10.

...♨♨♨...

Hari sabtu. Hati Anggi berguncang hebat ketika pembagian hasil belajar sudah siap. Ayahnya menunggu di depan gerbang sekolah sembari bercakap-cakap dengan Pak Ruben. Sedang Anggi berdiri jauh dari mereka dengan Glad yang menunduk lesu. Mereka nyaris tak mengobrol lama semenjak bel pulang berbunyi. Rasa-rasanya ada kejanggalan di hati kefuanya untuk berpisah.

Glad mengambil tempat menuju ke depan Anggi. Mereka bertatapan namun kemudian tertawa dengan paksaan dari hati. Benar-benar mereka akan berpisah dan usai sampai sini perjumpaan mereka. Mungkin mereka akan bertemu di lain hari, tapi tidak akan seperti biasa.

Mereka berhubungan lewat telepon, tidak akan bersama setiap hari, tidak akan belajar bersama lagi. Anggi harus pergi ke desa dan Glad menjalani kehidupan biasa di kota. Menyedihkan apabila sahabat yang sudah lama bersatu malah dioisahkan begini.

"Lo bakal main ke sini kan?" tanya Glad. Pertanyaan itu sudah didengar oleh Anggi lebih dari sepuluh kali hari ini.

"Iya Glad! Kita pisah cuma setahun doang. Doain aja gue kuliahnya deketan sama lo!" balas gadis itu mencoba mengurangi kesedihan yang terpancar dari wajah Gladys.

Gladys mengangguk sembari tersenyum kecil. "Semoga lo baik-baik disana. Jangan lupa buat ngabarin gue tiap waktu."

"Iya. Seenggaknya gue aman kok disana. Ga ada lagi genk semacam weird n dumb." ucap Anggi bersemangat.

"Mungkin ga nemu, tapi ada yang lebih parah lagi."

"Ga mungkin dan jangan doain. Lo juga kalau apa-apa hubungin gue dong Glad! Pasti bakal rindu sama lo!"

Anggi memeluk sahabatnya itu. Kemudian keduanya berjalan menuju gerbang dan langsung menarik perhatian Pak Ruben dan ayah Anggi, Endy. Mata keduanya menatap Glad dan Anggi yang semakin mendekat ke arah mereka.

"Gladys!" ujar Endy sembari tersenyum ramah.

Glad langsung menyalam Endy dengan ramah. "Om!"

"Kalian bisa berhubungan kok! Kan sekarang zaman udah modern." Endy menoleh keduanya bergantian.

Wajah Anggi tidak bersemangat, hampir sama dengan Gladys. Keduanya sebenarnya mengutuki takdir ini, namun semua harus dijalani demi kebaikan bersama. Endy yang menyadari wajah mereka pun segera membangkitkan semangat.

"Ayolah! Sahabat kan ga peduli seberapa jauh jaraknya. Yang penting hatinya." kata Endy lagi.

Anggi tersenyum kecil diikuti oleh Gladys. Benar adanya kata Endy, mereka akan tetap bersama kalau pun jarak antar mereka harus terkait antar bulan dan bumi. Karena salah satu resiko persahabatan ialah ketika mereka harus bertahan walaupun tidak menginjak daerah yang sama.

"Yaudah Pak Endy, saya ke dalam dulu!" Pak Ruben mengambil jalannya menuju ke area sekolah yang masih ramai.

Sebetulnya bel berbunyi baru beberapa menit yang laku dan Anggi masih hisa bersama-sama dengan Gladys. Namun Endy menjemputnya lebih awal untuk mengurus kepindahan Anggi. Mereka juga harus berangkat secepat mungkin agar tidak sampai terlalu malam.

"Kalau gitu, ayo kita pulang Anggi!" ajak Endy. "Gladys mau ikut?"

Glad menggeleng pelan sembari menoleh pada ayah Anggi. "Udah dijemput juga om!"

Endy mengangguk paham kemudian membukakan pintu untuk anaknya itu. Sementara Anggi masih belum bisa melepaskan pandangan dari Gladys. Serupa dengan Glad, air matanya hampir jatuh namun dia tidak mau menangis di tempat ini.

"Lo jaga diri baik-baik. Lo ga bakal ada gantinya di hati gue." kata Anggi.

"Lo juga. Mungkin gue ga bakal nemu sahabat kaya lo lagi." balas Gladys.

Keduanya kembali hanyut dalam pelukan. Mencoba menahan air mata mereka yang yang sudah di ujung kelopak mata. Lalu mereka melepaskan pelukan dan saling tertawa kecil. Mereka menautkan jari kelingking mereka seperti yang biasa mereka lakukan. Benar-benar perpisahan yang harus mereka hadapi.

"Kalau gitu gue pergi, Gladys!"

"Baik-baik Anggi!" ujarnya.

Anggi menaiki mobil dan tersenyum pada sahabatnya itu. Dia menutup pintu dan membuka jendela dan mengeluarkan kepalanya untuk melongok pada Gladys. Anggi tidak tega meninggalkan Glad, dia tahu kalau Glad akan menyendiri untuk beberapa waktu sebelum menemukan teman yang baru.

"Maafin gue Glad!" seru Anggi.

Gladys mengangguk. Air matanya tidak bisa ditahan dan langsung buyar begitu saja. "Gue maafin!"

Mobil Endy berjalan dengan perlahan menemani angin sepoi kala siang itu. Anggi bersandar dan diam selama perjalanan menuju rumahnya. Dia tidak banyak bicara. Semua ini berakar dari satu masalah. Kemudian menjalar dan mempengaruhi hidup Anggi.

"Kenapa harus ada pertemuan kalau akhirnya berpisah?" tanya Anggi tanpa menoleh.

Endy terkesiap kemudian mencoba menjawab pertanyaan anaknya itu. "Kalian memang bertemu, tapi kalian kan sahabat. Jadi wajar kalau berpisah—"

"Bukan kami!" potong Anggi. "Tapi kalian. Iya, mama sama papa kenapa ketemu padahal malah pisah?"

Endy terdiam. Kini dia tidak berkutik. Dia tidak ingin melanjutkan pembahasan yang sebenarnya belum dimengerti oleh anak seumuran Anggi. Endy tidak mau Anggi harus ikut berpikir keras karena perceraian ini.

"Papa daftarin kamu disana. Sekolahnya agak jauh dari rumah, jadi kamu mau papa anterin mobil kamu atau papa beliin motor aja?" tanya Endy.

"Motor aja. Ga bakal ada anak sekolah yang make mobil kesana." jawabnya.

Tampaknya Anggi tidak tertarik melanjutkan obrolan, Endy bisa merasakannya. Dia pun memilih untuk diam selama perjalanan pulang. Perjalanan menuju rumah kali itu sangat cepat. Sesampainya di halaman rumah, Anggi bisa melihat ibunya, Dina berdiri dengan senyum ramah ketika Anggi turun dari mobil. Seketika Anggi memeluk Dina dan Dina juga melakukan hal yang sama.

"Ma, sebentar lagi Anggi bakal jadi anak kampung." Anggi tertawa dengan terpaksa.

Dina melepaskan pelukannya kemudian menatap Anggi dengan dalam. "Kamu harus tau kalau mama bakal datang kesana tiap mama sempat."

Anggi mengangguk. "Barang-barang Anggi mana?"

Dina menunjuk ke mobil Endy yang lebih besar. "Di mobil papa kamu. Yang lain-lain dianter besok-besok ya sayang!"

"Yaudah Anggi masuk kamar dulu buat ganti baju ya!" ujarnya.

Anggi dengan cepat melesat ke dalam rumah. Di rumah itu hanya ada mbak Surti yang berkerja. Endy pasti selalu sibuk dengan pekerjaan di luar daerah setiap hari.

Gadis itu sampai ke kamarnya kemudian membuka pintu balkon dan membiarkan udara masuk ke kamarnya.

Dia duduk di tepian ranjangnya kemudian mulai menangis. Melepaskan apa yang dia pendam dari tadi pagi. Menerima keadaan kalau dia adalah anak broken home dan akan diasuh dan mengasuh neneknya di kampung. Meninggalkan kehidupan kota dan meninggalkan Gladys.

Air matanya jatuh tanpa banyak tanya. Dia belum bisa menerima karena semua ini berimbas dari satu masalah ke masalah lain. Untung Anggi masih bisa ingat perkataan dari Glad.

Secepat kilat Anggi mulai membuang pikiran itu dari otaknya. Dia langsung menuju ke kamar mandi miliknya dan mengguyur tubuh di bawah shower. Sejurus kemudian dia memakai baju putih selengan dan rok biru yang menyamai lututnya. Pakaian yang sudah dia siapkan agar tidak perlu membongkar koper-koper yang akan dia bawa. Sedikit riasan dan dia menyambar tas kecil miliknya yang sudah diisi oleh handphone.

Alat-alat penting lainnya dimasukkan ke tas sekolah termasuk baju sekolah lamanya. Dia pikir itu bisa menjadi kenang-kenangan.

Anggi mengamati kamarnya yang sekarang benar-benar dalam keadaan kosong. Tempat tidur rapih dan lemari-lemari tak berisi. Boneka-boneka besar dia biarkan disana agar tidak terlalu repot untuk membawanya ke rumah oma. Dia akan menyuruh mereka mengantar lain waktu.

Setelah semua beres dia mengangkat tas sekolah itu dan menuruni anak tangga yang membawanya menuju ruang tamu. Tampak kedua orangtuanya duduk diam disana tanpa membicarakan apa pun. Walau begitu Anggi masih bersyukur melihat orangtuanya duduk bersama, karena mungkin ini adalah pemandangan terakhir di otaknya melihat mereka bertiga berkumpul di rumah penuh kenangan ini.

"Anggi udah siap!" ujarnya membuat kedua orangtuanya langsung bangkit berdiri.

Mereka berjalan ke halaman dan Anggi dengan cepat mengambil tempat di bagian belakang. Bermaksud agar kedua orangtuanya mengambil bagian depan. Setidaknya dia masih bisa melihat kedua orangtuanya bersama-sama.

Ketika Endy dan Dina memasuki mobil, Anggi bersandar dan membuka kan sedikit. Membiarkan udara masuk menerpa wajahnya yang putus asa. Toh tidak ada gunanya berbicara pada orangtuanya yang tidak seakrab dulu lagi.

Mobil melesat di jalanan dan memulai keheningan di antar ketiganya. Suara deru ban yang terdengar menemani perjalanan mereka. Sebenarnya Anggi ingin memulai pembicaraan, namun dia tidak tahu harus memulai darimana.

"Keperluan sekolah kamu nanti mama beliin, ya sayang?" Dina berbicara setengah teriak untuk mengalahkan suara mesin.

"Iya ma!" ujar Anggi. "Nanti kalian nginap di rumah oma kan?"

Dina tidak menyahut dan membiarkan Endy untuk menjawab pertanyaan yang satu itu. "Kayanya ga bisa sayang! Papa ada urusan di luar kita dan berangkat malam ini."

"Kalau mama?" tanya Anggi.

"Sama sayang! Mama ada urusan, maafin mama. Tapi mama janji kalau ada waktu—"

"Ga usah kasih harapan ma!" potong Anggi cepat menyela perkataan Dina. "Kalau ga kesampean kan sakit. Lagian, kapan juga mama sama papa punya waktu?"

Dina terdiam. Begitu juga dengan Endy. Hal itu membuat Anggi mendecak kesal dan mengambil handphonenya dan meraih earphone kemudian mendengarkan lagu dengan volume terkuat. Dia mengikuti perlahan-lahan lagu itu.

...***...

Cleo mendecak sekali saat Bass lagi-lagi mengingatkannya soal nilai matematika gadis itu. Cleo hampir habis kesabaran, untung saja Helen langsung tiba dan meletakkan dua gelas teh di hadapan keponakannya itu. Teh hangat sore hari di desa akan membuat Bass sedikit tenang.

Langsung saja Bass menyeruput teh itu dan kembali meletakkannya di meja. Dia menoleh pada Helen dan Cleo bergantian. Dia cukup bersyukur kalau orang-orang yang ditemuinya di desa tidak seburuk ayahnya. Maksudnya, bukan buruk. Tapi ayahnya yang selalu mengekang apa pun perbuatan Bass.

"Gini enak tante! Ga kaya di rumah! Ada papa, ini itu ga boleh. Parah!" kata Bass tiba-tiba.

Cleo mengernyit menoleh pada Bass. "Ya berarti lo harus senang dong tinggal disini, ga ada bokap lo!"

"Cleo!" pekik Helen kuat, membuat gadis itu terperanjat kaget. "Jangan ngomong gitu."

"Gini nih Cleo! Gue jelasin ya sama lo, gue emang kesiksa kalau tinggal sama bokap gue, tapi gue juga punya keluarga disana."

Cleo mengernyit. "Keluarga? Lo udah nikah?"

"Maksud gue sahabat gue! Bayangin coba ga ketemu sama mereka lebih dari seminggu rasanya gimana?" Bass mulai kesal menghadapi sepupunya yang satu itu.

"Ohh!" kata gadis itu akhirnya.

"Udah ah! Mau jemput rantang oma!" Bass beranjak dan melangkah menuju pintu luar.

"Langsung pulang Bass!" perintah Helen.

Bass mengangguk mengiyakan kemudian menuruni anak tangga yang membawanya ke halaman. Diraihnya sepeda dan menaikinya. Dia berputar dan mulai mengayuh menuju ke gang rumah oma.

Pikirannya melayang ke telepon ayahnya yang selalu menyapa dari handphone tante Helen. Pasalnya Bass selalu mematikan telepon dari Bagas, dia tidak ingin dikomentari. Sayangnya dia tidak bisa mematikan telepon dari handphone milik Helen. Mana mungkin dia berani menyentuh telepon dari Bagas di handphone milik Helen.

Sejenak terlintas di benaknya untuk kabur dari rumah Helen saat tengah malam. Tapi bagaimana? Kalaupun dia menuju ke jalan utama dengan sepeda, siapa yang akan mengangkutnya ke kota pada malam hari?

Lagian gila kalau dia pulang dan Bagas melihatnya. Bisa-bisa Bass langsung dipindahkan ke pulau terpencil dan berlibur disana. Jangan sampai!

Lagian telepon dari Bagas sendiri yang membuatnya tidak betah untuk tinggal di desa. Selalu menanyai kabarnya. Dia bahkan tidak bisa berlama-lama di luar, takut kalau ayahnya tiba-tiba menelepon.

Bass sampai di depan rumah Oma. Dengan secepat kilat dia masuk melalui gerbang dan menyusuri halaman. Bass tidak perlu mengetuk pintu, pasalnya rumah Oma terbuka lebar. Tidak biasanya Bass melihat rumah Oma terbuka lebar seperti itu.

"Oma?" panggilnya kuat.

Beberapa saat oma keluar dengan rantang di tangannya. "Bass! Ayo masuk, sekalian nunggu cucu oma datang!"

Bass menolak. "Engga Oma. Tante bilang Bass harus pulang cepat!"

Seketika wajah Oma berubah menjadi sangat riang ketika melihat mobil hitam mengkilap menuju ke rumahnya. Bass berbalik dan melihat mobil itu semakin mendekat. Begitu tahu kalau itu ialah mobil cucu oma, Bass menuntun wanita tua itu menuju gerbang.

"Kalau gitu Bass pergi ya Oma!" ucapnya sembari membuka gerbang, tepat saat mobil itu terparkir indah di depan gerbang.

"Hati-hati!" peringat wanita tua itu.

Bass bisa merasakan kesenangan di wajah Oma, kemudian dia menyalim tangan. Lelaki itu memberikan senyum pada seorang pria yang turun dari mobil. Dia memakai jas hitam dan tampak sangat formal. Nampaknya ia adalah anak dari Oma.

Bass menaiki sepedanya dan mulai mengayuh. Dia melewati mobil itu dan berbalik badan ketika dua orang lainnya mulai keluar dari mobil. Namun seketika lelaki itu langsung berbalik lagi dan fokus mengendarai sepedanya. Dengan rantang yang dia pegang di tangan kiri, dia mencoba mengatur keseimbangannya.

...♨♨♨...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!