01.

...Jika dua hati bertemu, jangan pernah salahkan takdir!...

...♨♨♨...

Anggita mengerutkan dahi, perasaannya kembali tidak enak ketika sebuah panggilan membuatnya mendadak merinding. Bukan hantu. Hanya saja ini untuk pertama kalinya suara itu memanggil namanya.

"Anggita!"

Sosok Sebastian Prananda ternyata. Lelaki itu meneriakkan nama Anggi dengan kuat sesaat setelah suara pintu ruangan kepala sekolah tertutup. Anggi berbalik dan mendapati lelaki itu tengah berlari kecil ke arahnya. Di lorong yang sepi dan sunyi. Anggi mulai berpikiran lain, apa mungkin si Bass memanggilnya hanya untuk menambah satu kasus buruk di sekolah ini? Jangan sampai!

Anggi menarik napas panjang saat Bass sudah ada di depannya. Melirik kecil pada senyuman Bastian yang sangat mematikan, baik jiwa, raga, pikiran. Kalau ditambah taring, pasti wajahnya menyerupai vampir yang siap menggigit leher Anggita dengan sekejap. Menyeramkan. Tapi tidak ada alasan bagi Anggi untuk takut, selama ini masih di kawasan sekolah. Mana mungkin dia berani mengganggu Anggi. Maksudnya, Anggi itu bersikap manis, Bass tidak akan tega, iya kan?

"Apa ya?" tanya Anggi pelan, bermaksud supaya manusia yang satu itu tidak terpancing.

"Kita jalan bareng ke kelas yuk! Kelas lo di samping kelas gue kan?" kata Bass.

Anggi tidak tahu sama sekali mengapa lelaki itu tiba-tiba datang dan meminta untuk jalan bersama ke kelas. Pikirannya mulai merayap kesana dan kemari. Dia tidak ingin menjadi target kejahilan Bass yang harus membuatnya merasa terbully. Walaupun dia mau pindah, toh saja beberapa hari ke depan dia masih ada di sekolah.

Lagian siapa yang tidak kenal Sebastian Prananda. Siapa saja bisa menjadi korban kejahilannya. Tidak kenal korbannya itu anak DPR atau anak tukang sapu, semua dia ganggu. Yang menjadi tipenya memang hanya anak-anak cupu, tapi setiap ada anak lain yang tidak mengenakkan hatinya, pasti langsung diterkam juga. Jadi jangan tanya kenapa orang-orang yang menjadi temannya hanya orang yang sejenis. Alias jenis manusia aneh yang hobi bersenang-senang di atas penderitaan orang.

"Lo ga lagi bikin gue jadi target kejahatan lo kan?" Anggi menaikkan sebelah alisnya.

Bass tertawa kecil, "Lo ga bakal bisa baca pikiran gue. Lagian ngapain gue ganggu lo? Lo kan anak baik-baik nih!"

Anggita memutar badannya kemudian mulai berjalan diikuti dengan lelaki itu. Dia mulai melayangkan pikirannya ke Sebastian. Sebenarnya dia tidak mau berurusan dengan lelaki itu. Siapa juga yang mau? Semut saja tidak akan mau.

Seputar soal Sebastian, yang terbesit di otak Anggi saat mendengar nama itu ialah sebuah kenakalan yang tidak terbatas. Tidak ada kata kapok di benak lelaki itu, sampai banyak orang yang berpikir kalau hatinya terbuat dari besi dilapis baja, dilapis besi lagi, dilapis baja lagi. Sejak SMP Anggi mengenal lelaki itu. Kelasnya selalu berdampingan dengan kelas Bass. Walaupun mereka belum pernah satu kelas, tapi Anggi bisa tahu jelas bagaimana kelakuan Bastian.

"Lo itu Anggita kan?" Bass menoleh pelan ke arah gadis itu.

Anggi mengangguk tanpa melirik sedikit pun. "Iya."

"Kita kenal dari SMP, tapi ini the first time gue ngobrol sama lo." kata Bass sembari kembali memperhatikan langkah yang dilaluinya.

Anggi tidak menyahut. Dia masih terganggu akan kedatangan Bass yang seperti hantu. Tidak diundang. Mana mungkin hanya karena mereka saling bertatapan di kantor kepala sekolah tadi. Atau mungkin karena Bass merasa terganggu? Ya mungkin saja. Pemikiran ini jujur membuat Anggi bergidik ngeri. Bisa-bisa saja nanti dia yang akan jadi sasaran utama Bass.

Jangan sampai terjadi. Anggi ingin menikmati suasana sekolah di perkotaan dengan damai sebelum dia pindah saat libur semester ganjil ini. Sebelumnya dia belum pernah tampak bermasalah di sekolahan. Dan dia juga ingin begitu sampai hari terakhir dia harus ada di kota. Tinggal seminggu lagi sebelum akhirnya pembagian laporan hasil belajar.

