...♨♨♨...
Anggi menggeliat malas di tempat tidurnya, kemudian membuka mata lebar-lebar dan menyadari kalau dia ada di rumah Oma. Gadis itu memakai baju tidur panjang dan selimut dua lapis. Dia ingat kalau kemarin malam dia berjalan-jalan di desa dan kedinginan ketika sampai rumah. Dia menyesal menyangkal perkataan Oma kalau udara di desa memang menusuk kalau malam tiba, apalagi pagi.
Anggi bangkit dan menuju jendela kemudian membukanya lebar. Menarik napas segar yang menyeruak dari luar ruangan. Sekarang Anggi mengerti mengapa Oma tidak akan kuar bangun pagi-pagi untuk memasak sarapan. Udara dingin ini begitu menyiksa sampai-sampai untuk bangkit dari tempat tidur saja susah.
Gadis itu melipat selimut dan segera melesat menuju ruang tamu. Dia melihat Oma duduk sambil merajut sebuah syal berwarna biru mudah. Nenek tua itu terlalu fokus sampai kacamata yang dia gunakan melotot ke pertengahan hidung.
"Pagi Oma!" sapanya dengan riang sambil duduk di samping wanita berkeriput itu.
"Kamu udah mandi?" tanya Oma pelan.
"Belum! Dingin soalnya!" desis gadis itu.
"Mandi sana! Kamu harus terbiasa kalau harus mandi pagi-pagi. Kan kamu mau sekolah disini. Mana mungkin kamu pergi sekolah ga mandi."
"Tapi Oma, ini kan libur!"
"Anggi!" Oma menatap cucunya dengan seksama. "Kamu harus terbiasa. Oma ga mau kamu ga bisa beradaptasi dan ninggalin Oma sendirian lagi."
Anggi tertegun. Dia menatap raut wajah Oma dengan dalam. Keriput wajahnya menyiratkan usia yang sudah terbilang banyak. Kalau dibandingkan dengan Anggi, pasti beda jauh. Gadis itu jadi berpersepsi agar menjadi orang yang tidak merepotkan Oma. Dia harus paham.
"Kalau gitu Anggi mandi ya Oma!" ujarnya kemudian.
Gadis itu melangkah menuju kamarnya. Meraih handuk dan pakaian baru, kemudian berjalan ke kamar mandi yang terletak di samping dapur. Dia mengguyur tubuhnya dengan cepat, menyikat gigi, dan berusaha sekilat mungkin untuk menyelesaikan acara mandi ini. Benar-benar dia tidak tahan lagi sangking dinginnya.
Walaupun matahari menyingsing lewat celah jendela dan menandakan kalau diluar ada kehangatan, hal itu tidak membuat Anggi berniat untuk berjemur keluar. Lagian dia ingin menemani Oma merajut sampai mana wanita tua itu bisa sambil menunggu rantang yang akan diantar.
Anggi mengambil tempat di samping neneknya, kemudian dengan cepat dia membuka handphone. Dia hampir lupa mengabari Gladys, kalau saja dia tidak mengabari gadis itu, maka Glad bisa-bisa mengamuk tidak jelas. Dia pasti sangat rindu, walaupun mereka tidak bertemu masih satu hari.
"Glad!"
—Anggita.
"Oi?"
—Gladysss.
"Gimana kabarnya?"
—Anggita.
"Baik! Lo gimana? Suka ga
tinggal di kampung?"
—Gladys.
"Suka!"
Oma bisa gantiin sosok Papa sama Mama."
—Anggita.
"Bagus deh!
Kapan main kesini"
—Gladys.
"Belum tau nih!"
—Anggita.
Anggita menatap layar ponselnya dengan perasaan bersalah. Dia paham bagaiman Gladys ingin bertemu dengannya. Gadis itu segera menutup matanya sekilas, dia membayangkan kalau Glad sekarang memikirkan bagaimana caranya menyelesaikan masa SMS sendirian.
"Oma!"
Tiba-tiba teriakan seseorang dari luar rumah membutanya membuka mata dengan cepat. Samar-samar dia tampak tidak asing dengan suara itu. Suara lelaki remaja yang sangat bersemangat.
"Keponakan Tante Helen, yang suka bawain Oma sarapan!" kata Oma.
"Biar Anggi yang ngambil ya Oma!" balas Anggi sembari bangkit.
