Sesampainya di lantai dua, Rimba mengetuk ringan sebuah pintu kamar, lalu membukanya. Lentera seketika melihat kamar luas yang di dominasi dengan warna merah muda, ia merasakan kerongkongannya tersekat saking terkejutnya melihat seorang bocah duduk di atas kursi roda dengan mata yang tampak suram dan seolah tanpa kehidupan.
Pelangi amat sangat kurus, rambutnya kusam dan berantakan. Kulitnya pucat, tulang pipinya menonjol runcing, dan pipinya cekung.
Lentera berdiri tegak, padahal batinnya seolah retak, hancur menjadi ribuan kepingan rapuh. Tanpa bisa dihindari, ia terlibat ikatan batin dengan bocah itu, yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Lentera merasa dirinya seakan mau mati, ia tidak pernah merasakan amarah melihat ketidakadilan itu, kondisi yang mengerikan yang merampas tubuh bocah itu dan membuatnya tidak berdaya.
Penderitaan dan keputusasaan terpahat di wajah lesu Pelangi, struktur tulangnya tersingkap begitu jelas. Lingkaran hitam tampak di bawah matanya yang segelap malam.
Pelangi menatap Lentera tanpa minat sedikit pun, setelah itu pandangannya beralih pada papanya. Seolah Lentera tidak ada. “Papa dari mana saja?” tanya Pelangi dengan sedih.
“Papa habis menjemput Kak Lentera, sayang,” sahut Rimba, suaranya begitu hangat ketika ia berbicara dengan putrinya.
“Papamu begitu ngotot, sayang.” Senja mengembuskan napas sambil berjalan ke sebelah cucunya. “Dia sudah mempekerjakan terapis baru untukmu. Namanya Lentera Bintang...."
“Lentera Bentang Nirbatas,” Lentera mengoreksi namanya.
Pelangi kembali mengarahkan pandangan tak acuhnya pada Lentera dan mengamati wanita itu tanpa berkata sepatah pun. Lentera tahu apa yang Pelangi lihat, untungnya ia mengenakan pakaian santai agar menciptakan kesan bersahabat pada Pelangi dan gadis kecil itu mau bekerja sama dengannya.
Setelah keheningan panjang, Pelangi menggeleng lambat-lambat sebagai isyarat penolakan terhadap Lentera. “Tidak perlu, Pah. Suruh saja dia pulang, aku tidak ingin terapi."
Lentera melirik Rimba sekilas, lalu maju, mengambil alih situasi dan memaksa Pelangi berfokus padanya. “Aku sedih melihat kesanmu padaku seperti itu, Pelangi,” ucap Lentera dengan lembut. “Tapi aku akan tetap ada di sini, karena aku sudah menyetujui kontrak kerja sama, aku tidak ingin terkena denda karena membatalkan kontrak itu secara sepihak."
“Kau tidak perlu membayar denda, Papaku tidak akan memintanya," gumam Pelangi, lalu memalingkan wajah dan kembali menatap ke luar jendela.
“Wow kamu sungguh anak yang sangat baik, tapi sayangnya kontrak itu begitu mengikat dan sah, jadi sulit sekali untuk dibatalkan. Sederhananya, kontrak itu menyatakan aku dipekerjakan sebagai terapismu, dan akan tinggal di rumah ini sampai kamu bisa berjalan kembali.” Lentera membungkuk dan menumpangkan tangannya di lengan kursi roda Pelangi, mendekatkan wajahnya ke wajah bocah kecil itu dan memaksanya mengalihkan perhatian kepadanya.
“Satu-satunya cara agar aku segera bisa keluar dari rumah ini adalah kau berjalan sendiri ke pintu dan membukakannya untukku," ucap Lentera.
"Anda bertindak keterlaluan, Lentera!” seru Senja dengan tajam, matanya yang menyipit dikuasai amarah. Dia mengulurkan tangan dan menyingkirkan tangan Lentera dari kursi roda cucunya. “Cucuku sudah mengatakan dia tidak ingin kau di sini.”
“Maaf sekali Nyonya, tapi ini tidak ada hubungannya dengan Anda. Di kontrak itu hanya ada aku dan Rimba selaku Papanya,” sahut Lentera, suaranya masih lembut.
“Tentu saja ada! Aku Eyangnya. Kau pikir aku akan begitu saja mengizinkanmu pindah ke rumah ini? Tentu saja tidak. Jangan-jangan kau malah berpikir kau mendapatkan tempat tinggal gratis di sini!”
“Tentu saja tidak! Aku akan membuat cucu anda bisa berjalan kembali Desember ini, dan dia bisa ikut pentas balerina pada bulan Februari mendatang. Jika Anda meragukan kemampuanku, jangan sungkan memeriksa catatan profesiku. Tapi sementara itu, dengan hormat aku meminta Nyonya untuk berhenti ikut campur.” Lentera berdiri setegak mungkin dan menatap Senja tanpa gentar, kekuatan tekadnya seolah menyala di matanya.
“Kakak, kau sungguh tidak sopan dengan Eyangku,” ucap Pelangi dengan tajam.
Akhirnya! Ada respons, meskipun berupa kemarahan! Meski Lentera gembira karena respons tersebut, ia terus menyerang ketidakacuhan Pelangi yang mulai retak. “Maaf sekali Pelangi, tapi aku akan berbicara seperti itu kepada siapa pun yang mencoba menghalangiku memberikan terapi pada pasienku," ucap Lentera.
Lentera berkacak pinggang dan mengamati Pelangi. “Lihat dirimu, Pelangi! Kondisimu begitu menyedihkan, padahal seharusnya anak seusiamu berlari ke sana kesini, dan mengikuti latihan balet dan mengejar mimpi."
Pelangi mengerutkan keninggnya mendengar ucapan pedas Lentera. “Kau jahat, Lentera,” ucap Pelangi “Kau tidak tahu, bagaimana sulitnya bergerak saat kondisi tubuh seperti ini!"
"Semua itu bisa di latih, Pelangi. Bekerja samalah denganku, maka kau akan bisa jalan dan menari lagi. Kau akan bisa meraih mimpi-mimpimu kembali."
“Kalau begitu lambaikan saja tongkat sihirmu lalu buat tubuhku kembali berfungsi seperti semula,” ejek Pelangi.
Lentera tertawa. “Tongkat sihir? tentu tidak seperti itu, kita akan latihan sama-sama Aku pasti bisa membuatmu berjalan lagi, Pelangi. Dan kau akan bisa pentas balet lagi!!" ucapnya dengan penuh semangat.
“Tidak, kita tidak akan melakukan itu,” ucap Pelangi dingin. “Aku tak peduli kontrak seperti apa yang kau tandatangani dengan Papaku, tapi yang jelas aku tidak ingin melihatmu di rumahku. Jika Papa tak mau membayarmu sekarang, Eyang akan membayar berapa pun untuk menyingkirkanmu.”
“Aku takkan menerima bayaran apa pun, sebelum kau bisa berjalan sendiri!!"
“Terserah!!"
Lentera melihat sekeliling, matanya menemukan sebuah congklak di meja dekat jendela. Kemudian Lentera menatap Pelangi lekat-lekat. “Dengar, Pelangi!!! kita takkan mencapai kemajuan apa pun kalau terus berdebat seperti ini. Bagaimana jika kita buat kesepakatan saja? Anak-anak seumuranmu biasanya senang bermain, bagaimana jika kita adu congklak. Kalau aku menang, aku tinggal di sini dan kau setuju menjalani terapi. Kalau kau menang, aku keluar dari pintu rumahmu dan takkan kembali lagi. Jadi jawabanmu?”
Pelangi mendongak, matanya menyipit memandangi Lentera. Lentera hampir bisa membaca pikiran Pelangi, apakah bocah itu mau atau tidak menerima tantangannya.
“Jangan lakukan itu, Lentera!” ucap Senja dengan suara tajam.
Pelangi menoleh dan menatap neneknya dengan tidak percaya. “Apa Eyang berpikir dia bisa mengalahkanku? permainan itu sungguh sangat mudah, tak ada satu pun teman di kelasku yang bisa mengalahkanku dalam permainan itu." Pelangi memutar kursi roda dengan menekan singkat satu tombol. Lentera mengikuti ketika Pelangi berjalan lebih dulu ke meja dan menghentikan kursi roda di sampingnya.
“Kau seharusnya tidak memakai kursi roda bermesin.” Lentera mengamati Pelangi. “Kursi roda manual akan menjaga kekuatan tubuh atasmu. Kursi ini mahal, tapi tidak memberikan manfaat apa pun untukmu.”
Pelangi melemparkan tatapan kesal ke arah Lentera, tapi ia tidak menanggapi komentar Lentera. “Duduklah, Kak!!” ucap Pelangi sembari memberi isyarat ke meja.
Lentera menuruti permintaan Pelangi dengan santai. Ia tidak merasakan kebahagiaan atau pun bangga saat ia tahu bahwa dirinya pasti menang. Ini sesuatu yang harus ia lakukan, agar biasa membuat Pelangi mau ikut terapi.
Rimba, Senja dan Lintang berdiri di kiri-kanan mereka berdua saat mereka mengambil posisi. Lentera menghitung biji sama rata di setiap lubang. “Semuanya sudah beres, bisa kita mulai?"
Pelangi mengangguk, kemudian Rimba memberi aba-aba untuk mereka adu suit. Dalam adu suit kali ini di menengkan oleh Pelangi, sehingga dia terlebih dahulu memulai permainan.
Satu, dua, tiga.. Perlahan tapi pasti Pelangi mulai mengisi lumbungnya dengan bijo-biji congklak. Tiga menit pertama permainan di kuasai oleh Pelangi, bocah itu mulai tersenyum senang, sementara Lentera berusaha tetap mempertahankan ekspresi wajahnya tetap tenang, tidak memperlihatkan betapa gusarnya ia melihat lumbung Pelangi yang mulai penuh.
Masuk ke menit ke empat, wajah Pelangi menjadi putus asa sebab biji di tangannya telah habis semua, dan kini giliran Lentera yang memulai permainannya, ia mengeluarkan seluruh kemampuan dan strategi yang di milikinya, ia harus bisa memasukan semua biji-biji di lubang-lubang kecil ke lumbungnya karena dengan begitu jumlah isi lumbungnya melebihi milik Pelangi.
Lentera terus mengitari lubang-lubang congklak tanpa henti, karena mengetahui ia berhasil mengalahkan Pelangi, ia cepat-cepat menyelesaikan permainannya dengan mengmabil seluruh biji yang tersisa di satu lubang dan memasukannya ke lumbungnya sesuai dengan perhitungannya.
Pelangi memandangi congklak itu dengan perasaannya dan wajah Senja yang seperti terkoyak antara keinginan menghibur cucunya dan keinginan kuat melempar Lentera keluar dengan tangannya sendiri.
Lentera cepat-cepat berdiri. “Hasilnya sudah jelas,” ucap Lentera dengan santai. "Sekarang aku akan menyimpan barang-barangku di sebelah kamar ini ”
“Tidak,” potong Pelangi ketus tanpa menatap Lentera. “Bik Sore, akan menyiapkan kamar tamu untukmu."
“Tidak bisa,” balas Lentera. “Aku ingin berada cukup dekat denganmu supaya bisa mendengar jika kau memanggil. Kamar sebelah sudah memadai." Lentera beralih ke Rimba. "Bagaimana dengan peralatan dan ruang olahraga yang aku minta?"
“Peralatan khusus apa?” desak Senja.
Lentera memaparkan garis besar rencana terapi yang akan ia berikan kepada Pelangi, “Kolam renang wajib ada. Aku juga akan membutuhkan alat olahraga, sauna dan lain sebagainya. Ada yang keberatan?”
“Kau gila, Lentera. Kau ingin menyiksa cucuku!"
“Air adalah media yang sangat berguna untuk melatih otot tubuh,” papar Lentera penuh semangat. “Pelangi perlu melatih otot-ototnya agar bisa menopang tubuhnya saat berdiri dan berjalan.”
“Kau tidak boleh melakukan itu kepada cucuku!" teriak Senja.
“Silakan baca kontrakku, Nyonya. Pak Rimba sudah menyetujui semua programku.” Lentera tersenyum. “Ruang olahraga beserta alat-alatnya tercantum di sana," kata Lentera dengan jujur. “Di awal tadi aku sudah bilang, ini tidak bisa di bilang tidak menyakitkan, tapi silakan jika kau mau pertaruhkan semua uangmu untuk keberhasilan ini, Pelangi akan bisa berjalan lagi di bulan Desember dan Februari dia akan bisa ikut pentas balerina.”
Pelangi mengangkat tangannya yang kurus untuk memijat dahi, ia napak pusing dengan perdebatan eyang dan Lentera. “Bisakah kalian pergi dari kamarku? Aku ingin istirahat."
"Tentu, aku juga ingin membongkar barang-barangku." Lentera pun meninggalkan Pelangi tanpa berkata apa-apa lagi, di ikuti oleh anggota keluarga lainnya, terkecuali papanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
M⃠Ꮶ͢ᮉ᳟Asti 𝆯⃟ ଓεᵉᶜ✿🌱🐛⒋ⷨ͢⚤
ada Sore juga 🤭
2023-09-12
3
☠ᵏᵋᶜᶟ ⏤͟͟͞R•Dee💕 ˢ⍣⃟ₛ
ngotot utk kesembuhan anaknya..kenapa tidak? bahkan walaupun keujung duniapun namanya orgtua pasti ingin anaknya pulih...
2023-09-12
4
☠ᵏᵋᶜᶟ ⏤͟͟͞R•Dee💕 ˢ⍣⃟ₛ
apa artinya Kak Irma.. klu boleh tau
2023-09-12
4