08.

...♨♨♨...

Rumah tante Helen sangat luas, bersih, dan indah. Tatanan semua perabot rumah dan hiasan ukiran bernada sewarna dengan cat dalam rumah itu yang cokelat, membawa semua orang yang tinggal di dalamnya ke semua rumah bergenre klasik. Apalagi banyaknya pahatan-pahatan kayu sebagai hiasan itu membuat rumah itu seperti museum klasik.

Pagi itu, begitu Bass keluar dari kamar, Bass menyadari kalau rumah itu sangat disayangkan dibangun di desa seperti ini. Walaupun pemikiran orang untuk tinggal di desa bukan selalu menyedihkan, tapi Bass masih belum bisa mengubah persepsinya soal itu.

Lelaki itu mengerutkan dahi melihat rumah luas itu, kemudian dia melirik ke kamarnya dan mencoba membandingkan kamar itu dengan ruang tamu.

Kamarnya memang kecil, tapi nyaman. Tempat tidur yang berdempetan dengan dinding langsung bisa membawanya untuk membuka jendela yang tepat ada di sampingnya. Kalau jendela itu dibuka, tampaklah pot-pot bunga disusun berdesakan dan pagar yang jaraknya hanya dua meter dari dinding kamar. Di sisi lain, ada juga satu lemari untuk baju, satu lemari kaca kecil berisi buku-buku, meja belajar dan kursinya, dan satu kaca besar.

Sungguh, kamar yang nyaman. Namun, otaknya sedikit kacau ketika tahu kalau kamar Cleo bahkan lebih besar. Dia tahu soal itu ketika kakinya melangkah gontai ke kamar Cleo yang terletak di seberang kamarnya. Bass membuka kamar itu dan melihat bahwa kamar Cleo lebih bagus dan tertata rapi.

"Ga adil!" decaknya.

"Ga adil apaan?" tiba-tiba seorang gadis mengagetkannya.

Bass langsung menoleh ke belakang dan tampaklah Cleo sedang menyilangkan tangan di depan dada. Mendadak Bass harus mengubah raut wajahnya menjadi santai.

"Engga! Gue lihat aja kamar lo luas, sedangkan kamar gue kecil kaya gudang!"

"Itu kan karna lo tinggal disini cuma liburan doang." desis sepupunya itu dengan nada kesal.

"Ya kan ga adil—"

"Udah ya! Gue sama tante udah nunggu lo di meja makan dan lo masih sempat kepoin kamar gue? Ga sopan!"

Bass sadar kalau yang hari ini adalan libur pribadi hanya untuknya. Matanya mengarah ke jam yang menunjukkan pukul enam lewat lima. Cleo sudah berpakaian lengkap, tinggal memakai sepatu. Hal itu membuat Bass terkekeh pelan.

Mereka berjalan bersama menyusuri ruang tamu dan sampai ke ruang makan. Helen duduk disana dan tersenyum menyambut ke di keponakannya yang mengarah kepadanya. Senyum itu tidak pernah hilang sebelum Bass berpaling dari wajahnya.

"Ayo makan!" ajak Helen.

Bass duduk bersamaan dengan sepupunya, kemudian menatap makanan yang banyak mengisi seluruh meja makan yang lebar. Bass mengernyit heran, mereka tinggal hanya berdua tapi meja makan begitu besar dan makanan yang dimasak begitu banyak. Apa ini salah satu dari penyambutan tante Helen kepadanya?

"Kok masak banyak banget sih?" Bass menatap Helen heran.

"Ada nenek di seberang yang tiap pagi mesen sarapan." jawab Cleo mendahului tantenya.

"Iya, jadi nenek itu mesan sarapan sama tante tiap pagi, mungkin karena udah tua jadi ga bisa bangun kepagian buat masak." lanjut Helen.

Helen menyiapkan nasi goreng di piring Cleo dan Bass, mereka makan di keheningan pagi itu. Waktu bahkan berjalan sangat lambat ketika Bass mewanti-wanti agar hari ini, besok, dan hari selanjutnya cepat berlalu. Sayangnya waktu berdentang seperti siput. Lambat. Membosankan.

Cleo menyudahi makannya kemudian menyeruput air putih miliknya. Sejenak dia memperhatikan Bass yang tidak fokus aja ada makanannya, dia menatap kosong sambil memainkan sendok di tangannya.

"Jangan bengong woy!" pekik Cleo sembari menepuk bahu sepupunya itu.

Bass tersentak kemudian menatap horor Cleo, membuat gadis itu menaikkan bahu pura-pura tenang. Sedang Helen hanya bisa menggeleng melihat kedua keponakannya itu. Dia bahagia kalau keduanya bisa tinggal menemani sepi hari-harinya.

"Berangkat naik apa?" Bass bertanya pada Cleo.

"Jalan kaki. Ga terlalu jauh sih sekolahnya, ga deket juga, tapi mau bilang apa lagi? Angkot jalannya mulai dari jam delapan, ya kali gue nungguin!" jawab gadis itu seraya bangkit dari kursinya. "Udah ah, mau berangkat! Pergi dulu ya tante, Bass!"

Gadis itu melesat menuju ruang tamu sedang Bass mengernyit menoleh ke sudut ruangan dimana ada sebuah sepeda hitam terparkir disana. Sepeda itu tampak masih bagus, rantainya tidak rusak dan Bass yakin kalau Cleo bisa memakainya daripada harus berjalan kaki ke sekolah.

"Kenapa Cleo ga make sepeda aja tante?" Bass menunjuk ke sudut.

Helen melirik pada arah tangan lelaki itu dan terkekeh geli. "Cleo ga tau naik sepeda. Bahkan kalau tau naik motor, tante beliin tuh! Dia aja yang ga niat."

Bass terbelalak, dia tidak yakin kalau masih ada orang yang tidak bisa naik sepeda di zaman ini. Dia ikut tertawa pelan, dia belum bisa menerawang kenapa seorang Cleo, sepupunya yang tak kalah nakal tidak bisa menaiki sepeda.

Selesai sarapan, Bass menuju kamarnya untuk mengambil pakaian serta handuk. Dia mandi dengan cepat mengalahkan dinginnya suasana yang memaksanya agar langsung berjemur di kursi kayu yang terletak di sudut halaman luas milik tante Helen. Matahari menghangatkan kulitnya dari jarum-jarum angin yang menusuk.

Bass duduk disana dan langsung bisa menikmati hamparan sawah di seberang jalan kecil. Ada banyak kerbau bermandi lumpur juga para petani yang siap pergi bekerja. Lelaki itu mengulur tangannya untuk mengambil hp yang ada di saku celananya. Dengan cepat dia mencoba mengabari kawannya.

"Sialan!" pekiknya dengan nada meninggi

"Kenapa?" tanya Helen tiba-tiba, membuat Bass kaget.

"Ini sinyal ga ada!" jawab Bass masih diselimuti rasa kesal karena jaringan yang benar-benar kosong.

"Emang gitu, sinyal suka hilang tiba-tiba."

Helen mendekat ke arah lelaki itu sembari membawa rantang di tangannya. Bass tahu kalau Helen harus mengantar rantang itu ke rumah nenek yang dimaksud.

"Bass aja yang anterin!" ujar lelaki itu. "Bosan disini ga ada kerjaan!"

"Oke! Rumahnya deket kok, tuh ada gang, masuk, liat aja rumah paling modern ada gerbang hitam. Itu rumahnya."

Bass mengangguk mengerti, "Oke!"

"Sekalian Bass, pasti masih inget warung deket situ juga kan? Beliin tante deterjen bubuk yang gede."

"Iya, tapi Bass pake sepeda ya?"

Helen terhenti sejenak kemudian menatap ke arah Bass. Dia paham kalau keponakannya itu sudah terbiasa dengan mobil dan motor di kota dan sekarang tidak ada alasan untuk membiarkan lelaki itu membiasakan diri dari kendaraan berbahan bakar.

"Yaudah ambil sepedanya, tapi hati-hati!" Helen memperingatkan.

Bass mengangguk mantap kemudian mengambil sepeda yang ada di sudut dapur. Agar ban tidak membuat rumah kotor, Bass mencoba mengangkat sepeda itu dan sampai di halaman menghampiri Helen yang masih memegangi rantangnya.

"Ini!" Helen memberikan rantang itu.

Bass meraihnya dan menaiki sepeda. Satu tangannya memegangi rantang dan dengan kayuhan santai dia bergerak menuju kiri, membelok di gang yang dimaksud oleh Helen.

Desa itu tidak seperti kota yang selalu dipenuhi asap kendaraan. Nuansa hijau tak lekang dari setiap sudut pandang yang tertangkap oleh Bass. Udara segar membuatnya sedikit lebih bersemangat daripada tadi pagi. Dia mencoba melupakan sinyal yang hilang ditelan waktu.

Lelaki itu mengamati barisan rumah yang ada di gang itu dan matanya berhenti ketika melihat sebuah rumah yang dimaksud oleh Helen. Rumah besar dengan pagar hitam, barisan sebelah kiri, dan berspasi satu rumah dengan rumah pertama.

Lelaki itu menggoes sepeda lebih kencang dan dia sampai di depan rumah itu. Rumah yang besar, sama dengan rumah Helen. Hanyabsaja rumah ini bukan lagi semi-permanen dan halaman sedikit lebih kecil tapi dihiasi banyak tumbuhan. Bass sedikit tidak yakin kalau yang tinggal disitu hanya seorang nenek tua yang tidak bisa memasak pagi-pagi.

Bass turun dan memarkirkan sepeda itu, sejenak dia mengamati rumah itu. Dia ingin masuk melalui pagar, namun dia canggung kalau harus masuk tanpa izin. Tapi dia juga tidak yakin kalau nenek itu bisa mendengar pekikannya.

"Nenekkk!" teriaknya.

Tidak ada yang menyahut dari dalam rumah.

"Nenek!! O Nenek!"

"Nek!"

"Nenekk!" teriaknya lagi.

Bass mendecak kesal kemudian memutuskan untuk masuk saja melalui gerbang. Kakinya menyusuri halaman dan tiba di depan pintu rumah berwarna putih bersih. Ubin teras tidak berpasir, hanya saja bekas sendal Bass membuat pasir yang dia angkut jatuh mengotori.

"Nenek!" Bass mengetuk pintu dengan kuat.

Suara langkah kaki mendekat dan mulai terasa ada di depan pintu. Bass menunggu dan knop berputar, pintu terbuka. Tampaklah seorang nenek berpakaian serba putih dan kacamata menyangkut di matanya.

Jauh dari dugaan Bass. Dia pikir nenek yang dimaksud sudah berumur sembilan puluh tahun, nyatanya masih seperti tujuh puluh tahun. Badannya masih sehat dan senyumnya membuat nenek itu seperti sangat bahagia ketika Bass membawakan rantang.

"Keponakan Helen?" tanyanya.

Bass mengangguk, "Iya nek! Nama saya Bass."

"Bass, bagus. Hampir sama dengan nama bapak kamu, Bagas."

"Nenek kenal?"

Nenek itu mengangguk, "Jangan panggil nenek, panggil saja Oma."

"Iya Oma. Ini rantang dari tante Helen."

"Baik ya kamu mau bantuin Helen, kalau nenek tinggal sendiri disini!"

Bass melongok ke dalam rumah itu. Rumah yang sunyi dan terdengar suara televisi dengan volume mungkin hanya lima persen. Sangat adem kalau masuk ke dalam pastinya. Namun sayang sekali kalau nenek itu tinggal sendiri.

"Anak nenek, eh maksudnya anak oma emang kemana?"

Oma meraih rantang dari tangan Bass kemudian mendongak ke arah lelaki tinggi itu. "Kerja di luar kota, sibuk sekali."

"Kenapa oma ga ikut ke kota?"

"Oma senang tinggal disini!" jawabnya sembari menoleh ke arah halamannya yang hijau.

"Jadi yang rawat oma?" Bass mulai ingin tahu. Rasanya dia tidak terima kalau nenek berumur segitu dibiarkan tinggal sendiri.

"Kadang Helen yang datang bantuin oma, tapi sebentar lagi cucu oma bakal pindah kesini buat ngurusin oma."

Bass itu mengangguk. "Udah kerja?"

"Masih sekolah, mau kelas tiga SMA."

"Samaan dong umurnya sama Bass, Bass juga mau naik kelas tiga oma." Bass menyahut dengan suara lantang.

"Iya, Difa bakal tinggal sama oma. Oma bersyukur karna dia baik masih rela tinggal di desa buat ngurusin oma."

"Itu bagus oma! Di desa juga segar, udaranya bagus buat kesehatan." Bass berdusta, dia malah mengutuki nasib untuk tinggal disini.

"Yaudah, ayo masuk! Mampir dulu minum teh!"

"Gausah oma!" tolak Bass. "Bass pulang aja."

"Yaudah, titip salam sama Helen. Rantangnya nanti sore kamu jemput ya nak!"

Bass mengangguk kemudian menyalim oma, "Bass pergi dulu."

Lelaki itu berlalu dari rumah oma dan mendengar suara pintu tertutup saat dia meraih sepedanya. Dia iba melihat nenek berusia lanjut dibiarkan sendiri oleh anak-anaknya. Kalau Bass besar, dia berpersepsi untuk tidak membiarkan Sarah tinggal sendiri dalam masa tua.

Bass memutar balik dan melajukan sepedanya menuju jalan yang akan membawanya kembali ke rumah Helen. Sejenak dia mengamati tiap-tiap rumah dan hamparan sawah dimana-mana. Ada anak-anak balita bermain di halaman rumah dengan teman-temannya.

Tawa menghiasi permainan mereka sampai-sampai Bass heran apa yang membuat mereka tertawa. Dia rindu suasana kota dan teman-temannya. Naas sinyal tidak bisa diajak kompromi dan malah menertawakan dirinya.

"Tante!" teriaknya saat sampai di depan teras.

Helen keluar dan melihat Bass sudah ada di depan teras. "Apa?"

"Ini sepeda ditaro dimana?"

"Lah emang kamu ga mau liat-liat desa dulu?" tanya Helen sembari menuruni anak tangga.

"Liat apa? Kerbo udah! Sawah udah! Nenek-nenek itu udah! Apalagi?"

Helen menggeleng dan menyadari kalau Bass benar-benar benci tinggal di desa. "Bass! Di desa bukan hanya itu aja loh! Kamu lihat-lihat lagi."

"Gamau!"

"Oke kalau ga mau! Deterjennya mana?"

Bass menepuk jidatnya karena benar-benar lupa soal itu. Segera dia kembali mengayuh balik sepeda dan keluar melewati pacar dengan buru-buru. Helen hanya bisa tertawa melihat keponakannya yang bertingkah lucu.

Lelaki itu kembali ke gang yang tadi, karena arah warungnya memang sejalan dengan itu. Seingat Bass ada di ujung, maka dengan cepat dia mengayuh sepeda dan sampai di ujung gang. Tapi tidak ada warung disana.

"Ka!" pekik Bass saat melihat seorang wanita lewat dari depannya. "Warung dimana ya?"

"Di dekat rumah pak RT." jawabnya kemudian pergi, dia tampak terburu-buru.

"Rumah Pak RT yang mana lagi?" desis Bass dengan kesal.

"Bang bang!" Bass memanggil lagi seorang lelaki yang sedang lewat. "Rumah Pak RT dimana?"

"Di samping rumah Bu Imah tukang jahitlah! Maksud kamu dimana lagi? Udah pindah?" jawab lelaki itu tidak santai.

Bass mengernyit. Dia bahkan tidak tahu siapa Bu Imah tukang jahit. Apa tidak ada orang yang bisa menjelaskan dimana warung dengan jelas? Lagian apa warung di desa ini hanya satu?

"Ka! Warung dimana?" tanyanya lagi pada seorang petani yang lewat.

"Di sono! Samping rumah Pak RT!"

"Iya rumah Pak RT dimana?" Bass mulai geram dengan jawaban orang yang tidak jelas.

"Kamu ganteng-ganteng kok ga tau rumah RT sendiri dimana?"

Bass menarik napas frustasi, dia mulai berkeyakinan kalau dia tidak akan bisa tinggal lebih lama. "Iya ka, makasih! Saya emang gitu, ganteng tapi tolol!"

...♨♨♨...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!