Anggi meletakkan hp dia atas meja. Gadis itu melenggang santai menuju ambang pintu. Kemudian memutar knop dan membukakan pintu. Menatap lurus dan mendapati seorang lelaki di hadapannya.
Sebastian Prananda.
Lelaki itu adalah Bass, menatap ke arah Anggi dengan tatapan melongo. Sama dengan Anggi, dia juga tak kalah heran ketika melihat Bass berdiri di depannya dengan rantang di tangan. Anggi mencoba menyadarkan diri, ini pasti mimpi.
Mimpi.
Mimpiiiii..
Mimpiiiiiiiii...
"Anggi?" Bass mengerutkan dahinya.
"Bastian?" balas Anggi setelah Bass.
Mereka berdua saling terpaku dan saling tidak menyangka, mereka bertemu disini. Dan bukan mimpi.
"Bass, udah datang!" Oma keluar dari rumah dan tersenyum ramah pada lelaki itu. Kemudian dia mengganti arah pandang ke Anggi, dia memasang wajah heran sedang Bass mulai tersenyum menyambut Oma.
"Oma!" sapa Bass. "Jadi ini cucu Oma?"
Oma menoleh pada Anggi, "Iya! Ini Difa, tapi orang lebih sering manggil Anggi!"
"Difa Anggita!" ujar lelaki itu.
Bass tertawa kecil dan Anggi menunduk malu. Dia masih berpikir keras mengapa ada Bass disini? Apa lelaki itu mengikutinya? Dan kenapa Oma tampak sangat akrab dengan lelaki itu?
"Oh iya Oma! Ini rantangnya!" Bass memberikan rantang kepada Oma.
Wanita tua itu bergegas masuk dan meninggalkan Bass dengan Anggi. Sedang Anggi masih belum bisa bertanya. Di kepalanya terngiang ingatan soal Bass. Bass, lengkapnya Sebastian Prananda. Lelaki yang kemarin menemuinya sesaat setelah dia keluar dari kantor Pak Ruben.
Tak jauh pemikiran dengan Bass, dia juga bingung. Dia tidak menyangka kalau cucu Oma yang diceritakan selama ini adalah Anggi.
"Lo pindah kesini?" tanya lelaki itu dengan nada pelan.
Anggi mengangguk pelan, "Kalau lo kenapa ada disini?"
"Buat ketemu sama lo!" jawab lelaki itu santai. Dia bergurau.
"Kenapa kita harus ketemu?"
"Mana gue tau, tanya aja sama takdir!" Bass tersenyum miring.
Suasana pagi itu masih sejuk, angin sepoi menggerakkan rambut Anggi. Matanya beralih ke wajah lelaki yang menjawab pertanyaan dengan ngawur begitu. Bagaimana pun, dia takut. Jangan bilang kalau Bass mengikutinya sampai sini hanya karena dendam.
Tidak! Tidak-tidak! Anggi tidak boleh berpikir seperti itu. Pasti ini hanya kebetulan semata. "Jadi kenapa lo ada disini?"
"Gue udah jawab!" Bass menaikkan sebelah alisnya. "Buat ketemu sama lo."
"Jangan ngaco! Gue serius! Jangan-jangan lo ngikutin gue ya?"
"Engga!" tukas Bass tegas.
"Yaudah! Gue masuk dulu!" Anggi mundur perlahan namun tatapannya masih melekat pada lelaki itu.
Baiklah. Dari tatapan mata, Bass tidak memiliki wajah kejam sama sekali. Rautnya selalu menyimpan misteri dan garis-garis wajahnya menyiratkan sesuatu. Dia tampak keren dengan postur tinggi dan pas. Senyumnya manis, ya sudah pernah dikatakan. Nyaris menyerupai Justin Bieber.
Mungkin berlebihan. Namun memang begitu adanya untuk menjelaskan sedikit soal Bass. Tidak sedikit orang yang menyukainya di sekolah. Namun kalau mengulas balik apa yang membuatnya keluar masuk ruang BK, hal itu membuat semua gadis memilih kabur mati-matian daripada mati beneran di tangan jahil Bass.
"Tapi gue masih bingung kenapa lo ada disini!" Anggi kembali maju mendekat pada lelaki itu setelah nyaris menutup pintu.
Dia melirik ke sekeliling desa. Tempat yang jauh dari kita di antara ribuan desa lainnya. Dan ternyata mereka bertemu disini?
"Gue ga kalah bingung!" jawab Bass, santai.
Anggi menatap kelak itu dengan tatapan mengintimidasi. Dari setiap sudut pori sampai ke bola mata milik Bass, dia masih belum paham. Lelaki itu sudah sangat akrab dengan Oma, hal itu membuat Anggi yakin kalau Bass sudah agak lama disini. Mungkin menghabiskan masa skors di desa.
"Gue ga peduli!" ujar Anggi akhirnya, walaupun itu dusta. "Gue harap gue bisa tenang di hidup disini."
Anggi berbalik dan segera masuk ke rumah. Dia menutup pintu dengan sedikit bantingan dan bersandar di belakangnya. Gadis itu menarik napas frustasi dan akhirnya bosa menenangkan pikirannya sejenak. Dia menunduk dan mengintip lewat lubang kunci. Tidak ada siapa-siapa di teras.
Dia beralih ke jendela dan melihat ke penjuru halaman rumah. Tak Bass sedang menyusuri dengan perlahan dan membuka gerbang itu dengan cepat. Mengambil sepeda dan mengayuhnya, menjauh kemudian hilang ditelan tikungan tajam.
Anggi masih belum bisa paham kenapa ada Bass disini. Dengan secepat kilat dia melesat menuju dapur dan mendapati Oma tengah menyiapkan piring dan menata gelas-gelas.
Gadis itu membantu menyiapkan makanan pagi. Dia membuka rantang dengan hati-hati dan menyeruaklah wangi nasi goreng yang tampak lezat. Di bagian kedua ada rendang, kemudian ada sayur kangkung tumis. Benar-benar lezat.
"Oma!" panggil Anggi tiba-tiba. "Anggi boleh tanya ga?"
"Boleh dong sayang!" jawab Oma mempersilahkan. Wanita tua itu duduk di meja makan dan meraih sendoknya.
"Nama laki-laki tadi itu Bass?"
Oma mengangguk. "Iya! Kenapa?"
"Engga!" Anggi mencoba mengelak sedikit. "Dia udah lama ada disini?"
"Dia itu keponakan Tante Helen. Kalau dengar dari Helen, katanya dia itu dapat hukuman dari sekolah, jadi harus tinggal di desa. Oma juga bingung hukuman apa yang mengharuskan anak muda tinggal di desa."
Anggi mengangguk perlahan, "Jadi dia sampai kapan disini?"
"Apa?" Oma mengerutkan dahi. "Kok nanya begitu?"
"Ehhh engga kok Oma! Kita makan yuk!"
Keduanya sarapan pagi ditemani dengan alunan angin sepoi yang berhembus diluar. Dinginnya suasana mulai tergantikan dengan kehangatan yang muncul dari luar ruangan. Mentari sudah bersahabat tampaknya. Hanya saja, Bass seperti merangkak di pikiran Anggi.
...***...
Bass menaruh sepeda di depan rumah dan langsung masuk ke dalam. Dia mencari-cari dimana Helen sedang berada. Di dapur tidak, di kamar tidak, di ruang makan tidak, di kamar mandi tidak, dan di gudang tidak. Bass kemudian meledak menuju serambi belakang dan melihat Helen sedang menjemur baju.
"Tante!!!" pekiknya kuat.
Helen mengernyitkan dahi karena heran, lelaki itu tampak seperti orang yang butuh bantuan. "Apa?"
"Bass mau nanya! Jadi cucu Oma yang mau tinggal disini itu Anggi?"
"Anggi? Iya! Namanya Anggi. Emang kenapa kaya liat hantu aja!"
"Anggi itu teman satu sekolah Bass." ujarnya lagi.
"Lah jadi?" tanya Helen lagi.
"Iya juga ya!" gumam Bass pelan. "Ngapain gue jadi repot gini?"
Bass menarik napas panjang, kemudian berjalan menuju rumah tengah dengan diam. Dia bisa melihat Cleo tengah main handphone dengan santai. Lelaki itu duduk di samping Cleo dan membuat Cleo frustasi. Dia yakin kalau Bass akan membuatnya darah tinggi lagi.
"Kenapa lo duduk disini? Jauh-jauh dong!" jerit Cleo.
Bass mengernyit kesal. "Eh, lo tau ga kenapa cucu Oma itu pindah ke desa?"
"Ngapain gue tau? Emang lo itu ya, selalu aja terang-terangan ngatain kalau lo itu ga ikhlas tinggal disini!"
"Bukan gitu!" Bass menyela. "Gue cuma nanya lo tau atau engga! Itu doang kok repot."
Cleo menggidikkan bahu dan segera melenggang masuk kamarnya. Dia pusing menghadapi sepupunya yang satu itu. Mungkin karena Cleo sudah menyukai suasana desa yang ditemani semerbak wangi bunga dan udara yang segar. Jauh dari kata keributan dan polusi. Sedang Bass masih belum beradaptasi.
"Ditanyain malah kabur!" desis Bass kesal.
Dia segera meraih handphone dari sakunya. Kemudian mencari kontak weird n dumb. Sesegera mungkin dia membuat panggilan video dan disusul oleh satu persatu temannya itu.
Jika ke-empat manusia ini sudah bersatu, maka tidak ada lagi beban di pundak masing-masing. Sekarang pukul tujuh lewat dan hanya Bass yang sudah segar begitu. Lainnya masih berada di atas ranjang dan senyum-senyum seperti orang kerasukan.
"Gue ada berita!" ujar Bass.
"Apa?" seru ketiganya barengan.
"Ada temen satu sekolah kita yang pindah kesini. Tetanggaan sama tante gue." Bass tersenyum riang.
"Cewe cowo?" Dio langsung semangat.
"Cewe."
"Namanya?" tanya Fariz tidak sabaran. Dia pasti kenal, dia hampir hapal seluruhnya nama murid sekolahan.
"Anggi!" jawab Bass singkat.
"What??" pekik Dio, Fariz, dan Jhon bersamaan.
"Anggi? Anggi yang sahabatnya Gladys?" Dio meyakinkan.
"Iya! Difa Anggita." Bass mengangguk.
"Gue tau nih! Lo pasti mau deketin dia kan? Buktinya kemarin lo deketin dia habis pulang dari kantor Pak Ruben. Sekarang lo ikutin dia ke kampung!" John mengintimidasi sahabatnya itu dengan seksama.
Bass menggeleng. "Engga! Gue itu dalam keadaan terpaksa ada di kampung! Dan asal lo pada tau, gue yang duluan nyampe kesini daripada Anggi!"
"Yaudah!" Fariz menenangkan. "Intinya setelah lo tau Anggi ada disana, lo pasti deketin dia kan?"
"Ogah!" bantah Bass cepat.
"Jujur aja!" Dio memasang wajah jenaka. "Lo butuh dia buat bantuin lo ngerjain tugas-tugas fisika."
Seketika Bass terdiam. Dia baru ingat kalau dia punya tugas sekarang dan Cleo tidak bisa membantu. Nilai Cleo minim di pelajaran berhitung dan memang benar adanya kalau dia butuh Anggi. Dia harus mendekati Anggi bagaimana pun agar dia bisa langsung masuk sekolah di tahun ajaran baru dan bertemu sahabatnya.
Tapi bagaimana cara mendekati Anggi sedangkan Bass sudah terkenal begitu menakutkan?
"Cara luluhin hati cewe gimana?" tanya Bass.
"Tuh kan bener! Deketin aja!" pekiknya Jhon.
"Tanya sama ahlinya dong!" Dio menaikkan alisnya.
Bass ingat kalau kawannya yang satu itu sangat bisa diandalkan dalam masalah perempuan.
Sedang Cleo hanya bisa menguping dari pintu kamarnya. Dia bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Dia jadi penasaran bagaimans sosok cucu Oma. Apa cantik? Apa pintar?
Dengan cepat Cleo keluar dari kamar dan melesat ke luar rumah. Bass lebih fokus pada sahabatnya sampai tak sadar kalau Cleo lewat dari hadapannya. Gadis itu berlari sekencang mungkin menuju rumah Oma. Sangking penasarannya bagaimana paras Anggi yang dikatakan oleh sepupunya itu.
Dia membelok menuju rumah Oma. Mendapati rumah bergerbang hitam dan halaman yang cukup luas. Gadis itu membuka gerbang itu lalu menyusuri halaman dan sampai ke teras rumah yang selalu bersih itu. Oma selalu menyapu serambi kalau petang dan pagi. Makanya rumah itu tampak sangat bersih.
"Oma!" panggilnya dari luar.
...♨♨♨...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments