Dendam Kesumat : Kasyaf

Dendam Kesumat : Kasyaf

kejadian horor di terminal

"Yo terminal, terminal, terminal"

Seseorang berseru dari arah depan bus. Ya, dia adalah co driver sebuah bus. Bus merah yang berjalan lambat. Seorang gadis berjaket parasut yang tadinya tertidur, terkejut mendengar seruan co driver itu.

"Cuwik, mas" seru salah seorang penumpang. Penumpang itu berjalan ke arah depan.

Gadis berjaket parasut itu menyiapkan tasnya. Dia juga memeriksa ponselnya. Belum ada pesan singkat maupun telepon yang masuk. Namun foto sang ibu langsung terpampang di layar depan.

Diapun menghembuskan nafas berat. Seolah ada masalah berat berkaitan dengan sang ibu.

Dia buka pesan singkat dari seseorang yang dia beri nama kontak, adek. Sebuah foto lama, yang dia terima enam bulan lalu, dia tekan hingga memenuhi layar ponselnya.

Foto sebuah pernikahan, dari sepasang insan yang tampak tak lagi muda. Foto itu mengambil tempat di belakang kedua mempelai. Ada lingkaran yang membingkai mempelai laki-laki. Ada panah yang menunjukkan sebuah tulisan. Bapak, begitu tulisan yang ditunjuk panah itu.

Untuk beberapa saat gadis itu tenggelam dalam lamunannya. Beberapa aksi mulai dia susun di pikirannya, yang sedianya hendak dia lakukan sesampainya di rumah. Namun, lampu merah pertigaan menyadarkannya kalau terminal tujuannya akan segera terlihat. Diapun segera menepis angan-angan itu dan mengantongi kembali ponselnya.

"Pulang kemana?"

Perhatian gadis itu teralihkan ke sebelah kiri. Seorang laki-laki di kursi seberang tersenyum padanya.

"Sido Dadi, mas" jawab gadis itu.

"Wah. Masih jauh, dong" komentar laki-laki itu.

"Iya, mas" jawab gadis itu.

"Masnya pulang kemana?" Lanjut gadis itu.

"Pucang Sewu" jawab laki-laki itu.

"Deket, dong?"

"Iya. Mau mampir?" Goda laki-laki itu.

"Makasih, mas. Udah ditungguin ibu" tolak gadis itu.

"Oke. Kapan balik tangerang lagi? Jangan-jangan ketemu lagi, entar" goda laki-laki itu lagi.

"Waduh. Kayaknya nggak balik lagi, mas"

"Loh kenapa? Abis kontrak, gitu?"

"He he. Ya gitu, deh"

"Oh" laki-laki itu mengangguk-angguk.

"Ya udah. Aku doain, semoga mbaknya cepet dapet kerja lagi"

"Amiin. Makasih mas, doanya"

Bus merah itupun masuk ke dalam terminal. Semua penumpang, tak terkecuali dengan gadis itu bersiap untuk turun.

Beberapa kali dia tolak tawaran tukang ojek maupun tukang becak saat baru turun. Dia lantas berjalan menuju tempat keberangkatan bis lokal.

Untuk sejenak dia melihat jam di ponselnya. Sudah lewat dari jam tujuh malam. Dia tampak berpikir, mengingat-ingat jadwal keberangkatan bis. Dan dia yakin, seharusnya masih ada satu atau dua trip lagi menuju desanya.

Ya Alloh, harusnya aku gembira bisa menginjakkan kaki lagi di tanah kelahiranku. Tiga tahun nggak bisa pulang rasanya kangen banget sama semuanya. Tapi pulang dengan status habis kontrak begini, seperti orang yang kalah perang saja, rasanya.

Gadis itu memainkan ponselnya sembari berjalan. Dia hanya berpatokan pada sudut matanya tanpa memperhatikan jalannya dengan sepenuhnya. Yang penting masih terlihat tembok di kiri dan kanannya, dia terus berjalan.

Tapi lama kelamaan dia jadi curiga. Terminal ini seharusnya tidak punya lorong sepanjang ini. Tapi dia merasa sudah berjalan seperti menyusuri koridornya terminal Tirtonadi.

Gadis itu berhenti sejenak. Dia menyebar pandangan ke sekitar. Di belakangnya, ujung koridor ini sudah tak terlihat, karena sudah sekian kali dia berbelok arah. Ke depan, ujung satunya belum juga terlihat.

"Emang terminal ini diperluas, ya? Tapi kok desainnya aneh? Terlalu vintage gitu loh" gumam gadis itu.

Dia kembali berjalan. Kali ini dia tidak memainkan ponselnya. Sepenuh hati dia memperhatikan sekitarnya. Sungguh, dia merasa sangat aneh dengan terminal kotanya ini.

Semakin berjalan, dia seolah kembali ke jaman dulu. Ruangan-ruangan di kiri-kanannya seperti tidak baru saja dibangun. Setidaknya tidak dalam kurun waktu tiga tahun ke belakang. Pintu dan jendela di ruangan-ruangan itu besar-besar, identik dengan gaya arsitektur eropa. Mirip bangunan-bangunan di kota tua Jakarta.

Srek srek srek

Terdengar suara orang menyapu. Gadis itu mempercepat langkahnya. Dan benar, dia melihat ada seorang nenek-nenek sedang menyapu lantai.

Tak selayaknya nenek-nenek jaman sekarang yang lebih suka pakai daster, nenek-nenek itu masih memakai jarik dan baju khas wanita jawa jaman dulu.

Sapu yang dipakai juga bukan sapu yang lazim digunakan di jaman sekarang. Sapu itu masih menggunakan sabut kelapa dengan bambu sebagai pegangannya.

"Permisi, mbah" sapa gadis itu.

"Nggeh" jawab nenek-nenek itu dengan bahasa jawa.

"Mau tanya, mbah. Tempat keberangkatan bis ke timur, ke arah mana ya, mbah?" Tanya gadis itu.

"Mriko" jawab simbah itu.

Dia menujuk ke kirinya. Bukan tanpa alasan, ada koridor cabang di depannya, atau di kanan gadis itu.

"Oh. Masih jauh, mbah?"

"Mboten" jawab simbah itu menggunakan bahasa jawa lagi.

"Oh. Sudah nggak jauh lagi ya, mbah. Makasih"

"Nggeh"

Gadis itu berjalan lagi. Dia lebih bersemangat karena sebentar lagi dia akan sampai di ujung koridor ini.

Namun dia jadi curiga, saat koridor ini semakin lama semakin berkurang penerangannya. Seharusnya kalau masih jam operasional, penerangan tidak boleh dikurangi. Sudah lebih dari sepuluh meter dia berjalan, namun belum juga bertemu ujung dari koridor ini. Malah penerangan semakin tak bersahabat.

"Astaga. Itu apa?"

Gadis itu menghentikan langkahnya. Tatapannya terpaku pada tiga benda berwarna putih yang tergantung di langit-langit koridor. Di bawah benda-benda putih ada sebuah meja yang tampak ringkih yang menopang ketiga benda putih itu.

"Karung beras atau apa, ya?"

Gadis itu masih berpikiran positif. Dia melanjutkan langkahnya meskipun kini sangat pelan dan sangat waspada.

"A'udzubillahi minas syaitonirrojim"

Gadis itu melafadzkan doa-doa saat dia semakin dekat dengan benda yang tergantung di langit-langit koridor itu. Dia mengambil ponselnya dan menyalakan lampu flashnya.

"Allohu Akbar"

Dia terkejut saat dia mengarahkan lampu Flashnya ke arah benda putih itu.

"Po, po, pocong?" Gumamnya lirih.

Ketiga benda itu kini jelas di matanya, bukan merupakan karung beras. Ketiga benda itu jelas sekali berbentuk pocongan utuh. Kainnyapun masih baru. Ketiga pocongan itu tergantung di bagian leher. Hanya saja tidak terlihat wajahnya. Tali yang menggantung ketiganya tampak menegang tapi belum sepenuhnya menegang.

Braakk

"Aaaa"

Gadis itu berteriak kencang, saat meja ringkih di depannya tiba-tis patah. Ketiga pocongan itu kini tergantung sepenuhnya.

"Tolooong"

Dia ketakutan bukan main, saat mengetahui ketiga pocongan itu bergerak-gerak.

Keekhh, eeeek, keekh

Terdengar juga suara orang tercekik dari arah pocongan itu. Seolah pocongan itu adalah manusia yang masih hidup dan sedang menjalani hukuman gantung.

"Tolooong"

Gadis itu berlari kembali ke arah kedatangannya. Jatuh-bangun dia berlari, berharap akan bertemu nenek-nenek tadi.

"Woo pateni ae!"

"Iyo. Pateni ae!"

"Ha?"

Gadis tadi sontak mengerem langkahnya, begitu melihat ada gerombolan orang mempersekusi nenek-nenek tadi. Setengah melompat dia masuk ke dalam salah satu ruangan yang kebetulan pintunya terbuka.

"Ampuuun, ampuuuun"

Terdengar suara nenek-nenek tadi memohon pada gerombolan laki-laki tadi. Namun sepertinya gerombolan itu tidak memiliki belas kasihan.

Mereka terdengar berbuat kasar pada sang nenek. Termasuk juga pada seorang laki-laki, seorang ibu muda dan bahkan kepada seorang anak-anak.

"Jangaaaan!"

Buaaakk

"Jantooo"

Bak buk bak

Terdengar suara teriakan diiringi hantaman dan tendangan silih berganti. Gerombolan itu seperti memang berniat untuk menyiksa. Karena menit telah berganti namun suara pukulan dan tendangan itu tak kunjung berhenti. Suara laki-laki dam ibu muda itu semakin menyayat hati.

Bak buk bak

"Minggiiiir!"

Braaaakk

"Jantoooo"

"Biadaaaap"

Terdengar teriakan dan tangis yang membahana. Namun juga ada tawa lepas dari gerombolan itu. Seperti pemain bola yang berhasil mencetak gol.

Gadis itu merasakan ketakutan yang teramat sangat. Dia sudah membayangkan apa yang terjadi kepada anak kecil itu.

Namun, diantara ketakutannya, dia masih teringat sesuatu. Ya, dia merasa harus merekam aksi kejam itu. Dia merasa harus melaporkan kebiadapan itu. Karena kalau harus mencegahnya, dia merasa itu tidak mungkin.

Dengan sekuat tenaga dia meredam ketakutannya. Dia lalu beranjak merendahkan tubuhnya, tiarap ke lantai. Dengan gerakan perlahan dia berusaha mengintip sambil menyiapkan ponselnya untuk merekam.

Kraaakk

"Ha?"

"Martiiiii"

Gadis itu hampir saja kelepasan suara. Baru saja mengintip, sebuah aksi kejam terjadi di depan matanya.

"Martiiii"

Ibu muda tadi, kepalanya putus akibat dipenggal salah satu dari gerombolan itu. Tanpa ada rasa ngeri sedikitpun orang itu malah bersorak kegirangan sembari mengacungkan celurit yang dia pakai untuk menebas leher ibu muda tadi. Sedangkan ibu muda korbannya itu, masih menggeliat-geliat sekarat.

Sang suami hanya bisa mengumpat dan menangis histeris, melihat sang istri sekarat bersimbah darah di depan matanya. Tak jauh darinya, sang anak telah terlebih dahulu gugur dengan kepala pecah.

"Sekalian aja, jangan buang waktu!" Teriak salah satu dari mereka.

"Iya. Setan desa memang harus dihabisi segera" sahut yang lain.

"Betul" sahut yang lain bersahut-sahutan.

Salah seorang dari mereka memberi isyarat. Dan empat orang maju, yang lain mundur. Dua diantaranya membawa empat batang bambu yang cukup panjang.

"Nggak usah sedih pak lurah. Kamu dan emakmu akan kami antar menemui anak dan istrimu. Ha ha ha ha" kata orang yang memberi isyarat itu.

"Bang*******t. Aku bersumpah. Anak turunku akan menghabisi anak turunmu, Wulung"

"Lurah Mardianto. Masih bisa ngancem, rupanya" ejek laki-laki yang dipanggil Wulung. Anak buahnya tertawa.

"Anak-turunmu yang mana, To? Sutopo? Anak sulungmu yang planga-plongo itu?"

*Mbah kakung*?

Gadis itu merasa kenal dengan nama yang disebut oleh si Wulung.

"Apa si Rukmini? Ah. Dia sih, kena goyanganku juga ketagihan. Ha ha ha" tanya si Wulung lagi.

*Astaga. Yang mereka maksud bener-bener kakungku. Rukmini kan adiknya mbah Topo. Yang jatuh di gunung. Berarti itu simbah buyutku, dong? Lha terus, ini aku ada di mana? Yang aku liat ini, apa*?

Wulung dan yang lain tertawa lepas tanpa kasihan sama sekali. Sedangkan yang dipanggil lurah Mardianto itu hanya bisa menangis dan terus mengumpat. Gadis itu malah terpaku.

"Kelamaan, ki. Sikat aja langsung" seru salah seorang anak buah Wulung.

"Kerjakan!" Jawab si Wulung.

Keempat orang itu membagi diri mereka menjadi dua pasang. Masing-masing memegang dua bambu. Mereka membuat huruf X tepat di leher nenek-nenek dan laki-laki itu. Mereka seperti hendak menjepit leher keduanya dengan bambu-bambu itu. Dua empat laki-laki datang membantu empat orang yang memegang bambu.

"Lakukan!"

"Ha?" Gadis itu hampir memekik lagi.

"Hiyaaaa"

"Heek"

"Keeeekh"

Seperti yang telah diduga, kedelapan orang itu benar-benar menjepit leher nenek-nenek dan anaknya itu dengan sekuat tenaga.

Dengan keadaan tangan dan kaki terikat, keduanya tidak bisa melawan sama sekali. Keduanya mengeliat-geliat merasakan sakit yang teramat sangat, sekaligus nafas yang kian tersengal.

Gadis itu tampak ingin merangsek untuk mengagagalkan upaya pembunuhan terhadap kakek buyutnya itu. Namun dia tidak bisa bergerak. Tubuhnya kaku seperti ketindihan.

Dia hanya bisa menangis menyaksikan kekejaman di depan matanya. Dia tidak bisa menggerakkan matanya barang sedikitpun. Aplagi untuk memastikan kamera ponselnya bekerja atau tidak.

Bayangan orang sakarotul maut malah membuat sekujur tubuhnya terasa ngilu. Dia memejamkan matanya. Berharap kekejaman itu akan segera berakhir dan dia bisa segera pergi dari tempat ini.

*Darrr*

"Aww"

"Woooooiii"

Sebuah letusan senapan mengejutkan gadis itu. Keadaan di depan matanyapun berubah.

*Darrr darrr darrr darrr*

Letusan demi letusan mengiringi suara orang yang berteriak terkejut dan lari tunggang langgang.

"Bapaaaaaak"

Terdengar suara teriakan seorang laki-laki.

"Simbooook"

Sia berlari dan langsung menubruk tubuh wanita yang terpenggal kepalanya itu.

"Simbooooook"

Dia berteriak lagi. Dia menengadahkan kepalanya saat berteriak penuh amarah.

Mbah Topo?

Gadis itu rupanya mengenali siapa laki-laki yang sedang menangis itu. Walau laki-laki itu masih sangat muda.

"Biadap kamu Wulung" teriak laki-laki itu.

"Kamu harus mati di tanganku, Wulung" lanjutnya.

"Topo jangan!"

Seorang laki-laki menahannya, disaat sutopo beranjak hendak berlari.

"Topo mau ngejar si Wulung, den. Mau Topo bunuh manusia terkutuk itu. Haaaah"

"Topo, jangan!"

"Kenapa Raden melarang saya, ha?" Teriak Sutopo.

Dia mengibaskan tangan orang yang dia panggil Raden. Namun tak membuahkan hasil. Laki-laki yang berbeda usia sekitar lima belas tahun itu terlalu kuat untuknya yang baru berumur lima belas tahun.

"Kalau Gusti Bendoro dipenggal kepalanya begini, apa Raden Manaf masih bisa sabar, ha?" Lanjut Sutopo.

"Aku tahu, Po. Aku tahu. Tapi dia itu sakti mandraguna. Jangankan ngelawan manusia, demit aja takluk sama dia"

"Topo nggak peduli. Hutang nyawa dibayar nyawa, den"

"Kalau kamu mati, siapa yang jagain Rukmini? Kamu mau Rukmini dijadiin pelacur sama Wulung?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, Sutopo mengendurkan berontaknya. Dia menatap orang yang dia panggil Raden Manaf itu dengan tatapan penuh tanya.

"Dendam kamu, dendam aku juga, Po" kata Raden manaf, setelah Sutopo tenang.

"Aku pasti akan balaskan dendam kamu itu. Diaa menyasar orang tuamu, itu karena dia dendam sama Romo Adipati Mangkunegaran. Aku kan pernah bilang"

"Ya tapi apa Topo tidak boleh bergerak sendiri, Den?" Tanya Sutopo setengah menangis.

"Boleh. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu. Dia tidak akan melawanmu, Po. Dia akan membiarkanmu hidup. Begitu juga denganku. Dia akan membuat kita melihat dengan mata kita sendiri, bagaimana dia akan memecah belah dan menghabisi anak-cucu kita satu per satu. Seperti dulu istri dan anak-anaknya yang menjadi korban saat dia digerebek pasukan mangkunegaran. Jadi percuma saja kita kejar. Dia malah ngumpet"

"Apa?"

"Kalau kamu pikir dia sepantaran lek Mardi, kamu salah, Po. Dia sepantaran buyutku. Dia tidak bisa dibunuh. Dia hanya bisa dibunuh di satu hari. Hari paling apes untuk semua ilmu kadigdayannya. Sebelum hari itu tiba, kamu harus belajar kanuragan dan kadigdayan. Rahmi menjadi tanggung-jawabmu sebagai suami"

"Rahmi?"

"Kamu juga, Ismo" seru Raden Manaf.

"Saya, Den?"

*Simbah*?

Seperti saat mengenali sutopo, gadis itu tampak sangat mengenali laki-laki yang dipanggil Ismo itu. Walau si Ismo itu masih sepantaran dengan Sutopo.

"Sebagai juragan, kamu harus awas! Jaga istrimu agar tidak terpedaya muslihat si Wulung! Tunjilah itu kembang desa. Tapi dia lemah"

"Juragan? Tunjilah?" Tanya Ismo.

*Mbah Tun*?

"Juragan apa, den? Kan saya sama laya Sutopo, abdinya Raden. Dan Tunjilah yang mana, den?" Lanjut Ismo.

"Romo Adipati yang bilang. Kemarin aku terima surat dari beliau. Apa kalian tidak percaya sama wangsit yang diterima Romo Adipati?"

Keduanya terdiam. Tak ada yang berani menjawab. Sutopo hanya menatap orang-orang yang menutupi jasad keluarganya.

"Kalau tidak percaya, ya silakan! Silakan kejar Wulung sampai dapat. Tapi kalau kamu sampai mati dan Wulung jadiin Rukmini dan Rahmi sebagai pelacurnya, aku tidak bertanggung jawab"

Sutopo tidak menjawab. Dia hanya merendahkan badanya. Kini dia bersimpuh menatap jasad kedua orang tuanya, adik bungsunya dan juga simbahnya. Ismo ikut bersimpuh. Raden Manafpun ikut merendahkan badannya.

"Dan sebagai sahabat, kalan harus saling percaya! Kalau aku masih hidup, aku akan arahkan kalian. Tapi kalau aku sudah mati, aku akan titipkan wangsit untuk kalian. Kalian harus percaya dengan wangsit yang aku titipkan pada salah satu diantara kalian! Camkan itu, biar pengorbanan lek Mardi dan mbok Marti tidak sia-sia!" Lanjut Raden Manaf.

"Dek, dek"

Sebuah teguran dan tepukan di pundaknya, membuat gadis itu tersentak.

"Adek ngapain, di sini?"

