...♨♨♨...
Mentari kembali menyapa bumi saat Anggi membuka matanya lebar-lebar. Sinar mentari yang menyambar wajahnya membuat gadis itu harus mendecak kesal karena sudah waktunya untuk berpisah dari tempat tidur. Namun seketika pikirannya terfokus pada satu hal yang berhubungan dengan sinar matahari sehangat ini. Kapan biasanya dia merasakan terpaan alami dari lampu galaksi Bima Sakti ini?
Biasanya gue nikmatin matahari sehangat ini kalau lagi di mobil di jalan mau ke sekolah.
Mata Anggi terbelalak dan dia duduk di tempat tidur. Dengan takut dan ragu dia menoleh ke arah jam yang terletak di meja belajar dekat dengan tempat tidurnya. Mata gadis itu melirik pelan. Jantungnya berhenti, namun jarum panjang di jam itu tidak mau berhenti. Memaksa Anggi untuk segera berteriak.
"Jam setengah tujuh? Noooo!"
Gadis itu beranjak cepat. Menarik handuk yang tergantung di salah satu kaitan dekat kamar mandi pribadinya. Dengan kilat dia melesat ke kamar mandi dan byur. Air dingin menyadarkannya kalau dia harus bergerak cepat kalau tidak mau berdiri di depan gerbang sekolah dan mendapatkan hukuman dari Bu Ani.
Sigap Anggi menarik baju sekolahnya, memakai baju seragam, dan mengambil tempat di depan kaca. Sejenak dia mencoba berdandan lebih cepat dari biasanya, namun ternyata berdandan cepat itu sangat susah. Jadi benar-benar harus memakan waktu yang banyak untuk sekedar tampil oke di sekolah.
Setelah itu Anggi meraih tas miliknya dan melesat ke luar kamar. Menuruni anak tangga, menyusuri ruang tamu yang lumayan luas, dan sampai ke ruang makan yang kosong. Tunggu! Kosong?
Anggi terdiam, matanya menyapu seluruh ruangan. Biasanya kedua orangtuanya sudah menunggu untuk sarapan bersama tapi kali ini keduanya tidak ada di tempat. Gadis itu melangkah menuju pantry dan mendapati Bi Surti sedang berdiri disana sembari membuat susu untuk Anggi. Namun sama sekali hal itu tidak membuat pikiran gadis itu terfokus.
"Mana mama sama papa?" tanya pelan.
Bi Surti menatap Anggi dengan tatapan kuyu, "Lagi mengurus soal perceraian."
"Oh."
Wanita tua itu tersenyum enggan kemudian mendekat ke arah Anggi dan meletakkan segelas susu di depan gadis itu. Sedang Anggi hanya bisa menatap kosong ke depan, menyadari kalau dia akan benar-benar pergi dari rumah ini tanpa kedua orangtuanya. Dia benci nasib ini.
"Kalau gitu Anggi berangkat!" Anggi mengangkat dirinya kemudian menjauh dari pantry.
Gadis itu sempat mendengar panggilan Bi Surti, tapi dia memilih untuk tetap berjalan mengingat kalau waktu yang dia punya tinggal sedikit untuk menuju sekolah. Kakinya melangkah cepat melesat ke halaman rumah dan mendapati seorang lelaki berbadan tegap melihat ke arah gadis itu dengan ramah. Anggi membalas senyumnya.
"Berangkat?" tanya lelaki yang menjabat sebagai supir pribadi keluarga Anggi.
"Iya pak! Anggi telat!"
Gadis itu memasuki mobil kemudian mobil itu segera melaju di jalanan, beradu dengan mobil lain. Saling berebutan untuk mengambil posisi terdepan. Melalui lampu merah dan sampai di depan sekolah dengan waktu yang sangat membuat Anggi kesal.
Anggi menuruni mobil dan mengernyit menatap supirnya yang mengemudi begitu lambat di waktu-waktu yang tidak tepat. Sejurus kemudian Anggi bergerak lambat menuju gerbang di depannya. Percuma kalau dia cepat, toh saja gerbang tidak akan dibukakan khusus untuknya. Lagian melihat Bu Ani yang berdiri di depan gerbang, membuatnya semakin tidak yakin bisa masuk begitu saja tanpa hukuman.
"Pagi Bu Ani!" sapa Anggi sedikit ramah.
"Kamu satu-satunya yang terlambat hari ini Anggi, terlambat lima menit!"
Anggi mengangguk kecil, "Maaf bu!"
"Kalau gitu kamu masuk tapi kumpulin dulu sampah yang ada di taman sekolah!" perintah Bu Ani dengan tenangnya.
Gadis itu hanya bisa mengangguk pasrah kemudian mengarah masuk ketika Bu Ani memberi sedikit celah untuk Anggi masuk. Dengan cepat dia memasuki taman sekolah yang memang ada di depan dari lingkungan sekolah, sedang Bu Ani memperhatikan gerak-gerik Anggi.
Jujur kalau Bu Ani tidak memperhatikan Anggi, dia akan lari daripada menyiksa diri sendiri. Namun mana mungkin dia lari saat seperti ini. Sama saja cari mati.
Tapi satu hal yang membuat hati Anggi melonjak ialah ketika Bu Ani tampak menjauh dari arah taman dan kembali mengawasi gerbang. Sejenak gadis itu melirik ke arah lorong utama yang akan membawa siswa masuk ke deretan kelas.
Dengan kilat Anggi beranjak dan lari sekencang mungkin. Menuju ke lorong demi lorong lalu sampai ke depan kelasnya. Dia melirik ke dalaam sembari mengelus dada. Untung minggu ini adalah minggu tenang, dimana murid bisa bermain sepuasnya sebelum menerima laporan hasil belajar di ujung minggu.
Sejenak Anggi melirik ke kelas Bass yang tampak sangat sunyi. Baiklah, sebenarnya dia heran kenapa kelas itu bisa diam. Biasanya selalu ada ulah dari kelas berlabel IPS yang ruangannya paling ujung itu. Kalau tidak ada guru, pasti ributnya tidak bisa dibendung pakai teriakan ketua kelas.
Anggi memutuskan untuk masuk dan menghampiri Glad, sedang sahabatnya itu melipat tangan di depan dada. Gladys heran kepada Anggi yang sebelumnya tidak pernah terlambat sama sekali. Dan sekarang gadis itu terlambat dan naasnya lagi dengan wajah kesut seperti pakaian tidak disetrika.
"Hai Glad!" sapanya ringan.
"Dari mana aja lo? Kok telat gini?"
Anggi duduk di kursinya dengan lemas, seperti tidak memiliki tenaga untuk menjawab pertanyaan Gladys. Matanya kuyu dan wajahnya didominasi dengan raut cemberut. Tidak pernah Anggi seperti itu sebelum kabar perceraian kedua orangtuanya. Sekarang Gladys mengerti apa yang dipikirkan oleh Anggi.
"Emang hidup punya kejutan sendiri Anggi! Kita maunya gini, ternyata orang maunya gitu." Gladys mencoba menguatkan Anggi.
"Iya sih, tapi kenapa mereka harus gini? Ngapain mereka ketemu coba kalau akhirnya harus pisah? Ngerepotin!"
"Anggi! Itu semua diatur sama yang di atas."
"Jadi?" Anggi tidak terima. "Seharusnya mereka ga pisah! Kayanya mereka ga sayang sama gue!"
"Ya ampun Anggi! Lo dengerin gue ya, ga ada orangtua yang benci sama anaknya! Percaya sama gue!"
"Lo ga lagi bohong kan?" ujar Anggi sembari melayangkan tatapan menyelidik ke arah Gladys.
"Gue sahabat lo! Gue ga bakal boong!"
Anggi mengangguk paham kemudian melepas ranselnya. Mulutnya terkatup karena tidak mampu lagi membalas apa-apa. Sebenarnya dia yakin kalau ayah dan ibunya sangat sayang pada Anggi. Selama ini keduanya merawat Anggi dan memberikan apa yang Anggi inginkan. Namun satu hal yang membuat Anggi menjadi ragu adalah ketika gadis itu meminta keduanya untuk tetap bersama.
Jawabannya tidak bisa.
"Gue semalem ga bisa tidur tenang!" kata Anggi tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Gue kepikiran Bass, maksudnya bukan kepikiran gimana, tapi gue merasa bersalah dia jadi dimarahin gitu." ucap Anggi, tangannya mengetuk-ngetuk meja.
"Lo mendingan tenang aja kali Anggi, sekali-kali biar dia kapok. Kan enak idup tenang gini!" cibir Gladys.
"Tau ah! Gue mau beli minuman dulu ke kantin, lo mau nitip?"
"Boleh, kaya biasa satu!" Glad tersenyum lebar.
...***...
