Stairway To Love

Stairway To Love

Prolog

Beberapa menit sebelumnya, kehidupan Bass masih baik. Dengan rasa girang karena upacara telah lewat, dia berjalan sambil mengalunkan nada lagu kebangsaan yang masih terngiang di otaknya. Senyum khas yang nyaris menyerupai Justin Bieber menemaninya menyusuri lorong sekolah yang ramai. Namun, perlu diketahui kalau kebahagiaan itu hanya berlangsung tidak lebih dari semenit. Alias kejadian buruk langsung saja menimpanya tanpa pikir panjang.

Seolah waktu tidak mengizinkan lelaki itu untuk bahagia.

Lelaki itu mendecak kesal melihat seorang siswa dengan kacamata dan bertingkah menyebalkan sedang mengarah kepadanya. Tidak lupa dia membawa seorang guru perempuan yang kerap dipanggil Bu Ani, guru fisika sekaligus guru BK yang terkenal killer. Kalau masih sempat mengejek, Bass pasti bilang kalau Bu Ani lagi membawa monyet peliharaan ke sekolah. Ups..

Tanpa pikir panjang, Bass langsung tahu apa maksud dari kadatangan keduanya. Memang susah berhadapan dengan anak cupu di sekolah itu. Bukannya menurut dengan ancaman, malah memberitahu segala seluk beluk kejadian buruk yang menimpa mereka ke guru. Mereka tidak tahu saja kalau Bass bisa melakukan hal yang lebih konyol daripada sekedar ancaman. Mungkin menggantungkan sepatu anak-anak cupu ke atas genteng sekolahan atau menguncinya di toilet sekolah yang tidak terpakai lagi.

"Sebastian Prananda!" panggil Bu Ani saat melihat lelaki itu hendak berbalik kabur.

Bass menyerah. Dia tahu kalau lari tidak akan ada gunanya. Namanya sudah dikenal baik oleh para guru karena tingkah konyol yang tidak pernah hilang dari kesehariannya. Lelaki itu kembali berbalik dan menatap tajam ke arah lelaki cupu yang mengadukan tingkah Bass. Sebenarnya tidak terlalu gawat bagi Bass, karena yang perlu dia lakukan ialah diam atau menjawab asal seperti orang aneh sampai Bu Ani malas untuk membahas masalah itu.

"Bass, Jangan pernah ganggu temen kamu! Sudah berapa kali saya bilang?"

Bastian menatap langit-langit, kemudian bergumam pelan. "Minggu ini, ibu masih bilang sekali."

"Bobi!" ujar Bu Ani seraya mengarah ke anak cupu yang wajahnya benar-benar seperti orang tidak tahu apa-apa, padahal aslinya, ada banyak rumus E\=mc² dan √a²+b² di otaknya.

"Coba jelasin kejadiannya sekali lagi sama ibu."

Bobi mengerutkan dahi sembari menengok pada Bass, dia sebenarnya tidak takut karena Ibu Ani ada di sini, di sampingnya. Namun dia khawatir kalau pulang sekolah nanti, masalahnya makin membesar. Tapi akhirnya dia cerita saja, kata hatinya biar mampus.

"Jadi gini bu! Hari Sabtu kemarin saya pulang sekolah, terus saya lihat Bass ngedorong temen satu saya kelas sampai jatuh ke pot bunga kaktus yang di depan sekolah itu. Lah bunganya rusak bu, pas saya mau kasih tau, dia ancam saya!" ungkap Bobi.

"Aw, kaktus awwww!" jerit Bass sambil menutup telinganya, mengangkat kaki kiri, seolah menganggap kaktus ialah ular berbisa yang menghampirinya. Ia bermaksud mengejek.

Bu Ani memutar bola matanya kesal, kemudian kembali menghujam tatapan paling membunuh ke arah Bastian. Rasanya tatapan Bu Ani membuat semua orang jatuh hati, sampai-sampai tidak ada yang bisa mengalihkan pikirannya sedetik saja dari wanita berkepala tiga itu. Apalagi bibirnya yang selalu dilapisi lipstick setebal papan tulis, ralat maksudnya setebal buku fisika empat ratus halaman.

"Kamu dorong siapa Bastian?" tanya Bu Ani.

"Saya bu!" tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki dari belakang Bu Ani, membuat ketiganya menoleh spontan.

"Agus?" ucap Bu Ani.

Agus masih sama dengan Bobi. Sama gaya dan pola pikirnya mungkin. Kacamata yang menandakan bahwa mereka rajin membaca, belum lagi sifat mereka yang tidak bisa diajak kompromi. Mereka-mereka inilah yang membuat Bastian menjadi bermasalah. Selalu karena mereka, walaupun memang awalnya dari Bass.

"Bastian!" pekik Bu Ani. "Ikut saya ke ruang kepala sekolah!"

Bass memutar bola matanya kesal, "Iya iya iya!"

Begitulah Bastian. Sebastian Prananda yang tidak pernah berhenti menjadi sasaran para guru sekolah. Nyaris setiap hari dia harus bermasalah. Mungkin karena hobinya yang suka mengganggu anak-anak cupu.

Baginya adalah suatu keseruan untuk bisa menggangu murid-murid yang tampangnya begitu. Sebenarnya bukan hanya Bastian, tapi teman-teman satu komplotannya. Tujuan mereka bukan tidak lebih dari sekedar bersenang-senang. Mereka bahkan tidak mengambil keuntungan lebih. Kalau dihubungkan dengan psikologi, entah masalah kejiwaan apa yang menimpa Bass dengan teman-temannya. Kalau tidak diganggu, katanya mubazir.

...♨♨♨...

Usai upacara, seorang gadis melajukan langkahnya menuju kantor kepala sekolah. Kakinya cekatan melewati tiap keramik yang tertata rapi di bawah. Wajahnya tidak berekspresi sama sekali, hanya bola matanya saja yang melirik kiri kanan dengan cepat. Sampai dia tiba di ruang kepala sekolah yang sepi.

Gadis itu mengetuk pintu beberapa kali, kemudian orang yang berada di dalam menyahut kuat. Mengisyaratkan agar dia masuk ke dalam ruangan. Gadis itu membuka pintu, masuk, dan menutupnya kembali. 

"Permisi Pak Ruben!" ujarnya.

"Anggita! Kamu memang jadi pindah?" tanya lelaki tua yang menjabat sebagai kepala sekolah itu, padahal Anggita baru sampai di ambang pintu. Rasanya Pak Ruben bisa mengeja maksud kedatangan gadis itu.

"Iya pak!" jawab Anggita. "Saya memilih ikut dengan nenek saya saja di kampung, lagian ga adil kalau Anggita ngikut Papa atau ngikut Mama."

Bapak kepala sekolah mengangguk, "Sayang sekali orangtua kamu harus bercerai begini. Dampaknya malah buat kamu!"

"Mau bilang apa lagi pak? Mungkin ini udah nasib Anggita."

"Baiklah! Nama lengkap kamu apa? Biar bapak yang bantu atur semuanya ya!"

"Difa Anggita pak! D-i-f-a A-n-g-g-i-t-a."

Pak Ruben mengangguk, kemudian tersenyum sembari mempersilahkan Anggita untuk duduk di kursinya. Beberapa saat setelah itu, terdengar ketukan dari luar ruangan, dengan suara tak kalah kuat dari ketukan itu Pak Ruben menyahut.

Masuklah Bu Ani dengan seorang siswa yang tampaknya sangat kesal. Kelihatan saja dari keningnya yang berkerut menandakan kalau dia sedang bermasalah. Sebastian.

Lelaki ini ... Gumam Anggi.

Anggita melirik kecil ke arah Bass, dia kenal betul siapa lelaki itu. Mulai dari baju yang tidak pernah rapi, dasi yang tidak pernah tercantum di baju, sampai sifatnya seperti tidak takut kepada siapa pun. Walau itu harus berurusan dengan kepala sekolah. Lihat saja gayanya sekarang, bukannya menunduk tapi malah mendongak sok jagoan.

Mulai dari SMP memang sudah begitu.

Sesaat lelaki itu membalas tatapan Anggita, membuat gadis itu kalap dan segera mengalihkan pandangan. Dia kenal Bass sudah sejak lama, tapi belum pernah sama sekali mereka berbicara bahkan untuk satu kata sedikit pun. Memang pernah, tapi itu hanya ketika Bass datang ke kelasnya untuk meminjam buku pelajaran sekolah yang tidak dia bawa, katanya lupa dan orang pelupa akan dihantam oleh Bu Sharla selaku guru mata pelajaran. Tentu Anggi tidak mau memberi, bisa-bisa hilang atau dimakan. Wajar saja, setiap hari tas lelaki itu setipis tissue.

"Ada apa ini bu?" tanya Pak Ruben sembari menatap Bu Ani dan Bass secara bergantian.

"Dia bikin ulah lagi Pak! Dia ga mempan sama peringatan dari saya!"

"Bass!" ujar Pak Ruben. "Bikin surat peringatan bu, panggil orangtuanya!"

Bastian menarik napas panjang, dia tahu kalau ujung-ujungnya begini. Tapi siapa yang yakin kalau Bass bisa mengubah sifatnya yang terkenal sebagai perusuh sekolah tingkat dewa. Kalau dihitung-hitung jumlah surat panggilan yang sudah dia terima, tidak lagi bisa dihitung pakai jari. Intinya sifatnya sudah keterlaluan.

"Pak!" panggil Anggita kuat. "Saya permisi kalau begitu."

Pak Ruben mengangguk, diikuti oleh Bu Ani. Anggita menjauh dari meja kerja Pak Ruben, kemudian menoleh sebentar ke arah Bass. Namun lagi-lagi lelaki itu melirik, membuat pikiran Anggita semakin horror.

Sesaat setelah gadis itu keluar, Bass menengok ke arah Pak Ruben. "Bikin aja surat panggilannya pak! Saya permisi!"

Bass melangkah cepat meninggalkan meja kerja kepala sekolah. Dia tidak memperdulikan panggilan Bu Ani. Langkahnya gontai meninggalkan kedua guru yang nyaris menyerah menghadapinya.

Sedang Anggi hanya bisa berjalan ketus. Sekarang pemikirannya terfokus pada satu hal, sebenarnya dia tidak ingin pindah ke sebuah tempat yang jauh dari kota. Namun, mau apa lagi. Kehidupan memaksanya untuk pasrah saja dengan apa yang terjadi.

...♨♨♨...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!