Beberapa menit sebelumnya, kehidupan Bass masih baik. Dengan rasa girang karena upacara telah lewat, dia berjalan sambil mengalunkan nada lagu kebangsaan yang masih terngiang di otaknya. Senyum khas yang nyaris menyerupai Justin Bieber menemaninya menyusuri lorong sekolah yang ramai. Namun, perlu diketahui kalau kebahagiaan itu hanya berlangsung tidak lebih dari semenit. Alias kejadian buruk langsung saja menimpanya tanpa pikir panjang.
Seolah waktu tidak mengizinkan lelaki itu untuk bahagia.
Lelaki itu mendecak kesal melihat seorang siswa dengan kacamata dan bertingkah menyebalkan sedang mengarah kepadanya. Tidak lupa dia membawa seorang guru perempuan yang kerap dipanggil Bu Ani, guru fisika sekaligus guru BK yang terkenal killer. Kalau masih sempat mengejek, Bass pasti bilang kalau Bu Ani lagi membawa monyet peliharaan ke sekolah. Ups..
Tanpa pikir panjang, Bass langsung tahu apa maksud dari kadatangan keduanya. Memang susah berhadapan dengan anak cupu di sekolah itu. Bukannya menurut dengan ancaman, malah memberitahu segala seluk beluk kejadian buruk yang menimpa mereka ke guru. Mereka tidak tahu saja kalau Bass bisa melakukan hal yang lebih konyol daripada sekedar ancaman. Mungkin menggantungkan sepatu anak-anak cupu ke atas genteng sekolahan atau menguncinya di toilet sekolah yang tidak terpakai lagi.
"Sebastian Prananda!" panggil Bu Ani saat melihat lelaki itu hendak berbalik kabur.
Bass menyerah. Dia tahu kalau lari tidak akan ada gunanya. Namanya sudah dikenal baik oleh para guru karena tingkah konyol yang tidak pernah hilang dari kesehariannya. Lelaki itu kembali berbalik dan menatap tajam ke arah lelaki cupu yang mengadukan tingkah Bass. Sebenarnya tidak terlalu gawat bagi Bass, karena yang perlu dia lakukan ialah diam atau menjawab asal seperti orang aneh sampai Bu Ani malas untuk membahas masalah itu.
"Bass, Jangan pernah ganggu temen kamu! Sudah berapa kali saya bilang?"
Bastian menatap langit-langit, kemudian bergumam pelan. "Minggu ini, ibu masih bilang sekali."
"Bobi!" ujar Bu Ani seraya mengarah ke anak cupu yang wajahnya benar-benar seperti orang tidak tahu apa-apa, padahal aslinya, ada banyak rumus E\=mc² dan √a²+b² di otaknya.
"Coba jelasin kejadiannya sekali lagi sama ibu."
Bobi mengerutkan dahi sembari menengok pada Bass, dia sebenarnya tidak takut karena Ibu Ani ada di sini, di sampingnya. Namun dia khawatir kalau pulang sekolah nanti, masalahnya makin membesar. Tapi akhirnya dia cerita saja, kata hatinya biar mampus.
"Jadi gini bu! Hari Sabtu kemarin saya pulang sekolah, terus saya lihat Bass ngedorong temen satu saya kelas sampai jatuh ke pot bunga kaktus yang di depan sekolah itu. Lah bunganya rusak bu, pas saya mau kasih tau, dia ancam saya!" ungkap Bobi.
"Aw, kaktus awwww!" jerit Bass sambil menutup telinganya, mengangkat kaki kiri, seolah menganggap kaktus ialah ular berbisa yang menghampirinya. Ia bermaksud mengejek.
Bu Ani memutar bola matanya kesal, kemudian kembali menghujam tatapan paling membunuh ke arah Bastian. Rasanya tatapan Bu Ani membuat semua orang jatuh hati, sampai-sampai tidak ada yang bisa mengalihkan pikirannya sedetik saja dari wanita berkepala tiga itu. Apalagi bibirnya yang selalu dilapisi lipstick setebal papan tulis, ralat maksudnya setebal buku fisika empat ratus halaman.
"Kamu dorong siapa Bastian?" tanya Bu Ani.
"Saya bu!" tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki dari belakang Bu Ani, membuat ketiganya menoleh spontan.
"Agus?" ucap Bu Ani.
Agus masih sama dengan Bobi. Sama gaya dan pola pikirnya mungkin. Kacamata yang menandakan bahwa mereka rajin membaca, belum lagi sifat mereka yang tidak bisa diajak kompromi. Mereka-mereka inilah yang membuat Bastian menjadi bermasalah. Selalu karena mereka, walaupun memang awalnya dari Bass.
"Bastian!" pekik Bu Ani. "Ikut saya ke ruang kepala sekolah!"
Bass memutar bola matanya kesal, "Iya iya iya!"
Begitulah Bastian. Sebastian Prananda yang tidak pernah berhenti menjadi sasaran para guru sekolah. Nyaris setiap hari dia harus bermasalah. Mungkin karena hobinya yang suka mengganggu anak-anak cupu.
Baginya adalah suatu keseruan untuk bisa menggangu murid-murid yang tampangnya begitu. Sebenarnya bukan hanya Bastian, tapi teman-teman satu komplotannya. Tujuan mereka bukan tidak lebih dari sekedar bersenang-senang. Mereka bahkan tidak mengambil keuntungan lebih. Kalau dihubungkan dengan psikologi, entah masalah kejiwaan apa yang menimpa Bass dengan teman-temannya. Kalau tidak diganggu, katanya mubazir.
...♨♨♨...
Usai upacara, seorang gadis melajukan langkahnya menuju kantor kepala sekolah. Kakinya cekatan melewati tiap keramik yang tertata rapi di bawah. Wajahnya tidak berekspresi sama sekali, hanya bola matanya saja yang melirik kiri kanan dengan cepat. Sampai dia tiba di ruang kepala sekolah yang sepi.
Gadis itu mengetuk pintu beberapa kali, kemudian orang yang berada di dalam menyahut kuat. Mengisyaratkan agar dia masuk ke dalam ruangan. Gadis itu membuka pintu, masuk, dan menutupnya kembali.
"Permisi Pak Ruben!" ujarnya.
"Anggita! Kamu memang jadi pindah?" tanya lelaki tua yang menjabat sebagai kepala sekolah itu, padahal Anggita baru sampai di ambang pintu. Rasanya Pak Ruben bisa mengeja maksud kedatangan gadis itu.
"Iya pak!" jawab Anggita. "Saya memilih ikut dengan nenek saya saja di kampung, lagian ga adil kalau Anggita ngikut Papa atau ngikut Mama."
Bapak kepala sekolah mengangguk, "Sayang sekali orangtua kamu harus bercerai begini. Dampaknya malah buat kamu!"
"Mau bilang apa lagi pak? Mungkin ini udah nasib Anggita."
"Baiklah! Nama lengkap kamu apa? Biar bapak yang bantu atur semuanya ya!"
"Difa Anggita pak! D-i-f-a A-n-g-g-i-t-a."
Pak Ruben mengangguk, kemudian tersenyum sembari mempersilahkan Anggita untuk duduk di kursinya. Beberapa saat setelah itu, terdengar ketukan dari luar ruangan, dengan suara tak kalah kuat dari ketukan itu Pak Ruben menyahut.
Masuklah Bu Ani dengan seorang siswa yang tampaknya sangat kesal. Kelihatan saja dari keningnya yang berkerut menandakan kalau dia sedang bermasalah. Sebastian.
Lelaki ini ... Gumam Anggi.
Anggita melirik kecil ke arah Bass, dia kenal betul siapa lelaki itu. Mulai dari baju yang tidak pernah rapi, dasi yang tidak pernah tercantum di baju, sampai sifatnya seperti tidak takut kepada siapa pun. Walau itu harus berurusan dengan kepala sekolah. Lihat saja gayanya sekarang, bukannya menunduk tapi malah mendongak sok jagoan.
Mulai dari SMP memang sudah begitu.
Sesaat lelaki itu membalas tatapan Anggita, membuat gadis itu kalap dan segera mengalihkan pandangan. Dia kenal Bass sudah sejak lama, tapi belum pernah sama sekali mereka berbicara bahkan untuk satu kata sedikit pun. Memang pernah, tapi itu hanya ketika Bass datang ke kelasnya untuk meminjam buku pelajaran sekolah yang tidak dia bawa, katanya lupa dan orang pelupa akan dihantam oleh Bu Sharla selaku guru mata pelajaran. Tentu Anggi tidak mau memberi, bisa-bisa hilang atau dimakan. Wajar saja, setiap hari tas lelaki itu setipis tissue.
"Ada apa ini bu?" tanya Pak Ruben sembari menatap Bu Ani dan Bass secara bergantian.
"Dia bikin ulah lagi Pak! Dia ga mempan sama peringatan dari saya!"
"Bass!" ujar Pak Ruben. "Bikin surat peringatan bu, panggil orangtuanya!"
Bastian menarik napas panjang, dia tahu kalau ujung-ujungnya begini. Tapi siapa yang yakin kalau Bass bisa mengubah sifatnya yang terkenal sebagai perusuh sekolah tingkat dewa. Kalau dihitung-hitung jumlah surat panggilan yang sudah dia terima, tidak lagi bisa dihitung pakai jari. Intinya sifatnya sudah keterlaluan.
"Pak!" panggil Anggita kuat. "Saya permisi kalau begitu."
Pak Ruben mengangguk, diikuti oleh Bu Ani. Anggita menjauh dari meja kerja Pak Ruben, kemudian menoleh sebentar ke arah Bass. Namun lagi-lagi lelaki itu melirik, membuat pikiran Anggita semakin horror.
Sesaat setelah gadis itu keluar, Bass menengok ke arah Pak Ruben. "Bikin aja surat panggilannya pak! Saya permisi!"
Bass melangkah cepat meninggalkan meja kerja kepala sekolah. Dia tidak memperdulikan panggilan Bu Ani. Langkahnya gontai meninggalkan kedua guru yang nyaris menyerah menghadapinya.
Sedang Anggi hanya bisa berjalan ketus. Sekarang pemikirannya terfokus pada satu hal, sebenarnya dia tidak ingin pindah ke sebuah tempat yang jauh dari kota. Namun, mau apa lagi. Kehidupan memaksanya untuk pasrah saja dengan apa yang terjadi.
...♨♨♨...
...Jika dua hati bertemu, jangan pernah salahkan takdir!...
...♨♨♨...
Anggita mengerutkan dahi, perasaannya kembali tidak enak ketika sebuah panggilan membuatnya mendadak merinding. Bukan hantu. Hanya saja ini untuk pertama kalinya suara itu memanggil namanya.
"Anggita!"
Sosok Sebastian Prananda ternyata. Lelaki itu meneriakkan nama Anggi dengan kuat sesaat setelah suara pintu ruangan kepala sekolah tertutup. Anggi berbalik dan mendapati lelaki itu tengah berlari kecil ke arahnya. Di lorong yang sepi dan sunyi. Anggi mulai berpikiran lain, apa mungkin si Bass memanggilnya hanya untuk menambah satu kasus buruk di sekolah ini? Jangan sampai!
Anggi menarik napas panjang saat Bass sudah ada di depannya. Melirik kecil pada senyuman Bastian yang sangat mematikan, baik jiwa, raga, pikiran. Kalau ditambah taring, pasti wajahnya menyerupai vampir yang siap menggigit leher Anggita dengan sekejap. Menyeramkan. Tapi tidak ada alasan bagi Anggi untuk takut, selama ini masih di kawasan sekolah. Mana mungkin dia berani mengganggu Anggi. Maksudnya, Anggi itu bersikap manis, Bass tidak akan tega, iya kan?
"Apa ya?" tanya Anggi pelan, bermaksud supaya manusia yang satu itu tidak terpancing.