Terpopuler

Comments

Kustri

Kustri

widiiiih... tirtonadi, kota kelahiranqu
💪💪💪

2024-09-30

1

Ira_87

Ira_87

Menegangkan 😱😱😱😱

2024-01-24

1

fawwaz

fawwaz

Horor☠️

2023-10-30

1

lihat semua
Episodes
1 kejadian horor di terminal
2 bayangan masa lalu
3 Awal masalah
4 masalah berlanjut
5 kepala tanpa badan dan badan tanpa kepala
6 jati kobeng
7 bertemu bapak dan dia
8 Jarik keramat
9 reuni dengan adek
10 cerita Tika tentang si Budi dan sang biduan
11 ambulance tak kasat mata
12 ambulance jenazah
13 de javu yang mulai jadi nyata
14 hantu mbah Ijah?
15 Drama pas makan malam
16 Protes Icha
17 Icha ketakutan
18 Bertemu sahabat
19 Ribut-ribut di depan rumah
20 Belanda?
21 Icha tertangkap?
22 Bayangan kekejaman
23 keharuan Icha
24 Akan ada apa ya?
25 Dapat kiriman santet
26 Belum usai
27 Akan dimulai lagi
28 Santet ke dua
29 Bertemu pendamping
30 Kejutan setelah siuman
31 Dicekik sampai sekarat
32 Demit, kelabang, banaspati
33 Dijenguk para sahabat
34 Akhirnya boleh pulang
35 Perjalanan pulang
36 Keris senggol modot
37 Herman
38 Jadi kenyataan lagi
39 Pemakaman Herma .
40 Bayangan panther hijau
41 para sahabat pamitan
42 Insiden saat mengantar bebek
43 Indri
44 Kecemburuan aneh bu Maryati
45 Horor di perjalanan pulang
46 Dijebak makhluk gaib
47 Hampir tidak selamat
48 Kupat tahu yang mengundang tanya
49 Apa ada kaitannya, antara dua leluhur?
50 Terowongan bawah tanah
51 Tempat tinggak leluhur
52 Tujuan diajak ke dalam terowongan
53 Keterkejutan Hasan
54 Jadikan dia budakmu!
55 Kok kaya bau darah?
56 Ternyata ada yang jahil. Siapakah dia?
57 Peringatan dari Budi
58 Rampok penggali tanah
59 Tubuh bulek Rini berasap
60 Terbuai tatapan lembut
61 Setelah terbuai
62 Mobil baru
63 Curhatan Indri
64 Ada yang menanam tumbal. Siapa, ya?
65 Ternyata bukan hanya terkena sirep
66 Siuman
67 Rawat jalan
68 Penglihatan gaib tentang mbah Ijah
69 Mulai lagi
70 Penganiayaan tak berperi
71 agak mereda
72 Pertengkaran di depan UGD
73 Ribut di parkiran
74 Gangguan di kamar UGD
75 Tragedi lagi di rumah Icha
76 Bertambah lagi yang masuk UGD
77 Hasan mengesalkan
78 Serangan di ruang ICU
79 Serangan kedua
80 Indri nekad
81 Deep talk dengan bu Sari
82 Salah masuk toilet
83 Sebuah cerita dari masa lalu
84 Interogasi dan kenyataan
85 Masuk radar densus 88
86 dijenguk Budi
87 Indri masuk UGD
88 Indri meninggal
89 pulang dari rumah sakit
90 Akhirnya terungkap
91 Bulek Rini buka baju
92 Adegan tak senonoh
93 Bagai tersambar petir di siang bolong
94 Strategi Icha
95 Perbaikan besar rumah
96 Icha terjatuh dan pingsan
97 Sandiwara dimulai
98 sandiwara masih berlanjut
99 Bahasa isyarat
100 Icha mengkode Farhan
101 Sesuatu yang besar akan segera dimulai
102 Bulek Rini mulai beraksi
103 Eksekusi
104 duel maut
105 Akhirnya tertangkap
106 Peran serigala malam
107 Kejujuran
108 Terungkapnya rahasia
109 Ternyats begini aslinya
110 bencana masih belum usai
111 Bandayuda Wisarga
112 Setro paneter rogo
113 Kembali ke alam nyata
114 Kapan aa' nikahin Icha?
115 Menuju pernikahan
116 Akhirnya sah
117 Tangan kiri juga boleh
118 Sampai jumpa di cerita berikutnya
Episodes

Updated 118 Episodes

1
kejadian horor di terminal
2
bayangan masa lalu
3
Awal masalah
4
masalah berlanjut
5
kepala tanpa badan dan badan tanpa kepala
6
jati kobeng
7
bertemu bapak dan dia
8
Jarik keramat
9
reuni dengan adek
10
cerita Tika tentang si Budi dan sang biduan
11
ambulance tak kasat mata
12
ambulance jenazah
13
de javu yang mulai jadi nyata
14
hantu mbah Ijah?
15
Drama pas makan malam
16
Protes Icha
17
Icha ketakutan
18
Bertemu sahabat
19
Ribut-ribut di depan rumah
20
Belanda?
21
Icha tertangkap?
22
Bayangan kekejaman
23
keharuan Icha
24
Akan ada apa ya?
25
Dapat kiriman santet
26
Belum usai
27
Akan dimulai lagi
28
Santet ke dua
29
Bertemu pendamping
30
Kejutan setelah siuman
31
Dicekik sampai sekarat
32
Demit, kelabang, banaspati
33
Dijenguk para sahabat
34
Akhirnya boleh pulang
35
Perjalanan pulang
36
Keris senggol modot
37
Herman
38
Jadi kenyataan lagi
39
Pemakaman Herma .
40
Bayangan panther hijau
41
para sahabat pamitan
42
Insiden saat mengantar bebek
43
Indri
44
Kecemburuan aneh bu Maryati
45
Horor di perjalanan pulang
46
Dijebak makhluk gaib
47
Hampir tidak selamat
48
Kupat tahu yang mengundang tanya
49
Apa ada kaitannya, antara dua leluhur?
50
Terowongan bawah tanah
51
Tempat tinggak leluhur
52
Tujuan diajak ke dalam terowongan
53
Keterkejutan Hasan
54
Jadikan dia budakmu!
55
Kok kaya bau darah?
56
Ternyata ada yang jahil. Siapakah dia?
57
Peringatan dari Budi
58
Rampok penggali tanah
59
Tubuh bulek Rini berasap
60
Terbuai tatapan lembut
61
Setelah terbuai
62
Mobil baru
63
Curhatan Indri
64
Ada yang menanam tumbal. Siapa, ya?
65
Ternyata bukan hanya terkena sirep
66
Siuman
67
Rawat jalan
68
Penglihatan gaib tentang mbah Ijah
69
Mulai lagi
70
Penganiayaan tak berperi
71
agak mereda
72
Pertengkaran di depan UGD
73
Ribut di parkiran
74
Gangguan di kamar UGD
75
Tragedi lagi di rumah Icha
76
Bertambah lagi yang masuk UGD
77
Hasan mengesalkan
78
Serangan di ruang ICU
79
Serangan kedua
80
Indri nekad
81
Deep talk dengan bu Sari
82
Salah masuk toilet
83
Sebuah cerita dari masa lalu
84
Interogasi dan kenyataan
85
Masuk radar densus 88
86
dijenguk Budi
87
Indri masuk UGD
88
Indri meninggal
89
pulang dari rumah sakit
90
Akhirnya terungkap
91
Bulek Rini buka baju
92
Adegan tak senonoh
93
Bagai tersambar petir di siang bolong
94
Strategi Icha
95
Perbaikan besar rumah
96
Icha terjatuh dan pingsan
97
Sandiwara dimulai
98
sandiwara masih berlanjut
99
Bahasa isyarat
100
Icha mengkode Farhan
101
Sesuatu yang besar akan segera dimulai
102
Bulek Rini mulai beraksi
103
Eksekusi
104
duel maut
105
Akhirnya tertangkap
106
Peran serigala malam
107
Kejujuran
108
Terungkapnya rahasia
109
Ternyats begini aslinya
110
bencana masih belum usai
111
Bandayuda Wisarga
112
Setro paneter rogo
113
Kembali ke alam nyata
114
Kapan aa' nikahin Icha?
115
Menuju pernikahan
116
Akhirnya sah
117
Tangan kiri juga boleh
118
Sampai jumpa di cerita berikutnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!