"Gini gini gue juga selalu ngehindar biar ga bermasalah sama lo." balas Anggi dengan sinis. Terang-terangan menyampaikan kalau dia tidak ingin berteman dengan Bass. Siapa juga yang mau? Sudah dibilang tadi, semut saja tidak akan mau.

Bass tertawa kecil kemudian mengikuti Anggi saat berbelok di tikungan menuju lorong yang membawa mereka ke deretan kelas. Masih belum tahu apa motif lelaki itu menghampiri Anggi. Seolah rasa ingin tahu Bass muncul kemudian pergi menguntit gadis itu.

"Lo juga pendiam banget." ucap Bass.

"Karna lo belum tau aja sifat asli gue." Anggi berhenti kemudian menatap lelaki tinggi itu. "Lagian ngapain sih lo sok akrab gini?"

Bass ikut berhenti dan membalas tatapan Anggi tak kalah tajam. "Nyantai! Gue cuma mau akrab aja."

"Kalau lo coba nindas gue, lo ga bakal bisa!" kecam gadis itu sembari melakukan langkahnya dengan cepat, bermaksud untuk meninggalkan Bass yang sebenarnya membuat Anggi takut sekaligus naik pitam.

Bastian mengikuti irama langkah Anggi sehingga dia bisa menyamai posisinya dengan gadis berambut sebahu itu. "Oh iya! Lo ngapain tadi di ruang Pak Onsu?"

"Pak Ruben.." ralat Anggi, dia tahu kalau Bass sengaja mengganti nama yang kebetulan sama dengan nama selebriti.

"Gue kira lo ga nyimak." lanjut Bass.

Anggi menghiraukan Bass kemudian semakin mempercepat ritme kakinya. Sayangnya lelaki itu tetap bersikeras untuk berjalan bersama dengan Anggi, membuat gadis itu harus pasrah dan diam saja sampai dia tiba di depan kelasnya yang cukup ramai. Beberapa orang memperhatikan mereka, dan semua berpikir dengan pola yang sama. Yaitu Anggi menjadi korban kejahilan Bass.

Secepat kilat gadis itu membelok ke dalam kelasnya, meninggalkan Bass yang melongok arah gadis itu. Bass hanya bisa menaikkan bahu kemudian berjalan lagi menuju kelasnya yang tepat berdampingan dengan kelas Anggi. Namun bukannya masuk ke dalam kelas, lelaki itu memilih berkumpul bersama tiga orang sahabat jahilnya.

Kalau ke-empat manusia gila itu berkumpul, jangankan sekedar melirik, lewat dari depan mereka saja tidak berani. Gempar dunia kalau ada siswa yang berani menyapa mereka dengan artian sok akrab. Lagian siapa juga yang bersedia sebagai mangsa lezat mereka. Entah bagaimana sejarahnya mereka bisa bertemu dan membuat genk sekeji itu.

Weird n Dumb. Begitulah mereka terkenal di mata orang-orang. Nama genk paling kejam sekaligus tidak masuk akal. Dasar pertemanan mereka adalah keisengan yang diikuti oleh kebahagian.

"Bass!" panggil Dio, lelaki paling playboy di kelompok itu.

Seputar tentang Dio, dia selalu mengincar perempuan hits dalam sekolah maupun luar sekolah. Bahkan sampai ke luar kota, dia bisa meyakinkan dengan fotonya yang memang keren. Nyaris setiap hari dia jatuh hati, dan setiap hari pula meninggalkan perempuan. Kalau saja perempuan-perempuan yang sudah disakiti Dio memilih menyantet lelaki itu, tidak terkira lagi penderitaan yang ditanggungnya.

"Yo?" sahut Bass sembari duduk di pojokan teras kelas.

"Lo udah dapetin cewe yang cocok dan lo milihnya Anggi?" tanya Dio dengan dahi mengernyit.

"Bass! Berenti ngimpi!" celutuk lelaki paling heboh di sana, Jhon. "Dia itu pasti takut deketin kita yang jailnya kelewatan gini."

"Bawel lo pada! Siapa juga yang mau ngegebet dia. Gue walaupun jailnya tinggi tapi gue juga punya otak kali."

Mereka semua tergelak dalam tawa. Membuat beberapa orang yang juga masih di luar untuk menunggu guru menatap mereka takut. Namun semua kembali pada kesibukan masing-masing saat Fariz membalas tatapan mereka setajam pedang baru diasah.

"Apa lo ngeliat kaya berani aja!" pekik Fariz kuat.

Jangan ditanya lagi soal Fariz, lelaki itu memang ditakdirkan sebagai orang yang paling merasa jagoan di antara mereka semua. Walaupun memang mereka berempat sama-sama bertingkah sok hebat. Itulah salah satu alasan kenapa anggota genk itu tidak bertambah banyak. Tidak ada yang berani dan tidak ada yang mau sebagai siswa sok jagoan, yang tiap hari kerjanya keluar masuk ruang BK.

"Jadi kenapa lo jalan bareng sama dia?"

Bass mendecak kesal, "Maksud lo jalan bareng itu ga bisa?"

"Bukan mau lo jadiin korban kita kan? Gue belum mau keluar sekolah ini Bass, gue belum mau!!!" mendadak Fariz menjadi serius sekali. Matanya hampir keluar dan urat lehernya muncul.

"Ngaku jagoan tapi takut keluar! Gimana sih?" desis Bass.

Fariz memutar bola matanya karrna kesal, dia benci kejagoannya diragukan. "Yakali takut, gue cuma bilang kalau gue butuh waktu buat ngabisin waktu di sekolah."

"Buat cewek? Psstt cewek!" goda Dio saat melihat beberapa orang gadis lewat dari seberang lorong.

Sekejap mereka berlari terbirit-birit dan mengundang gelak tawa keempat anggita genk weird n dumb itu. Memang mereka keterlaluan dalam urusan mengganggu anak-anak. Hampir semua siswa berprinsip untuk tidak bersangkutan kepada salah satu dari mereka berempat. Ada juga yang setiap waktu berharap agar mereka keluar dari sekolah. Namun ternyata belum terwujud sampai saat ini.

...***...

Anggi berjalan dengan wajah kesut menuju mejanya yang terletak di urutan ketiga dari depan dekat dinding. Tampak sahabatnya, Gladys sudah menunggu di sana. Gladys tidak kalah kesut dari Anggi. Keduanya dipertemukan sejak awal masa orientasi siswa dan mendengar kabar kalau mereka harus berpisah sebentar lagi.

Mulai dari kelas sepuluh sampai sekarang, hari-hari akhir menikmati kelas sebelas masa SMA. Keduanya cenderung pergi kemana-mana bersama. Banyak yang bilang kalau mereka itu roti dan selai, tidak melengkapi kalau salah satunya tidak ada.

"Gimana? Lo jadi pindah?" tanya Gladys saat Anggi duduk di kursinya.

"Jadi!" jawab Anggi.

"Harus ya lo pergi ninggalin gue? Lagian tinggal satu setengah kok kita SMA, lo malah pindah."

"Ya justru karna itu lama, jadi gue bingung harus ngikut nyokap atau bokap Glad!" Anggi menyibakkan rambut ke belakang.

"Ya emang mesti ke kampung? Di sini enak kali, lah lo malah nyari susah."

Anggi tersenyum renyah. Dia memang mengakui kalau kehidupan di desa jauh lebih susah daripada di kota. Mungkin akan susah kalau dia membutuhkan barang yang hanya bisa didapati di kota. Jauh dari sahabatnya dan harus pergi meninggalkan kenangannya di sekolah ini. Bukannya menyalahkan orangtuanya yang berpisah juga, tapi dia cukup kesal kalau harus menderita di balik ini semua.

"Lagian Oma butuh gue di kampung! Semenjak kakek meninggal, kasian Oma harus sendiri." Anggi menarik napas dan mengembuskannya kuat.

Beberapa detik setelah dia menenangkan diri, tiba-tiba dia teringat kejadian tadi. Saat Bass mengikutinya dan itu ialah kali pertama Bass berbicara langsung kepadanya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari tempo sebelumnya. Dia kini tidak bisa tenang mengingat itu.

Anggi melirik ke arah Gladys yang sekarang sibuk dengan handphone. Dia tidak mau mencetitakan hal ini pada Gladys. Ujung-ujungnya hanya akan membuat sahabatnya itu takut dan khawatir. Namun jantung Anggi memang tidak bisa diahak kompromi. Terus berdetak kuat seolah akan meledak dalam hitungan detik. Jujur, sekuat apapun dia mencoba untuk tetap tenang, pikirannya belum bisa berhenti memikirkan tingkah Bass tadi.

"Glad!" panggil Anggi dan menoleh ke Gladys.

Yang dipanggil melirik, "Apa?"

"Guru ga masuk ya?" tanya Anggi sambil melongok ke murid-murid yang sedang asik duduk di luar kelas.

"Yakali guru pada masuk. Setau gue ya, kalau seminggu sebelum libur itu pasti guru sibuk ngisi nilai. Paling di kantor."

"Jadi ga masuk gitu?" tanya Anggi lagi.

"Engga Anggita! Emang kenapa sih?"

Anggita kemudian melirik ke arah pintu, "Yaudah gue ke toilet sebentar ya!"

Dengan cepat gadis itu sudah sampai di depan kelas. Di sebelah kanan terlihat jelas anak genk jahil yang sibuk ngobrol hal yang pasti tidak jelas. Anggi tahu betul itu, karena dia memang sering menguping lewat jendela yang paling dekat dengan selasar kelas sebelah.

Yang mereka bicarakan selalu tidak jauh dari kasus anak cupu dan tertawa menikmati waktu tanpa takut kalaupun ada guru yang lewat. Kadang Anggi juga ingin bersorak mengagumi mereka yang hidupnya nyaris seperti tak bermasalah. Walaupun setiap hari tampak jelas dimana letak trouble mereka dengan Bu Ani.

Tapi, menghadapi mereka, seolah Bu Ani yang jadi bermasalah. Mereka tampak biasa saja, sedang wanita itu stress.

Anggi terdiam. Sebenarnya dia ingin lewat dari depan mereka untuk sekedar mengetest. Kalau dia terganggu, berarti benar kalau dia akan menjadi target jahil mereka. Kalau dia dibiarkan pergi, berarti dia hanya bawa perasaan saja. Tapi ketika melihat Fariz dengan wajah sok keras, dia mengurungkan niat.

"Idih!" gumam Anggi.

"Apanya yang idih?" suara seseorang tiba-tiba mengejutkan Anggi.

Gladys sudah ada di sampingnya. Tampak gadis itu sedang mengikuti arah pandang Anggi dari tadi. Dan dia menemukan objek yang dilihat sahabatnya itu. Dengan mata bulat dia menukik pandangan pada Anggi.

"Sebastian Prananda? Oh God! Lo lagi ga mimpi buat deketin dia kan Anggi?"

"Apaan sih?" decak Anggi sewot. "Enak aja! Gue ga punya gangguan kejiwaan kali! Ga mungkin gue deketin dia, sama aja gue cari mati."

"Lah jadi ngapain lo liatin dia? Jelas lo bukan liatin Dio, Fariz, sama siapa tuh namanya yang satu lagi? Komeng ya?" Gladys terkekeh geli dengan joke yang dia buat sendiri.

"Jhon kali! Nama bagus gitu!" Anggi juga ikut tertawa.

"Ya jadi ngapain lo liatin dia kaya gitu? Atau lo diganggu?"

Anggi menggeleng kemudian melirik kiri kanan untuk memastikan bahwa semua orang sibuk pada urusan masing-masing dan tidak ada yang menyimak mereka.

"Jadi gini Glad! Tadi gue ke kantor kepala sekolah buat ngasih kabar soal pindahan gue. Trus si Bass masuk sama Bu Ani. You know lah kalau dia ga pantes lagi berurusan sama Bu Ani alias harus ditangani langsung sama Pak Ruben. Nah trus waktu gue keluar, dia ikutin gue dan ngajak gue jalan ke kelas bareng. Apa gue ga takut coba?" jelas Anggi dengam cepat.

"Lah terus lo baper?"

"Bukan baper! Tapi gue ditanyain gitu. Gue takut kalau gue dijadiin target jahil selanjutnya. Jijik banget gue, mending disuruh bersihin toilet tiap hari daripada diganggu sama bocah model gituan. Yakali mau diganggu, diliatin aja gue kaya udah mau mati."

"Gi!! Anggi lo—"

"Dan satu lagi nih ya, dia itu kan super jahil dan ga ngenakin banget. Jijik kalau berurusan sama dia. Udah tingkah kaya anak berandalan, ga ada kerapian, gimana coba? Halah! Cocoknya dia diulek terus dibuat jadi sambel buat dikasihin sama tukang kantin. Sayangnya gue ga mau lah ya, amit-amit deh. Semoga aja dia lagi lupa bawa otak jadinya, lupa sama gue."

"Anggi udah dong Gi—"

"Trus nih ya!" potong Anggi. "Dia itu kan anak paling dijauhin. Gimana kalau gue jadi korban dan gue juga ikut dijauhin? Syukur gue mau pindah! Tuh cowo ga bener! Perlu dibasmi pake pestisida. Btw muka lo kok gitu sih Glad kaya nahan boker aja?" Anggi mengamati wajah Gladys yang merah seperti kehabisan napas.

Gladys menunjuk ke arah belakang Anggi.

"Emang gue ga bener!" sahut sebuah suara.

Anggi membulatkan matanya. Suara Bass terdengar jelas di kupingnya dan dia tahu kalau semua orang kini tidak berkutik. Pasti karena Bass ada di sana. Mendadak Anggi ingin memutar waktu.

Anggita butuh pintu ke mana saja milikbDoraemon.

"Ternyata bener ya kalo lo itu ga pendiem. Cocok nih!"

...♨♨♨...

Terpopuler

Comments

•°ꫀꪜꪖ°•

•°ꫀꪜꪖ°•

Jalan ceritanya bikin penasaran

2023-08-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!