"Kita jalan bareng ke kelas yuk! Kelas lo di samping kelas gue kan?" kata Bass.
Anggi tidak tahu sama sekali mengapa lelaki itu tiba-tiba datang dan meminta untuk jalan bersama ke kelas. Pikirannya mulai merayap kesana dan kemari. Dia tidak ingin menjadi target kejahilan Bass yang harus membuatnya merasa terbully. Walaupun dia mau pindah, toh saja beberapa hari ke depan dia masih ada di sekolah.
Lagian siapa yang tidak kenal Sebastian Prananda. Siapa saja bisa menjadi korban kejahilannya. Tidak kenal korbannya itu anak DPR atau anak tukang sapu, semua dia ganggu. Yang menjadi tipenya memang hanya anak-anak cupu, tapi setiap ada anak lain yang tidak mengenakkan hatinya, pasti langsung diterkam juga. Jadi jangan tanya kenapa orang-orang yang menjadi temannya hanya orang yang sejenis. Alias jenis manusia aneh yang hobi bersenang-senang di atas penderitaan orang.
"Lo ga lagi bikin gue jadi target kejahatan lo kan?" Anggi menaikkan sebelah alisnya.
Bass tertawa kecil, "Lo ga bakal bisa baca pikiran gue. Lagian ngapain gue ganggu lo? Lo kan anak baik-baik nih!"
Anggita memutar badannya kemudian mulai berjalan diikuti dengan lelaki itu. Dia mulai melayangkan pikirannya ke Sebastian. Sebenarnya dia tidak mau berurusan dengan lelaki itu. Siapa juga yang mau? Semut saja tidak akan mau.
Seputar soal Sebastian, yang terbesit di otak Anggi saat mendengar nama itu ialah sebuah kenakalan yang tidak terbatas. Tidak ada kata kapok di benak lelaki itu, sampai banyak orang yang berpikir kalau hatinya terbuat dari besi dilapis baja, dilapis besi lagi, dilapis baja lagi. Sejak SMP Anggi mengenal lelaki itu. Kelasnya selalu berdampingan dengan kelas Bass. Walaupun mereka belum pernah satu kelas, tapi Anggi bisa tahu jelas bagaimana kelakuan Bastian.
"Lo itu Anggita kan?" Bass menoleh pelan ke arah gadis itu.
Anggi mengangguk tanpa melirik sedikit pun. "Iya."
"Kita kenal dari SMP, tapi ini the first time gue ngobrol sama lo." kata Bass sembari kembali memperhatikan langkah yang dilaluinya.
Anggi tidak menyahut. Dia masih terganggu akan kedatangan Bass yang seperti hantu. Tidak diundang. Mana mungkin hanya karena mereka saling bertatapan di kantor kepala sekolah tadi. Atau mungkin karena Bass merasa terganggu? Ya mungkin saja. Pemikiran ini jujur membuat Anggi bergidik ngeri. Bisa-bisa saja nanti dia yang akan jadi sasaran utama Bass.
Jangan sampai terjadi. Anggi ingin menikmati suasana sekolah di perkotaan dengan damai sebelum dia pindah saat libur semester ganjil ini. Sebelumnya dia belum pernah tampak bermasalah di sekolahan. Dan dia juga ingin begitu sampai hari terakhir dia harus ada di kota. Tinggal seminggu lagi sebelum akhirnya pembagian laporan hasil belajar.
"Gini gini gue juga selalu ngehindar biar ga bermasalah sama lo." balas Anggi dengan sinis. Terang-terangan menyampaikan kalau dia tidak ingin berteman dengan Bass. Siapa juga yang mau? Sudah dibilang tadi, semut saja tidak akan mau.
Bass tertawa kecil kemudian mengikuti Anggi saat berbelok di tikungan menuju lorong yang membawa mereka ke deretan kelas. Masih belum tahu apa motif lelaki itu menghampiri Anggi. Seolah rasa ingin tahu Bass muncul kemudian pergi menguntit gadis itu.
"Lo juga pendiam banget." ucap Bass.
"Karna lo belum tau aja sifat asli gue." Anggi berhenti kemudian menatap lelaki tinggi itu. "Lagian ngapain sih lo sok akrab gini?"
Bass ikut berhenti dan membalas tatapan Anggi tak kalah tajam. "Nyantai! Gue cuma mau akrab aja."
"Kalau lo coba nindas gue, lo ga bakal bisa!" kecam gadis itu sembari melakukan langkahnya dengan cepat, bermaksud untuk meninggalkan Bass yang sebenarnya membuat Anggi takut sekaligus naik pitam.
Bastian mengikuti irama langkah Anggi sehingga dia bisa menyamai posisinya dengan gadis berambut sebahu itu. "Oh iya! Lo ngapain tadi di ruang Pak Onsu?"
"Pak Ruben.." ralat Anggi, dia tahu kalau Bass sengaja mengganti nama yang kebetulan sama dengan nama selebriti.
"Gue kira lo ga nyimak." lanjut Bass.
Anggi menghiraukan Bass kemudian semakin mempercepat ritme kakinya. Sayangnya lelaki itu tetap bersikeras untuk berjalan bersama dengan Anggi, membuat gadis itu harus pasrah dan diam saja sampai dia tiba di depan kelasnya yang cukup ramai. Beberapa orang memperhatikan mereka, dan semua berpikir dengan pola yang sama. Yaitu Anggi menjadi korban kejahilan Bass.
Secepat kilat gadis itu membelok ke dalam kelasnya, meninggalkan Bass yang melongok arah gadis itu. Bass hanya bisa menaikkan bahu kemudian berjalan lagi menuju kelasnya yang tepat berdampingan dengan kelas Anggi. Namun bukannya masuk ke dalam kelas, lelaki itu memilih berkumpul bersama tiga orang sahabat jahilnya.
Kalau ke-empat manusia gila itu berkumpul, jangankan sekedar melirik, lewat dari depan mereka saja tidak berani. Gempar dunia kalau ada siswa yang berani menyapa mereka dengan artian sok akrab. Lagian siapa juga yang bersedia sebagai mangsa lezat mereka. Entah bagaimana sejarahnya mereka bisa bertemu dan membuat genk sekeji itu.
Weird n Dumb. Begitulah mereka terkenal di mata orang-orang. Nama genk paling kejam sekaligus tidak masuk akal. Dasar pertemanan mereka adalah keisengan yang diikuti oleh kebahagian.
"Bass!" panggil Dio, lelaki paling playboy di kelompok itu.
Seputar tentang Dio, dia selalu mengincar perempuan hits dalam sekolah maupun luar sekolah. Bahkan sampai ke luar kota, dia bisa meyakinkan dengan fotonya yang memang keren. Nyaris setiap hari dia jatuh hati, dan setiap hari pula meninggalkan perempuan. Kalau saja perempuan-perempuan yang sudah disakiti Dio memilih menyantet lelaki itu, tidak terkira lagi penderitaan yang ditanggungnya.
"Yo?" sahut Bass sembari duduk di pojokan teras kelas.
"Lo udah dapetin cewe yang cocok dan lo milihnya Anggi?" tanya Dio dengan dahi mengernyit.
"Bass! Berenti ngimpi!" celutuk lelaki paling heboh di sana, Jhon. "Dia itu pasti takut deketin kita yang jailnya kelewatan gini."
"Bawel lo pada! Siapa juga yang mau ngegebet dia. Gue walaupun jailnya tinggi tapi gue juga punya otak kali."
Mereka semua tergelak dalam tawa. Membuat beberapa orang yang juga masih di luar untuk menunggu guru menatap mereka takut. Namun semua kembali pada kesibukan masing-masing saat Fariz membalas tatapan mereka setajam pedang baru diasah.
"Apa lo ngeliat kaya berani aja!" pekik Fariz kuat.
Jangan ditanya lagi soal Fariz, lelaki itu memang ditakdirkan sebagai orang yang paling merasa jagoan di antara mereka semua. Walaupun memang mereka berempat sama-sama bertingkah sok hebat. Itulah salah satu alasan kenapa anggota genk itu tidak bertambah banyak. Tidak ada yang berani dan tidak ada yang mau sebagai siswa sok jagoan, yang tiap hari kerjanya keluar masuk ruang BK.
"Jadi kenapa lo jalan bareng sama dia?"
Bass mendecak kesal, "Maksud lo jalan bareng itu ga bisa?"
"Bukan mau lo jadiin korban kita kan? Gue belum mau keluar sekolah ini Bass, gue belum mau!!!" mendadak Fariz menjadi serius sekali. Matanya hampir keluar dan urat lehernya muncul.
"Ngaku jagoan tapi takut keluar! Gimana sih?" desis Bass.
Fariz memutar bola matanya karrna kesal, dia benci kejagoannya diragukan. "Yakali takut, gue cuma bilang kalau gue butuh waktu buat ngabisin waktu di sekolah."
"Buat cewek? Psstt cewek!" goda Dio saat melihat beberapa orang gadis lewat dari seberang lorong.
Sekejap mereka berlari terbirit-birit dan mengundang gelak tawa keempat anggita genk weird n dumb itu. Memang mereka keterlaluan dalam urusan mengganggu anak-anak. Hampir semua siswa berprinsip untuk tidak bersangkutan kepada salah satu dari mereka berempat. Ada juga yang setiap waktu berharap agar mereka keluar dari sekolah. Namun ternyata belum terwujud sampai saat ini.
...***...
Anggi berjalan dengan wajah kesut menuju mejanya yang terletak di urutan ketiga dari depan dekat dinding. Tampak sahabatnya, Gladys sudah menunggu di sana. Gladys tidak kalah kesut dari Anggi. Keduanya dipertemukan sejak awal masa orientasi siswa dan mendengar kabar kalau mereka harus berpisah sebentar lagi.
Mulai dari kelas sepuluh sampai sekarang, hari-hari akhir menikmati kelas sebelas masa SMA. Keduanya cenderung pergi kemana-mana bersama. Banyak yang bilang kalau mereka itu roti dan selai, tidak melengkapi kalau salah satunya tidak ada.
"Gimana? Lo jadi pindah?" tanya Gladys saat Anggi duduk di kursinya.
"Jadi!" jawab Anggi.
"Harus ya lo pergi ninggalin gue? Lagian tinggal satu setengah kok kita SMA, lo malah pindah."
"Ya justru karna itu lama, jadi gue bingung harus ngikut nyokap atau bokap Glad!" Anggi menyibakkan rambut ke belakang.
"Ya emang mesti ke kampung? Di sini enak kali, lah lo malah nyari susah."
Anggi tersenyum renyah. Dia memang mengakui kalau kehidupan di desa jauh lebih susah daripada di kota. Mungkin akan susah kalau dia membutuhkan barang yang hanya bisa didapati di kota. Jauh dari sahabatnya dan harus pergi meninggalkan kenangannya di sekolah ini. Bukannya menyalahkan orangtuanya yang berpisah juga, tapi dia cukup kesal kalau harus menderita di balik ini semua.
"Lagian Oma butuh gue di kampung! Semenjak kakek meninggal, kasian Oma harus sendiri." Anggi menarik napas dan mengembuskannya kuat.
Beberapa detik setelah dia menenangkan diri, tiba-tiba dia teringat kejadian tadi. Saat Bass mengikutinya dan itu ialah kali pertama Bass berbicara langsung kepadanya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari tempo sebelumnya. Dia kini tidak bisa tenang mengingat itu.
Anggi melirik ke arah Gladys yang sekarang sibuk dengan handphone. Dia tidak mau mencetitakan hal ini pada Gladys. Ujung-ujungnya hanya akan membuat sahabatnya itu takut dan khawatir. Namun jantung Anggi memang tidak bisa diahak kompromi. Terus berdetak kuat seolah akan meledak dalam hitungan detik. Jujur, sekuat apapun dia mencoba untuk tetap tenang, pikirannya belum bisa berhenti memikirkan tingkah Bass tadi.
"Glad!" panggil Anggi dan menoleh ke Gladys.
Yang dipanggil melirik, "Apa?"
"Guru ga masuk ya?" tanya Anggi sambil melongok ke murid-murid yang sedang asik duduk di luar kelas.
"Yakali guru pada masuk. Setau gue ya, kalau seminggu sebelum libur itu pasti guru sibuk ngisi nilai. Paling di kantor."
"Jadi ga masuk gitu?" tanya Anggi lagi.
"Engga Anggita! Emang kenapa sih?"
Anggita kemudian melirik ke arah pintu, "Yaudah gue ke toilet sebentar ya!"
Dengan cepat gadis itu sudah sampai di depan kelas. Di sebelah kanan terlihat jelas anak genk jahil yang sibuk ngobrol hal yang pasti tidak jelas. Anggi tahu betul itu, karena dia memang sering menguping lewat jendela yang paling dekat dengan selasar kelas sebelah.
Yang mereka bicarakan selalu tidak jauh dari kasus anak cupu dan tertawa menikmati waktu tanpa takut kalaupun ada guru yang lewat. Kadang Anggi juga ingin bersorak mengagumi mereka yang hidupnya nyaris seperti tak bermasalah. Walaupun setiap hari tampak jelas dimana letak trouble mereka dengan Bu Ani.
Tapi, menghadapi mereka, seolah Bu Ani yang jadi bermasalah. Mereka tampak biasa saja, sedang wanita itu stress.
Anggi terdiam. Sebenarnya dia ingin lewat dari depan mereka untuk sekedar mengetest. Kalau dia terganggu, berarti benar kalau dia akan menjadi target jahil mereka. Kalau dia dibiarkan pergi, berarti dia hanya bawa perasaan saja. Tapi ketika melihat Fariz dengan wajah sok keras, dia mengurungkan niat.
"Idih!" gumam Anggi.
"Apanya yang idih?" suara seseorang tiba-tiba mengejutkan Anggi.
Gladys sudah ada di sampingnya. Tampak gadis itu sedang mengikuti arah pandang Anggi dari tadi. Dan dia menemukan objek yang dilihat sahabatnya itu. Dengan mata bulat dia menukik pandangan pada Anggi.
"Sebastian Prananda? Oh God! Lo lagi ga mimpi buat deketin dia kan Anggi?"
"Apaan sih?" decak Anggi sewot. "Enak aja! Gue ga punya gangguan kejiwaan kali! Ga mungkin gue deketin dia, sama aja gue cari mati."
"Lah jadi ngapain lo liatin dia? Jelas lo bukan liatin Dio, Fariz, sama siapa tuh namanya yang satu lagi? Komeng ya?" Gladys terkekeh geli dengan joke yang dia buat sendiri.
"Jhon kali! Nama bagus gitu!" Anggi juga ikut tertawa.
"Ya jadi ngapain lo liatin dia kaya gitu? Atau lo diganggu?"
Anggi menggeleng kemudian melirik kiri kanan untuk memastikan bahwa semua orang sibuk pada urusan masing-masing dan tidak ada yang menyimak mereka.
"Jadi gini Glad! Tadi gue ke kantor kepala sekolah buat ngasih kabar soal pindahan gue. Trus si Bass masuk sama Bu Ani. You know lah kalau dia ga pantes lagi berurusan sama Bu Ani alias harus ditangani langsung sama Pak Ruben. Nah trus waktu gue keluar, dia ikutin gue dan ngajak gue jalan ke kelas bareng. Apa gue ga takut coba?" jelas Anggi dengam cepat.
"Lah terus lo baper?"
"Bukan baper! Tapi gue ditanyain gitu. Gue takut kalau gue dijadiin target jahil selanjutnya. Jijik banget gue, mending disuruh bersihin toilet tiap hari daripada diganggu sama bocah model gituan. Yakali mau diganggu, diliatin aja gue kaya udah mau mati."
"Gi!! Anggi lo—"
"Dan satu lagi nih ya, dia itu kan super jahil dan ga ngenakin banget. Jijik kalau berurusan sama dia. Udah tingkah kaya anak berandalan, ga ada kerapian, gimana coba? Halah! Cocoknya dia diulek terus dibuat jadi sambel buat dikasihin sama tukang kantin. Sayangnya gue ga mau lah ya, amit-amit deh. Semoga aja dia lagi lupa bawa otak jadinya, lupa sama gue."
"Anggi udah dong Gi—"
"Trus nih ya!" potong Anggi. "Dia itu kan anak paling dijauhin. Gimana kalau gue jadi korban dan gue juga ikut dijauhin? Syukur gue mau pindah! Tuh cowo ga bener! Perlu dibasmi pake pestisida. Btw muka lo kok gitu sih Glad kaya nahan boker aja?" Anggi mengamati wajah Gladys yang merah seperti kehabisan napas.
Gladys menunjuk ke arah belakang Anggi.
"Emang gue ga bener!" sahut sebuah suara.
Anggi membulatkan matanya. Suara Bass terdengar jelas di kupingnya dan dia tahu kalau semua orang kini tidak berkutik. Pasti karena Bass ada di sana. Mendadak Anggi ingin memutar waktu.
Anggita butuh pintu ke mana saja milikbDoraemon.
"Ternyata bener ya kalo lo itu ga pendiem. Cocok nih!"
...♨♨♨...
...♨♨♨...
Anggita berusaha tegar dengan membalikkan badannya. Mendadak darahnya berhenti mengalir saat menatap mata Bass yang tampak sangat menyeramkan. Benar-benar menyerupai vampir. Apalagi kerutan kecil di dahinya yang membuat Anggi yakin kalau sedari tadi —sewaktu Glad memanggil namanya— Bass sudah menyimak setiap kata dari mulut Anggi. Termasuk seluruh daftar hujatan dan ejekan yang didasari oleh kebenaran. Nasibnya semakin parah ketika beberapa orang mulai menjauh dari Bass dan meninggalkan tempat.
"Eh— Bass! Lo disini?" gadis itu tersenyum kecut, tangannya berkeringat, serasa jantungnya akan melompat keluar dari tubuhnya.
"Lo cocok jadi—"
"Jangan!" teriak Anggi kuat dengan tangan dikatupkan seperti Irang yang memohon. "Gue becanda kok tadi. Gue cuma iseng."
Bass mengernyit, dengan senyum iblis dia bertepuk tangan tiga kali. Lelaki itu memasang wajah menggoda miliknya kemudian menatap tajam ke seluruh siswa yang menonton. Mereka kabur, terbirit-birit masuk kelas. Yang bertahan hanya Gladys yang masih terpatung menatap Anggi, mana sanggup dia meninggalkan gadis itu sendiri. Jangan sampai terjadi hal yang tidak mengenakkan bagi Anggi.
"Anggi! Lo tau apa sih tentang gue sampai bisa yakin gitu ceritanya?" kata Bass sembari mendekat ke arah gadis itu. Wajah lelaki itu tampak tidak biasa, tidak seseram beberapa tempo sebelumnya.
Anggi mundur satu langkah mendekati ambang pintu. "Gue ga bicarain lo! Kenapa sih lo itu baper? Gue aja ga kenal sama lo!"
Bass menaikkan sebelah alisnya kemudian tertawa kecil, "Lo kenal sama gue. Ga ada siswa yang ga kenal sama gue."
"Ada!" ujar Anggi, kini dia mulai berani untuk mendongakkan wajahnya dan ikut membalas tatapan Bass dengan tak kalah sengit.
"Siapa?"
"Gue! Gue ga kenal sama lo, Bass!" ucap Anggi.
"Lo kenal sama gue." balas lelaki itu dengan angkuhnya. "Ga usah pura-pura ga kenal."
Anggi menarik napas panjang seraya mengangkat pandangan ke arah barisan ruang guru dan kantor BK dengan harapan yang besar kalau-kalau ada guru yang melihat keduanya sedang bertentangan disini. Tapi sepertinya belum waktunya guru keluar dan melihat, yang jadi malah beberapa orang kabur dan tidak mau melerai mereka. Pikiran gadis itu semakin berkecamuk. Seperti badai.
"Tolongin gue woy siapa aja!" batin gadis itu, padahal dia tahu tidak akan ada yang mendengar. Kalau pun ada yang bisa membaca kata hati, siapa juga yang mau menolong?
Gladys mengumpulkan niat untuk membantu sedikit, dia melangkah mendekat ke arah Anggi dan tiba di samping gadis itu saat tatapan Bass beralih kepadanya. Mengerikan. Kalau disuruh memilih bertemu dengan monster ganas dari Antartika atau Bass, jelas mereka berdua memilih bertemu monster.
"Apa lo deket-deket sama Anggi?" celoteh lelaki itu kuat membuat Gladys terkejut bukan main.
Bukannya takut, Gladys menjadi mengerti bahwa ada yang tidak beres dari Bass. Sifatnya membuat Glad kesal dan tidak tega melihat Anggi tertunduk kesal seperti itu.
"Bass! Setidaknya kita ngomongin sifat lo itu real. Bukan kaya lo yang suka nindas anak cupu trus ngarang cerita ke Bu Ani biar lo ga dikeluarin dari sekolah! Busuk lo!" pekik Glad dengan nada PURA-PURA berani.
Anggi membulatkan matanya, "Glad!"
"Biarin Anggi! Dia harus dibentak biar ga nambah jahilnya ngerjain orang!" lanjut Gladys.
Anggi menepuk keningnya kemudian beralih pada tiga teman Bass yang mulai tertarik atas kejadian itu. Mereka bertiga mengarah pada Anggi dan berhenti tepat di samping Bass. Tatapannya mendalami apa yang ada di benak Gladys dan Anggita.
"Cocok jadi korban terakhir sebelum libur nih!" Dio terkekeh.
"Korban apa? Jaga mulut lo ya Dio!" geram Glad membuat Anggi harus menahan tangan sahabatnya itu agar tidak menunjuk Dio itu. Semua tahu kalau keduanya sedang ada dalam masalah besar.
"Udah udah! Gue lagi males berurusan sekarang, ga tau deh kalau udah nanti, besok, lusa. Mungkin gue bakal ngelakuin yang lebih parah!" kata Bass seraya pergi menuju kelasnya.
Tiga temannya mengikuti Bass, sedang Anggi menarik napas lega karena mereka sudah pergi. Dia berharap kalau Bass lupa akan masalah ini dan tidak akan mengulas lagi lain waktu. Apalagi karena sifat Glad yang tiba-tiba berubah, sangat membahayakan posisi Glad juga Anggi.
"Glad seharusnya lo diem aja sampai dia nyerah ngehadepin gue." Anggi mendengus kesal, tapi sekaligus lega karena Bass sudah pergi.
"Dia ga bisa dibiarin. Lo mau diancam habis-habisan terus dijauhin orang-orang? Gue ngeliat lurus ke contoh nyata korban si Bass."
Gadis itu membalas dengan memutar tubuhnya kemudian masuk ke dalan kelas diikuti dengan Glad. Mereka mengambil yang tempat duduk dan melirik pada beberapa orang yang menatap ke arah mereka. Pasti mereka bertanya-tanya soal hantu apa yang merasuki Glad tadi. Dan terserah hantu apa pun itu, jelas hantu yang sangat berani.
"Jadi gini ya Gi, gue itu bisa kok ngehadepin si Bass. Gue yakin lo marah gitu ke gue gara-gara lo bentar lagi pindah kan? Tenang aja, selagi napas gue masih jalan, gue bisa ngehadepin dia sendiri. Apa hebatnya dia?" Gladys duduk di atas meja dan mengarahkan pandangannya kepada sahabanya itu. Anggi tahu kalau Glad hanya berlagak berani, karena aslinya Glad hanya secuil manusia yang penakut.
"Gue ga yakin, kaya gue ga tau aja lo itu siapa!"
Glad mengelak kuat, "Lo ngeraguin kemampuan gue buat lawan Bass? Dia itu kecil!"
"Kecil apaan? Dia itu tinggi!"
"Maksud gue dia itu sok jagoan tapi nyalinya ga ada. Buktinya dia diem tiap gue liat berurusan sama Bu Ani."
Anggi memukul meja, "Lo ga paham ya! Gue pergi siapa yang jadi pelindung lo di sekolah?"
Gladys terdiam. Sebenarnya dia takut juga kepada Bass. Hal ini dia lakukan seolah hanya untuk mengurangi pikiran Anggi yang jelas sekarang sedang berantakan. Belum memikirkan perceraian orangtuanya, pindah ke desa, dan sekarang si Bass datang dengan ancama pertama.
"Sayap pelindung? Yaudah gue minta maaf!" ujar Glad akhirnya.
Anggi mengangguk kemudian menerawang ke udara. Otaknya hanyut pada pemikiran yang berbeda-beda. Sangking banyaknya yang harus dia pikirkan, jadi bingung harus memikirkan yang mana terlebih dahulu.
Gadis itu kembali mengamati sahabatnya yang tetap berdiam di meja. Tatapan Glad sangat kosong ke depan. Dia tidak tega kalau harus meninggalkan Glad sendiri karena dia paham betul siapa Gladys, gadis yang tidak mau menambah teman dan susah membaur dengan lingkungan baru. Tentu kalau Anggi pergi, semua akan terasa baru bagi Gladys.
Tapi dia juga memikirkan kedua orangtuanya. Yang satu harus pergi ke luar negeri untuk bisnis dan menghabiskan waktu di rumah hanya hari Minggu. Yang satu harus pergi ke berbagai tempat untuk mengikuti team pembuatan film dalam negeri.
Hal itu yang membuat Anggi harus tinggal di desa. Daripada menghabiskan waktu untuk menunggu kepulangan ayah atau ibunya yang bercerai, lebih baik dia merawat neneknya di tempat yang jauh dari kota. Setidaknya itulah keputusan yang paling baik menurut Anggi. Kalaupun harus meninggalkan sahabatnya, kehidupan kota, dan riuk-piuk penuh keasikan.
"Anggi!" panggil Gladys pelan.
Anggi tidak menyahut. Dia tampak menatap udara yang ada di antara dirinya dan Glad.
"Anggi!" panggil gadis itu lagi.
Tidak disahut.
"Woy Difa Anggita!" ujarnya dengan sekuat tenaga.
Anggi terbelalak kaget, kemudian memasang wajah kesal pada sumber suara keras yang membangunkan Anggi dari ruang lamunan.
"Apa sih?"
"Lo kok bengong gitu kaya orang tolol?"
Anggi menggeleng, "Ga kenapa."
Gladys menaikkan bahu dan meraih handphone dari saku bajunya. Dia mulai mengotak-atik aplikasi sedang Anggi hanya diam. Kenapa semua masalah itu muncul dari satu buah masalah.
Seandainya orangtuanya tidak pisah, pasti dia tidak akan pergi ke desa melainkan Oma bisa tinggal di kota. Pasti Anggi tidak akan berpisah dari Glad. Dan yang paling parah, Anggi tidak akan pergi ke ruang Pak Ruben dan bertemu dengan Bass. Jujur, satu akar berbuah seribu.
...***...
"Sebastian!" panggil seorang wanita, Bu Ani, lagi.
Bass menoleh spontan ke ambang pintu dan melihat wanita itu berdiri dengan sebuah surat beramplop putih di tangannya. Bass mendengus kesal, lagi-lagi orangtuanya harus datang ke sekolah dan dia harus mendengar nasehat dari ayah dan ibunya sekaligus.
"Bass, lo dapat surat panggilan lagi?" Fariz menaikkan nada suaranya.
"Iya dan ini gara-gara lo salah bikin target!" katanya sebelum akhirnya berjalan cepat menuju Bu Ani.
Bass melenggang dan tiba di hadapan Bu Ani secepat kilat. Matanya menetap di surat yang belum disodorkan juga kepadanya. Kalau sudah begini, Bass mengerti maksudnya. Bu Ani masih harus menyampaikan beberapa arahan yang sebenarnya hanya dianggap angin lalu oleh Bass.
"Bastian!"
"Iya bu?" sahut Bass santai, mengundang senyum tiga sahabatnya.
"Surat ini harus sampai ke orangtua kamu dan suruh darang besok!" Bu Ani menyodorkan kertas itu kemudian Bass menerimanya.
"Bass bakal kasih kok bu! Keep calm."
Bu Ani menahan rasa marahnya. Seperti yang dikatakan Pak Ruben, kalau untuk menghadapi sejenis siswa seperti Bass yang dibutuhkan ialah kesabaran yang mendalam. Itu saja dan Bass akan luluh sendiri. Tapi sudah satu setengah tahun Bu Ani mengikuti trik yang konyol seperti itu, toh saja Bass tidak melembekkan hati.
"Kamu itu udah kelas sebelas, kamu harus tahu hal apa aja yang bisa buat kamu ga naik kelas nanti!"
Bass mengangguk asal.
"Kalau kamu ga naik kelas jadi mau apa kamu Bass?" tanya Bu Ani dengan frustasi.
"Saya bakal ngulang di sekolah lain bu. Ya sekalian ngurangin pikiran ibu dan pikiran saya!" jawab Bass.
Terdengar gelak tawa sahabatnya yang ada di sudut. Bass sengaja menaikkan nada bicaranya agar mereka bisa dengar apa saja yang dikatakan lelaki itu.
Bu Ani menggeleng pelan kemudian berlalu dari Bass. Matanya menyipit karena kesal dan tidak sabar untuk segera mendapat kesalahan Bass yang lebih fatal agar dia bisa keluar dari sekolah. Ini semua terang-terangan untuk mengusir dosa dari pikiran Bu Ani. Pasalnya, Bass ada hanya untuk membuat wanita itu naik darah dan menghujat di dalam hati.
Bass cengingisan kemudian berbalik menghadap semua orang yang ada di kelasnya. Dan dengan santai lelaki itu merobek kertas yang baru diberi oleh wanita itu menjadi empat bagian. Bass melayangkan kertas itu ke udara dan bagiannya jatuh ke lantai. Sungguh keterlaluan.
Lelaki itu tertawa semakin menggila dan membuat semua siswa bergidik ngeri. Percayalah kalau orang paling tidak tenang di sekolah adalah siswa yang sekelas dengan weird n dumb. Setiap pergi ke sekolah pasti tidak berhenti menyimpan rasa takut.
Hampir setengah dari kelas itu sudah dijadikan korban bergilir. Jadi jangan tanya kenapa mereka begitu khawatir. Mungkin yang tidak takut pada Bass hanya guru dan orangtuanya. Bass memang gila.
"Lo kok ga ngajak buat ngancam si cupu hari sabtu? Kalau lo ngajak pasti kita berempat udah belagak ngerobek kertas suratnya di depan." protes Dio.
"Halah!" Jhon mengacak rambutnya. "Namanya Bass, walaupun kertasnya dirobek pasti orangtuanya tetep dateng kok ke sekolah."
Mereka tertawa lagi. Terus tertawa sampai beberapa siswa memilih untuk pergi dari kelas karena tidak tahan akan gelak tawa Bass, Dio, Jhon, dan Fariz. Menyebalkan sekali tawa mereka itu. Lebih menyebalkan dari tawa Spongebob.
...***...
Pulang sekolah adalah satu hal yang paling menarik pikiran orang-orang. Namun beda hal dengan Anggita dan Gladys yang masih belum berani keluar kelas. Siapa tahu kalau mereka akan menantang badai kemelut setelah keluar ruangan. Mungkin saja Bass sudah menunggu dengan wajah yang tak bisa diajak kompromi sedikit pun. Mereka tidak berani.
"Sebenarnya makin kita ga berani, dia makin ganggu kita!" Anggi mencoba menguatkan hati temannya itu.
"Iya, makanya gue bilang kita lewat dari depan kelas dia, dan ngebuktiin kalau kita ga takut."
"Jadi kenapa lo ga mau keluar dari tadi?" tanya Anggi.
Glad kikuk, memang benar adanya kalau dia takut keluar kelas. Bahkan sekarang dia menyesal karena sudah menentang Bass. Dia tidak mau dipandang sebagai anak cupu yang gampang dibawahi oleh Bass.
"Yaudah Glad! Jalan aja, gue di samping lo!" Anggi meyakinkan Gladys dengan tatapan penuh arti.
Gladys mengangguk kemudian berjalan di samping Anggi. Mereka melenggang menuju kanan lorong yang akan membawa mereka ke gerbang utama masuk sekolah. Dan dengan gila mereka mencoba berjalan santai melewati selasar, hanya untuk membuktikan kepada Bass kalau mereka tidak takut.
Sesampainya di depan kelas Bass, mereka sempat melongok ke dalam kelas lelaki itu. Tapi tampaknya kelas itu sepi, hanya ada dua orang yang mengobrol di depan meja guru. Entah apa yang mereka lakukan.
"Hey!" panggil Glad ke arah keduanya.
Dua orang itu menoleh ke arah Glad, kemudian Glad menarik tangan Anggi dan masuk ke kelas itu. Sebenarnya Anggi takut kalau saja mereka berempat belum pulang dan datang ke kelas mendapati dirinya.
"Glad! Lo ngapain masuk ke sini?" Anggi memelas.
"Eh, Bass udah pulang ga?" tanya Gladys santai pada dua siswa itu.
"Udah tadi, emang kenapa? Baru kali ini ada orang yang nanyain Bass!" jawab seorang yang tengah memegang sapu.
"Nanya aja, kalian ngapain belum pulang?" Gladys sok akrab, sedangkan Anggi sedang dipenuhi rasa takut berlebihan.
"Ini, lagi lihat surat peringatan Bass yang tadi dia robek!"
"Apa?" Anggi terbelalak. "Surat peringatan dia robek? Gimana ceritanya?"
"Tadi Bu Ani ngasih terus Bass robekin. Dia emang sering gitu, ga heran." jawab gadis itu kemudian beralih pada Glad.
Gladys tersenyum picik, kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Anggi. Seketika Anggi menggeleng ngeri, perasaannya berubah tidak enak dan jantungnya menjadi kalap. Rencana yang baru dibisikkan olej Glad benar-benar di luar dugaan.
"Gue ga yakin!" Anggi merengek takut.
"Calm aja! Ikutin jalan ceritanya biar dia kapok!" Glad terkekeh seperti iblis. "Bisa minta kertasnya ga? Penting!"
Kedua teman sekelas Bass itu saling berpandangan sebelum akhirnya memilih untuk membiarkan Glad memiliki kertas itu. Sedang Anggi hanya menarik napas panjang seakan pasrah kalau hal buruk akan terjadi pada mereka.
Mereka berdua jalan menuju luar ruangan dan melanjutkan perjalanan ke arah gerbang. Banyak siswa yang masih mengobrol di sana dengan wajah riang masing-masing. Tampaknya hanya Anggi yang takut. Di balik niatnya untuk membuat Bass lupa akan masalah ini, datang lagi si Glad yang membuat masalahnya akan semakin panjang.
"Ga bakal ketahuan!" kata Gladys lagi.
"Kalau ketahuan gimana? Bass itu kan anak orang kaya, pasti gerbangnya punya cctv."
Gladys tergelak dalam tawa, "Ini kan surat panggilan. Ya siapa yang ngasih ke orangtua dia, dia ga berhak marah dong!"
Anggi menggigit bibir bawahnya. Kakinya tidak bisa berhenti memainkan pasir yang ada di bawah. Serta tangannya tidak bisa berhenti bermain antar jari jemari. Jujur dia takut kalau kerjaan mereka hanya akan memperburuk suasana.
...♨♨♨...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!