...♨♨♨...
Pagi itu cerah dan Anggita tampak lebih baik ketika kedua orangtuanya duduk di ruang tamu bersama. Walaupun Anggi tahu kalau mereka hanya membicarakan seputar tentang perpisahan mereka. Namun, tetap saja Anggi bahagia karena setidaknya dia memiliki kenangan ketika kedua orangtuanya masih bersama dan tersenyum ke arahnya. Bahkan hal itu belum pernah terjadi saat keduanya baik-baik saja. Mungkin karena terlalu sibuk akan urusan yang lebih penting daripada satu orang anak.
Anggi manarik napas lega setelah sampai di sekolah dengan waktu yang masih renggang. Jalannya gontai menuju kawasan sekolah dan melihat beberapa anak sekolahan juga mulai masuk. Kakinya terus melangkah sampai mata gadis itu berhenti pada sesosok gadis yang menunggunya di depan pos satpam.
Gladys. Spontan Anggi langsung mendecak kesal dan menghampiri sahabatnya yang satu itu. Pun Glad hanya bisa terkekeh pelan dan berjalan bersama Anggi menuju kelas.
Kemarin begitulah Gladys meninggalkannya dalam masalah besar dengan Bass. Dia tidak tahu saja kalau Bass tiba-tiba berubah seperti domba yang sangat jinak pada seorang gembala.
Kalau saja Glad ikut minta maaf, pasti semua akan baik-baik saja dan detak jantung Gladys tidak akan secepat itu. Anggi tahu, mana mungkin Glad tidak takut walaupun hanya secuil saja. Hal itu membuat Anggi semakin kesal.
"Bass minta maaf sama lo!" kata Anggi tanpa menoleh.
"Gila lo!" ejek Gladys meremehkan perkataan Anggi.
"Kalau lo ga percaya kenapa lo ninggalin gue kemaren?" Anggi mendecak kesal.
Gladys menghentikan langkah kemudian menatap Anggi heran. "Lo seriusan dia minta maaf sama gue?"
"You know.." kata Anggi. "Dia itu ternyata ga seburuk yang gue pikirin. Dia itu bahkan bisa jadi baik, buktinya kemarin dia baik kok respons gue!"
"Becanda lo ga enak banget." Gladys kembali mengintimidasi gadis itu, membuat Anggi memutar bola matanya kesal.
Anggi kembali melanjutkan langkahnya sedang Glad masih terdiam belum percaya. Gladys melombai kaki Anggi kemudian menyuruh gadis itu untuk berhenti sejenak dan menutupi ketidakpercayaan yang menjanggal di hati gadis itu. Matanya menatap Anggi heran, kemudian mulai terfokus pada pembicaraan mereka.
"Lo bilang apa tadi?" Glad bertanya, lagi.
"Udahlah lo ga bakal percaya!"
"Lo bilang apa tadi?" ulang Gladys sembari memasang wajah serius.
"Jadi kemarin Bass itu baik banget sama gue, dia bahkan minta maaf karna udah kasar sama lo!" cerocos Anggi dengan kuat.
Gladys menggelengkan kepala, "Beneran?"
Anggi menarik napas frustasi kemudian menarik tangan Gladys untuk pergi ke kelas. Sedang Glad masih belum percaya atas apa yang dikatakan oleh gadis itu. Dia tidak percaya kalau Bastian, Sebastian Prananda memiliki hati yang lumayan tulus begitu untuk minta maaf. Glad masih belum yakin.
"Ga percaya?" pekik Anggi setelah tiba di ruangan kelas mereka.
Gladys menggeleng, "Engga! Gue percaya kok!"
"Yaudah!" Anggi melajukan langkahnya kemudian melempar ransel kosing miliknya ke atas meja.
Gladys hanya bisa duduk di kursi kemudian memainkan jarinya di meja. Dia berpikir kuat, dia masih belum paham. Kalau Bass bisa berbuat baik, kenapa dia bisa menjadi sekejam itu untuk mengancam semua anak cupu di sekolah. Apalagi sampai membuatnya dibenci oleh semua orang.
"Ga usah dipikirin lagi Glad! Kita aman!" Anggi menoleh pada gadis itu, kemudian melayangkan lagi pandangannya ke arah ambang pintu.
"Gimana kalau kita samperin dia? Buktiin kalau omongan lo bener!"
Anggi terbelalak kaget, "Gila lo! Kemarin lo ga mau ketemu sekarang sok mau nyamperin. Buat apa? Mau buat dia ga nyaman terus ngincer kita?"
"Bukan! Cuma mau buktiin doang kok, apa lo bener atau engga!"
"Lo ga percaya gue, Glad?"
Gladys menggeleng lagi, kemudian memilih diam dan duduk di kusrinya sepanjang waktu sebelum bel berbunyi. Anggi bahkan sedikit kesal pada tingkah Gladys yang seolah-olah menyatakan kalau Anggi itu berbohong padanya. Padahal jelas-jelas kalau yang dilihat Anggi kemarin adalah Bass, di depan matanya.
"Oh iya, gimana soal kepindahan lo Anggi?" tanya Gladys setelah selesai berpikir dan memilih melupakan masalah itu.
"Ya gimana? Gue tetep pindah ke sana!"
"Coba deh pikirin lagi, Anggi! Disana kan ga senyaman di kota. Gimana kalau sinyal ngilang tiba-tiba?"
Anggi terkekeh pelan, "Gue ga bakal peduli sinyal ada atau engga, asalkan Oma gue seneng dia punya temen."
"Jangan pindah Anggi!" mohon Gladys menatap sahabatnya itu. Dia tahu kalau dia tidak akan menemukan teman sebaik Anggi setelah gadis utu pindah.
Sedang Anggi hanya menuruti nasib saja. Waktu mereka bersama hanya tinggal tiga hari lagi sebelum akhirnya meninggalkan riuh kota.
"Tapi lo bakal sering main ke sini kan?" Gladys seakan memastikan kalau mereka masih bisa bertemu.
"Iya dong! Kalau libur gue bakal dateng ke sini." ucapnya.
Gladys bergeming tidak menyahut, kemudian memilih untuk menenggelamkan pikirannya hanyut dalam suasana sesedih ini. Sedang Anggi hanya bisa pasrah. Siapa juga yang suka tinggal di desa yang jauh dari kedua orangtuanya dan sahabat yang sudah dia anggap saudara sendiri? Nyaris tidak ada anak yang ingin pergi jauh dan tidak melihat ayah atau ibunya juga teman baiknya lebih dari sebulan.
Namun Anggi harus terbiasa. Apalagi ada Oma disana yang membutuhkan bantuan Anggi. Oma bisa menjadi sahabatnya sekaligus orangtua bagi Anggi.
...***...
Bass memeriksa semua tas yang akan dia bawa. Sesekali dia mencuri pandang pada pak satpam yang mangangkut semua barang-barang itu ke bagasi mobil. Sedang ayahnya sibuk meladeni telepon yang dari tadi membuatnya harus berbicara. Sarah mengamati semua bawaan Bass dan memastikan tidak ada yang ketinggalan.
"Buku pelajaran kamu udah dibawa semua sayang?" tanya Sarah.
"Udah!" jawab Bass singkat.
"Kalau baju udah lengkap belum? Sepatu atau sendal? Dompet kamu jangan lupa sama handphone ya!"
Bastian mencoba memastikan barang-barangnya sudah dibawa. Mulai dari barang penting sampai yang tidak penting; buku pelajaran fisika demi tugas skorsing dari Bu Ani. Dia memang benci pelajaran fisika, bahkan dia tidak tahu bagaimana mengerjakan tugas itu.
Intinya dia benci pelajaran yang harus bersapaan dengan rumus-rumus menyengat otak. Dan masalah utamanya bukan hanya itu, melainkan karena Bass adalah anak jurusan IPS.
Hal yang paling dikutuki oleh Bass saat ini ialah kepergiannya ke kampung. Walaupun Tante Helen sifatnya nyaris sama dengan Sarah, tetapi tetap saja dia bukan ibunya. Bagi Bass hanya Sarah yang mampu mengerti mengenai kondisi Bass kapan pun dan mampu mendengarkan lelaki itu.
Bass membayangkan betapa membosankannya hidup di desa, mengingat tante Helen hanya memiliki satu anak perempuan yang menjalani studi S2 di Sydney. Sedang suami dari Tante Helen bekerja di kapal pesiar yang pastinya membuat rumah itu sepi dan hening. Namun ada satu keponakan Tante Helen yang tinggal bersamanya disana, Cleo.
Cleo itu sepupu Bass, terakhir bertemu beberapa tahun lalu di acara kumpul keluarga yang sangat membosankan.
"Baik-baik di sana!" Sarah merangkul anak lelakinya itu.
"Mama ga ikut nganterin Bass?" tanya Bastian kesal, dia tahu kalau perjalanan akan sangat menegangkan kalau hanya ada ayah dan anak itu.
"Mama ga bisa, ada urusan nanti sore. Lagian mama bakal dateng ke sana kok sekali-kali." jawab Sarah mencoba menenangkan hati Bass.
Bass mengangguk mengiyakan, kemudian melirik saat melihat Bagas sudah memasuki mobil. Bass mendecak sekali kemudian menyalim ibunya yang berdiri tepat di depannya.
"Bass pergi ma!" katanya.
Sarah melambaikan ketika Bass mendekat ke mobil dan membuka pintu. Sejenak dia melirik ayahnya yang duduk di depan setir dan siap mengantarnya ke rumah tante Helen. Perjalanan ini akan menjadi perjalanan paling menyebalkan di seluruh sejarah hidup Bass.
"Baik-baik disana!" teriak Sarah.
Bastian masuk ke dalam mobil dan menutup pintu dengan kuat. Sesekali dia melirik ibunya yang masih menunggu di halaman bersama pak satpam. Dengan cepat mobil melesat di jalanan kota yang akan ditinggalkan Bass untuk dua minggu lebih sedikit mulai saat ini. Bass berdoa kalau dia tidak akan melompat dari pintu.
Mobil itu sudah beradu dengan mobil lain, mencoba mendahului, berhenti di lampu merah, berjalan lagi. Riuk-piuk kota masih jelas didengar olehnya. Mulai dari suara klakson, penjual di kaki lima, sampai langkah kaki orang-orang yang hendak berpergian.
Bass membayangkan bagaimana nasib sahabatnya di sekolah. Dia juga memikirkan bagaimana nasibnya kalau sampai di desa. Banyak yang harus dia pikirkan sampai bingung mau memilih yang mana lebih dulu untuk dikuakkan dalam otaknya yang penuh.
"Bass!" panggil Bagas tiba-tiba.
Bass memutar bola matanya kesal dan mengalihkan pandangan ke arah jalanan yang ramai. Dia tidak menyahut untuk panggilan itu, karena dia tahu untuk apa Bagas memanggilnya. Pasti untuk beberapa nasehat yang panas dan menusuk.
"Kalau kamu disana, pikiran kamu pasti matang. Nanti kamu pulang, kamu sudah bisa nyenengin hati papa karena tingkah konyol kamu berkurang!"
"Papa tau dari siapa kalau tingkah Bass jadi membaik kalau tinggal di desa?" Bass melirik ayahnya secepat kilat.
"Seseorang itu bisa menjadi baik karena tahu apa rasa sakit! Kamu udah keenakan hidup di kota di bawah kendali Papa dari lahir, dan itu membuat kamu manja. Sekali-sekali kamu ke desa, pahami bagaimana petani-petani hidup masih harus bekerja keras!" jelas Bagas.
"Tante Helen bukan petani!" Bass mengernyit kesal, memandang kalau persepsi Bagas salah besar.
"Iya!" jawab lelaki tua itu. "Tapi lima puluh persen lebih mereka yang tinggal disana itu bertani."
Bass mengangguk pasrah, "Ya ya ya! Asalkan Papa bahagia aja!"
"Bass! Bukan Papa seolah nyiksa kamu, bukan! Tapi karena semua orangtua itu paham tentang yang terbaik bagi anaknya!"
"Termasuk papa?" ujar Bass.
Bagas membelokkan mobilnya di tikungan dan mengeluarkan ekspresi sedikit tertawa. "Jelas! Semua orangtua! Bass, papa keras begini biar kamu berguna di masa depan! Karena Papa sayang sama kamu!"
Bass memilih diam, bergeming dengan jari tangan yang bermain di handphone miliknya. Matanya mengecek semua pemberitahuan dari teman-temannya yang mulai repot karena tahu kabar dari Bass. Group chat weird n dumb pun selalu mengeluarkan notif yang membahas persoalan yang sama.
"Ga asik lo Bass!"
—Dio Aldio
"Iya nih, malah belum sempat perpisahan lagi!"
—Fariz.
"Gila, lo kira gue pindahan apa?"
—Bass Prananda.
"Ngakuakaka!"
—Fariz.
"Apa nih ribut-ribut?"
—Jhon.
"Diem lu Jhon, minta hotspot gue aja lo belagu"
—Fariz.
"Ngakuakaka!(2)"
—Dio Aldio.
"Terus, festival musik gimana? Lo ga ikutan, Bass?"
—Fariz.
Bass terdiam seketika. Festival musik juga harus diikhlaskan oleh Bass.
Selama perjalan Bass hanya bisa mengikhlaskan segalanya. Mau buat apalagi? Dia sudah jauh dari kota. Yang bisa dia pandang saat ini sudah mulai kehijau-hijauan. Hutan kanan-kiri, bahkan sawah membentang seperti lautan hijau, kerbau, dan bukit-bukit menjulang tinggi. Nyaris tidak ada bangunan lebih dari tingkat tiga.
"Masih lama Pa?" tanya Bass tiba-tiba.
"Sebentar lagi!"
...***...
Anggi tersenyum saat Gladys mencoba memberanikan diri untuk masuk ke kelas Bass. Dia rela begitu hanya untuk membuktikan apa yang dikatakan oleh Anggi itu benar atau tidak. Gadis itu mengendap dan sampai di ambang pintu. Ia menoleh pada Anggi yang mengangkat jari jempolnya.
"Yaudah masuk!" suruh Anggi sembari terkekeh.
"Iya!" desis Glad.
Namun sesaat sebelum Glad melangkahkan kakinya, terdengar suara berat dari belakang mereka. Suara yang kembali membuat Glad bergidik ngeri. Dio!
"Ngapain masuk kelas gue?" tanyanya sengit.
"Dio?" Anggi dan Gladys mengucapkannya hampir bersamaan.
"Ngapain?" tanyanya lagi dengan wajah mengintimidasi.
"Mau ketemu sama Bass! Ada urusan!" jawab Anggi mulai kesal karena si Dio yang mau tahu saja.
"Bass?" Dio mengerutkan dahinya. "Ya ga adalah!"
"Ga ada?" Gladys menaikkan alisnya.
Mereka berdua menatap Dio heran. Maksudnya tidak ada itu apa? Nada bicaranya seolah-olah menyatakan kalau Bass sudah meninggal.
"Iya, Bass kena skorsing mulai hari ini sampai nanti masuk sekolah lagi." jawab Dio santai sembari melirik Anggi dan Glad bergantian.
"Skorsing?" Anggi menatap Dio dengan tidak percaya.
Tentu kedua gadis itu heran. Selama perjalan sekolah Bass, belum pernah ada hukuman seberat itu diberikan pada Bastian. Palingan kalau kena hukuman, lelaki itu hanya membersihkan sekolah dengan teman-temannya. Itu saja juga kadang harus bolong.
"Jadi kenapa lo ga ikut kena skors?" tanya Gladys.
"Gue?" Dio menunjuk ke dirinya sendiri. "Karna ulah terakhir yang Bass buat ga ada sangkut paut sama gue!"
Anggi menoleh pada Glad yang juga sedang menatapnya. Kemudian tangan Anggi menarik Gladys menjauh dari Dio. Sedang lelaki itu menatap keduanya heran dan masuk ke kelasnya.
"Apaan sih Anggi?" Glad menghempaskan tangan Anggi dari pergelangannya.
"Udah! Kita cuma mau ngebuktiin sifat si Bass, bukan malah nyari masalah sama Dio! Lo tau kalau Dio itu gua ga kalah jahil sama si Bass."
Gladys melangkah mendahului Anggi dan memutar tubuhnya sampai berhadapan dengan sahabatnya itu. "Lo ga lagi bohong soal Bass kan? Jangan bilang lo bolang Bass itu baik cuma buat gue ga khawatir kalau lo udah pindah!"
Anggi memutar bola matanya kesal, "Bass itu memang baik kemarin sama gue! Gue ga bohong! Gue cuma ga mau aja kita kepincut masalah lagi sama si Dio, apalagi sama Fariz, oh no! Amit-amit!"
"Yaudah! Asal lo bener! Tapi sama aja gue belum percaya seratus persen, apalagi lo pasti ga bakal ketemu lagi sama si Bass."
"Ya lo buktiin sendiri kalau Bass udah sekolah lagi." sahut Anggi dengan jenaka. Sebenarnya dia juga tidak yakin soal sifat Bass yang baik kemarin itu.
Gladys memelas kesal kemudian berjalan sial menjauhi Anggi yang membuatnya semakin ragu. Kepergian Anggi akan menjadi hal besar yang akan dilalui oleh Glad, apalagi kalau Bass tidak benar-benar baik. Menurutnya Anggi bisa saja hanya mengarang cerita, karena dia paham betul tentang cara Anggi untuk membuat Glad bisa nyaman tanpanya.
...♨♨♨...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments