16.

...♨♨♨...

Sore itu adalah sore yang jingga di ujuk Barat pedesaan. Burung-burung pulang ke sarang masing-masing, entah di pohon yang mana. Anak-anak yang bermain bola di lapangan kecil juga sudah dianjurkan pulang oleh orangtuanya masing-masing. Kadang, para orangtua harus menceritakan mitos yang sama sekali tidak benar pada anaknya agar mereka mau ikut pulang. Mitosnya begini: kalau main di luar lewat dari adzan maghrib, nanti pulangnya ditemenin sama setan.

Mendengar itu tentu anak-anak pada bergidik ngeri dan memilih untuk pulang bersama orangtuanya daripada sama setan. Siapa juga yang mau berteman dengan setan? Lagian anak-anak otanbya masih polos, belum banyak dibubuhi logika yang membuat mereka berpikir kalau itu tidak mungkin.

Bedanya dengan kota yang ramai dan serba elit, artinya sudah jarang ditemui anak-anak yang rela bermain sampai sore. Jangankan sore, siang saja sudah jarang. Mengingat kalau kesibukan lain yang lebih menarik perhatian mereka, seperti main gadget atau les akademik dan non akademik. Jadi mereka tidak ada waktu untuk bermain.

Kadang itu bukan pilihan mereka, tapi orangtua zaman sekarang sudah semakin sibuk juga. Tidak ada waktu untuk memperhatikan anak-anak kalau main di luar, jadi mereka punya cara lain agar tidak terlalu repot. Membuat anaknya belajar dari pagi sampai sore dan pulang ke rumah saat waktu yang tidak memungkinkan lagi untuk main diluar.

Begitulah, sangat berbeda.

Namun, apa pun hikmahnya tinggal di desa tidak akan masuk melalui selaput otak manusia keras kepala yang satu itu. Mengerti maksudnya siapa? Ya pasti Sebastian Prananda. Dari awal saja dia sudah mengutuki nasib untuk tinggal di tempat yang jauh dari riuk-piuk. Jauh dari kesenangannya.

Sebenarnya kalau dia harus liburan di desa itu bukan masalah baginya, asalkan Sarah, Dio, Fariz, dan Jhon ikut. Sayangnya, mana mungkin terjadi. Bagas sengaja mengirim Bass sendiri karena sengaja untuk menjauhkan lelaki itu dari sahabatnya yang asik. Begitu pun dengan Sarah yang dibatasi untuk bertemu Bass.

Bass saja heran. Ini hukuman atau penyiksaan pada masa penjajahan? Sepertinya terdengar sangat tidak masuk akal bagi seorang anak yang sudah terlalu dekat dengan ibunya, Sarah. Apalagi sahabatnya yang menyenangkan, padahal Bagas belum tentu mampu menciptakan suasana hangat seperti yang dia rasakan dengan sahabatnya.

Bass duduk di teras. Begitulah rutinitas yang sering dia lakukan kalau sore sudah menyapa. Biasa ditemani oleh Cleo, biasa juga tidak. Dan kali ini dia tidak menjemput rantang, karena tadi Helen sudah sekalian membawanya pulang dari rumah Oma.

Sebenarnya Bass sudah kepengen buat pergi ke rumah Oma, tak lain untuk membuatnya sedikit lebih dekat dengan Anggi. Tapi sayangnya dia belum bisa memikirkan alasan untuk pergi kesana, apalagi dia haru menunggu telepon dari si monster, ups maksudnya Bagas. Kalau saja kedapatan Bass tidak ada di rumah pukul segitu, wah wah wah. Ngajak beradu mulut lagi.

"Bass!" panggil Helen dari belakangnya, baru muncul dari balik pintu.

Bass menoleh, dan pandangannya langsung bisa menerka apa yang dibawa Helen. Handphone. Bass tahu kalau Bagas lebih percaya untuk menelepon Helen daripada dirinya, karena dia bisa saja berbohong. Hobi Bass memang berbohong pada Ayahnya, Bagas. Maksudnya selain berkumpul dengan temandan menjahili orang-orang.

Bass meraih handphone itu, kemudian menyahut "Iya Pa?"

"Bass, udah gimana perasaan kamu?"

"Perasaan gimana Pa?" tanya Bass pura-pura tidak tahu.

"Ya perasaan kamu. Kamu udah sadar belum kalau kamu itu harus berubah?" tanya Bagas.

"Pasti!" jawab Bass cepat, menghindari amarah Ayahnya.

"Baguslah! Kamu harus gitu dong, paham sama maksud Papa."

"Maksud Papa emang apa?"

"Maksud Papa, kamu jadi orang yang bermanfaat bagi semua orang. Bisa jadi teladan yang baik."

Emang Papa teladan yang baik ya? tanya Bass dalam hati. Tapi dia sedang tidak mau bermasalah dengan Bagas. "Mama mana?"

"Mama di rumah. Papa lagi ada meeting sama rekan. Kalau mau telepon, telepon aja!" kata Bagas.

Bass tersenyum, "Kalau gitu Papa tutup aja telponnya."

Bass bisa mendengar suara panggilan yang terputus dan kala itu juga dia mengakhiri obrolan dengan Bagas. Namun dengan senyum jenaka, Bass melanjutkan obrolannya dengan handphone yang sudah dimatikan sambungan teleponnya.

"Semoga Papa bisa berubah juga. Bisa jadi Papa yang baik buat Bass, dan jadi teladan buat semua orang."

Helen membulatkan matanya karena terkejut mendengar perkataan Bass. Nyaris dia jatuh pingsan mendengar keponakannya yang berani bilang begitu ke Ayahnya sendiri. Kalau bisa, sudah Helen kutuk dia jadi batu kerikil sungai.

"Bercanda!" kata Bass pada Helen sembari tertawa dan menyerahkan hp pada Helen.

"Kamu ini bikin jantung tante mau copot." ujar Helen dengan wajah serius, tapi ditanggapi bercanda oleh Bass.

"Jangan dicopot jantungnya, nanti tante ga bisa jantungan lagi." lanjut Bass.

Keduanya tertawa, mengundang Cleo yang dari tadi asik sendiri main game di ruang tengah. Gadis itu keluar dan menatap Helen dan Bass bergantian, dia bingung kenapa kedua manusia itu langsung diam ketika dirunya tiba di ambang pintu.

"Panjang umur dia Tante." kata Bass, maksudnya panjang umur artinya dia datang setelah dia baru dibicarakan. Nyatanya sih tidak, hanya untuk membuat Cleo kesal saja.

"Iya ya, habis diomongin langsung datang." ujar Helen.

"Ga asik nih, ngomongin Cleo ga ngajak-ngajak." cibir gadis itu, membuat mereka berdua tertawa lagi.

"Ngapain diajak?" tanya Bass. "Seharusnya datang sendirian, bawa teh manis hangat sama roti biar makan bareng."

"Alah! Emang bener ya kalo punya sepupu yang seumuran itu pasti ga enak banget." Cleo kesal.

Bass semakin tertawa, "Emang bener. Makanya sial gue punya sepupu kaya lo."

Helen mengerutkan dahi karena menyadari satu hal yang harus dia hentikan, yaitu perdebatan ini. Pasalnya kalau tidak segera dihentikan, mungkin sampai besok mereka akan terus berdebat. "Sudah! Kalian ini hobi berantem. Sekarang kita masuk, pada mandi, terus kita makan malam."

"Ya udah Cleo duluan aja!" seru Bass.

"Kenapa gue duluan? Kan lo bisa mandi di toilet belakang!" balas Cleo.

Bass ingat kalau di halaman belakang ada kamar mandi yang jaraknya sekitar lima meteran dari serambi. Tapi Bass tidak pernah mau pergi kesana, katanya seram. Apalagi pencahayaannya minim sekali, ogah!

"Lo aja yang disitu." gerutu Bass.

"Udah Cleo!" sela Helen. "Cleo mandi duluan, nanti Bass."

"Iya deh!" Cleo pasrah, kemudian pergi melaju menuju toilet.

...***...

Perlu diketahui kalau selain masakan Tante Helen dan Sarah, yang membuatnya kenyang adalah nasehat-nasehat Bagas yang selalu menempel di daun telinganya dan berdenging begitu kuat. Seolah tak ingin Bagas lupa setiap kata yang dilontarkan lelaki itu. Padahal Bass yakin, kalau Bagas membiarkan Bass hidup damai, maka kedamaian pula yang akan diberi Bass pada semua orang.

Lagian dia nakal begini karena ayahnya yang mengekang sejak dulu, sejak SMP. Waktu Bass memasuki SD, ayahnya lebih sering pergi ke luar negeri, namun ketika hendak masuk SMP, ayahnya memilih tinggal lebih lama bersama Sarah dan Bass. Hal ini membuat ayahnya semakin menjadi-jadi ketika tahu kalau dulu Bass sering pulang terlambat dari kebanyakan anak SD yang bermain bola di sekolah. Semenjak itu semua jadi berbeda. Bass mulai mencari hal yang bisa membuatnya lupa akan Bagas, dan bertemulah dia dengan sahabatnya saat ini.

Jadi, anggap saja Bass menjadi orang paling nakal di sekolah karena Bagas.

"Bass!" Cleo membangunkan lelaki itu dari lamunannya yang tampak sangat panjang.

"Eh, apa?"

"Kalau bengong lo kayak monyet tau ga sih?" celutuk Cleo.

Bass berjalan menuju teras rumah setelah Cleo menyelesaikan omongannya. Lelaki itu meninggalkan sepupunya itu dan berjalan sakit cepat. Di serambi dia duduk menikmati bintang-bingtang yang begitu banyak. Itu bukan hal yang aneh di penghujung tahun di Indonesia. Menurut Bass, negara ini adalah tempat yang ajaib dan menarik. Pasalnya tidak ada tanggal dan bulan yang menentu untuk mulai musim hujan. Masih bisa merasakan hangatnya bulan Juli di bulan Desember.

Mendadak sebuah ide muncul di otak Bass. Apa yang bisa ia lakukan setelah ayahnya sudah mengabari untuk hari ini? Terserah. Dia bisa lakukan apa pun tampa khawatir kalau ayahnya menelepon lagi. Bass tidak peduli dan dia ingin pergi dari rumah, sekadar jalan-jalan mungkin mampu memperlancar peredaran darahnya.

Segera lelaki itu membawa sepedanya dan mengayuh dengan cepat. Membelok ke gang rumah Oma dan tiba di depan rumah nenek tua yang sangar ramah itu. Dia akrab dengan Oma sehingga baginya tidak salah untuk bertamu, sekalian ngobrol dengan Anggi.

Baiklah, sebenarnya alasan Bass untuk ngebut mendekati Anggi ialah semata-mata untuk membangun jalan bagi Bass kembali ke tempatnya yang dulu. Bersama Sarah dan ketiga temannya yang pasti sudah jenuh kalau harus bermain tanpa Bass. Karena bagi sahabatnya, Bass itu bukan sekedar bandar kalau lagi jalan-jalan, dia juga dikenal sebagai jiwa weird n dumb. Pemilik ide-ide liar untuk mengganggu pengganggu.

"Oma!" teriak Bass kuat.

"Oma!"

"Iya sabar!" terdengar suara Oma menyahut dari balik pintu, sambil memutar kunci di lubangnya.

"Oma!" Bass menyalam Oma ketika wanita tua itu berhasil membuka pintu untuknya.

"Bass mau ngapain?" tanya Oma heran.

"Mau ketemu Oma aja, Bass tau pasti Oma kangen karna ga ketemu sama Bass udah enam jam."

"Apa kamu ini?" Oma tertawa. "Ya udah masuk dulu. Oma tau kok kenapa kamu datang malam-malam."

Bass mengernyit heran ketika Oma masuk, "Maksud Oma?"

"Kamu ga pernah datang malam-malam gini sebelum cucu Oma pindah!"

Mati gue! Gumam Bass. Dia yakin kalau Kan bisa membaca pikirannya karena memang benar maksud kedatangan Bass ialah karena dia ingin bertemu Anggi.

Oma tidak melanjutkan dan membiarkan pintu terbuka lebar. Dia juga mempersilahkan lelaki itu duduk dan berjalan menuju lorong. Bass tahu kalau Oma bermaksud memanggil Anggita, karena Oma memang langsung mengetuk pintu kamar Anggi.

Mendadak Bass jantungan, karena dia punya jantung. Dia harus bisa meyakinkan diri sendiri kalau dia datang cuma mau mendekati Anggi, bukan karena ada maksud yang manis-manis seperti: cinta?

"Anggi!" panggil Oma sambil mengetuk pintu.

"Iya!" sahut Anggi yang baru saja siap mandi.

Sebelum Oma memanggil dia lagi sibuk mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Dengan baju tidur kuning dan senyum Anggi membuka pintu dan mendapati Oma, "Ada tamu buat kamu!"

"Tamu?" tanya Anggi pada diri sendiri.

Sejenak Anggi langsung nalar pada Gladys, karena dulu kalau Glad datang pasti Pak satpam bilang begitu juga: ada tamu buat kamu. Tapi mana mungkin Gladys datang ke sini pukul delapan malam begini? Kalau Gladys orang gila ya Anggi mampu maklum, lah ini kan Glad orang waras.

"Siapa Oma?"

"Lihat aja sendiri, Oma mau ke kamar dulu. Ada kerjaan."

Anggi semakin bingung ketika Oma masuk ke kamar yang berseberangan dengan kamarnya. "Siapa sih? Belum lama di kampung udah make acara punya tamu."

Anggi melenggang menyusuri lorong rumah yang ditempeli banyak foto keluarga. Berbagai pose dan berbeda tahun. Ada juga foto kakek dan nenek waktu masih muda tersenyum bersama dengan warna foto sudah jadul. Tapi Anggi tidak peduli, nyatanya foto mereka saja yang jadul. Kalau cintanya sih modern sampai sekarang.

Setibanya di ruang tamu, Anggi mengernyit lagi dan lagi. Tidak ada orang dan hanya pintu yang terbuka lebar. Tiba-tiba dia bergidik ngeri, apa jangan-jangan Oma menerima tamu tak kasat mata? Astaga, pikirannya jadi lari begini. Habis bingung, atau tamunya masih di luar? Yakali Oma pernah membiarkan tamu ada di luar.

Tapi mungkin saja. Anggi pun berjalan menuju pintu, dan tidak ada orang yang berdiri di teras. Dia berjalan sedikit ke serambi, melirik kiri kanan dan sekeliling halaman. Kosong. Tapi pintu gerbang terbuka dan di depan ada sebuah sepeda hitam bersandar ke gerbang.

"Sepeda siapa? Apa sepeda gue yang udah dianter Papa ya?"

Anggi mengambil sendal yang tertata di rak yang ada di dekat pintu. Dia menyusuri halaman sambil melihat kanan kiri. Apa iya orang yang disuruh ayahnya mengantar hanya meletakkan sepeda itu di depan gerbang? Anggi mempercepat langkahnya, dan tiba di depan gerbang.

Sepeda itu sepeda lama, tapi masih bagus dan elit. Tidak ada ada yang menggambarkan kalau itu sepeda baru dan itu membuat Anggi yakin kalau itu bukan sepeda baru untuknya.

Anggi pun berbalik setelah tahu kalau itu mungkin sepeda orang yang terdampar atau salah rumah. Namun setelah berbalik, nyaris dia mati karena terkejut.

Dia melihat sosok lelaki tinggi dengan senyum khas —senyum itu jelas khas, dia perhatikan waktu hari Senin lalu—. Sebastian Prananda. Sebelum Anggi berteriak dan membuat heboh satu kampung, dengan kilat Bass membekap mulut gadis itu. Bass juga berdoa semoga Anggi tidak pingsan lagi.

Amin.

Kira-kira sepuluh detik, Bass melepas bekapan tangannya di mulut Anggi. Sedang gadis itu masih tertegun melihat Bass, dia benar-benar byata di depannya. Manusia setan, maksudnya manusia menakutkan itu ada di hadapan Anggi. Otaknya berhenti sejenak dan sadar kembali setelah Bass menyapa.

"Hai?"

...♨♨♨...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!