...♨♨♨...
Bass memarkirkan mobil hitam mengkilap miliknya di halaman rumah yang luas. Sesaat setelah dia turun, seorang wanita menyambutnya ramah dengan senyum yang tak hilang dari wajah. Wanita itu adalah Sarah, ibu Bass yang mukanya tampak sangat keibuan dan manis. Mata Sarah menampilkan kasih sayang yang terang-terangan, terlihat saat dia setia menunggu Bass pulang dari sekolah.
Bastian menghampiri Sarah kemudian berjalan masuk bersama. Mereka masuk ke dalam rumah besar bercat putih bersih. Suasana ruang tamu begitu megah namun hening. Kesunyian memang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Bass, maka untuk itu dia memilih untuk berteman dengan orang-orang seperti sahabatnya untuk mengusir keheningan itu. Cukuplah menjadi obat kesunyian.
"Papa belum pulang kerja?" tanya Bass sembari melempar tas ke atas sofa.
Sarah menggeleng, "Udah kok, nunggu di ruang makan. Kita makan siang sama-sama ya?"
Bass mengangguk kemudian mengikuti ibunya yang mengarah ke dapur. Dengan gontai lelaki itu melangkah dan mendapati ayahnya sedang duduk di meja makan. Tatapan mereka bertemu dan Bass mengerti maksud dari Bagas, ayahnya itu.
Bastian duduk dan menyanderkan dirinya di kursi. Jujur, hal yang paling dia benci di dunia adalah dipertemukan hanya berdua saja dengan ayahnya. Pasti banyak yang akan terlintas dari mulut Bagas begitu juga dari hati Bass. Bagas bebas bolang apa saja, sedang anaknya bebas mencaci walau hanya di batas hati.
"Tingkah apa lagi yang kamu dapat dari sekolah?" tanya Bagas.
Bass menoleh Sarah yang datang membawakan tiga gelas sirup dingin dan meletakkannya di tengah makanan yang tersedia. Senyum wanita itu kembali mengembang saat melihat Bass melirik padanya.
Memang selain kesunyian yang menjadi santapan utama, ada juga senyum Sarah.
"Lagi obrolin apa?" Sarah duduk di kursinya yang berhadapan dengan Bass.
"Engga kok Ma! Tadi papa nanya soal tingkah apa yang udah Bass lakuin hari ini, ya syukur Bass ga ngelakuin apa-apa. Hebat kan?"
"Serius kamu?" ujar Bagas dengan tajamnya menukik pada Bastian yang menjawab pertanyaannya sangat santai.
"Tapi ada satu hal nih, besok papa mama diajak ke sekolah buat tanda tanganin surat. Surat persetujuan buat ikut lomba musik." dusta Bass.
Sarah tersenyum lebar, "Beneran sayang?"
"Iya Ma! Mama tau kan kalau bakat musik Bass itu udah nyampe ke tulang-tulang Bastian, tapi masalahnya kurang dukungan dari—"
"Dukungan dari siapa?" gertak Bagas sembari memukul meja makan, membuat Sarah terbelalak kaget. "Jangan pikir Papa percaya sama kebohongan kamu ya!"
"Ini nih!" Bass meraih segelas air dan memandangi kejernihan air itu. "Bass cuma bilang mau ikut lomba, tapi papa udah bentak-bentak. Ga ada dukungannya sama sekali."
"Jaga sopan santun kamu Bass!" pekik Bagas lagi.
Sarah mencoba menahan emosi Bagas yang sudah bisa diterka dari merah wajahnya. "Udah pa!"
"Udah ah! Jadi ilang selera makan Bass!"
Bastian bangkit kemudian berbalik dan menjauh dari kedua orangtuanya. Begitulah yang Bass benci jika dia harus bertemu dengan ayahnya. Sampai-sampai dia selalu berdoa kalau tawaran bisnis ayahnya semakin pesat agar lelaki itu terlalu sibuk untuk bisa pulang ke rumah.
"Ga sopan kamu!" teriak Bagas sekali lagi.
Bass berhenti sejenak kemudian menatap ayahnya dengan dalam, "Pa, Bastian baru tau loh ada seorang ayah yang ngelarang anaknya buat ngeraih cita-cita."
Lelaki itu melanjutkan jalannya menuju kamar. Setelah menaiki anak tangga yang menjulang menuju lantai atas, lelaki itu sampai di depan kamarnya. Ruangan luas itu menjadi sarang bagi Bass untuk menghindar dari Bagas, sedang Sarah pasti selalu ada di luar untuk mengingatkan Bass makan atau mengerjakan tugas.
Bagi Bass, sifat ayah dan ibunya berbeda seratus persen. Ibunya penuh kasih sayang dan lembut, mendukung segala sesuatu yang Bass pinta serta selalu ada untuk Bass. Sedang ayahnya berbalik, tidak membiarkan Bass untuk mengikuti hobinya bermain gitar. Lelaki tua itu juga sering memberi arahan yang diselingi dengan amarah yang meluap.
Jangan tanya kenapa dia benci ayahnya. Sebenarnya bukan benci dalam arti sesungguhnya, hanya saja sifat Bagas membuatnya muak. Sangat muak.
Bass menenggelamkan dirinya di tempat tidur, kemudian mengatur posisi yang nyaman untuk menutup mata. Mungkin karena lelah berbahagia dengan temannya, cakupan kebahagiaan yang tidak bisa dia dapatkan di rumah ini, sewaktu Bagas masih ada di rumah untuk menatapnya keji.
...***...
"Lo serius ini rumahnya?" tanya Anggi sembari mendekatkan diri pada Gladys yang sedang berdiri di seberang rumah Bass.
"Yakin! Kan gue punya alamat dia." jawab Glad penuh keyakinan. Dia menatap rumah besar itu tanpa ragu untuk mendapatkan masalah yang lebih besar daripada sekedar diganggu oleh Bass.
Anggi menarik napas dengan kurang yakin kalau sehabis ini dia masih bisa hidup tenang. Apalagi dengan kehebatan Bass, mungkin saja semua terjadi. Contohnya Anggi tidak bisa hidup damai selama-lamanya. Ingin rasanya Anggi menarik tangan Glad menjauh dari rumah Bass, tapi sia-sia saja. Tekad Glad untuk membuat Bass kapok sangat kuat, sedang Anggi hanya bisa berdoa dalam diam.
Glad menyeberangi jalan dan diikuti oleh Anggi. Mereka berdiri beberapa saat di depan gerbang dan menatap secara bersamaan rumah megah milik orangtua Bass. Mungkin kekayaan salah satu alasan kenapa Bass masih ditahan di sekolah walaupun sudah banyak berbuat ulah. Semua tau maksudnya apa.
"Gue ga yakin kalau kita masih hidup besok!" Anggi menggeleng pada Gladys.
"Stt" desis Gladys. "Kita harus bikin dia kapok sebelum dia ngerjain kita!"
"Tapi Glad---"
"Udah!! Udah!! Kalau lo ga punya nyali buat nyamperin satpamnya, biar lo nunggu di depan dan gue yang kasih!"
Anggi menghela napas pasrah, kemudian tatapan matanya kembali melayang ke rumah tinggi itu. Sedang Glad mendekati pintu gerbang dan mengintip sedikit untuk menengok keadaan pak satpam. Lelaki tegap dengan baju seragam putih.
"Permisi!" teriak Gladys.
"Glad! Suara lo ntar ketahuan sama Bass!" pekik Anggi tidak terima.
"Rumah ini bukan gudang kecil yang ngebisik aja kedengeran." balas Glad.
Gladys kembali fokus saat pak satpam itu menoleh dan berjalan ke arahnya dengan langkah ringan. Dari balik besi gerbang dia menyahut dengan sigap.
"Iya ada apa?"
"Ini pak! Saya bawa surat dari sekolah buat orangtua Sebastian Prananda. Jadi kami mau nitip ini minta tolong dikasihin!" Glad menguatkan nada suaranya.
"Kebetulan tuan sama nyonya ada di rumah, silahkan masuk saja! Langsung bicara!" kata lelaki itu.
Glad membulatkan matanya kemudian menoleh pada Anggi yang juga tak kalah melotot. Seperti menyatakan kalau dia benar bahwa urusan ini akan membesar kalau Glad melaksanakan rencana itu.
"Sebentar ya pak! Saya nemuin temen saya dulu!" Gladys tersenyum kemudian berjalan ke arah Anggi.
Anggi menggeleng dengan cepat. "Gue juga bilang apa! Mana mungkin kita masuk ke dalam trus ga sengaja ketemu sama Bass. Bisa-bisa--"
"Eh Anggi!" gerutu Gladys. "Kita bakal masuk. Kan kita cuma nemuin orangtua dia terus kita lari!"
"Jangan konyol Glad!" Anggi mengerutkan dahinya kesal. "Selagi kita punya waktu buat pergi sekarang, ya kita pergi."
"Anggi please make up your mind!" Gladys menarik napas panjang.
"Dan lo yakin ngasih kertas robek udah dilem gitu?"
"Kan kita kasih tau kalau Bass yang robek kertasnya! Udah ya kalau lo tega biarin gue masuk sendiri, oke!"
"Ga gitu Glad! Tapi ya udah deh!" Anggi pasrah setelah mencoba mencari apa untungnya melakukan ini.
Gladys tersenyum penuh kemenangan kemudian menarik tangan Anggi dengan kuat. Sebenarnya dia takut kalau apa yang diperkirakan oleh Anggi tepat, tapi dia juga tidak terima kalau mereka harus jadi korban ancaman Bass. Bass tidak bisa bersifat seenaknya begitu.
"Pak satpam!" Gladys memanggil. "Kami mau bertemu sama orangtua Bass boleh?"
Pak satpam mengangguk kemudian membuka gerbang untuk Gladys dan Anggi. Keduanya masuk dan menatap bangunan itu dengan rasa kagum. Luas, megah, tinggi, dan begitu mengagumkan di mata Glad serta Anggi. Kemudian mereka saling bertatapan, dan menggeleng kagum.
"Gue heran, kalau si Bass kaya gini berarti dia bisa dapetin apa yang dia impikan. Lah terus kenapa dia punya kelainan jiwa ya?" Gladys tersenyum renyah.
"Gue juga heran, tapi heran sama lo yang tiba-tiba tertular jadi gila!" nyinyir Anggi mengarah ke Gladys.
Pak satpam menyusuri halaman yang begitu luas. Kemudian memasuki rumah besar dan kedua gadis itu menunggu di teras. Rumah itu memang tampak sangat asri dengan taman yang dihias pancuran air di tengahnya. Benar-benar mengagumkan sampai Anggi tidak heran kenapa kendaraan Bass berubah setiap hari.
"Tenang Anggi! Bass ga bakal ikut keluar! Palingan dia lagi keluyuran bareng temen weird n dumb. Iya kan?"
Anggi mengangguk asal, kemudian tertegun saat bayangan dua orang samar-samar mengikut dari datangnya pak satpam. Lelaki tua itu tersenyum kemudian tampaklah seorang lelaki dengan jas lengkap serta wanita dengan paras yang sangat manis tersenyum ke arah mereka.
"Ada apa ya?" Sarah menatap Glad dan Anggi bergantian.
"Eh tante om!" Gladys menyalim keduanya dan diikuti oleh Anggi yang gemetar.
Percayalah kalau di dalam hati Anggi hanya ada satu doa saat ini. Yaitu agar Bass tidak keluar dan mengetahui kalau dirinya ada di situ. Bisa gawat kalau hal itu terjadi. Pokoknya jangan sampai!. Kakinya sudah panas kalau saja lelaki itu tampak dari ujung pandangnya, dia bisa lari kuat dan menyeret Glad.
"Jadi gini tante om, kami mau ngasih surat dari kantor BK. Surat panggilan untuk orangtua Bass!" Gladys memberikan surat itu pada Bagas.
Bagas menatap surat itu heran, sedang Sarah mulai khawatir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Tampak dari wajah Sarah yang membisu, diam dalam seribu bahasa. Sama seperti Anggi yang ketakutannya belum berubah sama sekali sedari tadi.
"Tapi kertasnya saya lem om, soalnya tadi dirobek sama Bass terus dibuang, saya kutip karna saya disuruh sama Bu Ani!" lanjut Gladys.
Bagas membuka amplop itu perlahan, meraih kertas dan membukanya. Dengan cepat dia membaca ke inti surat yang sudah sampai di tangannya. Mendadak wajah Bagas memerah dan meremas kertas itu dengan kuat. Sarah yang sadar akan hal itu menjadi pangling.
"Bastian! Bass! Bastian!" teriak Bagas kuat.
"Pa! Kita bicarain nanti!" Sarah mencoba menahan Bagas yang wajahnya mulai memancarkan emosi.
"Engga! Panggil Bastian sekarang juga! Bass!" pekiknya lagi.
Gladys dan Anggi saling bertatapan. Jantung mereka seakan mau meledak dalam seketika. Keduanya membulatkan mata nyaris membuat bola mata mereka keluar dari tempatnya. Gawat! Sangat gawat!
"Kalau gitu kita pamit ya om tante!" Gladys menyudahi pertemuan.
Dengan kilat Glad menarik tangan Anggi untuk menjauhi dari tempat itu. Halaman yang begitu luas seperti menyusahkan Gladys untuk melaju ke luar gerbang. Untungnya keduanya sampai di luar dari halaman itu dengan secepat mungkin, membuat Bass tidak akan melihat mereka lagi. Kedua gadis itu mengambil tempat di belakang pohon untuk melihat apa yang akan terjadi.
"Gue bilang apa, Bass ga bakal lihat kita!" Gladys menyombongkan perkiraannya.
Anggi hanya bisa mengangguk saja sambil mengelus dada. Jantungnya tidak bisa berhenti berdegup karena lelah berlari sekaligus takut setengah mati. Namun matanya masing melongok ke arah rumah itu. Dari balik batang pohon mereka mendelik ke dalam.
Beberapa saat ketika Bagas memanggil Bass keluar dengan wajah kesutnya. Baru saja dia berhasil memejamkan matanya dan tertidur, tapi suara gaduh itu membangunkan lelaki itu dari tidur siang yang mampu membuat hatinya relax. Setidaknya alam bawah sadar membawa jiwa Bass menjauh dari Bagas.
"Kamu memang kurang ajar!" satu tamparan dari Bagas mendarat di pipi kiri Bass.
"Pa! Udah!" teriak Sarah dengan kuatnya.
Bass memegangi pipinya dengan kesal dan masih berpikir kenapa Bagas tiba-tiba menamparnya dengan lancang. "Ada apa lagi?"
"Kamu emang butuh ditampar atau dipasung sekalian! Udah nakal, pembohong lagi! Mau jadi apa kamu di masa depan? Gembel?" Bagas menatap Bass tajam, kemudian menunjukkan surat panggilan itu kepada anaknya. "Ini kamu bilang panggilan untuk nanda tanganin surat lomba kamu?"
"Udah Pa! Udah!" Sarah menahan Bagas agar tidak melayangkan lagi tangannya.
"Biarin ma! Biarin papa tau kalau anaknya emang ga guna buat hidup! Biar dia sadar kalau Bass emang gini karna Bass itu pecundang!" Bass menampilkan wajah kecewa kepada Sarah.
Bagas menggeleng, kemudian masuk ke dalam rumah meninggalkan Sarah dan Bass. Sarah mendekat ke arah Bass kemudian merangkul lelaki yang lebih tinggi itu, anaknya tercinta. Air mata mulai bercucuran ke pipi Sarah, sedang Bass hanya bisa diam melirik ke arah ibunya. Ini hal biasa yang dilihat oleh Bass. Satu minggu tidak akan lewat kalau tidak ada kejadian seperti ini.
"Maafin Bass ma!" katanya pelan.
"Ga papa sayang, papa kamu lagi emosi aja! Sekarang kamu ganti baju ya?" ujar Sarah melihat baju seragam yang masih melekat di badan anaknya itu. Mereka berjalan masuk bersama-sama meninggalkan teras yang sepi.
Sedang Anggi dan Glad hanya bisa mangap di depan. Serasa nonton drama sadis tentang anak yang kurang kasih sayang saja. Judulnya bisa dikarang dan dibuat jadi 'Anakku Adalah Pembohong'. Mereka masih belum bisa mengalihkan perhatian dari kejadian itu sampai-sampai Anggi harus menjurus kosong ke depan. Membayangkan apa yang terjadi sebenarnya.
"Apa itu gara-gara kita?" tanya Anggi heran.
"Bukan!" elak Gladys. "Itu gara-gara sifat dia! Gue yakin besok dia ga bakal ganggu kita."
"Dia itu keras kepala Glad!"
"Ga mungkin tetap gitu kalau udah dibentak kaya tadi! Lagian masa iya dia ga bisa berubah?"
Anggi mengangguk pelan kemudian melesat mengikuti Glad yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkan rumah besar itu. Mungkin Anggi menyesal, tapi Glad bahagia dan lega.
...♨♨♨...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments