05.

...♨♨♨...

Gladys menghela napas panjang ketika Anggi menarik tangannya untuk beranjak dari kursi. Usul Anggi kali ini tentu mengganggu pikirannya. Selain karena harus berurusan dengan Bass satu kali lagi, dia juga takut kalau lelaki itu tidak menerima permintaan maafnya dan mengancam akan mengganggu Glad selamanya. Kalau sudah begitu, pasti mengerikan.

Mendadak bulu kuduk Glad berdiri membayangkan Bass. Lelaki terkenal dengan kejinya mengganggu tiap orang secara random, tanpa pikir panjang. Namun keputusan Anggi memang ada benarnya juga, kalau dia tidak minta maaf, maka sampai kapan pun kemungkinannya lelaki itu akan selalu mengganggu dan mengganggu. Apalagi Anggi sebentar lagi pindah, dia tidak akan memiliki siapa pun yang siap membelanya lagi.

"Takut, Gi!" Gladys memelas.

Anggi menggeleng kesal melihat tingkah Gladys. "Glad kita cuma mau minta maaf bukan ngerjain dia. Kalau dia maafin syukur, kalau engga itu urusan dia sama yang Di Atas."

"Anggi, emosi dia itu bisa aja tiba-tiba meledak dan ga kekontrol. Lo bisa apa?"

"Ya lari!" jawab Anggi santai, membuat keraguan di hati Gladys semakin besar saja. "Ayolah Glad semakin lama lo bertahan, semakin nanti lo ditindas!"

Gladys berdecak kesal kemudian pasrah untuk mengikuti usul gadis itu. Walaupun hanya setengah hati, secara terpaksa dia mengikuti Anggi yang melenggang semangat menuju luar kelas. Sedang Glad hanya bisa terseok dan melakukan semuanya atas dasar kata terpaksa.

Memang ada benarnya pendapat Anggi soal ini, namun toh saja masih ada keraguan di hati Gladys kalau saja lelaki itu tidak memaafkannya. Lagian siapa yang peduli akan kata maaf dari Bass? Bagi Gladys, dia bisa dengan mudahnya pindah sekolah sekaligus mencari teman baru karena Anggi akan segera pergi. Dia tidak peduli pada Bass.

"Gladys?" Anggi membangunkan gadis itu dari khayalannya.

"Ha?" sahut gadis itu dengan sedikit terkejut.

"Lo ga boleh gugup di depan Bass!" saran Anggi saat tiba di depan kelas lelaki itu dan berhenti sejenak, memastikan kalau Glad akan baik-baik saja.

Gladys bergeming karena keraguannya yang masih membekas, "Gimana kalau lo yang duluan masuk?"

"Kok gue? Yang buat masalah kan lo, ngapain gue yang masuk?" pekik Anggi yang sebenarnya tak kalah takut daripada Glad.

Gladys mengernyit kesal, "Lo sahabat gue, bantu gue Anggi!"

Anggi bergumam pelan. Dia mengerti bagaimana Glad masih trauma akan bentakan Bass yang super memekakkan telinganya, apalagi sampai mengungkit nyawa. "Okey!"

Gladys tersenyum puas kemudian mendorong Anggi masuk dari ambang pintu. Seketika Anggi melonjak kaget ketika dirinya masuk ke kelas Bass dengan keadaan didorong paksa begitu. Namun sudah terjadi, dia harus berbalik untuk memastikan apakah Bass ada di kelas atau tidak.

Gadis itu membalikkan badannya perlahan, kemudian mendapati lelaki yang dimaksud duduk di pojok seorang diri dengan tangan yang berfokus pada gitar. Jari jemarinya bermain di setiap senar sehingga membuat lelaki itu tampak sangat fokus.

Anggi bergidik ngeri, apalagi ketika semua teman sekelas Bass mulai pergi untuk pulang dan meninggalkan keduanya. Dan tepat saat Anggi akan kembali ke luar karena rasa ragu, dia mendengar suara panggilan lelaki yang berasal dari depannya.

Tentu Sebastian. Siapa lagi?

"Anggi?"

Anggi menunduk kemudian mencoba mendongakkan kepala untuk melihat lelaki itu. Lelaki itu beranjak dan meletakkan gitar ke meja, kemudian melenggang mendekat ke arah Anggi. Jantung gadis itu benar-benar ingin meledak saat Bass sampai di hadapannya.

"Hey, Bass!" sapa Anggi sok ramah dan menjauhkan semua rasa takutnya.

"Ngapain disini?" tanya lelaki itu.

Anggi menarik napas untuk sedikit lebih tenang, okey Anggi! Ga ada yang perlu lo takutin dari cowo sok kejam ini.

"Oh, Gladys mau minta maaf soal kejadian tadi pagi. Dia ga bermaksud buet anterin surat itu kok, iyakan Glad?" Anggi menoleh ke ambang pintu, namun naas Glad sudah menghilang dari sana.

Entah sejak kapan dia pergi, Anggi tidak tahu. Gadis itu tidak terlihat batang hidungnya bahkan sekedar bayangannya pun tidak kelihatan. Hal itu membuat Anggi kembali frustasi, Gladys benar-benar menumbuhkan masalah baru di hidup Anggi.

"Mana Gladys?" Bass menaikkan sebelah alisnya.

"Tadi disitu!" ujar Anggi kemudian mengarah ke Bass.

"Terus?" Bass bernada seperti perkataan Anggi ialah konyol. "Dia hilang kaya siluman?"

"Bukan hilang tapi pasti kabur, entar gue cek ke kelas!" Anggi beranjak ingin pergi mengecek keberadaan Glad, atau lebih tepatnya dia juga ingin ikut kabur seperti Gladys dari ancaman gigi taring harimau.

Namun tepat saat Anggi akan melangkahkan kakinya, tangan Bass mencekat lengan Anggi. Gadis itu terkejut bukan main. Jantungnya yang tadi berdegup kuat kini nyaris tidak berdetak seperti ajal sudah mengetuk nyawanya. Mata gadis itu kembali bertemu dengan mata Bass, sungguh membuatnya takut setengah mati. Tatapan yang sungguh membuat Anggi menyesal untuk mengusulkan hal bodoh ini pada Glad.

Gladys sialan! Gumam Anggi.

"Lo mau kemana?" Bass mendekatkan tubuhnya yang tinggi ke arah Anggi.

Seketika gadis itu dipenuhi dengan pikiran aneh. Dia mulai berimajinasi kalau saja Bass adalah psikopat yang siap membunuh Anggi dan memasukkan dirinya ke sumur sekolah yang dianggap angker. Dia tidak mau jadi hantu gentayangan karena kasus kematiannya belum terkuak.

"Gue ga mau jadi arwah penasaran, maafin gue!" kata Anggi tiba-tiba dengan nada gemetar.

Bass mengerutkan dahi, kemudian melepaskan tangannya dari genggaman kuat untuk menahan gadis itu. Perkataan Anggi barusan membuat Bass berpikir kalau dia adalah pembunuh?

"Lo bilang apa?"

Anggi terkesiap ketika tahu bahwa Bass tidak lagi menahan dirinya. Matanya dia buka lebar dan menyadari kalau imajinasinya membawa gadis itu terbang ke khayalan sampai harus mengucapkan kalimat tadi. Wajahnya memerah kemudian dia kembali berlagak tenang.

"Gue bilang gue mau ngecek Glad ke kelas." Anggi menjawab.

"Ga usah minta maaf lagi, gue tadi cuma kebawa emosi. Seharusnya gue yang minta maaf, gue ga seharusnya kasar gitu ke cewe!"

"Ha?"

"Gue minta maaf, pasti lo takut ngelihat gue kan? Padahal gue sama lo itu ga beda, sama-sama manusia bahkan."

Gadis itu menatap heran ke arah Bass. Apa itu benar-benar Bass? Apa Bass memang masih bisa punya empati? Nyaris saja Anggi tertawa, tapi dia tidak ingin membuat Bass merasa ada yang aneh dari dia. Walaupun memang lucu kalau Anggi menyadari hal itu.

"Kalau gitu gue pergi!" ucap Anggi sembari berbalik dari tempatnya.

"Anggi!" panggil Bass lagi, membuat Anggi berhenti sejenak dan berbalik menoleh pada lelaki itu.

Jujur Anggi takut kalau lelaki itu berubah pikiran. Dengan sedikit ramah dia menyahut, "Apa?"

Bass terdiam sejenak, dia menatap wajah gadis itu lekat-lekat. "Ga jadi!"

"Oke!" Anggi melanjutkan langkahnya dan menarik napas lega saat membelok menuju ruangan kelasnya.

Ternyata tidak buruk kalau memperlakukan Bass dengan baik. Bass ternyata bisa juga jadi jinak seperti itu, tidak melawan, sedikit lebih ramah, dam hangat. Kalau saja Bass bisa mempertahankan sifatnya begitu, pasti dia sudah jadi buruan para gadis karena ketampanan dan ketajiran orangtuanya.

"Gladys!!" panggil Anggi ketika sampai di kelas, namun dia tidak melihat gadis itu ada disana. Yang ada hanya beberapa anggota piket yang sibuk bermain perang sapu dan cipratan air pel.

"Glad mana?" tanyanya.

"Ga ada!"

...***...

Bass berjalan menuju ruang makan, kali ini dia mencoba untuk tidak membuat masalah dan lebih bersabar. Sebelum itu dia sudah mengganti pakaiannya untuk mengurangi ocehan yang akan dilontarkan padanya. Dia yakin kalau pun dia sedikit lebih santai, tetap saja Bagas akan membuatnya tenggelam dengan amarah yang ada di otak lelaki tua itu. Entah darimana, selalu saja ada celah untuk memaki Bass.

Bass melirik kedua orangtuanya yang sudah menunggu di meja makan. Bass kemudian mengambil tempatnya, kemudian duduk dengan santai. Lelaki itu sempat melirik ke arah Sarah, kalau dilihat Sarah tampaknya sangat khawatir Bass dan Bagas akan berdebat lagi. Karena memang itu rutinitas yang terjadi setiap kali mereka bersama.

Beda hal kalau Bagas sedang pergi mengurusi bisnis, hanya ada Sarah dan Bass. Saat itulah Bass merasa nyaman dan bahagia, dengan Sarah yang memberikan seluruh kasih sayangnya tanpa amarah yang menggebu-gebu.

Sarah menyodorkan piring kepada Bass dan Bagas, kemudian menyerahkan segelas air putih. Bass segera menyeruput minumannya, kemudian meraih sendok dan garpu yang terletak di samping piring.

Mereka makan dalam diam, tanpa pembicaraan yang biasanya menghangatkan perkumpulan keluarga. Bass saja nyaris tidak percaya kalau dia bisa makan siang dengan tenang tanpa gangguan di hadapan Bagas.

Sesekali lelaki mencuri pandang kepada ayahnya, namun sesegera mungkin dia mengalihkan pemikiran. Sehabis makan siang dia ingin langsung kabur saja daripada menambah beban di otaknya.

"Papa sudah memutuskan sesuatu untukmu, Bass!" ujar Bagas.

Bass menghela napas frustasi, dia pikir semua akan baik-baik saja. Ternyata ayahnya kembali membuat seluk beluk masalah baru yang harus membuat Bass berpikir keras lagi. Dia meletakkan sendok miliknya dan menoleh pada Bagas.

"Jangan pikir untuk meninggalkan meja makan sebelum papa selesai bicara!" perintah Bagas.

Bass bersandar, "Keputusan apa?"

"Soal liburan kamu kali ini, papa akan buat kamu benar-benar berubah!" ujar Bagas.

"Pa, sebaiknya papa pikir-pikir dulu sebelum bilang sama Bass!" usul Sarah.

Bagas menggeleng pelan, "Papa udah pikir matang-matang, dan ini satu-satunya jalan paling ampuh untuk Bastian."

Bass mencoba tenang, sebanarnya dia merasa ada di neraka karena panasnya suasana. "Bass siap dengerin!"

"Baguslah!" Bagas menyudahi makannya, kemudian menyeruput teh dengan cepat. "Temui papa di ruang keluarga lima menit lagi!"

Bass menatap Bagas yang beranjak dari tempatnya kemudian berlalu, sungguh dia benci situasi ini. Sejenak Bass mengarah kepada Sarah, namun wanita itu seakan mengisyaratkan Bass untuk mematuhi saja apa yang dikatakan ayahnya. Hal itu membuat Bass sedikit kecewa, tapi memang mau bilang apa lagi?

"Papamu tau apa yang baik buat kamu, Bass!" kata Sarah.

"Papa hanya mentingin diri sendiri. Apa maksud papa aku jadi nakal gini karna aku sendiri? Dia ga tau kalau--"

"Bass!" potong Sarah. "Bagaimana juga dia itu papa kamu! Sekarang ikut papa kamu ke ruang keluarga!"

Bass mendecak kesal, sekarang dia tidak bisa berlindung lagi. Pikirannya mulai merayap kemana-mana.

Sejurus kemudian Bass beranjak dan menuju ruang keluarga. Dia harus menyusuri ruang tamu kemudian memasuki sebuah ruangan besar yang dihiasi oleh barang-barang antik milik ayahnya. Dia melirik pada Bagas yang duduk santai di sebuah kursi besar.

"Duduk!" ujar Bagas pada Bass.

Bass hanya bisa pasrah, kemudian duduk di tempat yang dimaksud oleh Bagas. Lelaki itu mengistirahatkan dirinya dan berharap kalau keputusan Bagas kali ini masih bisa diterima oleh hati.

"Kamu kena skorsing empat hari dan libur panjang semester ini, itu menarik bukan?"

"Kehidupan Bass yang sebenarnya itu ada di sekolah pa, bukan di rumah." jawab Bass sembari menautkan jari-jemarinya antar tangan.

"Karena kamu bisa seenaknya di sekolah tanpa pantauan papa?" tanya Bagas.

Bass mendecak sekali, "Karna di rumah hanya ada teriakan emosi, bukan teriakan sahabat-sahabat Bass yang—"

"Cukup Bass!" Bagas mulai menguatkan suaranya.

"Nah ini maksud Bass, suara kencang cuma buat Bass, padahal Bass jaraknya ga lebih dari tiga meter dari papa."

"Bass! Kamu harus tau kalau teman kamu yang ada di sekolah yang buat kamu jadi begini!"

"Kenapa salahin sahabat Bass? Salahin aja kenapa papa sekolahin Bass di tempat itu!" protes Bastian.

"Bukan masalah sekolahnya, tapi karena kemana pun kamu sekolah, kamu bakal cari teman yang levelnya begitu!"

"Level gimana? Jadi maksud papa, Bass harus cari teman yang levelnya kaya papa? Kharisma luar biasa, harta di mana-mana, dan ga pernah ngehargain keputusan orang lain?"

Bagas mengernyit kesal, ingin dia melayangkan tamparan di pipi Bass, tapi dia tahu hal itu hanya akan membuat Bass pergi lagi dari hadapannya. Terpaksa Bagas hanya bisa menahan amarahnya yang sudah ada di ubun-ubun.

"Papa hanya mau kamu berubah sedikit saja! Sikap kamu yang nakal itu memaksa papa buat mendidik kamu jadi keras begini!" ucap Bagas kuat.

"Langsung aja pa! Apa keputusan papa buat Bass? Bass cape ngelawan papa terus. Bukannya menang malah nambah dosa."

Bagas menarik napas panjang, "Papa mau kamu menghabiskan libur kamu di rumah Tante Helen, mulai dari besok!"

"Apa?" pekik Bass tidak terima.

"Iya! Rumah Tante Helen memang jauh, tapi itu bisa membuat kamu sedikit berubah. Pahami kebahagiaan apa yang sebenarnya kamu butuhkan! Dengan itu, kamu jauh dari sahabat kamu itu!"

Bass memutar bola matanya kesal, kemudian melirik kepada Sarah yang tengah datang menghampiri keduanya. Lelaki itu berharap kalau Sarah bisa membantunya untuk pergi dari masalah yang satu ini. Karena biasanya wanita itu yang rela melakukan apa saja demi Bass. Bass harap termasuk yang satu ini.

"Ma! Masa Bass harus pergi ke rumah Tante Helen? Di kampung lagi! Jauh dari Mama!" Bass memelas.

"Ga ada minta mohon! Papa bilang iya tetap harus iya! Jadi malam ini kamu udah bisa beres-beres buat keberangkatan kamu besok, biar papa yang antar!" Bagas berdiri dan mulai melangkah menjauhi Sarah dan anak satu-satunya itu.

"Pa!" panggil Bass berharap kalau Bagas berubah pikiran.

"Oh iya satu lagi, kamu ga bisa bawa motor atau mobil— apalagi gitar! Papa harap semenjak kamu tinggal di sana, kamu bisa lupa sama ambisi kamu buat jadi pemain gitar! Papa benci hobi kamu yang satu itu!" Bagas menatap Bass tajam.

"Pa, ini keterlaluan!" teriak Bass yang masih belum bisa menerima keputusan itu.

"Jangan lupa bawa buku pelajaran kamu, kamu dikasih tugas sama guru BK!" Bagas melanjutkan langkah kakinya, meninggalkan kekesalan yang mendalam di hati Bass.

Bass melirik pada Sarah, hanya wanita itu harapan terakhirnya. "Ma, Mama tega lihat Bass hidup di kampung? Ga ketemu Mama? Maksudnya Bass harus ngobrol sama siapa di sana? Sama sawah? Kebo? Jangkrik?"

Sarah tersenyum kemudian menepuk pundak anaknya itu. "Mama juga hidup di kampung waktu kecil. Hidup di kampung enak kok, masih segar. Nanti kamu pasti—"

"Udah ah! Bass cape! Mau istirahat!" lelaki itu berlalu cepat meninggalkan Sarah yang hanya bisa tersenyum kecil.

...♨♨♨...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!