ibu muda tadi, kepalanya putus akibat dipenggal salah satu dari gerombolan itu. Tanpa ada rasa ngeri sedikitpun orang itu malah bersorak kegirangan sembari mengacungkan celurit yang dia pakai untuk menebas leher ibu muda tadi. Sedangkan ibu muda korbannya itu, masih menggeliat-geliat sekarat.
Sang suami hanya bisa mengumpat dan menangis histeris, melihat sang istri sekarat bersimbah darah di depan matanya. Tak jauh darinya, sang anak telah terlebih dahulu gugur dengan kepala pecah.
"Sekalian aja, jangan buang waktu!" Teriak salah satu dari mereka.
"Iya. Setan desa memang harus dihabisi segera" sahut yang lain.
"Betul" sahut yang lain bersahut-sahutan.
Salah seorang dari mereka memberi isyarat. Dan empat orang maju, yang lain mundur. Dua diantaranya membawa empat batang bambu yang cukup panjang.
"Nggak usah sedih pak lurah. Kamu dan emakmu akan kami antar menemui anak dan istrimu. Ha ha ha ha" kata orang yang memberi isyarat itu.
"Bang*******t. Aku bersumpah. Anak turunku akan menghabisi anak turunmu, Wulung"
"Lurah Mardianto. Masih bisa ngancem, rupanya" ejek laki-laki yang dipanggil Wulung. Anak buahnya tertawa.
"Anak-turunmu yang mana, To? Sutopo? Anak sulungmu yang planga-plongo itu?"
*Mbah kakung*?
Gadis itu merasa kenal dengan nama yang disebut oleh si Wulung.
"Apa si Rukmini? Ah. Dia sih, kena goyanganku juga ketagihan. Ha ha ha" tanya si Wulung lagi.
*Astaga. Yang mereka maksud bener-bener kakungku. Rukmini kan adiknya mbah Topo. Yang jatuh di gunung. Berarti itu simbah buyutku, dong? Lha terus, ini aku ada di mana? Yang aku liat ini, apa*?
Wulung dan yang lain tertawa lepas tanpa kasihan sama sekali. Sedangkan yang dipanggil lurah Mardianto itu hanya bisa menangis dan terus mengumpat. Gadis itu malah terpaku.
"Kelamaan, ki. Sikat aja langsung" seru salah seorang anak buah Wulung.
"Kerjakan!" Jawab si Wulung.
Keempat orang itu membagi diri mereka menjadi dua pasang. Masing-masing memegang dua bambu. Mereka membuat huruf X tepat di leher nenek-nenek dan laki-laki itu. Mereka seperti hendak menjepit leher keduanya dengan bambu-bambu itu. Dua empat laki-laki datang membantu empat orang yang memegang bambu.
"Lakukan!"
"Ha?" Gadis itu hampir memekik lagi.
"Hiyaaaa"
"Heek"
"Keeeekh"
Seperti yang telah diduga, kedelapan orang itu benar-benar menjepit leher nenek-nenek dan anaknya itu dengan sekuat tenaga.
Dengan keadaan tangan dan kaki terikat, keduanya tidak bisa melawan sama sekali. Keduanya mengeliat-geliat merasakan sakit yang teramat sangat, sekaligus nafas yang kian tersengal.
Gadis itu tampak ingin merangsek untuk mengagagalkan upaya pembunuhan terhadap kakek buyutnya itu. Namun dia tidak bisa bergerak. Tubuhnya kaku seperti ketindihan.
Dia hanya bisa menangis menyaksikan kekejaman di depan matanya. Dia tidak bisa menggerakkan matanya barang sedikitpun. Aplagi untuk memastikan kamera ponselnya bekerja atau tidak.
Bayangan orang sakarotul maut malah membuat sekujur tubuhnya terasa ngilu. Dia memejamkan matanya. Berharap kekejaman itu akan segera berakhir dan dia bisa segera pergi dari tempat ini.
*Darrr*
"Aww"
"Woooooiii"
Sebuah letusan senapan mengejutkan gadis itu. Keadaan di depan matanyapun berubah.
*Darrr darrr darrr darrr*
Letusan demi letusan mengiringi suara orang yang berteriak terkejut dan lari tunggang langgang.
"Bapaaaaaak"
Terdengar suara teriakan seorang laki-laki.
"Simbooook"
Sia berlari dan langsung menubruk tubuh wanita yang terpenggal kepalanya itu.
"Simbooooook"
Dia berteriak lagi. Dia menengadahkan kepalanya saat berteriak penuh amarah.
Mbah Topo?
Gadis itu rupanya mengenali siapa laki-laki yang sedang menangis itu. Walau laki-laki itu masih sangat muda.
"Biadap kamu Wulung" teriak laki-laki itu.
"Kamu harus mati di tanganku, Wulung" lanjutnya.
"Topo jangan!"
Seorang laki-laki menahannya, disaat sutopo beranjak hendak berlari.
"Topo mau ngejar si Wulung, den. Mau Topo bunuh manusia terkutuk itu. Haaaah"
"Topo, jangan!"
"Kenapa Raden melarang saya, ha?" Teriak Sutopo.
Dia mengibaskan tangan orang yang dia panggil Raden. Namun tak membuahkan hasil. Laki-laki yang berbeda usia sekitar lima belas tahun itu terlalu kuat untuknya yang baru berumur lima belas tahun.
"Kalau Gusti Bendoro dipenggal kepalanya begini, apa Raden Manaf masih bisa sabar, ha?" Lanjut Sutopo.
"Aku tahu, Po. Aku tahu. Tapi dia itu sakti mandraguna. Jangankan ngelawan manusia, demit aja takluk sama dia"
"Topo nggak peduli. Hutang nyawa dibayar nyawa, den"
"Kalau kamu mati, siapa yang jagain Rukmini? Kamu mau Rukmini dijadiin pelacur sama Wulung?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Sutopo mengendurkan berontaknya. Dia menatap orang yang dia panggil Raden Manaf itu dengan tatapan penuh tanya.
"Dendam kamu, dendam aku juga, Po" kata Raden manaf, setelah Sutopo tenang.
"Aku pasti akan balaskan dendam kamu itu. Diaa menyasar orang tuamu, itu karena dia dendam sama Romo Adipati Mangkunegaran. Aku kan pernah bilang"
"Ya tapi apa Topo tidak boleh bergerak sendiri, Den?" Tanya Sutopo setengah menangis.
"Boleh. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu. Dia tidak akan melawanmu, Po. Dia akan membiarkanmu hidup. Begitu juga denganku. Dia akan membuat kita melihat dengan mata kita sendiri, bagaimana dia akan memecah belah dan menghabisi anak-cucu kita satu per satu. Seperti dulu istri dan anak-anaknya yang menjadi korban saat dia digerebek pasukan mangkunegaran. Jadi percuma saja kita kejar. Dia malah ngumpet"
"Apa?"
"Kalau kamu pikir dia sepantaran lek Mardi, kamu salah, Po. Dia sepantaran buyutku. Dia tidak bisa dibunuh. Dia hanya bisa dibunuh di satu hari. Hari paling apes untuk semua ilmu kadigdayannya. Sebelum hari itu tiba, kamu harus belajar kanuragan dan kadigdayan. Rahmi menjadi tanggung-jawabmu sebagai suami"
"Rahmi?"
"Kamu juga, Ismo" seru Raden Manaf.
"Saya, Den?"
*Simbah*?
Seperti saat mengenali sutopo, gadis itu tampak sangat mengenali laki-laki yang dipanggil Ismo itu. Walau si Ismo itu masih sepantaran dengan Sutopo.
"Sebagai juragan, kamu harus awas! Jaga istrimu agar tidak terpedaya muslihat si Wulung! Tunjilah itu kembang desa. Tapi dia lemah"
"Juragan? Tunjilah?" Tanya Ismo.
*Mbah Tun*?
"Juragan apa, den? Kan saya sama laya Sutopo, abdinya Raden. Dan Tunjilah yang mana, den?" Lanjut Ismo.
"Romo Adipati yang bilang. Kemarin aku terima surat dari beliau. Apa kalian tidak percaya sama wangsit yang diterima Romo Adipati?"
Keduanya terdiam. Tak ada yang berani menjawab. Sutopo hanya menatap orang-orang yang menutupi jasad keluarganya.
"Kalau tidak percaya, ya silakan! Silakan kejar Wulung sampai dapat. Tapi kalau kamu sampai mati dan Wulung jadiin Rukmini dan Rahmi sebagai pelacurnya, aku tidak bertanggung jawab"
Sutopo tidak menjawab. Dia hanya merendahkan badanya. Kini dia bersimpuh menatap jasad kedua orang tuanya, adik bungsunya dan juga simbahnya. Ismo ikut bersimpuh. Raden Manafpun ikut merendahkan badannya.
"Dan sebagai sahabat, kalan harus saling percaya! Kalau aku masih hidup, aku akan arahkan kalian. Tapi kalau aku sudah mati, aku akan titipkan wangsit untuk kalian. Kalian harus percaya dengan wangsit yang aku titipkan pada salah satu diantara kalian! Camkan itu, biar pengorbanan lek Mardi dan mbok Marti tidak sia-sia!" Lanjut Raden Manaf.
"Dek, dek"
Sebuah teguran dan tepukan di pundaknya, membuat gadis itu tersentak.
"Adek ngapain, di sini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Kustri
widiiiih... tirtonadi, kota kelahiranqu
💪💪💪
2024-09-30
1
Ira_87
Menegangkan 😱😱😱😱
2024-01-24
1
fawwaz
Horor☠️
2023-10-30
1