Flashback On
Rimba menatap bunga-bunga yang berjejer di taman yang asri itu. “Putriku tak akan hidup sampai setahun lagi,” terangnya, ekspresi muram melintas di wajahnya yang bersahaja tapi tegas. “Begini, Nona Lentera. Putriku mengalami kecelakaan bersaama ibunya, dan ibunya meninggal dunia dalam kecelakaan itu, sementra Pelangi selamat namun dia tidak bisa berjalan lagi. Berbagai upaya sudah aku coba, tapi hasilnya belum menunjukan perubahan yang signifikan. Putriku sudah menyerah, dia membiarkan dirinya mati, dia tidak mau makan, jarang tidur, dan menolak keluar rumah. Aku mohon bantulah aku, Nona Lentera.”
Lentera mengembuskan napas. "Saya mengerti, Pelangi mengalami trauma, kehilangan, dan depresi dalam satu kejadian. Hal itu menjadi aspek tersulit yang memengaruhi kondisinya, karena menyedot energi dan tekad berjuang." Lentera pernah melihat hal itu dari beberapa pasiennya. “Tapi bukankah sudah ada terapis yang menanganinya?"
“Ya, saya sudah banyak menggunakan jasa terapis, tapi tidak ada yang bertahan sampai seminggu. Pelangi begitu terpuruk, dia menolak bekerja sama, dan berkata terapi hanya membuang waktu. Dokter memberitahunya bahwa operasinya sukses, tapi Pelangi tetap belum bisa menggerakkan kakinya, sehingga dia tidak lagi percaya pada kata-kata dokter. Dokter Elegi menyarankan saya menemui Anda, beliau mengatakan Anda memiliki tingkat keberhasilan sangat tinggi dalam menghadapi pasien-pasien yang tidak mau di ajak bekerja sama, dan Anda memiliki metode-metode terapi yang tidak biasa.”
Lentera tersenyum. “Jelas saja dia berkata seperti itu, dokter Elegi sendiri yang melatih saya.”
Rimba membalas dengan senyum singkat. “Tapi saya tetap yakin Anda merupakan kesempatan terakhir kesembuhan putriku. Jika Anda merasa pasien Anda yang lain lebih membutuhkan perhatian, mari ikut saya ke Jakarta untuk bertemu dengannya.”
Lentera tampak ragu saat mempertimbangkan tawaran itu, di tangannya ada tanggung jawab lain, pasien-pasien lain yang kurang beruntung yang bergantung padanya, lalu mengapa ia harus mendahulukan Pelangi? Yang notabennya ayahnya bisa mencari terapis lain yang lebih handal.
Tapi, di sisi lain, ada desakakn yang tak bisa Lentera jelaskan yang seolah memaksanya untuk menerima tawaran itu, tapi tentu saja bukan karena tawaran bayaran yang Rimba ajukan pada email yang di kirimnya.
“Pelangi anak yang luar biasa,” ucap Rimba pelan. “Deretan penghargaan balet sudah di perolehnya sejak taman kanak-kanak, bukan hanya itu. Dibidang olah raga pun dia pernah menyabet gelar juara satu lomba basket antar sekolah, sementara di bidang akademik dia juga pernah menjuarai lomba cerdas cermat. Jika kecelakaan itu tak menimpa dirinya, dua tahun yang lalu dia mewakili sekolahnya untuk ikut dalam ajang olimpiade." Rimba bercerita dalam suara yang begetar menahan tangisnya.
“Seberapa parah kecelakaan yang menimpanya?” tanya Lentera.
“Mobil yang di kendarai oleh ibunya menabrak beton pembatas sebelah kiri ruas jalan, hingga mengakibatkan kendaraannya terpelanting dan berhenti di jalur cepat. Kemungkinan ibunya membanting stir hingga akhirnya menabrak pembatas tol, kejadian tersebut terjadi di tol Jagorawi. Ibunya tewas di tempat, sementara Pelangi di larikan ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Alhamdulillah, Pelangi bisa melewati masa kritisnya, tapi dia sering mengatakan jika dia tidak perlu menjalani sisa hidupnya sebagai orang cacat.”
Lentera memejamkan matanya, ia membayangkan bagaimana situasi saat kejadian tersebut, pasti sngat mengerikan. “Tolong ceritakan tentang luka-luka yang dia derita!” pinta Lentera.
Rimba bangkit berdiri. “Saya membawa laporan kondisinya, lengkap dengan hasil rontgen. Semuanya ada di mobil, dokter Elegi menyarankan saya membawanya.”
“Elegi selalu saja punya cara untuk memaksanya,” gumam Lentera ketika Rimba meninggalkan taman, ia akan mengambil keputusan setelah melihat hasil rontgen dan membaca riwayat kecelakaan bocah itu. Jika menurutnya ia tidak bisa menolong Pelangi, ia akan langsung menolaknya.
Tak lama kemudian Rimba datang membawa amplop manila tebal. Ia menyerahkan amplop itu pada Lentera, lalu ia menunggu dengan sabar. Alih-alih membuka amplop, Lenyera malah mengetuk-ngetuk berkasnya dengan kuku.
“Izinkan saya mempelajari berkas-berkasnya malam ini, Pak Rimba,” ucap Lentera dengan tegas. “Saya tidak bisa hanya membaca sekilas lalu membuat keputusan. Saya akan memberikan jawaban besok pagi.”
Ekspresi tak sabar dan penuh harap berkelebat di wajah Rimba, ia mengangguk dengan cepat. “Terima kasih karena bersedia mempertimbangkannya, Nona Lentera.”
Setelah Rimba pergi, Lentera kembali pada pasiennya. Pasien yang sudah ia tangani selama dua bulan belakangan ini sudah mengalami kemajuan yang sangat signifikan, sehingga Lentera mulai mempertimbangkan pekerjaan selanjutnya, target utama selalu anak-anak yang kurang beruntung.
...****************...
Malam hari, Lentera mulai memeriksa hasil rontgen Pelangi satu per satu ke arah lampu kamarnya, ia meringis saat menyaksikan kerusakan yang dialami tubuh bocah yang di kenal aktiv itu.
Hasil rontgen yang diambil setelah operasi berjalan sukses, tulang-tulang mengalami kesembuhan lebih baik daripada seharusnya, sendi-sendi tulang kembali tersambung, logam penjepit dan penyangga tulang berhasil merekonstruksi tubuh bocah itu dan menyatukannya kembali.
Lentera melihat tidak ada kendala fisik yang menghalangi Pelangi untuk berjalan kembali, saraf-sarafnya tidak mengalami kerusakan sepenuhnya. Saat ia membaca laporan yang ditulis oleh dokter, ternyata kemajuan terkendala karena minimnya keinginan pasien bekerja sama dan keterpurukan pasien karena depresi, serta trauma.
Setelah mempelajarinya secara teliti, Lentera menyatukan semua berkas, dan memasukkan kembali semuanya ke amplop. Seketika ia menyadari di dalam amplop masih ada sesuatu, sehelai kertas kaku yang tak ikut muncul ketika ia mengeluarkan berkas. Lentera mengeluarkan kertas itu dan membaliknya. Ternyata bukan kertas biasa, melainkan foto.
Lentera tertegun saat memandang mata bening yang begitu cantik, mata yang seakan bersinar dan menari-nari oleh kegembiraan hidup. Lentera langsung bisa menebak jika foto tersebut adalah Pelangi Jingga Cakrawala sebelum mengalami kecelakaan. Rambut hitamnya di cepol rapih, wajahnya tersenyum lebar. Pelangi mengenakan pakaian balet sembari memegang piala berukuran besar.
Tiba-tiba saja Lentera terkejut mengetahui reaksinya saat menatap foto itu, tanpa sadar Lentera menggerakkan telunjuknya, menyusuri garis luar wajah Pelangi. Batinnya bertanya-tanya seperti apa hidupnya jika ia bisa menikah dan memiliki anak secantik dan memiliki segudang prestasi. Rasanya itu hanya mimpi untuk Lentera, kehangatan sebuah keluarga tidak di ciptakan untuknya.
Kekosongan yang menganga di hidupnya karena ketiadaan cinta akhirnya terpaksa diisi dengan kepuasan terhadap profesinya, yang ia terima dengan suka cita karena membantu orang lain terlebih anak-anak yang kurang beruntung.
Lentera boleh saja menatap kagum foto Pelangi, dan menikmati khayalan-khayalan yang tercipta andaikata dia bisa memiliki seorang anak, tapi anak itu bukanlah anaknya.
Berkhayal hanya membuang waktu karena Lentera tahu ia tidak akan menikah, jadi dia tidak akan punya anak. Ia memilih untuk mulai membuat rencana program terapi, meski tentu saja ia takkan bisa memutuskan rencana konkret, ia butuh persetujuan Rimba selaku ayah kandung Pelangi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤
sesuatu yang lain mungkin kah lentera akan menjadi ibu sambung pelangi....🙄🙄
2023-09-14
4
☠ᵏᵋᶜᶟ ⏤͟͟͞R•Dee💕 ˢ⍣⃟ₛ
Kenapa Lentera tidak berkeinginan utk menikah...🤔
2023-09-14
3
☠ᵏᵋᶜᶟ ⏤͟͟͞R•Dee💕 ˢ⍣⃟ₛ
Rimba pasti sangat sedih.. anak satu2nya yg dulu hebat kini harus terpuruk...dan pasti seorang ayah akan berjuang apapun utk melihat anaknya bs bangkit dan smbuh
2023-09-13
4