...♨♨♨...
Setelah mendengar kalau Cleo sudah berada di luar kamar dan meninggalkan lorong, Anggi duduk. Kepalanya masih pusing karena kejadian tadi. Ya siapa yang tidak pusing kalau Bass harus menyelinap masuk ke kehidupan Anggi yang nyaris masuk garis ketenangan tampa riuk-piuk kota. Yang bisa dilakukan gadis itu hanya berdoa, semoga Bass cepat sadar kalau di mata Anggi dia itu hanya setan kelayapan.
Anggi bisa mendengar ketika Cleo teriak dari ruang tamu untuk minta izin pulang pada Oma dan Helen, keduanya mengiyakan. Cleo pulang, dan semoga saja Bass ikut pulang ke rumahnya. Anggi tidak mau melihat Bass lagi.
Baiklah, mungkin Bass bersifat manis ketika dia menemuinya di kelas, tapi dia ingat lagi oleh perkataan Glad, ya bisa jadi itu hanya tipuan belaka. Pasalnya dia pernah bilang kalau dia bisa melakukan yang lebih, mungkin nanti, besok, atau lusa. Dan Anggi berpersepsi kalau itulah alasan kenapa Bass disini.
Segera Anggi mengarah ke kursi yang berada di dekat pintu kamar. Dia duduk dan meraih handphone miliknya. Melihat ada tiga puluh enam panggilan terlewatkan dari Glad, mendadak Anggi ingat. Glad pasti khawatir karena dia tidak menutup telepon waktu dia teriak.
Segera Anggi menelepon sahabatmya itu, untung sinyal sedang bisa diajak berkawan. Dengan cepat Glad menyahut dari seberang mulai kepo dengan ke jadi apa yang baru menimpa Anggi sampai teriak begitu.
Anggi menjelaskan semuanya, dari awal kejadian sampai akhir. Dari saat bertemu Bass di depan pintu rumah dan Bass yang membuatnya harus pingsan. "Jadi gitu..."
"Seriusan lo?" pekik Glad masih belum percaya.
"Gue ga bohong!!"
"Jadi dia beneran neror? Emang tuh anak jail banget. Masa segitunya cuma mau bales dendam," desis Glad.
Anggi menarik napas frustasi, "Jadi gue harus gimana? Mana dia akrab sama Oma lagi!"
"Tapi... Lo yakin kalau dia neror lo? Manatau dia beneran ga kebetulan ketemu sama lo, liburan mungkin."
"Engga!" bantah Anggi. dia tidak terima kalau Glad berpikir seperti itu. "Dia pasti bakal jahil in gue entar lagi, dia itu kan ga mandang bulu juga kalau mau jahilin orang."
"Anggi—"
"Lagian nih ya," Anggi memotong perkataan Glad. "Kalau dia cuma sekedar liburan, kenapa ga ke kampung halaman dia? Ini kan bukan kampung halaman Bass, ya kali dia milih le rumah tantenya.."
"Anggi!" panggil Glad.
"Apaan?"
"Gue baru inget kalau tadi gue nelpon lo, dan Bass ngangkat!" ucap Glad dengan nada antusias.
"Demi apa??" mendadak Anggi menjadi lemas. Nyaris jantungnya loncat dan pergi meninggalkannya di kamar sambil teriak: dramatis sekali hidupmu, Anggi!
"Dia bilang apa?" tanya Anggi.
"Bilang apa tadi.." gumam Glad. "Oh, tadi dia ngangkat terus bilang gini ke gue, 'Hallo, gue Bass. Sebastian Prananda',"
Gladys menirukam suara laki-laki yang berat, meski sama sekali tidak menyerupai. "Mungkin waktu lo pingsan tadi." lanjutnya.
"Seriusan lo?" tanya Anggi tidak percaya.
"Serius, gue kaget terus gue matiin tuh henpon."
Anggi terdiam, sejenak dia terdiam kemudian mendengar suara langkah kaki menuju ke arah kamarnya. Langkah kaki itu tidak jelas berasal dari mana, yang jelas pasti menuju kamar. Langsung Anggi mematikan telepon dan menerkam tempat tidur. Gadis itu acting seperti orang yang sakit keras dan mengerutkan dahi menanti kedatangan orang itu.
Pintu terbuka, tampaklah Oma datang membawa segelas air hangat dengan senyumnya yang manis. Anggi menghembuskan napas lega. Lega karena yang datang bukan Bass, karena dia tadi tidak yakin kalau Bass sudah pergi.
Oma duduk di pinggiran kasur dan meletakkan gelas di meja yang berhimpitan dengan tempat tidur Anggi. Gadis itu bangun dan menatap Oma yang dengan perasaan heran masih membayang di otaknya. Anggi khawatir kalau tadi dia membuat Oma takut. Tapi satu hal yang dia ingin, jangan sampai ayah dan ibunya tahu soal ini.
"Oma kenapa?" tanya Anggi.
"Oma khawatir sama kamu. Kamu kenapa tadi teriak? Cerita sama Oma, ya?"
Anggi mengangguk demi menghilangkan rasa khawatir Oma. Dan cara ampuhnya yaitu mengarang saja, daripada dia menjelaskan siapa Bass sebenarnya. Bisa-bisa Oma langsung sakit jantung. "Anggi tadi kaget,"
"Anggi kan lagi nelpon sama temen Anggi, tiba-tiba laki-laki itu udah ada di jendela buat ngagetin Anggi."
"Bass maksud kamu?"
Anggi mengangguk, "Iya."
"Kaget sampai segitunya cucu Oma, yaudah kamu istirahat dulu ya. Mungkin benar kalau kamu itu kecapean karena kemarin." Oma mengelus rambut Anggi.
"Oma jangan kabarin Papa sama Mama ya!" mohon Anggi.
Oma mengangguk, "Iya. Asal kamu istirahat dulu, minum airnya ya."
Sejurus kemudian Oma pergi meninggalkan Anggi sendirian. Benar-benar dia sidah membuat Oma khawatir. Dia takut kalau Oma kenapa-napa. Dia sayang Oma. Oma akan menggantikan sosok ayah dan ibunya secara bersamaan.
Anggi kembali menoleh pada layar ponselnya. Sebenarnya dia lagi malas bicara dengan telepon, maka dari itu dia membuka pesan saja. Dia melihat kalau Glad sudah banyak mengiriminya pesan. Ya jelas sahabatnya itu khawatir, dan kalau pun Glad bukan sahabatnya, tetap saja takut. Siapa yang tidak kenal Bass, kata mereka.
Anggi menutup matanya. Baiklah, ternyata dia masih harus menyelesaikan satu masalah lagi dengam Bass. Masalah yang dimulai dari perceraian kedua orangtunya itu rasa-rasanya tidak akan berakhir. Untung saja Anggi termasuk orang yang sabar dalam menafsirkan apa yang indah di balik ini semua. Walaupun Anggi belum menemukan apa keindahannya.
Tiba-tiba handphone Anggi berdering lagi, asalnya dari Endy. Dengan sedikit memelas Anggi mengangkat telepon itu. Sekesal apapun Anggi, toh Endy ialah ayahnya. Ayah tercinta yang selalu menyanggupi permohonan Anggi, kecuali permohonan untuk memperbaiki rumah tangganya pribadi.
"Halo Pa?"
"Anak Papa, gimana kabarnya?" tanya Endy.
"Masih sama kaya kemarin, Pa."
"Emang kemarin kenapa?"
"Marah, kesal, dan malu." jawab Anggi lesu.
Endy terdiam. Mungkin karena ada kata 'malu' di omongan Anggi yang memang menjurus pada perceraian kedua orangtuanya. Siapa anak yang tidak malu kalau oramgtunya berpisah. Kalau orang-orang bertanya kenapa Anggi tinggal bersama neneknya di desa ini, maka dia harus menjawab, 'Orangtuaku bercerai'
Pasti orang-orang kasihan melihat Anggi. Padahal Anggi tidak minta dikasihani oleh orang lain. Hanya ingin dikasihani oleh ayah dan ibunya sebagai anak yang masih butuh dekapan kedua orangtua lengkap. Seperti Gladys yang tinggal aman dengan orangtuanya. Ini antara rasa iri dan malu, jangankan pada oorang lain, pada diri sendiri saja Anggi merasa bahwa ini ialah aib.
"Udah makan?" Endy mengalihkan pembicaraan.
Anggi paham pengalihan obrolan itu. Sering dilakukan ayahnya kalau lelaki itu sedang dalam situasi susah menjawab. Gadis itu menoleh ke jam yang ada di kamarnya. "Sekarang udah jam sepuluh, ga mungkin Anggi belum makan."
"Mungkin aja, kan kalau libur anak Papa suka bangun telat."
"Papa tau dari siapa? Kan Papa ga pernah di rumah waktu libur." Anggi membuat Endy terpuruk. Sebenarnya dia tahu kalau itu tidak baik, bisa dibilang durhaka.
"Jadinya Papa beliin kamu motor aja, kan?" Endy terdengar sedikit lebih sabar dalam menghadapi Anggi.
"Sepeda."
"Maksudnya?"
"Maksud Anggi, Papa beliin Anggi sepeda aja." jawab Anggi.
"Oh, oke kalau gitu. Nanti Papa kirimin ya sayang, kalau gitu Papa mau lanjut dulu kerja Papa. Kamu baik-baik ya!"
"Pa!" panggil Anggi sebelum lelakinitu menutup telepon. "Papa kapan main ke rumah Oma?"
"Belum tau sayang, sabar aja dulu. Nanti Papa telepon lagi, ya?"
Berlalunya telepon itu diikuti oleh suara orang-orang yang bercengkrama di jalan. Anggi bisa merasakan kalau dia sendiri, hanya Oma yang menjadi teman. Dia kira kalau dia tinggal disini —jauh dari orangtuanya—, maka ayah dan ibu akan lebih simpatik padanya. Nyatanya? Nol. Sama saja. Anggi rasa mereka bahkan lebih keluasan bekerja tanpa harus pulang untuk melihat Anggi.
Kalau soal itu, Anggi semakin menyerah. Dia pergi dari kota karena berpikir bisa merajut lagi tali hubungan kedua orangtuanya. Ternyata salah, dugaan yang melenceng jauh. Pasalnya hal ini hamya akan menggunting tali itu. Bukan hanya tali antara ayah dan ibu, tapi juga ke anak.
"Cobaan apa ini?" dengus Anggita.
...***...
"Kenapa anak-anak disini kalau nangis kedengeran sampai ke rumah orang?" tanya Bass selagi dia duduk di teras rumah sambil memperhatikan seorang anak yang tengah menangis karena disuruh mandi pagi oleh ibunya.
Anak itu menolak karena ada penggoda. Penggoda dalam artian, ada tiga anak yang sebaya dengannya menunggu di halaman rumah dengan tatapan berharap kalau anak itu mau diajak bermain. Dia ingin ikut, namun ibunya yang juga menggendong anak bayi itu tak kunjung berhenti memegangi tangan anaknya. Katanya, "Mandi dulu, baru main."
"Bukan semua, tapi kayanya cuma dia deh!" jawab Cleo.
Dia yang dimaksud Cleo adalah anak yang merengek tadi.
"Iya, gue paham kok rasanya jadi anak itu." Bass terkekeh pelan.
"Ha?"
"Iya, dipisahin dari sahabat itu ga enak." kata Bass. "Gue bayangin kalau anak itu gue, mau dipisahin sama sahabat gue yang kebetulan emang tiga orang, Dio, Fariz, sama Jhon. Dan ibu-ibu itu bokap gue, dia yang paling semangat misahin gue dari sahabat gue."
Cleo terdiam. "Jadi yang digendong ibu itu lo bayangin jadi siapa?"
"Bayi itu?" tanya Bass. "Oh, anggap aja nyokap gue."
Cleo tertawa. "Bisaan banget nyokap digendongin."
"Ya emang gitu, artinya nyokap gue hanya bisa ngikutin perintah bokap."
Cleo lagi-lagi tertawa. Memang kalau keduanya sudah berkumpul, pasti akan tercipta percakapan kecil-kecilan yang sederhana tapi lucu. Walaupun ujung-ujungnya mereka akan bertengkar seperti anak kecil yang berebutan mainan.
"Oh iya, Cleo. Gue pengen tau, lo kan udah dua taun disini, emang lo ga protes sama orangtua lo. Kan, kalau udah dua tahun tuh udah lama, ya lo bisa aja minta dipindahin ke kota lagi, kan asyik." kata Bass.
Cleo menggelengkan kepala. "Ga ah, lo kan udah cinta mati sama kehidupan kota tuh, kalau gue jatuh cinta sama tempat ini semenjak dua tahun lalu. Makanya ga bisa lepas."
"Lepas apa?" tanya Bass.
"Lepas burung! Noh noh!!" Cleo menunjuk ke arah sangkar burung yang menggantung di teras. Burung berwarna hijau yang setiap hari diberi makan oleh Helen, kadang Cleo.
Bass tertawa, dia paham kalau yang dimaksud Cleo bukan melepas burung tapi melepas kehidupannya di tempat ini. "Kalau gue jadi lo sih, gue bilangin buat pindah."
"Itu kan kalau lo jadi gue, kalau gue ya gue. Artinya, kalo udah jatuh hati siapa juga yang mau pergi?" jawab Cleo santai.
"Enaknya apa?" Bass menyernyit, maksudnya apa enaknya hidup di desa seperti ini.
"Enaknya, ya apa? Gue ga punya temen yang sok kecakepan, sok berkuasa, sok ganteng kaya lo. Kalau disini mah, temen semua pada baik."
"Ngomong-ngomong lo pindah kenapa sih? Spesifiknya gimana?"
Cleo sempat terdiam. Dia mencoba mengingat kejadian apa saja yang membuatnya harus dipindahkan. Apa saja ya? Banyak. Tidak bisa disebutkan satu -satu. Tapi Cleo jawab saja perbuatan konyol terakhirnya sampai harus pergi dari riuk-piuk kota.
"Mmm, gue kemarin nonjok Dendi, anaknya Pak Supratman. Kenal ga?" tanya Cleo.
"Supratman? Bukannya nama bapak si Dendi itu Om Desman?"
"Yailah...." desis Cleo. "Kalau ga kenal ga usah ngarang. Dendi yang gue maksud bukan tetangga gue tapi satu sekolah gue waktu SMP."
"Ohh!"
"Ya, gue nonjok dia."
"Ceritanya gimana?" Bass mulai ingin tahu.
"Ga sengaja. Dulu itu gue ulang tahun, jadi temen-temen tuh pada mau nyiapin kejutan. Mereka nyuekin gue sebelum ngasih suprisenya. Pas gue nanya kenapa, mereka bilang: 'udahlah, ga usah acting lagi. Sekarang kita udah paham sama sifat busuk lo.' Jujur gue kaget, gue nanya tuh siapa yang jadi tukang adu dombanya, lah mereka jawab ngasal. 'Udahlah, si Dendi setiawan udah ceritain semua ke kami.'."
"Terus?" tanya Bass.
"Dendi itu anaknya culun banget Bass, sangking cupunya gue ga percaya kalau dia tukang adu domba. Tapi tanpa pikir panjang karna takut kehilangan sahabat gue, ya gue beraksi. Nonjok dia di pojok kelas sampe dia babak belur." lanjutnya.
"Busettt!" pekik Bass nyaris berlebihan.
Cleo cemberut, "Iya. Gue merasa bersalah karna udah nonjok dia, padahal kan temen-temen pada bercanda karna ngerjain gue. Mana dia orangnya cupu lagi, sampe-sampe gue hampir ga dibolehin ikut UN sekolahan."
Bas tertawa kuat, sampai Cleo heran dibuatnya. "Kenapa ketawa?"
"Lucu aja, harusnya gue tau masalah ini dari dulu. Biar gue doain lo ga diikutin buat ujian akhir pas SMP." ejek Bass.
"Enak aja! Jahat lo. Tau ah, dasar Bass jelek!"
Cleo cemberut dan segera masuk ke dalam rumah. Nah, benar kan? Keduanya memang suka bercanda tapi ujung-ujungnya bertengkar. Sedang Bass hanyut dalam kesendirinannya di desa. Jam hampir menunjukkan pukul sebelas ketika dia berpikir untuk memikirkan seseorang yaitu Anggi.
Begini, Bass sebenarnya tidak punya rasa apa pun pada seorang perempuan untuk saat ini. Namun sepertinya dia harus mencoba untuk mendekati Anggi, ya seperti kata sahabatnya. Dia butuh Anggi untuk melanjutkan sekolah di kota dan bertemu sahabtanya lagi. Dan semoga Anggi mau, karena ini hal yang cukup mudah bagi Anggi.
Ayolah, hanya seratus lima puluh soal fisika. Itu saja.
...♨♨♨...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments