...♨♨♨...
Anggi menuruni mobil ayahnya dan dengan cepat tersenyum menyambut Oma yang menunggu di depan gerbang. Wanita tua itu membalas senyuman lebar dari Anggi. Sedang Anggi menutup pintu dan menoleh ke sekelilingnya, dia berdecak kagum.
Hamparan luas sawah yang terlihat dari sela-sela rumah orang dan pohon-pohon rindang dimana-mana. Menaungi desa yang tampak sangat damai dan dipenuhi orang-orang ramah. Beberapa orang tampak sedang mengerjakan sawah mereka, dan tatapan Anggi tertuju pada seorang lelaki yang sedang mengendarai sepeda menjauh dari arahnya.
Anggi membalikkan tubuhnya dan menatap pada Endy yang sedang menyalam Oma. Dia berpikir kalau Endy akan setuju untuk membelikannya sepeda saja daripada motor atau mobil. Langkah gadis itu dengan cepat tertata menuju gerbang dan mengikuti gerakan tangan oma. Dia menyalim nenek tua itu dengan ramah. Kemudian memelukknya dengan kuat, sangat hangat.
"Anggi kangen Oma!" bisiknya pelan.
"Oma juga sayang!"
Anggi melepas pelukannya kemudian bergantian dengan Dina. Mereka saling tersenyum dan Anggi membayangkan kalau ini ialah liburan keluarga. Pasti akan sangat senang kalau memang benar-benar terjadi. Namun Anggi mengurungkan bayangannya itu. Sakit kalau terpaksa menerima keadaan yang seperti ini.
"Ayo masuk! Barang-barangnya nanti aja Papa yang bawa!" kata Endy kemudian berjalan menuju bagasi.
Dina, Anggi, dan Oma berjalan masuk melalui pintu depan. Disambut oleh udara dari dalam dan sejuknya ubin yang ada di bawah mereka. Ketiganya duduk di ruang tamu.
"Anggi bikinin minum ya!" Anggi beranjak, kakinya perlahan menuju dapur.
Dia hapal betul tatanan rumah itu. Dia biasa tinggal berlibur disana bersama keluarga besar mereka. Dan kini bukan sekedar berlibur, melainkan tinggal bersama dengan oma di sepanjang tahun ajaran baru. Atau mungkin juga ketika sudah lulus SMA. Entahlah, Anggi belum memikirkannya.
Sesampainya di dapur, Anggi mencoba mendengar apa yang dibicarakan oleh Oma dan Dina. Sayang saja mereka bicara begitu pelan, sampai Anggi tidak bisa mendengarnya. Maklum, jarak antar ruang tamu dan dapur cukup jauh. Diselingi lorong yang kanan kiri berisi kamar tidur.
Anggi meraih gelas yang tertata di rak piring. Kemudian mulai membuatkan teh hangat untuk mereka berempat. Anggi kurang yakin kalau Endy setuju untuk berlama-lama di rumah Oma. Namun tampak dari wajahnya, dia akan segera pulang kalau semua selesai dibicarakan.
Siap membuatkan teh, Anggi menaruhnya di nampan. Kemudian berjalan dan menemui Dina dan oma yang duduk lalu menaruh gelas-gelas itu di meja kaca. Tampak Endy selesai menurunkan semua barang Anggi dan membuatnya di dekat pintu. Lelaki itu duduk di samping Anggi.
"Jadi begitu!" kata Dina melanjutkan percakapannya yang belum sempat didengar oleh Anggi.
"Sebenarnya kami juga udah bilang sama Anggi—" ucap Endy namun perkataannya dipotong oleh Oma.
"Anggi!" panggil nenek tua itu. "Kamu masuk bawa dulu koper kamu ke kamar! Oma siapin kamar yang ada di lorong khusus buat kamu, selebihnya nanti Oma bantu buat beresin."
Anggi tertegun. Dia paham maksud Oma, agar dia tidak mendengar apa yang mereka bicarakan di ruang tamu. Secepat kilat Anggi menuju ambang pintu dan menarik dua koper besar berwarna hitam miliknya. Dengan cepat dia menyeret koper dan memasuki lorong, kemudian membuka pintu kamar yang berseberangan dengan kamar Oma.
Gadis itu masuk, namun tidak segera membereskan barang-barangnya. Dia mencoba menempelkan telinga ke pintu dan menguping apa yang mereka bicarakan. Walau suara mereka samar-samar, namun Anggi bisa mendengar sedikit dari pembicaraan mereka.
"Bukannya Endy sama Dina ga mau nginap bu, tapi memang ada urusan." kata Endy sigap.
"Iya bu, maaf!" lanjut Dina.
"Tapi setidaknya ada hari terakhir dimana Anggi bisa merasa keluarganya lengkap." hardik Oma.
"Maaf bu, Endy ga bisa."
"Dina juga ga bisa bu!"
Anggi menarik telinganya dari pintu, kemudian duduk di tepian ranjang. Aur matang mulai mengalir dan isak tangisnya ditahan agar tidak menarik perhatian seisi rumah. Gadis itu menangis dalam diam merutuki nasib yang begitu menyudutkannya.
Anggi mengamati seisi kamarnya sembari mencoba melupakan soal ini. Walau air mata masih mengalir di pipi, gadis itu membuka jendela kamar agar bisa memperterang kamarnya yang tampak remang tanpa lampu.
Jendela itu dibatasi jeruji berwarna hitam dan masih ada halaman yang membatasinya dengan gerbang rumah. Kembali Anggi berbalik dan menyapu pandangan ke seluruh kamarnya saat ini. Benar-benar Oma menata kamar itu dengan baik dan sesuai seperti hati Anggi. Oma memang tahu isi jati gadis itu.
Kamar itu luas sehingga menyisakan banyak tempat walaupun tempat tidurnya begitu besar. Lemari baju yang kosong dan siap diisi oleh baju-baju Anggi. Meja belajar dan kursi serya lampu belajar. Meja rias dengan kaca yang besar serta boneka-boneka kesayangan Anggi yang diungsikan ke rumah Oma kala Anggi masih kecil.
Anggi menuju ke koper hitam yang diletakkannya di ujung kamar. Sebenarnya dia tidak ingin membereskan barang-barang saat ini. Dia berharap ayah dan ibunya datang ke kamar kemudian mengatakan kalau meteka tidak jadi bercerai dan mereka pulang ke kota.
"Gila!" pekik Anggi tiba-tiba menyadari kalau angan-angannya sudah tidak masuk akal lagi. Kalaupun orangtuanya tidak jadi bercerai, dia tidak akan mungkin meninggalkan Oma sendirian.
Dengan cepat gadis itu membuka koper miliknya dan melihat baju-bujunya yang tertata rapi. Dia mengangkut semuanya dengan hati-hati dan memindahkan semua pakaiannya tepat saat terdengar ketukan dari luar kamar.
Sudah pukul lima, tidak terasa. Anggi dengan cepat membuka pintu kamar dan melihat Oma dengan senyum hangat mental ke arahnya. "Antar Papa Mama kamu ke gerbang sayang!"
Anggi mengangguk kemudian berjalan bersama Oma menuju pintu dan melihat Endy dan Dina sudah berada di depan gerbang. Anggi berlari menuju mereka dan memeluk keduanya bergantian. Mereka tidak akan bertemu secara terencana mulai saat ini. Bisa dikatakan kalau Anggi tidak pasti menentukan kapan bertemu mereka.
"Baik-baik disini ya Anggi!" ucap Dina.
Anggi tersenyum pasrah. "Iya Ma!"
"Papa pergi dulu!" teriak Endy sesampainya di depan pintu mobil.
Anggi menatap mobil itu ketika hendak melaju kencang sesaat sesudah diputar balik. Dengan setengah melambai gadis itu mencoba mengatur raut wajahnya agar tidak tampak kusam di depan Oma.
"Ayo Oma bantu beresin kamar!" ujar Oma tiba-tiba.
"Oma!" panggil Anggi. "Gimana kalau Anggi ga punya temen disini? Gimana kalau Anggi jadi anak yang diem terus di rumah? Kan ga asik!"
"Siapa bilang?" tanya Oma heran. "Nanti Oma kenalin sama anak tetangga yang seukuran kamu, namanya Cleo. Anak itu yang tiap hari nganterin rantang Oma kesini!"
"Oma masih langganan rantang?" Anggi menaikkan alisnya.
"Kan karna Oma ga bisa masak pagi-pagi." jawab nenek tua itu.
Anggi mengerutkan dahinya. "Kalau gitu biar Anggi aja yang masakin tiap pagi. Masakan Anggi ga jauh beda kok sama masakan Mama."
"Nanti Oma pikir-pikir. Sekarang kita masuk yuk!" ajak Oma.
Mereka berjalan bersama menuju rumah kemudian menutup pintu. Sore itu menjadi awal yang buruk bagi Anggi. Dia meninggalkan masa lalu bersama Endy dan Dina dan sekarang akan melewati hari-harinya disini, di desa ini.
...***...
Malam ini Bass hanya bisa duduk di teras rumah Tante Helen yang terang. Matang mengamati jalanan desa yang dilewati motor hanya sekali dua kali dalam jangka satu jam. Begitu berbeda dengan kota yang ramai dan selalu menjadi penggoda bagi Bass untuk melesat keluar bermain bersama teman-temannya.
Menuruni nasib yang dianggapnya keji, matanya melayang ke langit yang begitu luas. Membayangkan bagaimana keadaan teman-temannya di kala sinyal suka menghilang tiba-tiba tanpa jejak. Bass menghembuskan napas frustasi dan mulai menghitung hari. Masa skors sudah lewat, namun liburan kali ini tetap harus dilewati disini.
"Tiga minggu doang!" katanya pada diri sendiri.
Bass kembali bergeming pada pemikirannya. Ternyata tugas fisika juga harus menjadi makanan sehari-hari mulai saat ini. Pasalnya Bu Ani yang memberikan tugas tak tanggung-tanggung, banyaknya lima puluh soal. Mungkin hal itu biasa saja, namun luar biasa untuk anak IPS seperti Sebastian Prananda.
"Bass!" panggil Helen tiba-tiba. Lelaki utu langsung melirik spontan dan melihat wanita itu mendekat dengan handphone di tangannya.
Bass mengerti apa yang dimaksud oleh Helen, dia mendecak kesal dan meraih hp itu dari tangan Helen. Sedang Helen hanya bisa berdiri dengan diam.
"Apa?" tanya Bass dengan tidak sopan, sangking kesalnya.
"Sopan kamu!"
Bass memutar bola matanya kesal. "Iya! Apa papa?"
"Papa harap kamu berubah banyak disana! Jangan bikin malu Papa dong! Kamu juga harus mampu lupain sahabat-sahabat kamu yang ga pantes buat kamu itu!"
"Pa!" pekik Bass kuat. "Papa ga tau siapa sahabat Bass, jangan bawa-bawa mereka!"
"Itu demi kebaikan kamu! Kamu pikir Papa setuju kalau kamu dekat-dekat sama orang yang bawa kamu ke jalur ga jelas!"
"Papa berhak bentak Bass, tapi jangan hina mereka! Papa ga tau apa-apa soal mereka!"
"Tapi papa tau semua tentang kamu!"
Bass mengernyit kemudian menyerahkan handphone itu kepada Helen. Dia memasuki rumah dan melihat kalau Cleo sedang berdiri di ambang pintu kamarnya. Tampak dia sedang menyimak pembicaraan Bass dan ayahnya dari telepon. Dia semakin kesal, langkahnya semakin cepat kemudian memasuki kamarnya.
Bass duduk di bibir kasurnya. Dia melirik jam yang menunjukkan pukul delapan malam. Mulai muak akan Bagas yang setiap waktu bebas membentaknya di depan Helen.
"Gue ga bisa terus gini!" ujarnya tiba-tiba.
Dengan kilat lelaki itu meraih ransel hitam kecil yang dia bawa dari rumahnya. Dia memasukkan sepasang baju dan power bank ke dalam. Lelaki itu mengambil handphone yang terletak di meja. Lelaki itu mengamati seluruh isi kamarnya.
Rencananya ialah, kabur.
Dia pikir hidup di desa akan sedikit mengurangi beban dari Bagas. Ternyata tetap saja ayahnya menghantui lelaki itu lebih-lebih dari apa yang dilakukannya di rumah. Begitu Bass mengerti kalau Bagas mengaturnya terlalu terang-terangan, lelaki itu memelas.
Bass membuka jendela kamarnya. Dia melirik ke arah jalanan samping yang sepi dan hanya terlihat cahaya dari celah jendela rumah di seberang jalan. Di jalan utama juga kosong, yang terdengar hanya suara sayu angin bertiup menggoyangkan daun-daun pepohonan.
Lelaki itu menaiki jendela dan mengatur kakinya di celah pot bunga yang begitu banyak disusun di samping kamarnya. Pun dia berjalan lambat kemudian sampai di ujung dinding.
Bass melongok ke arah teras, ternyata Helen sudah masuk ke dalam rumah. Bass menarik napas lega, kemudian berjalan pelan menuju ujung teras. Lelaki itu meraih sepeda dan menuntunnya ke depan pagar. Dengan perlahan tapi pasti, Bass membuka engsel pagar. Berusaha agar tidak ada suara yang membuat orang rumah curiga.
Bass mengeluarkan sepeda dan sampai di depan pagar dalam
diam. Lelaki itu melirik kanan kiri untuk memastikan kalau tidak akan ada yang melihat kalau dirinya akan kabur dari rumah Tante Helen.
Alasannya simple, dia muak diteror oleh Bagas.
Seketika pandangan Bass terhenti pada seseorang yang baru saja membelok menuju gang rumah Oma. Gadis itu menggerai rambut yang menutupi wajahnya karena dia menunduk sambil memainkan handphone.
Awalnya Bass memikirkan apa yang terjadi kalau gadis itu terlalu fokus pada ponselnya dan terjatuh. Namun lama kelamaan dia menyadari sesuatu. Rambutnya, tinggi badannya, dan postur. Gadis itu memakai baju selengan berwarna putih dan celana menyamai lutut. Gadis itu nampak tak asing di mata Bass.
"Anggi?" tanyanya pada diri sendiri.
Sekali lagi Bass melirik ke arah gadis itu sampai bayangannya habis teruslah oleh rumah yang lain. Dia yakin dan tidak yakin kalau itu ialah Anggi.
"Ga mungkin deh kayanya! Itu mana mungkin Anggi! Dia kan tinggal di kota!" desis Bass seorang diri.
Langkah pertama yang hendak dilakukan oleh Bass tiba-tiba berhenti ketika melihat beberapa orang akan melewati rumahnya. Kalau diperhatikan dari jauh, salah satu di antarnya ialah Pak RT. Kumis tebal dan orang yang dia kenal saat membeli barang di warung.
"Gawat!" pekiknya.
Lelaki itu kembali memasuki kawasan halaman rumah Tante Helen. Dia berjalan menyusuri jalanan setapak yang menuju ke arah teras, kemudian memarkirkan kembali sepeda itu. Seketika juga dia mengurungkan niatnya.
"Kalau gue pergi, gue mau kemana? Kalau ke kota sama aja ketahuan! Ya Papa kan punya banyak suruhan buat lacak keberadaan gue. Ogah kalau harus jadi anak terlantar!"
Bass kembali memasuki kamarnya melewati jendela. Kakinya yang dialasi oleh sendal pun mendarat di tempat tidur. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu sehingga harus berbuat bodoh.
Dengan cepat dia melempar tas ke ujung kamar dan duduk di kursi. Tangannya meraih botol air mineral yang ada di tas sekolahnya. Bass meneguknya beberapa kali sampai botol itu kosong tanpa isi.
Kembali dia menautkan pikirannya pada gadis yang ditemuinya di depan tadi. Apa benar itu Anggi? Kalau benar, apa urusannya dia ada disini? Atau mungkin hanya mirip saja?
"Ah bodoamat!" ujarnya pada diri sendiri. "Kenapa gue malah balik coba? Bodoamat juga gue mau jadi anak terlantar! Daripada harus sama Bagas? Tapi iya juga sih! Andai aja Papa sifatnya kaya Tante Helen, adem gitu! Kan enak! Lah ini?"
Malam itu Bass melewatkannya dengan kutukan yang tak henti bernaung di hatinya. Rutukan-rutukan yang terbesit benar-benar membuatnya lelah sampai akhirnya berhenti untuk memikirkan itu.
Lagi pula apa untungnya memikirkan hal itu? Toh tudak akan membuat ayahnya berubah dan menjadi sedikit lebih baik kepadanya. Malah hanya akan membuat Bass semakin terpuruk karena tahu kalau hal itu tidak akan terjadi. Sebuah harapan yang dingin kalau Bass mendoakan agar Bagas menjadi hangat, pribadi yang mampu membuatnya beruntung memiliki seorang ayah.
...♨♨♨...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments