...♨♨♨...
Anggita berusaha tegar dengan membalikkan badannya. Mendadak darahnya berhenti mengalir saat menatap mata Bass yang tampak sangat menyeramkan. Benar-benar menyerupai vampir. Apalagi kerutan kecil di dahinya yang membuat Anggi yakin kalau sedari tadi —sewaktu Glad memanggil namanya— Bass sudah menyimak setiap kata dari mulut Anggi. Termasuk seluruh daftar hujatan dan ejekan yang didasari oleh kebenaran. Nasibnya semakin parah ketika beberapa orang mulai menjauh dari Bass dan meninggalkan tempat.
"Eh— Bass! Lo disini?" gadis itu tersenyum kecut, tangannya berkeringat, serasa jantungnya akan melompat keluar dari tubuhnya.
"Lo cocok jadi—"
"Jangan!" teriak Anggi kuat dengan tangan dikatupkan seperti Irang yang memohon. "Gue becanda kok tadi. Gue cuma iseng."
Bass mengernyit, dengan senyum iblis dia bertepuk tangan tiga kali. Lelaki itu memasang wajah menggoda miliknya kemudian menatap tajam ke seluruh siswa yang menonton. Mereka kabur, terbirit-birit masuk kelas. Yang bertahan hanya Gladys yang masih terpatung menatap Anggi, mana sanggup dia meninggalkan gadis itu sendiri. Jangan sampai terjadi hal yang tidak mengenakkan bagi Anggi.
"Anggi! Lo tau apa sih tentang gue sampai bisa yakin gitu ceritanya?" kata Bass sembari mendekat ke arah gadis itu. Wajah lelaki itu tampak tidak biasa, tidak seseram beberapa tempo sebelumnya.
Anggi mundur satu langkah mendekati ambang pintu. "Gue ga bicarain lo! Kenapa sih lo itu baper? Gue aja ga kenal sama lo!"
Bass menaikkan sebelah alisnya kemudian tertawa kecil, "Lo kenal sama gue. Ga ada siswa yang ga kenal sama gue."
"Ada!" ujar Anggi, kini dia mulai berani untuk mendongakkan wajahnya dan ikut membalas tatapan Bass dengan tak kalah sengit.
"Siapa?"
"Gue! Gue ga kenal sama lo, Bass!" ucap Anggi.
"Lo kenal sama gue." balas lelaki itu dengan angkuhnya. "Ga usah pura-pura ga kenal."
Anggi menarik napas panjang seraya mengangkat pandangan ke arah barisan ruang guru dan kantor BK dengan harapan yang besar kalau-kalau ada guru yang melihat keduanya sedang bertentangan disini. Tapi sepertinya belum waktunya guru keluar dan melihat, yang jadi malah beberapa orang kabur dan tidak mau melerai mereka. Pikiran gadis itu semakin berkecamuk. Seperti badai.
"Tolongin gue woy siapa aja!" batin gadis itu, padahal dia tahu tidak akan ada yang mendengar. Kalau pun ada yang bisa membaca kata hati, siapa juga yang mau menolong?
Gladys mengumpulkan niat untuk membantu sedikit, dia melangkah mendekat ke arah Anggi dan tiba di samping gadis itu saat tatapan Bass beralih kepadanya. Mengerikan. Kalau disuruh memilih bertemu dengan monster ganas dari Antartika atau Bass, jelas mereka berdua memilih bertemu monster.
"Apa lo deket-deket sama Anggi?" celoteh lelaki itu kuat membuat Gladys terkejut bukan main.
Bukannya takut, Gladys menjadi mengerti bahwa ada yang tidak beres dari Bass. Sifatnya membuat Glad kesal dan tidak tega melihat Anggi tertunduk kesal seperti itu.
"Bass! Setidaknya kita ngomongin sifat lo itu real. Bukan kaya lo yang suka nindas anak cupu trus ngarang cerita ke Bu Ani biar lo ga dikeluarin dari sekolah! Busuk lo!" pekik Glad dengan nada PURA-PURA berani.
Anggi membulatkan matanya, "Glad!"
"Biarin Anggi! Dia harus dibentak biar ga nambah jahilnya ngerjain orang!" lanjut Gladys.
Anggi menepuk keningnya kemudian beralih pada tiga teman Bass yang mulai tertarik atas kejadian itu. Mereka bertiga mengarah pada Anggi dan berhenti tepat di samping Bass. Tatapannya mendalami apa yang ada di benak Gladys dan Anggita.
"Cocok jadi korban terakhir sebelum libur nih!" Dio terkekeh.
"Korban apa? Jaga mulut lo ya Dio!" geram Glad membuat Anggi harus menahan tangan sahabatnya itu agar tidak menunjuk Dio itu. Semua tahu kalau keduanya sedang ada dalam masalah besar.
"Udah udah! Gue lagi males berurusan sekarang, ga tau deh kalau udah nanti, besok, lusa. Mungkin gue bakal ngelakuin yang lebih parah!" kata Bass seraya pergi menuju kelasnya.
Tiga temannya mengikuti Bass, sedang Anggi menarik napas lega karena mereka sudah pergi. Dia berharap kalau Bass lupa akan masalah ini dan tidak akan mengulas lagi lain waktu. Apalagi karena sifat Glad yang tiba-tiba berubah, sangat membahayakan posisi Glad juga Anggi.
"Glad seharusnya lo diem aja sampai dia nyerah ngehadepin gue." Anggi mendengus kesal, tapi sekaligus lega karena Bass sudah pergi.
"Dia ga bisa dibiarin. Lo mau diancam habis-habisan terus dijauhin orang-orang? Gue ngeliat lurus ke contoh nyata korban si Bass."
Gadis itu membalas dengan memutar tubuhnya kemudian masuk ke dalan kelas diikuti dengan Glad. Mereka mengambil yang tempat duduk dan melirik pada beberapa orang yang menatap ke arah mereka. Pasti mereka bertanya-tanya soal hantu apa yang merasuki Glad tadi. Dan terserah hantu apa pun itu, jelas hantu yang sangat berani.
"Jadi gini ya Gi, gue itu bisa kok ngehadepin si Bass. Gue yakin lo marah gitu ke gue gara-gara lo bentar lagi pindah kan? Tenang aja, selagi napas gue masih jalan, gue bisa ngehadepin dia sendiri. Apa hebatnya dia?" Gladys duduk di atas meja dan mengarahkan pandangannya kepada sahabanya itu. Anggi tahu kalau Glad hanya berlagak berani, karena aslinya Glad hanya secuil manusia yang penakut.
"Gue ga yakin, kaya gue ga tau aja lo itu siapa!"
Glad mengelak kuat, "Lo ngeraguin kemampuan gue buat lawan Bass? Dia itu kecil!"
"Kecil apaan? Dia itu tinggi!"
"Maksud gue dia itu sok jagoan tapi nyalinya ga ada. Buktinya dia diem tiap gue liat berurusan sama Bu Ani."
Anggi memukul meja, "Lo ga paham ya! Gue pergi siapa yang jadi pelindung lo di sekolah?"
Gladys terdiam. Sebenarnya dia takut juga kepada Bass. Hal ini dia lakukan seolah hanya untuk mengurangi pikiran Anggi yang jelas sekarang sedang berantakan. Belum memikirkan perceraian orangtuanya, pindah ke desa, dan sekarang si Bass datang dengan ancama pertama.
"Sayap pelindung? Yaudah gue minta maaf!" ujar Glad akhirnya.
Anggi mengangguk kemudian menerawang ke udara. Otaknya hanyut pada pemikiran yang berbeda-beda. Sangking banyaknya yang harus dia pikirkan, jadi bingung harus memikirkan yang mana terlebih dahulu.
Gadis itu kembali mengamati sahabatnya yang tetap berdiam di meja. Tatapan Glad sangat kosong ke depan. Dia tidak tega kalau harus meninggalkan Glad sendiri karena dia paham betul siapa Gladys, gadis yang tidak mau menambah teman dan susah membaur dengan lingkungan baru. Tentu kalau Anggi pergi, semua akan terasa baru bagi Gladys.
Tapi dia juga memikirkan kedua orangtuanya. Yang satu harus pergi ke luar negeri untuk bisnis dan menghabiskan waktu di rumah hanya hari Minggu. Yang satu harus pergi ke berbagai tempat untuk mengikuti team pembuatan film dalam negeri.
Hal itu yang membuat Anggi harus tinggal di desa. Daripada menghabiskan waktu untuk menunggu kepulangan ayah atau ibunya yang bercerai, lebih baik dia merawat neneknya di tempat yang jauh dari kota. Setidaknya itulah keputusan yang paling baik menurut Anggi. Kalaupun harus meninggalkan sahabatnya, kehidupan kota, dan riuk-piuk penuh keasikan.
"Anggi!" panggil Gladys pelan.
Anggi tidak menyahut. Dia tampak menatap udara yang ada di antara dirinya dan Glad.
"Anggi!" panggil gadis itu lagi.
Tidak disahut.
"Woy Difa Anggita!" ujarnya dengan sekuat tenaga.
Anggi terbelalak kaget, kemudian memasang wajah kesal pada sumber suara keras yang membangunkan Anggi dari ruang lamunan.
"Apa sih?"
"Lo kok bengong gitu kaya orang tolol?"
Anggi menggeleng, "Ga kenapa."
Gladys menaikkan bahu dan meraih handphone dari saku bajunya. Dia mulai mengotak-atik aplikasi sedang Anggi hanya diam. Kenapa semua masalah itu muncul dari satu buah masalah.
Seandainya orangtuanya tidak pisah, pasti dia tidak akan pergi ke desa melainkan Oma bisa tinggal di kota. Pasti Anggi tidak akan berpisah dari Glad. Dan yang paling parah, Anggi tidak akan pergi ke ruang Pak Ruben dan bertemu dengan Bass. Jujur, satu akar berbuah seribu.
...***...
"Sebastian!" panggil seorang wanita, Bu Ani, lagi.
Bass menoleh spontan ke ambang pintu dan melihat wanita itu berdiri dengan sebuah surat beramplop putih di tangannya. Bass mendengus kesal, lagi-lagi orangtuanya harus datang ke sekolah dan dia harus mendengar nasehat dari ayah dan ibunya sekaligus.
"Bass, lo dapat surat panggilan lagi?" Fariz menaikkan nada suaranya.
"Iya dan ini gara-gara lo salah bikin target!" katanya sebelum akhirnya berjalan cepat menuju Bu Ani.
Bass melenggang dan tiba di hadapan Bu Ani secepat kilat. Matanya menetap di surat yang belum disodorkan juga kepadanya. Kalau sudah begini, Bass mengerti maksudnya. Bu Ani masih harus menyampaikan beberapa arahan yang sebenarnya hanya dianggap angin lalu oleh Bass.
"Bastian!"
"Iya bu?" sahut Bass santai, mengundang senyum tiga sahabatnya.
"Surat ini harus sampai ke orangtua kamu dan suruh darang besok!" Bu Ani menyodorkan kertas itu kemudian Bass menerimanya.
"Bass bakal kasih kok bu! Keep calm."
Bu Ani menahan rasa marahnya. Seperti yang dikatakan Pak Ruben, kalau untuk menghadapi sejenis siswa seperti Bass yang dibutuhkan ialah kesabaran yang mendalam. Itu saja dan Bass akan luluh sendiri. Tapi sudah satu setengah tahun Bu Ani mengikuti trik yang konyol seperti itu, toh saja Bass tidak melembekkan hati.
"Kamu itu udah kelas sebelas, kamu harus tahu hal apa aja yang bisa buat kamu ga naik kelas nanti!"
Bass mengangguk asal.
"Kalau kamu ga naik kelas jadi mau apa kamu Bass?" tanya Bu Ani dengan frustasi.
"Saya bakal ngulang di sekolah lain bu. Ya sekalian ngurangin pikiran ibu dan pikiran saya!" jawab Bass.
Terdengar gelak tawa sahabatnya yang ada di sudut. Bass sengaja menaikkan nada bicaranya agar mereka bisa dengar apa saja yang dikatakan lelaki itu.
Bu Ani menggeleng pelan kemudian berlalu dari Bass. Matanya menyipit karena kesal dan tidak sabar untuk segera mendapat kesalahan Bass yang lebih fatal agar dia bisa keluar dari sekolah. Ini semua terang-terangan untuk mengusir dosa dari pikiran Bu Ani. Pasalnya, Bass ada hanya untuk membuat wanita itu naik darah dan menghujat di dalam hati.
Bass cengingisan kemudian berbalik menghadap semua orang yang ada di kelasnya. Dan dengan santai lelaki itu merobek kertas yang baru diberi oleh wanita itu menjadi empat bagian. Bass melayangkan kertas itu ke udara dan bagiannya jatuh ke lantai. Sungguh keterlaluan.
Lelaki itu tertawa semakin menggila dan membuat semua siswa bergidik ngeri. Percayalah kalau orang paling tidak tenang di sekolah adalah siswa yang sekelas dengan weird n dumb. Setiap pergi ke sekolah pasti tidak berhenti menyimpan rasa takut.
Hampir setengah dari kelas itu sudah dijadikan korban bergilir. Jadi jangan tanya kenapa mereka begitu khawatir. Mungkin yang tidak takut pada Bass hanya guru dan orangtuanya. Bass memang gila.
"Lo kok ga ngajak buat ngancam si cupu hari sabtu? Kalau lo ngajak pasti kita berempat udah belagak ngerobek kertas suratnya di depan." protes Dio.
"Halah!" Jhon mengacak rambutnya. "Namanya Bass, walaupun kertasnya dirobek pasti orangtuanya tetep dateng kok ke sekolah."
Mereka tertawa lagi. Terus tertawa sampai beberapa siswa memilih untuk pergi dari kelas karena tidak tahan akan gelak tawa Bass, Dio, Jhon, dan Fariz. Menyebalkan sekali tawa mereka itu. Lebih menyebalkan dari tawa Spongebob.
...***...
Pulang sekolah adalah satu hal yang paling menarik pikiran orang-orang. Namun beda hal dengan Anggita dan Gladys yang masih belum berani keluar kelas. Siapa tahu kalau mereka akan menantang badai kemelut setelah keluar ruangan. Mungkin saja Bass sudah menunggu dengan wajah yang tak bisa diajak kompromi sedikit pun. Mereka tidak berani.
"Sebenarnya makin kita ga berani, dia makin ganggu kita!" Anggi mencoba menguatkan hati temannya itu.
"Iya, makanya gue bilang kita lewat dari depan kelas dia, dan ngebuktiin kalau kita ga takut."
"Jadi kenapa lo ga mau keluar dari tadi?" tanya Anggi.
Glad kikuk, memang benar adanya kalau dia takut keluar kelas. Bahkan sekarang dia menyesal karena sudah menentang Bass. Dia tidak mau dipandang sebagai anak cupu yang gampang dibawahi oleh Bass.
"Yaudah Glad! Jalan aja, gue di samping lo!" Anggi meyakinkan Gladys dengan tatapan penuh arti.
Gladys mengangguk kemudian berjalan di samping Anggi. Mereka melenggang menuju kanan lorong yang akan membawa mereka ke gerbang utama masuk sekolah. Dan dengan gila mereka mencoba berjalan santai melewati selasar, hanya untuk membuktikan kepada Bass kalau mereka tidak takut.
Sesampainya di depan kelas Bass, mereka sempat melongok ke dalam kelas lelaki itu. Tapi tampaknya kelas itu sepi, hanya ada dua orang yang mengobrol di depan meja guru. Entah apa yang mereka lakukan.
"Hey!" panggil Glad ke arah keduanya.
Dua orang itu menoleh ke arah Glad, kemudian Glad menarik tangan Anggi dan masuk ke kelas itu. Sebenarnya Anggi takut kalau saja mereka berempat belum pulang dan datang ke kelas mendapati dirinya.
"Glad! Lo ngapain masuk ke sini?" Anggi memelas.
"Eh, Bass udah pulang ga?" tanya Gladys santai pada dua siswa itu.
"Udah tadi, emang kenapa? Baru kali ini ada orang yang nanyain Bass!" jawab seorang yang tengah memegang sapu.
"Nanya aja, kalian ngapain belum pulang?" Gladys sok akrab, sedangkan Anggi sedang dipenuhi rasa takut berlebihan.
"Ini, lagi lihat surat peringatan Bass yang tadi dia robek!"
"Apa?" Anggi terbelalak. "Surat peringatan dia robek? Gimana ceritanya?"
"Tadi Bu Ani ngasih terus Bass robekin. Dia emang sering gitu, ga heran." jawab gadis itu kemudian beralih pada Glad.
Gladys tersenyum picik, kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Anggi. Seketika Anggi menggeleng ngeri, perasaannya berubah tidak enak dan jantungnya menjadi kalap. Rencana yang baru dibisikkan olej Glad benar-benar di luar dugaan.
"Gue ga yakin!" Anggi merengek takut.
"Calm aja! Ikutin jalan ceritanya biar dia kapok!" Glad terkekeh seperti iblis. "Bisa minta kertasnya ga? Penting!"
Kedua teman sekelas Bass itu saling berpandangan sebelum akhirnya memilih untuk membiarkan Glad memiliki kertas itu. Sedang Anggi hanya menarik napas panjang seakan pasrah kalau hal buruk akan terjadi pada mereka.
Mereka berdua jalan menuju luar ruangan dan melanjutkan perjalanan ke arah gerbang. Banyak siswa yang masih mengobrol di sana dengan wajah riang masing-masing. Tampaknya hanya Anggi yang takut. Di balik niatnya untuk membuat Bass lupa akan masalah ini, datang lagi si Glad yang membuat masalahnya akan semakin panjang.
"Ga bakal ketahuan!" kata Gladys lagi.
"Kalau ketahuan gimana? Bass itu kan anak orang kaya, pasti gerbangnya punya cctv."
Gladys tergelak dalam tawa, "Ini kan surat panggilan. Ya siapa yang ngasih ke orangtua dia, dia ga berhak marah dong!"
Anggi menggigit bibir bawahnya. Kakinya tidak bisa berhenti memainkan pasir yang ada di bawah. Serta tangannya tidak bisa berhenti bermain antar jari jemari. Jujur dia takut kalau kerjaan mereka hanya akan memperburuk suasana.
...♨♨♨...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ani
Janggal tapi menarik.
2023-08-28
0
Mecca
Gilaaa ceritanya!
2023-08-28
0
PetrolBomb – Họ sẽ tiễn bạn dưới ngọn lửa.
Jadi terinspirasi untuk menulis sendiri.
2023-08-28
0