Bass duduk di antara Sarah dan Bagas. Di depan mereka terdapat Pak Ruben yang tersenyum ramah kepada orangtua Bastian. Mereka saling bertukar pandang dengan raut wajah berbeda. Pak Ruben sedikit jenaka, Bagas tampak tenang, Sarah khawatir, sedang Bass biasa saja. Baginya ruangan kepala sekolah sangat panas melebihi suhu matahari musim panas.
"Saya sudah buat keputusan, Pak Bagas!" kata Pak Ruben dengan senyum yang belum hilang dari wajahnya.
"Semoga keputusan itu masih baik bagi anak saya, Pak Ruben!" jawab Bagas.
Bass menarik napas frustasi, beranggapan bahwa Pak Ruben adalah tipe orang yang suka berbasa-basi. "Bisa langsung ke intinya pak?"
"Bass, jaga bicara kami!" bentak Bagas kuat.
Sarah merangkul Bass yang mengatupkan kedua giginya, dia tahu kapan saja emosi Bass bisa meledak. Sarah bahkan mengaku kalau ini adalah kesalahannya.
"Baiklah, saya tidak akan berlama-lama. Saya hanya ingin bilang kalau Bass akan kami skors satu minggu, dan boleh kembali sampai semester berikutnya dimulai."
Bagas, Sarah, dan Bass mendadak membulatkan mata. Bass pikir kalau hukumannya lebih berat dari hari-hari sebelumnya. Biasanya dia hanya disuruh membersihkan kamar mandi selama seminggu, jadi patroli keamanan selama tiga hari, atau tidak diterima di kantin selama beberapa hari. Namun kali ini ternyata sedikit lebih mengecewakan.
"Memang apa yang dilakukan anak saya lagi Pak?" tanya Sarah pada Pak Ruben.
"Seperti biasa, suka mengancam anak-anak sekolahan, dan kali ini, anak yang diganggu sama Bass adalah anak orang yang cukup berpengaruh dan menyatakan siap untuk menuntut Bass."
Bass tidak bicara, dia mulai tidak betah untuk lama-lama di tempat itu. Dia tudak peduli anak siapa yang dia ganggu, mau anak presiden sekali pun, dia rasa itu bukan urusannya. Pikirannya juga mulai kacau ketika tahu kalau Bass harus berada di rumah menghabiskan minggu ini, dan yang paling parah kalau Bagas harus menyampaikan apa yang akan dia sampaikan pada Bass atas semua ini.
"Makasih Pak!" seru Bass kemudian sebelum beranjak.
"Bass jangan lupa ambil tugas yang harus kamu kerjakan di hari libur kamu kepada Bu Ani!"
Sarah sempat menarik tangan Bass, namun Bagas menahan Sarah dan mengisyaratkan agar membiarkan lelaki itu pergi dari ruangan. Sarah menunduk sedang Bagas hanya diam. Walaupun kadang Bagas mau menawarkan sejumlah uang pada Pak Ruben untuk menarik hukuman Bass, tapi kali ini Bagas tidak melakukannya.
Bass berjalan menuju lorong kelas dengan wajah yang tidak seperti biasa. Kesal rasanya saat tahu kalau hukumannya lebih parah. Skorsing selama empat hari hanya akan membuatnya mendekap di rumah dan tidak bisa bertemu Dio, Jhon, dan Fariz. Tak henti dia mengumpat semua orang yang dia pikirkan.
Bass berhenti saat tiba di depan kelas Anggi. Matanya menyapu seluruh sudut kelas dan mendapati Gladys sedang duduk di meja dan meliriknya saat lelaki itu memasuki kelas. Mendadak Anggi terbelalak, bola matanya nyaris keluar. Darahnya serasa berhenti. Nadinya tidak lagi bernada.
"Woy lo!" pekik Bass kuat, tangganya mengepal kuat. "Kalau aja lo bukan cewe, berantem gue sama lo di lapangan!"
Semua orang ikut terkejut dan tidak bisa melakukan apa-apa, apalagi saat Bass mendekati Gladys. Bahkan beberapa orang mulai pergi dari kelas karena takut terkena imbas dari kejadian ini.
"Bass?" ucapnya kalap.
"Lo yang ngasih surat itu ke orangtua gue kan? Gara-gara lo gue jadi kena!"
"Wait!" pekik Anggi ketika tiba di kelas, dari kantin.
Matanya bertemu dengan sosok Bass yang wajahnya tak kalah merah dari tomat. Seketika Anggi bergidik ngeri, dia takut, tapi juga tidak bisa membiarkan Gladys tertegun seperti itu. Matanya membalas tatapan Bass nanar, kemudian ?mendekat ke arah lelaki itu.
"Lo ngapain gangguin Gladys gitu?"
"Temen lo ini udah ngasih surat panggilan gue ke orangtua gue, ya kalau gue biarin dia bikin masalah di hidup gue!" Bass memekik setengah teriak.
"Gladys ga lakuin apa-apa! Gue yang ga punya nyali buat ngelawan lo sampai-sampai gue nyuruh Glad buat ngerjain lo!" dusta Anggi.
Bass terdiam, sedang Gladys memandang Anggi dengan tatapan bersalah. Gadis itu sedikit maju untuk membantu Anggi kalau saja Bass melakukan hal yang lebih lanjut. Namun tampaknya lelaki itu diam saja memandang Anggi.
Mungkin Bass memandang Anggi biasa saja, tapi yang dirasakan gadis itu adalah ketakutan yang luar biasa. Karena sejinak-jinaknya harimau peliharaan, kapan pun dia bisa menyergap dan membunuh. Walau membunuh dalam hal ini bukan arti sesungguhnya, alias hanya melambangkan kekejian Bass kalau mengancam seseorang.
"Bass, bisa lo ga ngelihatin gue kaya gitu?" Anggi mengernyit kecil, antara kesal dan takut.
"Maaf! Sebaiknya lo juga ga liatin gue kaya gitu!" balas Bass saat sadar kalau Anggi menatapnya begitu sok berani.
Anggi mundur selangkah demi menjauhi dirinya dari Bass. Kemudian tatapannya langsung menyorot pada semua murid yang sedang menonton mereka dengan menyembunyikan rasa takut. Sedang Glad masih memcoba mengembalikan nyawanya yang sempat melayang, Bass mengangguk.
Lelaki itu melangkah pergi dari kelas Anggi, dan sedetik setelah itu Anggi dan Gladys menghembuskan napas lega atas kepergian Bass. Sama seperti semua orang yang memperhatikan mereka, semua menarik napas lega. Kalau terjadi sesuatu, pasti mereka yang lebih dulu kena serangan jantung.
"Lo ga kenapa-napa kan Glad?" tanya Anggi sembari mendekat. Mencoba membantu temanmu mengambil udara untuk bernapas.
"Okey! Gue okey! Makasih udah nolongin gue dan sekarang gue paham kenapa lo larang gue soal kemaren!"
Anggi tertawa kecil namun masih dalam situasi tidak baik, "Dan sekarang lo hanya perlu minta maaf sama dia sebelum kita kena lagi!"
Gladys terhenyak. Mendengar kata minta maaf kepada Bass, tidak! Nyaris saja dia kehilangan nyawa tapi dia harus berurusan lagi dengan lelaki yang tidak punya perasaan seperti itu?
"Idih!" elak Glad, menolak mentah-mentah usul dari sahabatnya itu.
"Tapi itu jalan terakhir sebelum dia ngelakuin hal yang lebih!"
"Tapi dia ga ngelanjutin marah-marah karna lo bilang lo yang nyuruh gue. Dari situ gue taksirin kalau kita bakal aman dan kita ga perlu berhubungan sama dia!" Gladys terduduk dan mencoba membuang jauh-jauh usul Anggi.
Anggi menggeleng pelan, "Glad! Kita itu harus pinter. Kalau dia masih nyimpan dendam sama lo gimana?"
Gladys membulatkan matanya dan menatap Anggi dengan wajah cemberut. "Ya— ya udah iya, nanti pulang sekolah aja!"
"Oke!" Anggi mencoba tenang.
"Tapi Anggi!" Gladys menjurus pada orang yang dimaksud. "Kenapa dia ga ikut marah-marah sama lo? Apa jangan-jangan lo—"
"Hoy! Masih untung gue selamatin lo malah nuduh gue lagi! Kalau disuruh milih antara Bass sama satpam sekolahan, gue milih jadian sama satpam kali!"
Gladys terkekeh pelan dan memukul pundak Anggi, membuat semua orang heran karena perubahan suasana yang secepat itu. "Gue jadi ga gugup lagi!"
"Ya setelah lo minta maaf, semua bakal balik normal! Terus idup lo aman ngejalanin setahun lagi di SMA ini." Anggi tersenyum namun tidak benar-benar dari rasa bahagia.
...♨♨♨...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments