The Miracle
Butuh waktu sekitar dua jam sepuluh menit untuk Rimba dan Lentera tiba di DKI Jakarta, jam menunjukan pukul 14.00 siang ketika Rimba menyetir mobil yang membawa mereka menuju hunian eksklusif di pusat kota tempatnya tinggal.
Rimba mengendarai lamborghini putih, mewah dan keren. Saat mobil yang Rimba kendarai melewati gerbang rumah bergaya American klasik, Lentera melihat rumah itu berdiri mewah dan megah. Rumah itu nampak seperti mansion. Warnanya putih dan terlihat misterius, seperti menyimpan semua rahasia di balik dindingnya, dan hanya memperlihatkan sisi depan yang megah dari balik gerbang yang menjulang tinggi.
Memasuki serambi rumah yang luas, Lentera mengira ia masuk ke taman surga. Tempat itu begitu indah dan memancarkan kedamaian. Lentera masih terdiam diselimuti kekaguman saat bunyi sepatu hak tinggi berketok cepat di lantai menyita perhatiannya, dan saat memutar kepala Lentera melihat wanita sekitar lima puluh tahunan. Rambutnya hitam lurus sebahu, matanya berwarna coklat teduh, romannya terlihat bagitu tegas mirip sekali dengan Rimba. Tetapi, sayang tak ada senyum diwajahnya, hal itu terlihat dari tatapannya yang tampak gusar dan marah. Lentera bisa menebak, jika wanita itu adalah Ibunda Rimba.
“Rimba!” panggil wanita itu dengan suara rendah tapi murka. “Ke mana kau selama dua hari ini? Berani-beraninya kau pergi meninggalkan Pelangi dalam kondisi seperti ini, lalu muncul lagi dengan membawa... Seorang wanita."
Lentera membuka mulut untuk memberitahu yang sebenarnya kepada wanita itu, tapi Rimba sudah terlebih dahulu menanggapi dengan halus.
“Namanya Lentera Bentang Nirbatas,” ucap Rimba sambil menatap Ibunya lekat-lekat. "Aku menggunakan jasanya sebagai terapis baru Pelangi. Dua hari ini aku pergi ke Surabaya untuk menjemputnya, kemudian terbang kembali ke sini. Maaf Mom, aku tidak menceritakan kepergianku pada siapa pun karena tidak ingin rencanaku diperdebatkan. Sekarang aku sudah resmi menggunakan jasanya, itu saja. Kurasa itu menjawab semua pertanyaan Mommy,” ujar Rimba dengan tegas.
Semburat merah menjalari pipi Senja, ia menoleh pada Lentera dan berkata terus terang, “Aku minta maaf, aku pikir kau pacar baru putraku. Dia tidak seharunya meninggalkan putrinya untuk bersenang-senang sendirian."
“Aku mengerti, Nyonya.” Lentera tersenyum. “Kalau berada dalam posisi Nyonya, aku juga akan mengira seperti itu."
Senja balas tersenyum, lalu maju mendekat ke arah Rimba. “Rimba, kau tahu kau hanya membuang-buang waktu. Pelangi tidak akan mau di terapi, dan selama ini sudah banyak terapis yang gagal membujuknya untuk terapi."
“Tidak untuk kali ini, Nyonya,” sahut Lentera dengan percaya diri.
Senja menatap Lentera tajam. “Aku tetap berpikir kau hanya membuang-buang waktu. Cucuku menolak melakukan apa pun yang disuruh terapis terakhir yang menanganinya, dan dia tidak akan terbujuk oleh rayuanmu."
“Kalau begitu mari kita coba, bisakah aku bertemu dengan Pelangi untuk membuktikannya?"
"TIDAK!" Kali ini Senja terang-terangan menolak Lentera. "Aku tidak akan mengizinkan kau membujuknya atau mengiming-iminginya dengan khayalan bahwa dia akan bisa berjalan, lalu kemudian kau memberinya terapi yang menyakitkan tapi semua itu hanya sia-sia, pada akhirnya Cucuku tetap duduk di kursi rodanya dengan perasaan yang lebih hancur dari sebelumnya."
Lentera sangat mengerti perasaan Senja yang begitu protektif pada Cucunya, sebab saat seseorang mengalami kecelakaan parah, merupakan hal lazim jika anggota keluarganya terlalu ketat melindunginya.
"Aku sudah melihat seluruh hasil pemeriksaannya, Cucu Anda memiliki banyak peluang untuk bisa berjalan kembali. Jadi tolong, beri aku waktu paling tidak enam bulan, Nyonya akan melihat Cucu Anda bisa berdiri dengan kakinya sendiri."
"Jadi selama enam bulan kau akan menyiksa Cucuku?" Senja melotot ke arah Lentera. "Enyahlah kau dari sini, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Cucuku!" bentaknya.
"Mommy tidak bisa mengusir Lentera dari rumah ini," Rimba mencoba meyakinkan Ibunya bahwa putrinya membutuhkan terapi agar bisa berjalan lagi. "Aku ingin putriku bisa berjalan lagi, mengejar mimpinya menjadi seorang balerina."
"Tapi Rimba, selama ini yang terjadi adalah para terapis yang kau bawa hanya menyakiti Pelangi, dan itu justru membuatnya semakin terpuruk dan hilang harapan. Mommy tidak ingin melihat Pelangi kembali mengurung diri."
"Aku memang tidak bisa mengatakan jika proses terapi ini tidak menyakitkan. Pelangi harus mengeluarkan segala kemampuannya untuk bisa berjalan lagi, tapi aku yakin dengan dorongan semangat dan motivasi dari kita semua, Pelangi akan bisa jalan lagi," sahut Lentera.
"Kalau kau sebegitu yakinnya hingga bisa memberi jaminan kepada kita, bahwa enam bulan lagi Pelangi bisa berjalan. Lakukan-lah!" ucap Pria paruh baya yang berjalan mendekat ke arah mereka.
Senja menoleh ke arah suaminya. "Lintang, mengapa kau setuju wanita ini menyakiti Cucu kita? Apa kau sudah tidak sayang lagi dengan Pelangi?"
"Rasa sayang yang sesungguhnya adalah membiarkan Pelangi berproses, dengan rasa sakit yang dia alami. Tugas kita semua memberikan semangat dan motivasi kepadanya," Lintang menatap istrinya lekat-lekat.
Rimba tersenyum mendengar ucapan ayahnya, ia setuju akan hal itu dan kini adalah saat yang tepat untuk putrinya bangkit “Pelangi ada di kamarnya,” ucap Rimba sambil meraih tangan Lentera. “Sebelah sini.”
“Rimba!” Pipi Senja kembali memerah karena marah. “Pelangi sedang tidur siang! Setidaknya biarkan dia beristirahat dengan tenang hingga dia turun. Kau kan tahu jika putrimu menderita insomnia, jadi biarkan dia beristirahat ketika dia bisa tidur.”
“Berapa jam putrimu tidur siang?” tanya Lentera pada Rimba.
"Setelah makan siang, sekitar dari jam satu hingga jam lima sore."
"Sebetulnya untuk anak seusia Pelangi, tidur siang cukup satu sampai dua jam saja. Jika Pelangi tidur sepanjang siang, tidak heran anak itu tidak bisa tidur malam hari," terang Lentera
“Pelangi mencoba untuk tidur, tapi biasanya kondisinya tampak lebih buruk setelah bangun dari tidurnya," sahut Senja.
“Kalau begitu, tidak masalah kan jika kita sedikit mengganggu waktu tidurnya? Toh sekarang sudah hampir jam tiga sore.” tanya Lentera, sekaranglah waktunya menunjukkan kewewenangannya sebagai seorang terapis.
Lentera memergoki bibir Rimba tersenyum, setelah itu Rimba mengarahkan Lentera ke tangga lebar melandai sambil memegang siku Lentera dengan tangannya yang hangat dan kuat.
Di belakang mereka berdua, Lentera bisa merasakan tatapan tajam Senja kepada dirinya, namun ada Lintang yang terus menenagkan istrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
stephany
aku datang,walau telat.
2023-10-03
2
M⃠Ꮶ͢ᮉ᳟Asti 𝆯⃟ ଓεᵉᶜ✿🌱🐛⒋ⷨ͢⚤
tidur siangnya lama banget, makanya malamnya gak bisa tidur 🤭
2023-09-12
3
☠ᵏᵋᶜᶟ ⏤͟͟͞R•Dee Hiatus💕
yaa iyalah gimana ga insomnia..tidur siangnya lamaa banget
2023-09-12
4