"Ehm, sudah pagi. Sakit sekali, aku sampai tertidur di lantai," Angkasa bangkit dari tidurnya, dia agak bingung, sejak kapan seragam dan bootsnya dilepas? sejak kapan dia pakai selimut?
"Apa ini Santos yang merawat ku semalam? setelah mengantarku mungkin dia langsung melakukan ini," lanjutnya. Kemudian berkata di dalam hati; kenapa dia tidak mengantar ku pada Aina? Oh ya, perempuan itu kan cuma peduli dengan Samudera.
Angkasa bangun dan pergi ke dapur, dia sangat lapar karna kemarin seharian tidak makan. Namun yang ia dapati hanyalah kecewa karena tidak ada makanan sama sekali di meja makan, kemudian dia beralih ke kulkas, namun yang menjadi objek fokusnya sekarang malah bukan makanan atau sekedar bahan makanan mentah, melainkan pada kertas yang tertempel di pintu lemari es.
cara membuat nasi goreng bawang putih.
Dia terus memandangi kertas resep itu, sejak kapan ada orang yang menaruh resep masakan kesukaannya itu di kulkas, mungkinkah Aina yang sengaja belajar? ini memang menu yang dia buatkan kemarin pagi.
"Gadis itu yang membuat nya? apa masakan yang dia bawakan kemarin adalah ini?"
"Loh, Kak Asa!" Suara tinggi nyaring datang menyapa Angkasa dari belakangnya. "Kakak sudah bangun? Maaf ya Kak, Aina tidak sempat buatkan sarapan, Aina telat bangun Kak, Aina buatkan Kakak kopi sekarang ya."
Suara itu memecah lamunan Asa, dia berdiri du muka pintu dapur, untuk pertama kalinya mata jelitanya tiba-tiba berkantung, dia terlihat agak lelah. Angkasa mengerutkan dahi dan memandang istrinya dengan menyipit, ingin sekali rasanya ia meminta dibuatkan nasi goreng oleh Aina seperti kemarin, tapi melihat keadaan istrinya sekarang, jadi tidak tega menyuruhnya membuat makanan, Angkasa berpikir harus memberikan sang istri waktu istirahat.
Mungkin tugas kuliahnya sedang banyak. Pikirnya
"Tidak apa, tidak perlu, saya mau mandi sekarang, saya sudah telat ke markas." Kata Angkasa, dan langsung pergi meninggalkan Aina. Namun ada yang menghentikan langkahnya, masih ada hal yang lupa ia sampaikan pada Aina.
"Oh ya, kamu tidak usah lagi datang ke kantor saya, saya bisa suruh OB atau anak-anak di markas beli makan untukku di restoran seberang."
Namun Aina tidak menjawab, bahkan tidak memandangnya sama sekali. Apa dia marah? Tak ada maksud lain dari Angkasa, dia hanya mau istrinya istirahat hari ini, dia kelihatan sangat lelah, sementara Angkasa tidak mau membebani dia. Tetapi nampaknya sikap Angkasa itu telah ditanggapi lain oleh sang istri, biasanya Aina akan terus berbicara bahkan berani mengaturnya tapi sekarang jangankan menjawab, menatapnya saja tidak. Ah, sudahlah, ia harus mandi sekarang.
...****************...
"Tidak apa apa Aina, tidak apa apa. Ini tidak menyakitkan sama sekali kok. Kak Asa masih kesal karena ulah kamu, mungkin kemarin Kak Asa malu, Aina datang ke markas." Aina menggumam, setelah Angkasa meninggalkannya.
Dia sudah tersenyum tapi kenapa, kenapa air matanya malah mengalir, ini semua salah kamu Aina kenapa kamu bangun kesiangan, semua salah kamu karna berharap dia mau menerima permintaan maaf kamu, Kak Asa pasti malu saat aku ke kantornya kemarin. Pikirnya frustasi.
Dihapusnya air matanya, dan kembali menghidupkan layar ponsel, menonton vidio untuk belajar membuat masakan, Aina tidak akan menyerah itu yang selalu ia tanamkan. Sejak Angkasa marah dan menjauh, entah mengapa seperti ada kepingan yang menghilang dari milik Aina.
Dia tidak mencintai Angkasa, tapi ketika Angkasa memutuskan menjaga jarak, malah merasa tidak rela.
Tanpa disadari Aina, Angkasa berdiri, meletakkan gelas minuman di meja makan, dan berjalan melintasi pintu dapur menghampiri Aina. Langkah pria itu panjang, dan gerakannya sangat tenang, prajurit angkatan udara kemungkinan belajar dari seorang kapten sepertinya. Angkasa memancarkan aura bahaya. Aura tersebut berdenyut di sekelilingnya bagaikan sinyal peringatan, namun, Aina tidak merasa takut. Tidak terhadap suaminya sendiri.
Angkasa berhenti di depan Aina dan mengulurkan tangan. Sempat ragu-ragu sebelum akhirnya menyentuh jidat sang istri. Aina tahu alasannya. Ia tahu suaminya berusaha menghindari hubungan mental di antara mereka. Ia dapat merasakan keengganan Angkasa memperdalam kontak dengannya. Namun saat ini, sikap Angkasa menghantam kegelisahan Aina.
"Kamu tidak demam, jangan lupa minum vitamin di kotak obat. Saya sudah siapkan."
Aina membelalak saat Angkasa berkata demikian, menyentuh keningnya dengan lembut, walau kenyataannya suaminya itu masih sengaja berusaha menghindarinya, membuat Aina resah.
"Aina memang tidak sakit Kak Asa," kata Aina, suara rendahnya yang baik gemuruh menari-nari di ujung saraf Angkasa bagaikan jalinan kawat yang hidup. "Tapi terima kasih Kakak mau lihat Aina lagi."
"Kamu yakin?"
Sebelah alis Aina terangkat dan sudut mulut ranumnya berkedut sekilas. "Ya. Aina yakin tidak apa-apa. Kak Asa tadi bilang sudah terlambat, kalau begitu berangkatlah sekarang. Aina sehat loh."
"Kamu bisa ke kampus sendirian?"
Aina mengangguk. "Biasanya juga begitu. Aina selalu berangkat sendirian, tapi kadang-kadang diantar papa dulu."
"Tapi saya tidak akan mengantar kamu."
"Aina tidak minta diantar Kak Asa kok," ujar Aina dan tanpa sadar melipat lengannya guna menyingkirkan bekas cipratan minyak goreng saat masak tadi. "Aina tadi suruh Kak Asa berangkat, biar tidak telat."
Setelah mendengar jawaban istrinya, Angkasa merasakan sesuatu, apakah Aina berusaha menyembunyikan sesuatu darinya. Dan melihat gerak-gerik itu, Angkasa telah menyadari itu. Tapi bagaimana dia harus menanggapinya.
"Kemarilah," kata Angkasa, kali ini meraih tangan Aina dan menariknya ke sofa panjang di ruang tengah. "Tanganmu terluka."
Jari-jari Aina gemetar dalam genggaman Angkasa selagi ingatan-ingatan tentang genggaman yang tidak terasa asing membanjiri kepalanya. Rasanya sangat mirip dengan genggaman Kak Sam saat aku kecil dulu, tangannya sangat hangat ketika menolongku saat itu. Mungkin karena Kak Asa kembarannya Kak Sam, jadi semuanya terasa sama. Bahkan sangat persis. Kata Aina dalam hati selagi mengikuti langkah Angkasa ke sofa.
Aina menggenggam tangan Angkasa erat-erat, menarik napas dalam dan memejamkan mata ketika suaminya itu mulai menempelkan krim untuk luka bakarnya.
"Kalau tidak bisa masak, tidak usah dipaksakan."
Mata Aina terbuka seketika. "Kak Asa segitunya tidak mau makan masakan Aina?"
"Tidak. Hubungan kita tidak sedekat itu sampai kamu harus berbuat begitu. Tidak untukku," ujar Angkasa lembut, meski kata itu sungguh menyakiti hatinya sendiri. "Saya bukan Sam, jadi kamu tak perlu memaksakan diri untuk menyenangkan saya."
"Kak Asa," Aina berkata pelan. Ia tidak suka tiap Angkasa membandingkan diri dengan Samudera, walaupun kenyataannya, dialah sendiri yang melakukan itu secara tak langsung.
"Sudah selesai," kata Asa kemudian sambil membereskan kotak obat. "Aku harus berangkat ke markas sekarang."
Aina mengangguk, "Terima kasih Kak Asa, hati-hati."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
sepertinya waktu kecil dulu memang tangan asa bukan sam
2024-01-28
0
Irma Herawati
itu bkn Sam tp Angkasa, yg kamu cinta Angkasa kecil bkn Sam Aina😬
2023-10-05
1
baby eunhyuk / Xoblisss
lihat kak Asa jadi ingat bapaknya dulu hehe, kak asa itu peduli tapi ketutup sama karakter dingin dan cueknya
2023-09-11
1